”Ada cinta yang terlarang di sana, nafsu yang terkekang, cinta tak berbalas, bertepuk sebelah tangan, penolakan, penampikan, perjuangan, pengorbanan, pertarungan, tetes darah, airmata, juga..,” Mira boleh cantik dan kaya. Leony juga bisa menarik bak artis sinetron. Anggun sang pramugari pun menawan bak bidadari. Riska yang seorang guru juga ayu plus salihah. Ada pula Jihan dan Ika yang keduanya masih gadis dan masih berkuliah. Namun, Ifat justru jatuh cinta pada Kassandra yang seorang wanita tunasusila?? Apa yang dimiliki Kassandra hingga Ifat tidak sanggup melupakannya bahkan ketika sudah dipisahkan oleh jarak dan waktu? Perjuangan dan kepahitan hidup bagaimana pula yang ia jalani bersama Joni Johan bersaudara dan Ucon? Semuanya akan Anda dapatkan di sini, di dalam novel IFAT yang sangat menguras perasaan dan juga emosi. Selamat membaca, selamat menikmati.
View MoreIFAT
Bab 1: Bukan Superman.
Bandar Baru, Februari 2008.
”Tolooong..!”
Aku terkesiap. Suara teriakan minta tolong itu sontak memutus lamunanku yang sudah terlalu jauh entah ke mana. Aku menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari asal suara.
”Tolooong..!”
Samar-samar suara teriakan itu terdengar lagi. Desauan angin malam di tiang-tiang lampu dan pohon peneduh membuatku kesulitan untuk menerka sumber suara.
”Sepertinya dari sana,” pikirku, di arah kanan dari tempatku duduk ini. Aku segera bangkit, meraih tas ranselku dari trotoar dan berjalan menuju asal teriakan tadi.
Pukul sebelas malam. Suasana kota Bandar Baru begitu sepi semenjak disiram gerimis maghrib tadi. Tidak ada mobil atau motor yang melintas di jalan. Penduduk kota ini sepertinya terlalu cepat beranjak ke peraduan.
Aku terus tergopoh-gopoh sembari menggendong tas ranselku. Setelah melewati sebuah perempatan, aku segera belok kanan, dan, di situ rupanya..,
”Toloooong..!”
Aku melihat seorang wanita yang berjalan mundur-mundur, penuh ketakutan, berusaha menjauhi dua orang lelaki yang sedang memburunya dari dua arah yang berbeda.
Beberapa detik aku tercekat, menelan ludah. Aku bingung pada pilihan-pilihan yang akan aku lakukan selanjutnya.
Sang wanita terus berputar-putar di sekitar mobilnya, sembari memukul-mukulkan tas jinjingnya pada dua lelaki yang kuduga sebagai perampok itu.
”Serahkan uangmu!” Ancam mereka sembari menghunus pisau belati.
”Aku sudah tidak punya uang lagi!” Pekik sang wanita bercampur pasrah.
”Semuanya sudah aku serahkan ke kalian!”
”Serahkan tas kamu!” Ancam perampok lagi.
”Toloooong..!” Pekik sang wanita histeris.
Menyaksikan itu darahku berdesir, jantungku berdegup kencang. Aku ingin kembali ke tepi jalan Sudirman tadi dan berpura-pura tidak melihat kejadian itu, lalu menganggap bahwa aku ini hanyalah kucing buduk kelaparan di tengah kota.
Jika aku turun menyelamatkan wanita itu, bisa mati konyol aku. Aku memang punya kemampuan bela diri, tapi itu dulu, dan itu pun hanya seujung kuku. Lagi pula, sejujurnya aku belum pernah menghadapi orang bersenjata.
Ketika aku menyelamatkan seorang penumpang sewaktu masih jadi kondektur bus di Jakarta dulu, aku tidak tahu bahwa preman itu memiliki senjata. Jika tahu, mungkin ceritanya akan berbeda.
Kejadian selanjutnya berlangsung amat cepat. Perampok itu kian merangsek. Mereka merampas dan membetot tas jinjing milik korban.
Namun, sang wanita itu berusaha untuk bertahan. Tarik menarik pun terjadi.
”Toloooong!” Teriaknya semakin takut dan panik.
”Serahkan tas kamu!” Bentak sang perampok yang kian marah.
”Serahkan kunci mobil kamu!” Bentak perampok yang satu lagi.
”Cepat!”
”Tolooong..!”
Aku menolah-noleh, berharap ada orang lain yang melintas supaya bisa kuajak untuk membebaskan wanita itu dari todongan perampok. Tak ada, tak ada orang yang melintas. Kota Bandar Baru ini tampak serupa kota mati.
Aku pun berharap pada petugas sekuriti yang ada di gedung sebuah bank, tak jauh dari lokasi perampokan itu terjadi.
Namun rupanya, petugas itu tengah tertidur hingga tidak mendengar suara pekikan sang wanita.
”Tolooong..!”
”Mau mati kamu ya??”
”Serahkan tas kamu, cepaaat..!!”
Akibat tarikan paksa perampok, wanita itu terjatuh di aspal, lututnya berdarah. Namun ia tetap gigih mempertahankan tasnya. Ia cepat berdiri dan tanpa henti berteriak minta tolong.
Perampok pun semakin kalap. Oh, teganya, ia memukul wanita itu!
Jadi begitukah? Tidak ada sesiapa yang menolongnya? Sampai detik ini aku masih tak tahu apa yang harus kuperbuat.
Melihat pantulan sinar lampu kota di pisau belati perampok itu hatiku kecut, sangat. Aku berharap semoga satpam bank mendengar pekikan wanita itu, menunda mimpinya memiliki uang sebanyak isi bank yang dijaganya.
Perampok semakin naik pitam. Juga kepanikan, membuatnya gelap mata. Dia, dia, oh tidak! Dia menghunjamkan pisau belati ke arah wanita itu!
Jadi begitukah? Tak ada orang yang menolong wanita malang itu? Juga satpam bank itu, tidak terbangun juga?
Ah, barangkali sudah nasib wanita cantik itu tamat riwayat di tangan perampok, supaya ada berita untuk ditulis para kuli tinta.
Tapi ternyata, dugaanku meleset. Tepat dua inci sebelum belati sang perampok menghunjam lambung wanita itu, tiba-tiba saja, ada sebuah tangan lain bergerak cepat, tap! menahan deras laju belati.
Kejadian selanjutnya juga sangat cepat. Sebuah kaki bersepatu hitam sol karet putih menyasar dada perampok itu, bug! Gerakannya cepat sekali, hampir tak mampu diikuti pandangan mata. Perampok pun terjengkang.
Melihat seseorang yang tiba-tiba muncul sebagai pahlawan, layaknya Superman baru keluar dari boks telepon, perampok lain yang masih mencengkeram tas sang wanita terkejut bukan kepalang. Namun sedetik kemudian amarah kembali mendidihkannya.
”Heeii.. anjiang!” makinya dalam bahasa daerah.
”Jangan ikut campur ya!! Siapa kau?!!” Ancamnya pula seraya mengacungkan belati.
Dengan tenang, santai, dan berkesan tak takut mati, pemuda konyol bersepatu sol karet itu menjawab.
”Ah, bukan siapa-siapa, cuma kebetulan lewat,” kataku.
Kataku?
Heii!! Konyol sekali aku!!
********
Lebih dari separuh niatku ini adalah kenekatan. Lalu jika ada yang bisa aku lakukan, ini semua adalah sisa-sisa dari kemampuanku sebagai mantan atlet juara PORDA;
Maka, inilah yang disebut dengan tendangan sapuan melingkar; bakk! Kakiku pun mendarat sempurna di kepala seorang perampok.
Lalu, ini yang disebut teknik bantingan menggunakan tenaga lawan; brugg! Perampok yang kedua pun terbanting di atas aspal.
Kemudian, inilah yang disebut dengan teknik kuncian bahu.
”Aaaakh! Aaa.., aduuhh..!” pekik seorang perampok yang berhasil aku cengkeram dengan kuncianku.
Ini bukan film, tapi kejadian selanjutnya persis seperti yang ada di film-film. Tak peduli itu memukaunya film Hollywood, melankolisnya film Bollywood, atau bahkan konyolnya film Indonesia.
Setelah kedua perampok itu kubikin keok, satpam bank pun terbangun. Dua petugas keamanan itu tergopoh-gopoh menghampiri, kasak-kusuk sebentar, menelepon polisi, lalu dengan tangkas memborgol dua perampok itu.
Tak berapa lama kemudian polisi datang dengan mobil patroli. Mereka bekerja amat profesional. Begitu cekatan mereka mengumpulkan informasi, bukti-bukti, dan ini yang paling aku suka, yaitu; mereka melemparkan tubuh kedua perampok itu ke dalam mobil patroli.
Brag!
Brug!
”Aaduuh..!”
********
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments