All Chapters of Penyesalan Seusai Talak : Chapter 41 - Chapter 50
119 Chapters
41
Bu Dena terkejut begitu melihat Evelyn yang menangis dilantai, segera dia hampiri dan membawa Evelyn dan pelukannya."Astaghfirullah ... Kamu kenapa, Nak?" tanya Bu Dena dengan menangkup kedua pipi Evelyn.Evelyn menggeleng lemah, tak ingin menjawab. Bu Dena langsung paham, dan mengangguk. Dia membantu Evelyn berdiri dan membawanya ke kamar."Istirahat dulu. Kalau ada apa-apa panggil Ibu, ya?" katanya. Setelahnya, wanita itu langsung keluar dan menutup pintu sambil menghembuskan napas berat....Marissa tersenyum puas, dia baru saja menghubungi orang suruhannya, mengancam agar mereka tak buka mulut, dan menyeret namanya dalam kasus ini. "Dasar orang miskin. Enaknya punya banyak duit, ya, gini! Bisa nyogok siapa saja yang gila uang!" Dia bicara sendiri. Kemudian terkekeh sambil memain-mainkan ponselnya."Ah, ya! Aku lupa. Jatahku bulan ini belum dikirim si tua bangka, sedang uangku mulai menipis. Aku harus melancarkan aksi lagi, supaya transferan bulan ini lebih besar." gumamnya sam
Read more
42
Evelyn memutuskan menceritakan semuanya pada Karina, gadis itu tak terlalu terkejut mendengarnya, diawal dia sudah bisa menebak ada satu hal yang membuat Evelyn begitu keras menolak Bian, padahal dia sendiri bisa melihat rasa cinta itu masih sangat besar."Jadi, kamu menuruti keinginannya?" tanya Karina. Evelyn mengangguk, membuat Karina mendengkus kasar."Aku pikir begitu. Aku rasa kebahagiaan aku dan Mas Bian adalah melihat Mama bisa kembali sehat. Dan lebih baik ada yang berkorban untuk itu," sahut Evelyn memejamkan mata. Ingin menekan sesak yang mendera, berusaha ikhlas meski harus melepas orang yang dicintainya."Kamu nggak ada cara lain gitu? Selain mengorbankan perasaan kamu sendiri?" tanya Karina lagi."Kayaknya enggak, Rin! Lagian dia meminta seperti itu. Aku harus menolak Mas Bian, dan memaksanya menikahi Marissa. Dan itu akan jadi jaminan untuk keselamatan Mama, lebih baik aku mundur, dari pada harus dihantui rasa bersalah jika terjadi sesuatu pada Mama," tandasnya. Karina
Read more
43
Belum selesai wanita itu melanjutkan ucapannya, suara seorang pria terdengar menyapa."Mami? Ada apa ini?" tanya Brata—pria yang tak lain adalah pemilik perusahaan, atau lelaki tua yang baru saja berbagi peluh dengan Marissa.Marissa dan wanita yang tadi sempat bersitegang dengannya menoleh serempak. Marissa membelalak mendengar panggilan pria itu. Mami? Apa maksudnya? Apa wanita itu adalah istrinya? Jika iya berarti sekarang dia sedang berada dalam masalah besar."Eh, kebetulan Papi keluar. Perempuan yang berpakaian kurang bahan ini siapa? Salah satu karyawan Papi, kah? Kalau iya, segera pecat! Mami nggak suka. Gaya kok kayak wanita jal*ang!" sindir wanita itu sambil melirik sinis Marissa yang terdiam."Emm ... Itu ... Ee ... Papi nggak tau, Mi! Mungkin lagi nyari lowongan. Udah, nggak usah dipikirin. Mending sekarang kita ke ruangan Papi, yuk!" Ajak pria itu menarik tangan sang istri.Marissa membelalak, dia tak menyangka jika pria yang baru saja dia layani itu tak berniat membelany
Read more
44
Marissa memarkir mobilnya, kemudian segera turun menuju kantornya. Dia berjalan masuk dengan dada berdebar, para karyawan sedang sibuk dengan aktivitas masing-masing, hingga tak ada yang terlalu memperhatikan kedatangannya.Sebelum bertemu atasannya, Marissa mampir lebih dulu ke ruangannya. Ingin bertanya pada rekan yang tadi menghubunginya."Sus!" panggil Marissa begitu pintu ruangan dia buka.Perempuan yang dipanggil Susi itu menoleh, dan melempar tatapan tanya pada Marissa. Tapi dia kembali mengalihkan pandangan pada komputer didepannya. Melihat rekannya yang cuek saja, Marissa pun menghampiri."Beneran aku dipanggil Bos?" tanyanya. Susi tak menoleh, tapi hanya mengangguk sebagai jawaban."Kira-kira kenapa, ya? Bos ada bilang apa lagi?" Marissa kembali bertanya membuat Susi yang tengah fokus pada pekerjaannya itu mendengkus sebal."Ya, mana aku tau, Ris! Mending kamu ke ruangannya sekarang, deh! Gangguin aja, orang lagi banyak kerjaan juga!" sahut Susi dengan ketus. Marissa mendeli
Read more
45
Evelyn sudah sampai di rumah sakit, pada akhirnya Karina juga yang mengantarnya, karena gadis itu tak sampai hati membiarkan Evelyn menunggu angkutan umum. Tapi dia hanya mengantar sampai depan saja, setelah itu dia langsung berpamitan karena ada urusan.Dengan menenteng rantang yang berisi makan siang untuk mertuanya, Evelyn mengayunkan langkah menuju ruang ICU tempat Bu Maya dirawat."Assalamu'alaikum, Pa," ucap Evelyn memberi salam. Terdengar suara Pak Hendra menyahut."Wa'alaikum salam." Pak Hendra menoleh dan tersenyum pada Evelyn, kemudian matanya beralih pada rantang yang berada di tangan kiri Evelyn. "Bawa apa itu, Nak? Dari wanginya menggugah sekali," canda Pak Hendra. Evelyn terkekeh dan berjalan masuk, kemudian menyalami tangan mertuanya dan menaruh rantang pada meja di samping ranjang Bu Maya."Ini makan siang untuk Papa. Papa belum makan, kan?" tanya Evelyn."Wah, tau saja kamu kalau Papa rindu masakan rumahan," sambut Pak Hendra antusias."Yasudah, kalo gitu Papa makan s
Read more
46
Bian tercekat, dia terkejut mendengar penuturan Evelyn, Mamanya tak benar-benar berubah? 'bukankah Papa bilang Mama ingin memperbaiki kembali hubunganku dengan Evelyn? makanya dia meminta bertemu. Tapi apa ini?' Batin Bian kalut.Melihat reaksi Bian, ada rasa tak tega sebenarnya, apalagi membawa-bawa nama Bu Maya dalam masalah ini, dia takut Bian akan kembali marah pada sang Mama. Tapi, mau bagaimana lagi, Marissa bersikeras ingin menikah dengan Bian, dan mengancam akan menghabisi nya*wa Bu Maya jika Evelyn tak menuruti keinginannya."Mas ..." panggilnya, tapi lebih serupa desisan."Kenapa, Lyn? Harus bagaimana Mas meyakini kamu? Apa Mas harus benar-benar pergi dulu agar kamu percaya betapa Mas benar-benar menyesal?" racau Bian frustasi. Dia menatap Evelyn lekat, sedang perempuan itu tak berani membalas tatapan lelaki yang dicintainya, takut pertahanannya akan runtuh."Aku tau, Mas. Bahkan bisa kulihat ketulusan dari tatapanmu. Tapi ... Ini bukan tentang kamu menyesal atau tidaknya, M
Read more
47
"Kenapa Papa seolah putus asa gini? Bukannya Papa bilang akan selalu mendukung setiap keputusan Bian? Kenapa sekarang malah berubah? Tadi juga Evelyn bilang, ini permintaan Mama saat mereka bertemu sebelum terjadinya kecelakaan, yang mana yang bisa Bian percaya, Pa? Disatu sisi Papa mengatakan jika Mama sudah berubah, dan pertemuannya dengan Evelyn untuk memperbaiki hubungan kami. Tapi Evelyn malah mengatakan yang sebaliknya, jadi yang mana yang harus Bian percaya, Pa?" Bian mengulang pertanyaan yang sama. Dia benar-benar merasa frustasi, sampai tak sadar malah membentak sang Papa.Pak Hendra tampak menghela napas, wajahnya murung, ada sedikit penyesalan Bian rasakan, kenapa dia harus membentak sang Papa, bahkan dihadapan tubuh kaku sang Mama."Jika Evelyn mengatakan ini untuk kebaikan Mama, maka tak ada pilihan lain, selain kita menurutinya. Kamu mau kehilangan Mama?" tanya Pak Hendra pelan. Bian mendesah pelan mendengar penuturan sang Papa."Memangnya ada apa, Pa? Kenapa kita harus
