All Chapters of Ifat: Chapter 31 - Chapter 40
165 Chapters
Bab 31: Menunggu Antrean
Bab 31:  Menunggu Antrean Medan Fair Plaza, sebuah pusat perbelanjaan terbesar, termegah dan terbaru di kota Puteri Hijau, Medan. Suasananya ramai, lebih dari hari-hari biasa.Manusia tumpah ruah, penuh sesak. Umbul-umbul, plakat, spanduk, dan billbroad di sepanjang jalan raya semuanya bermuara di plaza itu.Para bapak, ibu, tulang, amang boru, pakcik, makcik, kakak atau adik, mengantarkan orang kesayangan untuk mengikuti perhelatan akbar yang beberapa bulan terakhir ini diembuskan sebuah stasiun televisi swasta; AUDISI BINTANG INDONESIA. Di lantai atas pusat perbelanjaan itu, penampilan orang-orang semakin tampak seragam. Mereka mengenakan secarik kain putih di dada bertuliskan nomor urut. Jumlahnya ratusan.Mereka adalah para peserta audisi yang duduk cemas menanti nomor dadanya dipanggil panitia untuk masuk ke ruang audisi.Di ruangan itu telah menunggu dewan ju
Read more
Bab 32: Di Mana Kamu Bersembunyi?
Bab 32: Di Mana Kamu Bersembunyi? “Nama lengkapnya?”“Joni Purba, Mas.”“Oke, Joni. Mau nyanyi lagu apa kamu?”“Kau Cantik Hari Ini, dari Lobow.”Mendengar jawaban Joni itu, Mas Irwan segera mengangkat kepalanya dari meja.“Kamu tahu, tidak? Hari ini saya sudah SEBELAS kali mendengar lagu itu! Bisa lagu yang lain?”“Bento, Iwan Fals.” Jawab Joni seketika gugup.Mas Irwan langsung menyambar. “Kamu tahu, tidak..?? Hari ini saya sudah dengar lagu Bento sebanyak SERATUS SEBELASSS kali! Yang lain bisa?”“Sebelas, sebelas.. Sebelas Januari, Gigi,” jawab Joni semakin gugup.Ia menyadari takdir dan nasibnya dipertaruhkan di ruangan tak lebih dari 10X10 meter ini, di depan dewan juri yang duduk di depannya seperti orang menderita ambeien.Mas Irwan menoleh ke Mbak
Read more
Bab 33: Orang Yang Sama
Bab 33: Orang Yang Sama “Wait, wait! Wait a second!” Anggun mengangkat kedua tangannya dan menghadapkan telapaknya ke Leony.“Tunggu sebentar, just a moment! Beri aku kesempatan untuk mencerna kata-katamu barusan.” Anggun memegangi kepalanya seperti sedang terserang migrain.Leony di depannya mengangkat pundak disusul dengan melirikkan matanya ke atas agak menyamping. Ia menjadi geregetan sendiri melihat tingkah sahabatnya ini.Anggun kemudian mencondongkan badannya ke depan, dan menumpukan kedua sikunya di meja hidang warung Ayam Penyet Solo di mana mereka duduk sekarang. Kedua bola matanya menodong Leony.“Jadi, Ifat yang selama ini kamu ceritain di telepon itu, laki-laki yang agak pendiam itu, yang cleaning service, yang pernah jatuh terpeleset waktu membersihkan dinding kaca di samping mejamu, yang pernah kesetrum waktu membetulkan kabel komputermu, yang pernah kamu lihat ke
Read more
Bab 34: Penyihir
Bab 34:  Penyihir Apakah aku pernah jatuh cinta? Tentu saja, aku pernah tergila-gila pada wanita. Dulu, sekali, waktu SMA. Oh, tidak, dua kali, yang kedua kalinya waktu aku bekerja di Bandung.Oh, maaf, tiga kali, karena aku pernah jatuh cinta juga ketika menjadi kondektur bus metromini di Jakarta.Ya Tuhan, kenapa aku mudah lupa. Maksudku tadi, empat kali. Yang terakhir ini adalah, di sini, di Bandar Baru ini. Kepada seorang mahasiswi bernama Ika, sahabat Jihan itu.Tunggu, yang kurasakan kepada Ika ini apakah benar cinta? Entahlah. Atau mungkin, karena sejak kecil aku terobsesi dengan seni beladiri sehingga hal-hal yang berhubungan dengan wanita tidak terlalu menarik perhatianku dan ketika dewasa mengakibatkan aku bodoh, tolol, polos atau lugu seperti kata Leony seminggu yang lalu?Hmm, perihal bodoh, mungkin ada benarnya. Namun polos atau lugu, harus dikaji ulang. Aku tiada berbeda dengan lelaki kebanyakan, yang d
Read more
Bab 35: Antiklimaks
Bab 35: Antiklimaks “Fat, pliiis..!”Duh, langsung keram perutku. Entah karena geli, entah juga karena merasa sial, aku memaksa diri untuk tersenyum.Jika aku tidak salah, ini adalah senyumku yang paling lebar sejak aku duduk di sini. Bersamaan dengan itu terdengar pula suara.. kraakk..! Anggun memecahkan capit kepiting.Apa yang terjadi? Anggun menatapku dengan sorot yang semakin aneh. Seakan-akan ia mendapati sesuatu yang salah pada…, wajahku? Atau senyumku?Aku ingin menoleh lagi padanya tapi tidak berani. Oh, ternyata Anggun melakukan kecerobohan kecil yang tidak disadarinya. Jari telunjuknya ikut terjepit pemecah cangkang, dan ia tidak sadar itu!Ia baru ‘ngeh’ setelah merasakan rasa asin darah dari jarinya yang terluka! Begitu melihat tangannya sendiri yang berdarah, sontak Anggun melenguh kesakitan.“Aduuuh..! Ssshh..!”“Kenapa?” Leony menoleh pada Angg
Read more
Bab 36: Surat Peringatan
Bab 36: Surat Peringatan Aku jadi bingung sendiri, karena tidak menemukan tempat yang sedikit lapang untuk melatih fisik dan mengasah kemampuan beladiriku.Sebagai persiapan tes kedua dari Josep itu, aku hanya bisa berlatih dengan gerakan-gerakan kecil di dalam kamarku. Ruang tengah tak bisa kupakai, bahkan lebih sempit dari kamar.Saat-saat berlatih itu kuupayakan sedapat mungkin aku tidak mengeluarkan suara. Aku khawatir, itu mengundang auman Uni Fitri. Menggunakan kamar Joni dan Johan yang kedap suara, aku segan, juga takut bisa membuat kamar mereka berantakan.  Secara rutin, pagi dan sore aku melatih kelenturan tubuh. Split dan kayang menjadi fokus utama, karena di latihan itulah keluwesan kaki dalam melakukan tendangan bisa didapat.Setelah itu aku melakukan push up, pull uap, sit up, dan jump up untuk memperkuat otot-ototku. Gerakan jurus dasar semacam pukulan, tangkisan, tendangan dan beberapa kombinasi
Read more
Bab 37: Kopi Tubruk
Bab 37: Kopi Tubruk Begitu kutatap wajah sang pengemudi, serentak darahku mendesir. Sebab sebuah senyum yang teramat manis sedang terulas di sana.Mira! “Oh.” Aku terkesiap, dan serentak dengan perlahan aku mundur ke belakang.“Hei, Fat! Tunggu!”“Maaf, Mira, aku kira siapa tadi. Hampir saja aku marah. Maaf ya?”“Baru pulang kerja?” Tanya Mira.“Iya.”“Mau aku antar pulang?”           Apa nanti kata tetangga? Cetusku dalam hati.“Terima kasih sebelumnya, tapi maaf, aku naik oplet saja.”Mira terkekeh sebentar.“Maaf juga ya, aku cuma basa-basi, kok.”Ih, mulai jengkel aku dibuatnya. Seperti tak ingat dia, yang tempo hari blingsatan mengendusi punggungku seperti induk kucing membaui ikan asin. Aku tak ingin berpanjang cerita. Se
Read more
Bab 38: Hati di Dalam Cangkir
Bab 38: Hati di Dalam Cangkir Mira menyebutkan pesanannya kepada pramusaji dengan sedikit tambahan permintaan khusus, yaitu kopinya agak bla-bla, susunya sedikit bla-bla, cara mengaduknya harus bla-bla, dan serbuk coklatnya mesti bla-bla.“Ribet sekali mau minum kopi saja,” kataku dalam hati. Tinggal tubruk saja pun!   Dan mungkin, sepertinya, karena sering lalu lalang sebuah iklan di televisi, aku agak kenal dengan makhluk bernama cappuccino di draft menu ini.“Lama sekali milihnya, mau minum apa kamu, Fat?” Tanya Mira padaku.   “Cappucino,” kataku mantap, untuk kemudian kembali mengatupkan bibir.  Pramusaji menulis pesanan kami dan bergegas pergi. Menyusul kemudian aku dan Mira duduk diam-diaman.Mira mengambil ponsel, sebentar bertelepon, sebentar berkirim SMS. Lalu kembali diam dengan masih tetap memegang ponsel. Wajahnya mengarah ke kanan, seperti
Read more
Bab 39: Episode
Bab 39: Episode Pukul sembilan malam. Aku berjalan di gang menuju rumahku dengan langkah kaki yang malas-malasan. Sesekali aku menggosok pipiku, bekas tamparan Mira tadi.“Aku hanya bisa.. dan hanya ingin.. melakukan itu dengan orang yang aku cinta!”Kata-kata Mira yang terakhir itu mengiang di telingaku. Aku ingin meraba-raba maknanya lebih jauh, namun ada sesuatu yang tiba-tiba menarik perhatianku.Aku langsung menajamkan mata. Segera saja aku melihat itu sebagai pertanda bahaya. Hatiku sontak berdebar. Was-was.Jarak antara aku dengan rumah hanya tinggal tiga puluh meter lagi. Lampu di teras depan mati, sehingga aku tidak bisa melihat dengan jelas pada dua sosok orang yang sedang berbaring di lantai teras itu.Aku terus waspada, maju perlahan, sembari berusaha mengenali sosok di dalam gelap itu. Setelah jarakku hanya tinggal lima langkah, serta merta aku memekik.“Joni! Johan!”Dua orang
Read more
Bab 40: Orang Sembarangan
Bab 40: Orang Sembarangan Beberapa hari kemudian..,Akhirnya, tibalah saatnya tes kedua untukku!Hari Minggu, aku bangun pagi, pukul tujuh. Hebat, karena biasanya bagiku, pagi di hari libur adalah jam sepuluh, atau kapan pun lonceng perutku berdentang kelaparan.Aku bangkit dengan semangat, terbakar oleh euforia keberhasilan Joni dan Johan pada babak penyaringan awal audisi.Aku melakukan jogging di jalan-jalan sekitar tempat tinggalku, pada jarak yang aku rasa cukup untuk melakukan pemanasan.Di tepi jalan aku berhenti untuk melakukan peregangan, senam kecil, lalu kembali pulang, lanjutkan berlari. Sampai di dalam kamar, aku berlatih kecil dengan jurus-jurus penyerangan dan pertahanan yang pernah kupelajari dulu.Sesuai dengan schedule dan janji dengan Josep, Bondan dan Wisnu nanti akan menjemputku pukul sembilan.Sebelum mereka datang aku menyempatkan diri membuat sarapan. Telur ceplok mata sap
Read more
PREV
123456
...
17
DMCA.com Protection Status