Di toko buku Vivi, si author abal-abal yang tidak suka membaca dan hanya bisa copy-paste karya orang, bertemu pemuda super tampan yang dia klaim sebagai calon imam dan bapak dari anak-anaknya kelak. Ternyata pemuda orang hebat di dunia literasi. Bagaimana kisah Vivi dalam usaha menjadi novelis terkenal?
Lihat lebih banyakBadannya bagai anak SMA, padahal sudah kuliah semester tiga. Dia punya kulit kuning langsat yang kata orang kenyal mirip kulit bayi, rambutnya hitam lembut harum shampo Didie. Kata Ibunya, Vivi gadis cantik, entah kenapa masih jomblo, jadi, pemuda gendut berkacamata di depannya bukan pacar Vivi.
Vivi percaya jika ada kemauan pasti ada jalan. Seperti Aladin yang menemukan lampo ajaib, dia percaya ada seorang Jin baik hati yang akan mengabulkan semua permintaanya.
Permintaan Vivi tidak muluk-muluk, selain ingin punya pacar cowok Korea, dia ingin pandai menulis dan menciptakan buku berkelas. Padahal dia malas membaca, malas menulis, malas mendengar kesuksesan orang juga nasihat orang. Apa bisa jadi penulis pemes?
"Coba tadi enggak ke toilet, pasti enggak sampai sini!"
Sentakan Sasa membuat lamunan Vivi sirna. Dia hendak membalas cuitan gadis berkerudung yang mengenakan pakaian serba panjang itu, tapi Sasa seakan lupa titik koma, tak henti nyerocos.
"Sudah panas, polusi pula, kita bolos kuliah demi ke sini, Jancook! Ups, astagfirullah, Ya Allah, ampuni hambamu karena berkata kasar."
"Heh, Sa, cewek berjilbab tuh harusnya kalem, ini mana seperti anak punk."
Dan ucapan Vivi memancing celometan jilid dua Sasa untuk muncul.
Ya, antrean memang sepanjang naga Shenlong sampai di trotoar depan toko buku. Semua ini demi buku Kejora yang sangat legendaris, buku yang mampu membawa pembaca terbang ke langit ke tujuh dan Vivi sudah membuktikan sendiri dengan membeli seri pertama.
"Halo cemua." Mimi datang, bawa buku tebal bersampul putih, pamer di depan dua sahabat. "Nih, aku bawa buku, duh kacian ye antre, berjemur kek ikat asin. Tiati, bukunya tinggal dikit."
Seperti kebiasaan yang sudah-sudah, Mimi si selebgram mulai streaming. Dia tidak suka membaca buku, tapi buku Kejora bisa membuat follower-nya naik secara drastis, give away, dengan syarat follow dan share i*-nya Mimi.
"Ee jangan ada yang follow! Rugi!" teriak Vivi. "Ditipu kalian, tuh bukunya bakal dikasih ke cowoknya Mimi!"
"Bener!" timpa Sasa. "Demi Allah, tuh bocah give away settingan!"
"Bawel kalian semua! Bilang aja sirik, ya kan?" sahut Mimi geram.
Ketiganya berdiskusi hal yang tidak penting hingga nyaris lupa akan yang penting. Mereka sampai di depan rak buku kejora.
"Aduh, tinggal satu," ujar pegawai toko buku, bingung melihat Vivi dan Sasa. "Siapa yang mau beli?"
Sasa dan Vivi saling lirik, serempak menjawab, "Aku!"
Keduanya kembali adu mulut sampai jambak-jambakan. Bagai emak-emak rebutan om tajir keduanya berguling-guling di atas lantai.
Sebagai sahabat yang baik, tentu Mimi menjadi yang pertama berinisiatif untuk … merekam kejadian ini sambil ketawa-tawa, tak lupa menjadi kompor yang baik dan benar.
"Hajar ble! Tarik lepas kerudungnya! Yak, jambak! Mantep. Jangan lupa follow instagramku, ya! Mimicuantik!"
Tiba-tiba seseorang berkaki jenjang melangkahi Sasa dan Vivi. Dia menghadap pegawai toko yang tercengang memandang wajahnya.
"Mbak, buku Kejora-nya saya beli."
"Iya Mas, mari ikut saya … ke pelaminan, eh, m-maksud saya ke meja kasir."
Percakapan yang sangat menyiksa telinga Vivi dan Sasa, memaksa keduanya bangkit. Di hadapan mereka terbentang punggung lapang berlapis baju kemeja biru kotak-kotak, ada tas ransel nya juga loh.
"Eh Mas, jangan asal main rebut buku orang, dong! Kami berjibaku sampai baku hantam, situ enak saja main serobot. Eh, dengar enggak, sih!"
"Hajar Vi!" seru Sasa sambil membenahi kerudung. Wajahnya nyangkut, ketutupan kerudung putih yang kusut.
Vivi memang terkenal pemberani, dia membalik badan pria di depannya dan ….
Oh my God! Vivi terdiam, gagal kedip, dagunya seakan mau jatuh.
Mimi sibuk membantu Sasa melepas kerudung yang nyangkut di kepalanya. Alhasil mereka gagal melihat wajah si pemuda. Mukjizat bagi Vivi, dengan begini hanya dia yang bisa melihat Sang Pemuda idaman.
Wajah tirus, alis lebat, mata sipit, pakai kacamata, mana mancung lagi! Kulitnya juga putih, badan atletis, tinggi pula!
"Calon Imamku …" gumam Vivi.
Pemuda itu menarik lengan. Mungkin jengkel dengan ulah Vivi. Dia tersenyum pada pegawai toko buku, mengikutinya menuju ke meja kasir.
Vivi tak putus asa. Selain ingin buku, sekarang dia ingin berkenalan, minta nomor telepon, minta ditembak, terus nerima cinta Sang Calon Imam, terus nikah, jadi Ibu dari anak pemuda tadi. Perfect!
Dia menarik-narik lengan pemuda misterius seperti anak kecil minta sesuatu pada Ibunya.
"Mas, Oppa, Kakanda, bukuku itu, bukuku kembalikan."
"Apaan sih," keluh pemuda berkaca mata.
Dia menarik lengannya, mempercepat langkah mengikuti petugas toko buku. Sepertinya illfill sama Vivi. Semoga belum alergi sama.
Vivi sendiri mana mau menyerah. Dia punya motto, menyerahlah kalau capek. Sayang sekali kalimat capek terhapus dari Kamus Besar Bahasa Vivi.
Hingga mereka sampai di depan meja kasir. Vivi belum melepas ikan tangkapannya. Dia masih mengganjal pada lengan pemuda, semakin berisik, dan ucapannya semakin kacau.
"Tanggung jawab, bukuku, Mas Oppa Kak, bukuku. Tanggung jawab! Iih, Mas Oppa Kak--"
Pemuda itu berbalik badan, menaruh buku tebak Kejora di atas kepala Vivi. Hebatnya buku itu seimbang, gagal jatuh.
"Dah kan? Ambil tuh buku …."
Sepertinya pemuda misterius kesal sama Vivi. Dia cabut dari toko buku pakai langkah dua ribu lima ratus.
"Maas Oppa Kak! Mau ke mana? Kita belum kenalan! Maaaas, jangan tinggalin aku!"
Benar-benar lupa malu, Vivi mengekor seperti hewan peliharaan pada pemuda itu. Suaranya bising sampai membuat pemuda itu menutup dua telinga.
Langkah Vivi terhambat karena ada yang menarik kerah kaosnya dari belakang. Untung buku di kepalanya jatuh ke telapak tangan, jadi tidak rusak.
Pegawai toko buku ternyata yang menarik kerah kaos Vivi. Dia murka, entah kenapa. Mungkin iri kalah manis dari Vivi.
"Mbak, bayar dulu bukunya, baru pergi. Gimana, sih!"
Vivi tak peduli sama gadis pegawai. Dia menjeb-menjeb ketika melihat calon Imamnya pergi naik motor sport warna biru. Padahal mereka belum kenalan, belum tanya nomor telepon. Sebal dia memandang pegawai toko buku.
"Tuh kan, Masku kabur. Mbak sih, resek banget."
"Lah? Salahku apa Mbak?"
Vivi menjadikan pelayan itu sebagai pelampiasan. Dia uring-uringan hingga digiring ke meja kasir. Untung pegawainya sabar, kalau tidak, Vivi sudah dikirim ke Mars pakai Fedex.
