Semua Bab Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda: Bab 11 - Bab 20
81 Bab
The Dark Room
"Hmph, kenapa kau tak muncul juga?" Bisikku lirih waktu melihat pesan yang kukirim kemarin tetap centang satu. Sejak hari bersejarah itu aku selalu menanti kehadiran Hartono. Namun seperti tahu aku hendak meminta sesuatu, tak sekalipun pria itu menunjukkan batang hidung. Barulah malam ini, setelah dua minggu menunggu, dia muncul tiba-tiba di kamar kami. Itu pun setelah semua penghuni rumah tertidur lelap. Aku yang sejak tiba di Batam ini kembali dirundung insomnia akut, tentu saja belum tidur ketika dia datang. Dalam setelan tiga potong abu-abu pudar, dia terlihat tampan seperti biasa. Namun ada yang berbeda malam ini. Wajahnya memancarkan amarah yang mental seperti asura dari neraka. Pada hari-hari biasa, dia memang tak pernah hangat. Namun aura dingin malam ini sangat menakutkan, seperti ada murka yang teredam didalamnya. Mau tak mau aku jadi takut sendiri, tak berani walau sekedar menyapa. "Ayo ikut aku sekarang juga", suaranya yang datar mampu membekukan gendang telingaku.
Baca selengkapnya
Rencana
Aku melengos gusar. Pertanyaan yang dia ajukan terdengar bagai ejekan di kupingku. Setelah apa yang dibuatnya kemarin masih bertanya apa aku baik-baik saja? Kan lucu!Responku yang tidak menyenangkan justru mengundang sebuah tawa dari mulut Hartono. Sambil mengacak rambutnya yang kelimis, dia mencibir kearahku. "Ayolah Shan, kau tidak lagi merajuk kan? Semua yang terjadi kemarin murni transaksi antara dua manusia dewasa. Kenapa mesti pakai drama?"Lagi-lagi dia benar. Apa hak-ku untuk marah? Terlepas dari rasa sakit yang mendera, aku melakukan semuanya secara sadar tanpa paksaan. Kami berdua saling bertukar keuntungan disini. "Sebagai upah atas jasamu kemarin, sebutkan apa keinginanmu", ujarnya pelan diantara kesunyian yang menghantam kamar ini. Ketika dilihatnya responku masih nol, dia berucap tak sabar tanpa peduli situasiku, "Cepatlah, aku sangat sibuk"Tawaran yang murah hati ini sukses membuatku berpaling padanya. Dengan tatapan kosong, kupandangi wajah itu lekat-lekat, meski s
Baca selengkapnya
Siasat Baru
"Siapa yang menghindar, Mak?", aku menyahut tak acuh sambil memainkan kuku yang dikutek cantik. Ibu kami dari dulu tak suka dibantah, bahkan ketika perintahnya terdengar absurd bagi spesies primata. Lucunya, saat ini beliau tak bergeming. Mungkin sama sepertiku, beliau sudah belajar lebih sabar. Atau ingin minta sesuatu? Kita tunggu saja. "Kalau tak menghindar, kenapa tak pulang-pulang? Sudah tiga tahun lho Shanty. Kenapa kau benci kali sama Mamak?"Ini jadi lucu sekarang. Masak aku nggak bisa sebal sama wanita yang terang-terangan mengusirku waktu baru diceraikan? Maksudnya aku harus tetap memuja beliau terlepas dari perlakuannya yang kejam dulu? Aneh! "Mamak kesini mau apa sebenarnya? Butuh uang lagi?" Aku mencetus tanpa basa-basi. Bisa kulihat pipi ibuku agak memerah. Tahu malu juga ternyata. "Apa maksudmu? Kami hanya khawatir, Nang. Jangan segala hal disangkut-pautkan dengan uang.""Oh, Mamak lagi nggak butuh uang berarti?""Ya.. Nggak gitu juga."Bingo! Aku melirik wajah Shan
Baca selengkapnya
Bahagia yang Semu
Beberapa hari lewat begitu saja, tak ada yang istimewa. Hanya ada aku dan rencana balas dendamku. Sementara suami? Dia juga sibuk dengan dunianya. Kami ini ibarat dua dunia parallel, terhubung namun juga terpisah pada saat yang sama. Barulah siang ini, waktu lagi enak-enaknya di massage oleh Sally, ponselku tiba-tiba berdering nyaring. Sambil meraba-raba -- karena wajahku ditutupi sheet mask -- benda mungil itu berhasil kuraih lalu ditempelkan ke telinga. "Lagi dimana?"Suara dari seberang sana langsung membuatku sadar jika yang sedang bicara ini Tuan Hartono Lim yang terhormat."Lagi disalon." Aku menyahut pendek."Nanti kalau anak-anak udah pulang sekolah langsung ke taman bermain aja. Edwin udah tahu lokasinya."Klik! Sambungan terputus begitu saja. Jika bukan karena rupiah yang dia jejalkan ke rekeningku setiap bulan, maulah rasanya kutonjok wajah suamiku ini sesekali. Mestinya dia tahu menghargai orang lain, walau jongos sekalipun. "Siapa Dek?"Sally yang sedang serius memas
Baca selengkapnya
Perlahan Hancur
Kengerian semalam akhirnya lewat juga.Tak perlulah kuceritakan lagi penyiksaan macam apa di Dark Room itu. Jangankan kalian, aku saja muak. Tak hanya pada Hartono, terlebih pada diri sendiri. Aku muak kenapa tidak lari dari kepahitan ini, padahal tak ada yang menghalangiku pergi. "Kau memang sialan." Ujarku lirih pada udara yang kuhirup. Betul kata orang-orang. Sekali kau izinkan dirimu melewati batas, lama-lama tak akan ada lagi batasan. Segala hal jadi biasa. Meski tak pingsan lagi, kayak waktu pertama kali ke Dark room dulu, tetap saja badanku sakit semua. Padahal dosis anestesi yang disuntikkan cukup tinggi, sampai kesadaran hampir hilang.Samar-samar telingaku menangkap suara tirai yang digeser. Setelahnya seseorang duduk berlutut di sisi ranjang. Mataku yang sudah hampir membuka, buru-buru kututup. Lagi tak sudi berbasa-basi dengan manusia manapun. "Ma...maafkan Ibu Shanty. Anakku sudah membuatmu susah."Deg! Suara lirih Sumiati yang sesenggukan sukses membuatku tercekat.
Baca selengkapnya
Dalam Pusaran
Sepertinya semesta sedang murah hati padaku. Setelah kabar baik yang dibawa Hartono kemarin, sebuah nomor lama yang masih tersimpan di buku telepon-ku tiba-tiba membuat panggilan. Sekali, dua kali, tak kuacuhkan panggilannya. Biar saja dia mengiraku sombong. Ponselku pun berhenti berdering.Kukira manusia jahat itu menyerah. Ternyata di sore hari dia kembali berulah. "Halo? Dengan siapa?" sahutku ogah-ogahan" Saya Susi Bu, suster yang dulu bekerja di rumah. Apa ibu masih ingat saya?"Suara di seberang sana menyahut lembut, terlalu santun untuk wanita yang sudah terang-terangan menggoda suami orang. Tentu aku ingat! Mana mungkin bisa lupa dengan manusia sepertinya. Jangankan nama, bahkan cara dia menatap mantan suami pun masih kuingat jelas. "Oh, kukira entah siapa. Ada apa Susi?" Aku menyahut tanpa minat, seolah dirinya wabah yang harus dihindari. "Saya perlu ketemu Ibu. Ada hal penting yang harus saya sampaikan."Aku memandangi kuku tangan yang dicat nude. Kuku itu terlihat ber
Baca selengkapnya
Tak Terduga
Setelah Susi pergi, aku masih duduk di cafe ini.Menikmati angin yang samar-samar membawa uap air laut sepertinya bukan gagasan buruk di siang yang terik. Jadi kupesanlah secangkir kopi pahit dan kudapan manis untuk dinikmati sambil bersantai di sisi cafe yang menghadap laut lepas. Kuambil ponsel lalu menekan sebuah nomor yang tertera disana. Teleponku diangkat hampir seketika. "Halo Kak, ada apa?"Aku tersenyum mendengar suara lembut mendayu di seberang sana. Wanita sepertiku saja langsung meleleh apalagi pejantan busuk macam Roy. "Hai Velly, kerja bagus! Aku barusan ketemu Susi, nampaknya dia sangat putus asa."Suara tawa merdu langsung menyerbu telinga begitu kalimatku usai. Sepertinya Velly sangat bangga akan dirinya. "Tak masalah Kak. Sudah tugasku untuk bekerja sesuai kontrak."Ckckck, sangat mengesankan! Lihatlah betapa profesional kaum penghibur sekarang, sampai pakai kontrak segala. Padahal yang bekerja baik-baik saja kadang tak punya kontrak, hingga bisa diperlalukan sem
Baca selengkapnya
Menguak Masa Lalu
Hidup berjalan sebagaimana mestinya sampai di satu titik aku merasa ada yang tak wajar. Ibu mertua yang biasanya stay di kota ini -- meski jarang dirumah --, mendadak tidak nongol sampai tiga hari lamanya. Pun dengan Edwin yang kemarin mengajukan cuti demi urusan keluarga, tetap tidak ada kabarnya sampai detik ini. Yang bikin hati makin gundah, Hartono pamit ke Macau untuk seminggu namun sampai saat ini juga belum kembali. Padahal sepuluh hari sudah berlalu. Aku sangat bingung sekarang, terlebih karena tak ada teman bertukar pikiran. Ditengah kemelut otak yang makin menjadi, sebuah panggilan dengan kode negara Singapura, menyapa ponselku. "Halo, dengan siapa?" sahutku separuh bingung. "Hello, this is with Memorial Hospital."Ternyata suara di seberang sana asalnya dari sebuah rumah sakit swasta di Singapura. Pun kebetulan yang aneh jika rumah sakit ini tempatku bekerja dulu.Tak banyak yang bisa kutangkap dari pembicaraan ini, yang jelas wanita di ujung sana bilang Hartono sedang
Baca selengkapnya
Hambar
Sejak pengakuan Hartono di rumah sakit dua bulan lalu, ada yang berbeda dalam hubungan kami secara emosional. Aku yang tadinya selalu risih bahkan untuk sekedar bicara dengannya kini mulai bisa memahami jalan pikiran suami. Seperti pagi ini, kala aku bersiap untuk menghadiri sidang terakhir perihal gugatan hak asuh yang kulayangkan pada mantan suami, Hartono duduk bersamaku di kamar ini.Aku menatap tampilan diriku dalam balutan rok sepan krem dan kemeja putih dengan leher beranda. Kupulaskan kembali gincu fuchsia di bibir yang kelewat nude. Aku tak mau terlihat pucat di depan Roy hari ini. "Selesai persidangan langsung pulang ke rumah, kalau mau ke tempat lain harus mengabariku lebih dulu." Suara maskulin yang empuk itu menyapa telingaku. "Tentu saja." Aku menyahut seraya berbalik menatapnya. Tidak seperti tampilannya yang selalu santai, hari ini dia terlihat formal dan kelimis salam setelan tiga potong warna gelap, membuat keseluruh
Baca selengkapnya
Penyekapan
"Kau kenapa akhir-akhir ini?""Hah?" Sontak aku kaget bukan buatan sampai eyeliner yang sedang kuukir di mata jadi meluber kemana-mana. "Maksudmu?" Aku kembali bertanya pada suami yang entah sejak kapan sudah berdiri di ambang pintu. "Apa perlu kuulang lagi?" ucapnya penuh penekanan. Roman mukanya yang tegas mau tak mau membuatku jadi berpikir ulang tentang segala tindakanku belakangan ini, lebih tepatnya setelah bertemu Alex kemarin. Putraku memang tidak tinggal dengan kami -- sesuai kesepakatan di awal -- tapi bersama adikku Shania. Untungnya iparku tak keberatan. Selama hidup dengan keluarga mereka, atas persetujuanku Shania membawa Alex ke psikolog anak. Dari hasil pemeriksaan dokter, Alex punya trauma berat. Masih dari cerita Shania, anakku kerap terbangun di tengah malam sambil mengigau kadang cuma terisak-isak. Semua ini membuat otakku yang biasanya berpikir logis jadi berantakan. Puncaknya ketika kami sedang di Dark Room, aku
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status