Satu suara salam memaksa tubuh lemahnya untuk bangkit dan menggapai pintu. Suara itu, milik seseorang yang dijadikan Neira sebagai alasan membatalkan aksi bunuh dirinya.
Tergesa, gadis itu membuka pintu dan langsung menghambur dalam pelukan.
"Hai ... Kamu kenapa?"
Gadis itu tidak menjawab, justru mempererat pelukannya pada pemuda yang berdiri kaku di depan pintu. Suara tangisnya teredam di dada itu.
Agak ragu, pemuda itu melihat ke sekitar. Setelah memastikan tidak ada yang melihat mereka berdua, pemuda itu membalas pelukan Neira dan membelai kepala gadis itu agar tenang.
"Aku engga bisa hubungi kamu beberapa hari ini, jadi aku hubungi Dera._____teman sebangku Neira_____ Kata Dera, kamu udah engga sekolah empat hari. Makanya aku datang ke sini." Kata pemuda itu dengan lembut. Gadis itu mengangguk dalam pelukannya.
"Sekarang ada aku di sini, kamu bisa cerita semua. Kamu kenapa?" pemuda itu melepas pelukan. Dengan sabar mengangkat dagu Neira dan menghapus air mata di pipi gadis itu.
Pemuda itu melongok ke dalam. Kontrakan ini hanya ada dua sekat, ruang pertama yang harusnya menjadi ruang tamu adalah kamar ayah Neira, dan ruang kedua adalah kamar Neira. Ia menggeleng, rasanya tidak kondusif jika mereka harus berbincang di dalam sana.
"Kita ngobrol di mobilku aja, yuk." Ajaknya. Dan diangguki oleh Neira.
***
Tak hanya mengajak ke mobil, ternyata pemuda itu membawa Neira ke taman kota, walau mereka hanya duduk di dalam mobil di area parkir.
"Sekarang, kamu bisa cerita aku." Pemuda itu menggenggam erat kedua tangan Neira, mengusapnya lembut. Mengalirkan energi positif agar gadis itu punya kekuatan untuk berbicara. Namun, Neira hanya diam.
"Jadi, kamu kenapa engga bisa aku hubungi?" tanyanya lembut. Ia tahu, pasti ada sesuatu hal besar yang terjadi. Ia kenal betul gadis di hadapannya ini. Gadis paling tangguh yang pernah ia temui, enam tahun mereka menjalin hubungan sebagai kekasih, ia belum pernah melihat Neira sesedih ini.
Menunggu jawaban, pemuda itu mengamati wajah Neira. Mata itu bengkak___sangat bengkak___pipinya tembemnya menjadi lebih tirus, bibir mengering, rambutnya berantakan dan ia yakin ini sudah lebih dari sehari tidak disisir.
Dia membuang napas perlahan, tersenyum lembut dan membelai pipi gadis itu. "Sayang ..."
"Handphone aku rusak."
Pemuda itu mengangguk.
"Tapi, bukan karena handphone pastinya kamu seperti ini." Ia mendekatkan wajahnya pada Neira, dan menatap mata gadis itu meminta jawaban.
Neira menggeleng.
"Jadi?"
Bukannya menjawab, Neira justru menghambur ke pelukannya. Gadis itu menangis histeris.
"Ga ... " Suaranya lirih dalam pelukan pemuda bernama Prayoga itu.
"Iya ... "
"Bapak ... Bapak udah engga ada, Ga." Tangis Neira semakin menjadi, gadis itu meraung dalam dekapan erat Prayoga. "Aku sekarang sama siapa? Aku enggak punya siapa-siapa lagi, Ga."
"Sssttt ... Masih ada aku yang jagain kamu."
"Semua salah aku, Ga. Bapak pergi karena salah aku."
Prayoga mengeratkan dekapannya. Ia tak ingin membantah, ia juga tak ingin membesarkan hati gadis itu. Ia tahu, gadisnya hanya butuh pendengar saat ini. Dan ia siap menjadi pendengar yang baik untuk perempuan yang ia cintai.
***
Hari menjelang malam, Prayoga mengantar Neira pulang ke kontrakannya."Aku langsung pulang ya, engga enak udah malam." Ucap Prayoga saat mereka sudah berada di depan kontrakan Neira.
Neira mengangguk mengiyakan. "Besok jadi____" ucapan Neira terputus saat melihat tante Laila, sang pemilik kontrakan mendekat ke arahnya.
"Mbak, baru pulang?" Laila memberikan senyum pada Prayoga, dan pemuda itu menunduk menghormati.
"Iya, Tante."
"Ikut berduka ya, Mbak. Atas meninggalnya bapak."
Neira hanya mengangguk dan tersenyum samar. Sungguh, itu adalah kalimat yang tidak ingin dia dengar. Dia tidak ingin semua orang mengingatkan dirinya atas kepergian ayahnya.
"Maaf lho Mbak sebelumnya. Saya ada perlu sedikit sama Mbak Neira." Tante Laila melirik segan ke arah Prayoga. Dan Neira paham maksud dari pemilik kontrakannya itu.
"Engga apa-apa, Tante. Bicara saja."
"Jadi begini, Mbak ... Bapak, kan kontrakannya belum bayar tiga bulan. Nah, bulan depan kalau Mbak enggak bayar berarti masuk bulan empat. Jadi ... Kalau saya kasih waktu tiga hari untuk beres-beres bagaimana, Mbak? Yang tiga bulan enggak apa-apa saya ikhlaskan aja."
Neira diam dan menunduk. Dia memang bekerja, tapi tabungannya tidaklah seberapa. Dan Prayoga bisa menebak apa yang ada di pikiran kekasihnya.
"Tante, tidak usah khawatir. Nanti saya bayar tiga bulan hutang kontrakan Neira, nanti tiap bulannya juga saya yang bayar." Ucap Prayoga mantap.
"Engga, Ga."
"Engga apa-apa, aku bisa kok."
Gadis itu menggeleng. "Aku tahu kamu bisa. Tapi aku yang enggak bisa menerima."
"Aduh ... Maaf nih. Gini, Mas dan Mbak, saya tadi sore sudah terlanjur terima uang muka dari yang mau nyewa, yang mau menempati kamar Mbak Neira. Jadi .... " Laila enggan meneruskan ucapannya.
"Iya Tante saya paham. Makasih ya Tante atas keringanannya, besok saya bereskan barang-barang saya, Tan."
"Ya sudah, saya permisi dulu ya." Laila meninggalkan Neira dan Prayoga dalam diam.
Kedua manusia itu membisu. Prayoga menghampar duduk di lantai begitu saja, tidak peduli pada lantai kotor pada teras kontrakan gadis itu.
"Kamu engga harus menolak bantuanku. Realistis aja, Nei. Gaji kamu engga akan cukup buat semua. Makan, kontrakan, transport. Kita bersama engga baru sebulan dua bulan, setahun dua tahun. Kita sama-sama sudah enam tahun, dan selama itu juga kamu engga pernah mau menerima bantuanku, apapun."
Gadis itu tetap membeku di tempatnya, dan diam seribu bahasa.
"Ya sudahlah," Prayoga bangkit berdiri, pemuda itu membuang napas kasar tak tahu lagi harus bagaimana. "Aku pulang." Ucapnya, lalu pergi begitu saja tanpa menoleh lagi ke arah Neira.
Setelah kepergian Yoga, Neira luruh ke lantai. Gadis itu menutup wajahnya dan mulai menangis.
"Bapak ... Apa yang harus Neira lakukan? Aku harus ke mana sekarang?"
_______________________________________FUNFACT : Aku betah lho lebih dari sebulan engga keluar kamar :)
Hujan deras mengguyur Jakarta sejak subuh tadi. Hingga saat sore menjelang, hujan itu tak kunjung reda.Prayoga duduk gelisah di ruang keluarga, ada rasa tidak nyaman di hatinya. Pikirannya tertuju pada Neira, entah firasat buruk atau hanya khawatir karena pertengkaran mereka kemarin malam."Kamu kenapa?" tanya Amanda, ibunya. Wanita itu sedang menonton televisi di sebelah Yoga."Kenapa memangnya, Mah?""Gelisah begitu." Ucap Amanda cuek, sembari memasukkan keripik kentang ke mulutnya."Enggak, Yoga biasa aja." Elaknya, tapi yang terlihat justru sebaliknya. Jari tangan kirinya sedari tadi mengetuk acak gagang sofa, sedangkan tangan kanannya sibuk memutar-mutar handphone. Matanya memang mengarah ke televisi, tapi Amanda tahu persis bahwa pikiran anaknya sedang tidak di sini.
Tangan Yoga bergetar hebat saat mengangkat tubuh kekasihnya. Dia linglung,melihat wajah Neira yang sudah memucat seperti mayat, bibir gadis itu sudah membiru.Terseok Prayoga membopong Neira ke mobil, meletakkan gadis itu di kursi belakang bersama Sulastri."Saya ... Saya, tidak sanggup menyetir." Ucapnya terbata, matanya nanar melihat tangannya yang bergetar hebat. Berkali-kali ia mengusap air mata. Ini pertama kali dalam hidupnya melihat langsung korban bunuh diri, apalagi orang tersebut adalah orang yang ia cintai."Biar saya aja yang menyetir, Mas. Saya supir taksi kok." Ucap salah seorang lelaki yang merupakan tetangga Neira. Prayoga hanya mengangguk pasrah, bergegas duduk di kursi depan.Awalnya, mereka membawa Neira ke klinik terdekat, tapi karena kondisi Neira yang kritis membuat Prayoga harus membawanya ke rumah
Tidak semua orang bersenang hati menerima kebaikan orang lain. Entah karena ego, malu, tersinggung, gengsi dan berbagai macam alasan lain. Termasuk Neira yang enggan menerima bantuan Prayoga.Butuh tenaga ekstra bagi Amanda meyakinkan Neira untuk bersedia tinggal bersamanya. Ini salah satu bentuk tukar guling dirinya dan Prayoga. Dan untungnya, setelah diskusi yang alot, gadis itu menyetujuinya. Dan Amanda sangat bersyukur akan hal itu.Tak dapat dipungkiri. Amanda, selalu gagal membujuk Prayoga untuk melanjutkan kuliahnya di Inggris, kelak saat ia lulus. Yoga selalu beralasan tidak ingin meninggalkan ibunya sendirian, tapi Amanda yakin bukan itu alasan sesungguhnya. Dan semua tebakan Amanda itu terjawab, saat malam tragedi bunuh diri Neira.Amanda masih sangat jelas mengingat peristiwa malam itu, saat Prayoga sendiri yang menawarkan diri untuk berangkat ke Inggri
Perlahan mata cantik itu mengerjap-ngerjap,menyesuaikan dengan cahaya yang masuk ke retina. Meski masih sedikit buram dan berbayang, tapi Neira mampu melihat ke sekitarnya. Hanya ada tirai-tirai putih yang mengelilingi tempat tidurnya, serta bau obat yang menyeruak masuk ke penciuman gadis itu.Kepalanya masih terasa sangat berat, tapi ia mencoba untuk bangun. Ranjang itu berderit karena tubuh Neira bergerak. Tak lama berselang, seorang perempuan berjas putih datang menyibak tirai di hadapannya."Sudah sadar?" tanya wanita itu lembut. Lalu mendekat ke arah Neira. "Masih pusing? Rebahan dulu ya, biar saya periksa lagi."Neira hanya menuruti apa yang dikatakan dokter perempuan itu."Saya di mana ya, Dok?""Di unit kesehatan kampus. Tadi kamu pingsan, jadi mahasiswa bawa kamu ke sini," ja
[Flashback sudah selesai. Part ini kembali di masa Neira sekarang *lihat kembali part 03*]Panas terik menyinari Jakarta siang ini, berkombinasi dengan macet dan polusi, membuat orang-orang menjadi cepat emosi dan tidak sabaran.Neira mengusap dahinya yang berkeringat dingin. Sebenarnya, tubuhnya sudah agak limbung, tapi wanita itu masih berusaha untuk bisa mengerjakan tugasnya."Lagi ramai, Nei. Tolong kerjanya lebih cepat ya!" seru salah satu rekan kerjanya yang lebih senior."Iya, Mbak." Hanya dua patah kata itu yang sanggup terlontar dari bibir tipisnya.Warung padang ini adalah tempat kerjanya yang ke sepuluh. Mulai dari menjadi jaga toko sepatu, penjaga warteg, dan bermacam-macam jenis pekerjaan yang lain, tak ada yang bertahan lebih dari satu hari. Kondisinya yang morning
Seseorang yang hidup sebatang kara seperti Neira, tidak punya tempat untuk tinggal, tidak punya keluarga untuk berbagi beban, bukanlah suatu yang mudah dijalani oleh semua orang. Jadi, jika saat ini ada satu keluarga yang bersedia menampung dirinya dengan penuh kehangatan, bolehkah Neira sebut mereka sebagai 'Rumah'?Dua bulan berada di rumah ini, membuat Neira merasa menemukan kembali hidupnya. Dia seolah bisa melihat harapan di depan sana, bahwa dia masih pantas untuk menikmati bahagia.Di saung belakang rumah inilah biasanya Neira menghabiskan waktunya bercengkrama dengan mak Oni. Wanita berusia lebih dari setengah abad, yang sudah mengabdi selama dua puluh tahun kepada keluarga Bagaskara. Dari mak Oni juga lah Neira tahu, bahwa Ratih adalah istri kedua Bagaskara, setelah istri pertamanya____Paramita____meninggal dunia."Siang-siang lagi ng
Malam telah larut, tapi Neira masih asik menikmati setumpuk buku tentang teori kesehatan. Duduk berdiam, fokus membaca lembar demi lembar buku-buku itu di meja makan keluarga.Mungkin cita-citanya untuk menjadi Dokter tidak bisa ia wujudkan saat ini, tapi bukan berarti dia menyerah menggali ilmu kesehatan. Bagi dirinya bertemu dengan Ratih adalah anugerah terbesar dalam kondisinya saat ini. Mendapat keluarga, tempat tinggal, dan segudang buku kesehatan milik Ratih yang notabene adalah seorang perawat."Sudah pukul sebelas, kamu enggak istirahat aja?" Ratih datang tiba-tiba dari ruang tamu, menepuk pundak Neira agar wanita hamil itu sadar akan kehadirannya."Dikit lagi selesai babnya, tanggung."Ratih menarik kursi di samping Neira. Duduk dan meraih buku di hadapannya. Melakukan hal yang sama seperti yang Neira l
Senandung yang tidak begitu merdu itu terdengar dari saung belakang rumah.Mendaki gunung, lewati lembah ....Sungai mengalir indah ke samudera .... Bersama teman bertualang .... 🎶🎶🎶Agra tergelak dari balik handuk yang membelit separuh wajahnya._____ Wanita dewasa macam apa yang lebih memilih menyanyikan lagu Ninja Hatori, dibandingkan lagu cinta?Jarak antara dirinya dan Neira tidak terlalu jauh. Agra yang berdiri mematung, mengamati Neira dari bawah pohon mangga. Sedangkan Neira, wanita itusibuk memisahkan baju yang akan disetrika mak Oni sesuai jenis bahan.Agra melangkahkan kakinya mendekat. Sejenak pria itu ragu, apa yang harus dia lakukan? Menyapa tanpa alasan? Meminta baju atau celana yang belum disetrika?____ Hai! Celana dan bajunya menumpuk satu lemari di kamar. Agra me