Petugas kasir ramah bertanya, "Namamu siapa Mbak?"
"Vivi, kenapa sih tanya-tanya?"
Seorang petugas mengambil foto Vivi pakai kamera instant.
"Widih, di foto. Ada apa sih?" tanya Mimi, baru datang sama Sasa..
Petugas memandang datar dua gadis yang sepertinya kenal dekat dengan Vivi.
"Kalian teman Vivi?"
Yang ditanya mengangguk.
"Nama kalian?" tanya petugas lagi.
Setelah mengetahui nama mereka, petugas mengambil foto keduanya. Tiga bingkai foto memajang foto mereka tepat di tembok belakang kasir. Lalu di atas tiga bingkai, tertempel kertas bertuliskan 'Black List'.
"Lah, kok aku ikut kena?" tanya Mimi. "Kan mereka berdua yang salah!"
"Bodo amat. Kalian satu geng, kan. Dah sana jangan balik lagi!" seru pegawai kasir melempar buku Kejora ke muda Vivi.
Vivi kecewa berat, bukan karena di blacklist, tapi karena gagal berkenalan dengan calom Imam.
HJin, beri aku tiga permintaan. Agar aku bisa meminta supaya bisa bertemu lagi dengammya.
Anjas duduk di sofa nyaman. Dua pria berjas berdiri di belakang. Beberapa gadis yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk berbisik-bisik sambil tertawa genit. Ketika Anjas menoleh, mereka tersenyum tak berani memandang balik. Mungkin karena penampilan Anjas kali ini? Dia memakai kaos lengan panjang dengan kerah membentuk V, berlapis sweeter bentuk rompi. Celana panjang kain hitam serasi dengan pantofel yang ia kenakan. Tiba-tiba wajah kedua gadis berubah menjadi wajah Anis dan Vivi. anjas menggeleng pelan, sedikit menunduk mengurut kening. Ia lanjut membaca. "Psst, gadis aneh tadi siapa ya? Katanya mau bertemu pacar, gitu," bisik seorang gadis kepada pacarnya, melintas santai di depan Anjas. "Enggak tahu juga. Tapi heboh banget," jawab pemuda, mengajak pacarnya duduk di sofa sebelah Anjas. Pengumuman terdengar nyaring. Sebentar lagi pesawat akan berangkat. Anjas hanya membawa hp, juga tas satchel hitam. Sebelum pergi ia
Motor yang Vivi kendarai, sampai di lahan parkir apartemen Anjas. Dia melepas helm sambil berlari kecil menuju gedung. Ia tak peduli pada Mimi dan Efendi yang baru datang melintas di samping mengendarai motor mereka. "Astagfirullah, Vivi tunggu!" Sasa memungut helm yang Vivi lepas. Yang dipanggil benar-benar tak mendengar ucapan, malah nyelonong masuk seorang diri ke dalam gedung. "Vivi, tunggu dulu, jangan bergerak sendiri seperti ini!" sentak Sasa, mengekor. Di depan lift, Vivi memencet tombol berulang kali bagai tiada hari esok. "Cepet ... cepetan!" Pintu lift terasa lama terbuka, bagai seabad dia menanti. Kesal Vivi memukul tembok. "Vivi!" sentak Sasa, menahan kedua tangan sahabatnya. "Jangan seperti ini, malu dilihat orang." Vivi memandang sekitar. Dua sekuriti berada di dekatnya. Banyak mata pengunjung melihat dan mereka berbisik-bisik. Bahkan beberapa orang di kafe apartemen berkumpul di dekat kaca jendela memandang aneh k
"Itu siapa?" bisik Alvin sambil memandang Efendi. "Jadi, dia cowok yang kamu suka? Orang Timur Tengah?" Vivi menggeleng sambil tertawa kecil. "Bukan lah. Dia Ismed, temannya Kak Anis. Sebentar ya, Vin. aku ke sana dulu." "Jangan pergi, di sini banyak wartawan, nanti mereka bisa berpikir macam-macam kalau kamu menemui cowok itu." "Tapi--" "Nanti ya, setelah wawancara selesai, baru temui dia." Vivi memandang sekitar. Wartawan memang banyak mengerumuni mereka, membuatnya susah untuk bergerak. Terlebih Ismed terjebak di kerumunan, tertahan oleh pihak keamanan. Ismed bisa bertahan di sana menunggu. Vivi memberi kode anggukan pada pemuda itu hingga membuatnya sedikit tenang. Para wartawan tak memberi kesempatan untuk Alvin dan Vivi pergi, memaksa mereka dikawal para pengawal berpakaian safari hitam menuju lahan parkir mobil. Mereka semakin jauh dari Ismed. Di kejauhan anggota band Miracle Never Die yang lain nyaris mendapat perlakuan sama se
