Malam telah larut, tapi Neira masih asik menikmati setumpuk buku tentang teori kesehatan. Duduk berdiam, fokus membaca lembar demi lembar buku-buku itu di meja makan keluarga.
Mungkin cita-citanya untuk menjadi Dokter tidak bisa ia wujudkan saat ini, tapi bukan berarti dia menyerah menggali ilmu kesehatan. Bagi dirinya bertemu dengan Ratih adalah anugerah terbesar dalam kondisinya saat ini. Mendapat keluarga, tempat tinggal, dan segudang buku kesehatan milik Ratih yang notabene adalah seorang perawat.
"Sudah pukul sebelas, kamu enggak istirahat aja?" Ratih datang tiba-tiba dari ruang tamu, menepuk pundak Neira agar wanita hamil itu sadar akan kehadirannya.
"Dikit lagi selesai babnya, tanggung."
Ratih menarik kursi di samping Neira. Duduk dan meraih buku di hadapannya. Melakukan hal yang sama seperti yang Neira l
Senandung yang tidak begitu merdu itu terdengar dari saung belakang rumah.Mendaki gunung, lewati lembah ....Sungai mengalir indah ke samudera .... Bersama teman bertualang .... 🎶🎶🎶Agra tergelak dari balik handuk yang membelit separuh wajahnya._____ Wanita dewasa macam apa yang lebih memilih menyanyikan lagu Ninja Hatori, dibandingkan lagu cinta?Jarak antara dirinya dan Neira tidak terlalu jauh. Agra yang berdiri mematung, mengamati Neira dari bawah pohon mangga. Sedangkan Neira, wanita itusibuk memisahkan baju yang akan disetrika mak Oni sesuai jenis bahan.Agra melangkahkan kakinya mendekat. Sejenak pria itu ragu, apa yang harus dia lakukan? Menyapa tanpa alasan? Meminta baju atau celana yang belum disetrika?____ Hai! Celana dan bajunya menumpuk satu lemari di kamar. Agra me
Satu minggu berlalu, tanpa seorang pun di rumah ini yang tahu bahwa sedang ada perang dingin antara Neira dan Agra. Dua manusia itu bagai kucing dan tikus yang sedang bermain petak umpet. Di mana ada Neira, di situlah Agra memainkan intimidasinya. Dan di sudut manapun Agra berada di rumah ini, sudut itulah yang paling dihindari oleh Neira. Rasanya, Tom and Jerry jauh lebih akur dibandingkan dua manusia beda jenis kelamin ini.Seperti malam ini, saat semua keluarga sedang berkumpul di ruang tengah. Layaknya hari lain setelah makan malam. Mak Oni menonton televisi bersama Ratih, lalu di sofa ada Bagaskara membaca majalah bisnis dan sejenisnya, yang sesekali menimpali obrolan istrinya dan mak Oni membahas tentang gosip ataupun sinetron yang mereka tonton. Neira akan selalu duduk di sofa tunggal berbentuk tangan di sudut ruangan, sibuk membaca buku-buku materi kesehatan yang membosankan bagi banyak orang. Agra, biasanya tidak tertarik u
Sejak peristiwa malam itu, Agra menghindari Neira. Jika pun keduanya bertemu, Agra memilih untuk diam dibandingkan mengintimidasi seperti biasanya. Tapi itu justru membuat Neira semakin ngeri dan bertanya-tanya, apa yang sebenarnya Agra rencanakan.Agra lebih sering memilih keluar rumah jika tidak harus berangkat ke kantor, bahkan beberapa kali tidak pulang. Neira tidak peduli pria itu pergi ke mana, hanya saja Neira tidak ingin itu semua tersangkut-paut dengan dirinya. Neira bisa melihat Agra adalah orang yang baik, tapi tidak bagi Neira.Berkutat dengan lamunan membuat Neira tanpa sadar kehilangan jejak Ratih. Saat ini dirinya memang sedang menemani Ratih berbelanja bulanan di swalayan. Neira menepuk jidatnya, swalayan yang sebesar ini dengan pengunjung yang begitu berjubel, bagaimana dia harus mencari jejak Ratih? Sungguh menyusahkan diri sendiri.N
"Aku ... Mau kita berakhir."Petir itu datang di pagi buta untuk Agra. What the hell! Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah mereka sedang merayakan hari jadi?Agra terdiam. Wajah bingung itu tidak bisa Agra sembunyikan. Hubungan mereka baik-baik saja. Tidak ada pertengkaran sebulan ini, bahkan semalam mereka masih beradu kehangatan di atas ranjang, dan sekarang wanita di hadapannya ini mengunginkan____ PUTUS? Setelahnya, Agra tertawa keras seperti orang gila."Ya ampun, Sayang. Becanda kamu itu enggak lucu. Sumpah deh, enggak kayak gini kalau mau ngerjain aku." Agra berkata masih dengan sisa-sisa tawanya."Aku mau menikah, Gra," lirih suara Larasati yang hampir ia telan sendiri.Tawa Agra terhenti. Menatap lurus ke arah Larasati.