Read more
48
Bian tercengang melihat keberadaan Marissa sepagi ini di rumahnya, bukan hanya itu yang membuat Bian terkejut, disisi kanan wanita itu sudah tergeletak sebuah tas besar dan dua buah koper, sedang Chika dia gandeng disebelah kiri."Kamu sedang apa disini? Dan a-pa, ini?" tanya Bian tak habis pikir.Dia heran, kenapa wanita itu datang ke rumahnya dengan membawa tas dan koper seakan ingin pindah?"Mas ... Izinkan aku tinggal disini, kami terusir dari rumah, dan tak tau harus mengadu kemana," Adu Marissa.Bian makin tercengang, terusir katanya? Bagaimana bisa? Bahkan rumah itu miliknya sendiri, bukan rumah sewa atau kontrakan yang mungkin saja diusir jika telat membayar."Maksudnya terusir bagaimana? Bukannya rumah itu milikmu sendiri? Siapa yang mengusirmu? Dan kenapa pula kamu malah pergi? Bukannya mempertahankan apa yang seharusnya jadi milikmu!" sembur Bian."Ng ... Ce-cerita nya panjang, Mas. Yang pasti sekarang kamu harus bantu aku dan Chika. Biarkan kami tinggal disini, ya? Nggak l
Read more
49
"Ya, nggak bisa lah! Mana bisa gitu? Kan, aku sudah bilang. Aku akan menikahimu setelah Mama sembuh! Jadi bersabarlah," Bian berdalih."Terus ini gimana, Mas? Masa iya kamu tega biarin aku dan Chika hidup di jalanan?" Marissa masih mencoba membujuk. Bian terdiam, dia berpikir sejenak."Aku akan carikan kontrakan untukmu dan Chika," Bian memutuskan untuk mencari kontrakan untuk Marissa. Dia berpikir dari pada harus menampung wanita itu di rumahnya, lebih baik dia mengeluarkan sedikit uang."Hhh ... Padahal apa salahnya kalau aku tinggal saja di rumahmu? Dan kamu bisa tinggal di rumah Mama. Dari pada begini, buang-buang uang!" Dengkus Marissa."Seharusnya bilang itu sama dirimu sendiri! Bertahun-tahun kerja kemana uangmu? Kamu yang terlalu boros dan berfoya-foya, atau bagaimana? Terus gimana ceritanya kamu bisa terusir dari rumahmu sendiri?" Marissa terdiam, dia langsung salah tingkah saat Bian mempertanyakan itu. Tidak mungkin, kan, dia mengatakan yang sebenarnya? Kalau dia diusir ole
Read more
50
"Kamu dari mana saja, Bi?" tanya Pak Hendra saat Bian baru saja datang."Nganterin Marissa nyari kontrakan. Dari pada terus-terusan neror Bian, mending dicariin kontrakan aja!" sahut Bian mendudukkan dirinya disebelah sang Papa."Jadinya kamu nggak ke kafe, dong, hari ini?" Pak Hendra kembali bertanya."Nanti aja, deh. Bian juga sudah hubungin Kevin, supaya menghandle dulu semua kerjaan selama Bian nggak bisa masuk," jawabnya. "Chika mana, Pa?" Bian teringat putri kecilnya yang dia tinggalkan tadi."Tadi Evelyn kemari. Nganter makan siang, Chika malah minta ikut. Jadi terpaksa dibawa sama Evelyn. Kayaknya dia sudah sangat rindu dengan Bundanya itu," tutur Pak Hendra."Kenapa nggak Papa bujuk aja? Bian takutnya nanti malah merepotkan Evelyn," kata Bian."Nggak bisa. Papa juga udah capek ngebujuknya. Katanya mumpung Maminya lagi nggak ada," kekeh Pak Hendra. Bian hanya melirik, tapi tak lagi menjawab.Sebenarnya dia bukan tak senang jika Chika ikut dengan Evelyn, tapi dia bingung saja h
Read more
PREV
1
...
34567
...
12
DMCA.com Protection Status