Alvin membuka pintu kamar hotel, menaruh tas ransel ke dalam kamar. Cukup besar kamar itu juga adem karena embusan angin dari AC."Nah Vi, Bu, selama di Malang, kalian tinggal di sini, ya. Tenang saja, semua biaya Alvin yang tanggung."Ibu tertawa kecil menepuk-nepuk pipi pemuda itu. "Kamu sudah bisa mentraktir rupanya, ya." Beliau memandang seisi kamar, duduk di tepi kasur besar empuk di tengah ruang. Beliau melihat Alvin membuka pintu kamar mandi."Nah, ini kamar mandinya, Bu.""Iya Nak, terima kasih. Tante mau istirahat dulu." Beliau mendapati anak gadisnya berdiri sambil tertunduk malu, begitu juga Alvin yang nampak tak tenang. "Sudah, kalian pergi main sana, bebas mau ke mana saja asal Vivi harus kembali ke kamar ini sebelum jam sepuluh malam, mengerti?"Alvin mengangguk kecil."Ibu beneran enggak ikut nonton konser Alvin?" tanya Vivi, raut wajahnya penuh harap. Ia mengambil lembut jemari tangan Ibu.Beliau menggeleng. "Ibu
Banyak orang hilir mudik, tapi tidak satu pun yang dia kenal. Secangkir kopi panas dan sepiring jamur goreng menghias meja. Sekantung plastik putih berada di atas kursi sebelah kursi yang diduduki Ismed. Dia bersenandung pelan mengamati lift dan pintu masuk apartemen, berharap Anjas cepat pulang. Sesuai janji dia ingin mengganti hp milik Anjas yang rusak karena insiden malam kemarin.Pengunjung kafe semakin sedikit. Pejalan kaki di lobby pun mulai jarang. Tak terasa tiga gelas kopi kosong menghias meja. Hingga saat ini belum nampak sosok yang ditunggu. Ismed memandang jam di layar hp. Angka 23.45 memaksa suara decak kesal keluar dari bibirnya."Mana sih, kok lama. Apa dia menginap di rumah Vivi?" Senyumnya mereka membayangkan hal itu. Baru saja hendak bangkit, sosok yang dinanti tiba.Perban melingkar di kening. Anjas melangkah pelan dibantu satpam. Beberapa orang di belakang meja resepsionis bergegas turut membantu."Ya Tuhan." Ismed bu
Terdengar suara obrolan dari lorong. Banyak sampul buku terbitan Rayon menghias dinding ruang berdinding putih. Di ruang lumayan luas itu, Sasa duduk berjajar dengan Anjas dan Efendi, menanti seorang pria duduk di balik meja. Pria itu membaca dengan seksama draft di tangan sembari sesekali mengangguk, tersenyum. "Bagus ini jalan ceritanya. Sudah matang sekali dalam penulisan dan plotnya mengalir. Pembentukan karakter pun nyaris sempurna. Hanya sedikit kesalahan dalam penggunaan kalimat berdasar KBBI. Apa kamu yang ngedit, Njas?" Anjas mengangguk. "Cuma sedikit. Mayoritas isi draft dibuat oleh Sasa sendiri." "Benar begitu. Mbak?" Sasa mengangguk kecil. Wajahnya memerah malu, tertunduk tiada berani memandang langsung pria ramah berkemeja lengan pendek yang sembari tadi memandang kagum pada Sasa. "Kenapa kok enggak pernah mengirim kemari?" tanya pria ramah. Sasa tak menjawab, mungkin karena dia sungkan. Anjas tahu jika Sasa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen