All Chapters of Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda: Chapter 21 - Chapter 30
81 Chapters
Peringatan
Tak tahu berapa lama aku tertidur, namun rintik hujan yang memukul kaca jendela dalam nada beriramalah yang menarik jiwaku dari alam mimpi.'Tempat ini seperti tak asing...'Kubuka mata perlahan hingga langit-langit ruangan nampak samar di depan mata.Mendadak sekelumit bayangan menyeruak dalam benakku. Astaga! Aku ingat sekarang. Semalam aku diculik tiga pria bertopeng, tapi kenapa… kenapa saat ini aku ada dalam ruangan yang terasa akrab bagiku?Mataku mengerjap lagi. Nyatalah ini memang kamar yang kutempati di apartemen Hartono. Perlahan aku mencoba bangkit, tetapi kepala sangat pening, rasanya seperti ada beban berat menghantam tempurung kepalaku. “Just lay down.” Suara dingin yang akrab tiba-tiba menyapa telingaku.Aku menoleh ke sana. Ternyata Hartono sedang berdiri di dekat jendela dengan posisi kedua tangan di dalam saku celana.Tubuh yang tadinya membelakangiku, kini berbalik hingga aku bisa melih
Read more
Kenalan Penuh Misteri
“Anda … kenapa bisa di sini?” Tanyaku terperangah, tak menyangka salah satu dosen tamu favorit di tempatku berkuliah dulu bisa muncul tiba-tiba.“Do you not ask me to sit first?”Aku berdehem kecil menyadari kegugupanku. Tanpa banyak tanya lagi segera kupersilakan dia duduk. Senyumnya masih sehangat dulu, meski ada sesuatu yang berbeda darinya. Garis wajahnya yang tampan makin tegas termakan usia.“Saya dengar … awak sudah berkahwin, ya?”“Ya, Mr. Yeoh. Belum sampai setahun.” Balasku sambil menyesap jus jeruk yang tinggal sedikit itu hingga tandas.Raut wajah Steven Yeoh agak mengernyit melihat gayaku menghabiskan minuman segar tadi hanya dalam sekali teguk. Bagi pria aristokrat sepertinya pastilah tindakanku ini tidak elegan sama sekali.Jangan salah. Meski Steven Yeoh cuma dosen tamu yang sesekali mengisi perkuliahan kami, latar belakang beliau cukup misterius. Pakaiannya memang selalu sederhana pun aksesoris yang dipakai. Tetapi mereka yang terbiasa hidup dalam kemewahan pasti paham
Read more
Senang Melayanimu
Mataku mengerjap sesaat. Nama ini seperti tak asing. Mendadak sebuah kesadaran menghantam ingatanku. Ya, Sachio ini cucu dari paman Jaya. Bocah kecil yang juga membuat Joyce menangis kemarin.“Okay, I will heading home first.” Kataku akhirnya setelah berhasil menenangkan diri akibat kelakuan usil Chio.Begitu tiba di mobil, wajah Joyce masih tetap murung. Matanya yang sembab dia arahkan ke luar jendela, menatap apapun yang ada di sana. “Joyce, sebenarnya apa yang terjadi?” Aku bertanya untuk kesekian di sela kegiatan mengemudi. Mulanya Joyce hanya menatapku enggan. Mulutnya yang mungil membuka dan menutup berkali-kali. Akhirnya kuletakkan tangan di bahunya, berharap ketulusanku bisa membuka hatinya.Sepertinya itu berhasil. Meski terbata-bata, Joyce mulai mengatakan inti masalahnya. "Chio bilang … Daddy orang yang sangat jahat, jadi dia pasti akan mati mengenaskan."Aku menatap wajah Joyce dari sudut mata. Sejujurnya aku s