Aroma petrichor menambah suasana sendu sore itu, mengiringi hati dua orang yang kini sedang berhadapan dengan wajah yang sama murung.Agra dan Neira. Duduk berhadapan dibatasi oleh meja kayu jati panjang di teras belakang. Neira menunduk, matanya kosong menatap secangkir teh dalam genggamannya.Lelaki itu, tiba-tiba saja mengajaknya berbicara empat mata. Neira tahu, ke arah mana pembicaraan mereka akan bermuara. Tak akan jauh dari pengusiran Agra atas kehadirannya di rumah ini."Saya akan menikah. Tentunya bukan dengan kamu, melainkan dengan seseorang yang sudah lama saya cintai. Saya harap kamu cukup tahu diri dan tahu apa yang harusnya kamu lakukan. Saya tidak mau semua jadi rumit hanya karena kamu ada dalam keluarga ini."Kalimat yang terdengar sangat terhormat. Namun, mencabik Neira bagai sampah menjijikkan
Bau cat menyeruak menusuk hidung, ketika Agra memasuki ruang apartemen. Sejenak, ia menatap lengang ruangan ini. Ruang demi ruang yang ia pugar untuk menyambut kedatangan Larasati kembali dalam hidupnya.Dulu, apartemen ini begitu monoton. Hanya ada warna brown, abu, hitam, dan putih. Begitu monokrom dan maskulin. Tapi kini, Agra sengaja merenovasinya agar sedikit lebih manis. Menambah beberapa interior yang sedikit feminim dan juga sentuhan warna-warna cerah.Perlahan, jemarinya menelusuri bantal sofa berbulu warna baby pink. Larasati sendiri yang memilihnya minggu lalu. Agra beranjak, berdiri tertegun di depan bufet besar warna putih tempat home teaternya diletakkan. Berjajar cantik frame foto mereka berdua. Matanya menjelajah pada vas bunga transparan di atas meja berisi setangkai mawar putih kesukaan Larasati, lalu pada hordeng mewah paduan warna putih,
Setiap orang memiliki titik balik dengan hidupnya. Begitupun dengan Neira. Ia tidak boleh terus seperti ini, hidup dengan masa depan yang tidak jelas.Neira memandang pantulan dirinya yang ada di cermin. Titik matanya fokus pada perutnya yang membuncit, ia tersenyum simpul. Sudah banyak yang ia korbankan. Dia ... Telah banyak kehilangan. Kini, jika ada hal yang harus dia korbankan lagi, itu adalah dirinya sendiri. Bukan anaknya. Satu-satunya hal yang harus ia lakukan, adalah mengambil apa yang seharusnya menjadi haknya. Selebur apapun nanti dirinya, ia____ tidak boleh menjadi satu-satunya orang yang tersakiti.Bingkai bibir merahnya mematri senyum penuh kebencian. Dagunya terangkat, tegas memandang pantulan wajahnya yang berada di cermin. Rambut bergelombangnya yang terbiasa terkuncir, kini tergerai indah. Polesan riasan yang selama ini menjadi momok bagi dirinya, mulai saat ini akan menjadi sahabat
Dalam langkah yang tenang dan anggun itu. Sungguh, hatinya sebenarnya remuk redam. "Bayi kamu." Kata yang keluar dari mulut Agra itu memang tidak salah, bayi dalam perutnya ini memang adalah bayinya. Tapi kata-kata itu benar-benar menyakiti hatinya. Kata sederhana untuk sebuah penolakan.Ia mendongak ke langit. Seolah apa yang ia lakukan itu mampu membendung air matanya yang hendak menetes. Hingga satu tarikan pada lengannya menyadarkan Neira, bahwa lelaki berengsek itu sekarang sudah ada di sampingnya.Agra, memojokkan Neira hingga punggung wanita itu membentur pintu mobil."Maksud kamu apa?" tanya Agra pelan, tapi dalam."Dari sisi mananya yang belum jelas?" Neira, tak ragu lagi untuk menatap lurus ke arah manik mata milik Agra."Saya mencoba peduli sama kamu. Dua kali saya beri kamu cek untuk melanjutkan hidup. Kamu menolak._____Sekarang, saya menawarkan kehidupan ya