Read more
Wanita Bermuka Dua
Sesuai janjiku pada Hartono kemarin, aku benar-benar membawa Joyce pada seorang psikolog kenalannya. Sedikit aneh mengingat suamiku bukan tipe manusia yang suka di analisa orang lain. Tapi nada suaranya yang tegas waktu memberikan kartu nama mewah ini, cukup meyakinkanku kalau psikolog yang berkantor di kawasan elite ini handal di bidangnya. Suasana hangat dan mewah langsung menyambut begitu kami tiba di sana. Seorang resepsionis mengarahkan kami ke ruang praktik tanpa perlu antrian yang ribet. Lagi-lagi, kekuatan orang dalam tak bisa diremehkan.“Selamat pagi Bu Shanty, senang bertemu Anda.”Rieny, psikolog yang kami datangi menjabat tanganku erat. Wajahnya begitu muda dan cantik, lagipula dia putri konglomerat kenalan keluarga Halim. Mau tak mau, aku sedikit minder dibuatnya.“Selamat pagi juga, Bu.” Aku membalas tak kalah hangat."Aku tidak setua itu, panggil saja Rieny." Lanjutnya lagi dengan gestur tubuh bersahabat. M
Read more
Trauma
Kukira setelah kejadian tak menyenangkan kemarin, Rieny bakal jera meminta kami datang. Nyatanya malam ini, di saat aku tengah sibuk berselancar di dunia maya, gawaiku bergetar pelan.Setelah memastikan ID pemanggil, kuhubungkan earphone ke telinga. "Apa kau sedang sibuk?"Suara dari seberang sana, diiringi bunyi ketikan pada keyboard jadi pembuka panggilan mahal ini. "Tidak, kenapa?""Kalau begitu bawa Joyce bertemu Rieny besok.""Ada lagi?" Gumamku menahan kesal."Tidak." Hening sesaat sebelum suara bariton itu, diluar kebiasaan mengatakan kalimat klise lainnya. "Kalau begitu selamat malam. Tidurlah."Setelahnya panggilan pun terputus begitu saja padahal aku belum sempat menguasai rasa kaget. "Dia bilang selamat malam?" Bisikku bagai linglung.Aku termangu-mangu sejenak sebelum akhirnya ingat rasa tak nyaman yang sempat mengganjal pikiranku tadi. Hartono memintaku bertemu Rieny lagi, dan perempuan s
Read more
Hasrat Terpendam
Hari berjalan seperti biasa. Joyce, setelah konsultasi terakhir kali dengan Rieny, memutuskan tak lagi datang ke sana. Katanya, dia risih mesti bercerita masalah pribadi pada orang asing, terlebih waktu psikolog muda itu memintanya dihipnotis, makin besarlah keinginan Joyce untuk menghentikan sesi berikutnya.“Apa kau yakin?” Tanyaku kembali siang ini“Ya, aunty. Aku bisa mengatasinya sendiri.” Dia menyahut mantap. Meski termangu-mangu lantaran jawaban putriku yang kelewat dewasa untuk anak seusianya, kuputuskan mengikuti kemauannya. “Baiklah. Tapi kamu harus janji satu hal. Apapun masalahnya jangan dipendam sendiri, ceritakan sama Aunty.”Mungkin karena nada bicaraku yang tegas tapi membujuk, sikap Joyce agak melunak meski tak menjawab secara gamblang. Sebagai balasan, dia menyahut dengan senyum yang kumaknai sebagai kata setuju. "Kalau begitu, Aunty ke luar dulu. Ada janji temu dengan kawan-kawan." Aku berhenti sejenak mengamati
Read more
Arti Bahagia?
Begitu pulang dari pertemuan dengan kedua rekanku, rencana balas dendam mulai tersusun dalam benakku. Sambil menyetir aku membayangkan skenario macam apa yang bisa membuat Luki jijik dan melepaskan Vina."Astaga! Bagaimana respon Luki nanti?" Batinku. Membayangkan betapa menarik pertunjukan ini kelak, hatiku berdegup tak karuan.Semangat yang tinggi membuat perjalanan ke rumah terasa singkat. Tak sabar lagi, aku langsung menuju lantai dua, tempat di mana kamarku berada. Begitu memasuki koridor, kulihat pintu kamar Joyce terbuka sedikit. Berjingkat-jingkat aku mengintip dari celah sempit itu. "Jie, kenapa ya Aunty belum pulang?" Suara sedih si bungsu Joan terdengar sayup-sayup. Di dalam kamar, tampak kedua bocah lucu itu sedang bercerita. Joyce menekuni kanvas mini di depannya sedangkan Joan berbaring di lantai sembari menatap langit-langit kamar. "Why? Aunty doesn't owe us anything. Jangan suka mengganggu 
Read more
Munafik
Ada yang berbeda hari ini. Jika biasanya kedua bocah yang kupaksa bangun demi berangkat ke sekolah, kali ini aku yang sudah sibuk mematut diri sejak tadi. Berulang kali kutatap cermin demi memastikan tak ada yang salah dengan penampilan, entah pakaian atau aksesoris yang tidak pada tempatnya. Let me tell you something. Pertaruhan dalam hidup dimulai dari penampilan. "Who are you trying to impress Aunty? Daddy aja nggak di sini." Suara serak khas bangun tidur tiba-tiba mengganggu ritual agungku. Mataku menyipit menatap Joan yang seketika menunduk malu. Sepertinya bocah tengil ini masih punya kesadaran diri."Aku berhias untuk mempercantik diri, bukan untuk Daddy kalian."Perlahan kuhampiri dirinya yang berdiri salah tingkah di ambang pintu, sambil terkekeh kujawil pipi tembamnya yang mirip roti sobek. "Makanya belajar yang bener, jangan suka berpikir yang aneh-aneh.""Yes Aunty." Sahutnya lembut sambil memamerkan
Read more
Surprise Dadakan
Begitu membaca pesan itu, aku cepat-cepat kabur tanpa peduli lirikan Marissa yang penuh arti. Kalau tak salah, pasti dikiranya aku kabur dengan berondong kere seperti yang kerap dia lakukan di belakang suaminya. Sayangnya, begitu jarakku dan lobby sudah dekat, ponsel bergetar lagi. Kali ini cuma pesan singkat dari tuan besar.[Langsung ke parkiran aja]"Sial!" Rutukku dalam hati.Kapan para lelaki ini paham betapa sakitnya kaki harus mengenakan high heels kesana-kemari? Oh, tentu saja jangan memintaku berhenti memakainya. Itu dosa besar! Meski masih menggerutu, kuseret juga langkah yang makin terseok ke parkiran. Untunglah Hartono tak begitu jauh memarkir mobilnya. Begitu kubuka pintu mobil, tampak Joan dan Joyce juga sudah di dalam. "Hai guys..." Sapaku garing. Agak kaget juga melihat muka suami yang sudah hampir seminggu tak kulihat."Hmm,... " Sahutnya datar dan di luar perkiraanku dia berk
Read more
Pindah
Demi mendengar suara mertua yang penuh duri tajam, langkahku sontak berhenti di ambang pintu. Sekilas kutatap Hartono yang berdiri di sisiku. Seperti biasa, dia tetap tenang, tak terpengaruh sedikitpun.Sayang sekali, untuk menantu sepertiku, ini haram hukumnya.Tanpa mengikuti langkah suami yang masuk begitu saja, aku cepat-cepat menghampiri nyonya Lim yang masih duduk di sofa. Tak lupa seulas senyum manis terukir di bibirku."Maaf, Popo. Tadi kami jalan-jalan jadi kelamaan pulang...""Hmph... Aku tak peduli kalian pergi kemana, tapi jangan jadi anak tak tahu etika kayak seseorang." Ketika dilihatnya Hartono tak terpengaruh, nyonya Lim menancapkan durinya lebih dalam. "Hmph, aku yang salah. Apa yang bisa diharap dari laki-laki yang bahkan statusnya saja tak jelas!"Sindiran tajam ini membuat langkah Hartono berhenti seketika.Secara hukum, suamiku memang terdaftar sebagai putra nyonya Lim. Tapi semua orang dalam circle kami
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status