Share

Kehilangan

"Darinya aku belajar mencintai dalam Isak tangis, perlahan mengikhlaskan meski aku tak tahu bagaimana cara bersabar ketika langit kembali roboh menghancurkan asa dan karsa."

Dersik membelai wajah Haziya, saat tapaknya menginjak lantai pertama masjid berbahan granit itu setelah menaiki tangga, dia langsung merasakan kesejukan dan ketenangan. Angin berdesir dari celah jendela kaca, semakin masuk ke dalam masjid yang mempunyai dua lantai ini hawa menetramkan begitu terasa. 

Masjid berkubah biru yang dinamakan Masjid At Taqarrub tidak pernah sepi, letaknya di kawasan pertokoan ramai disinggahi oleh para jamaah yang ingin salat dan tampak anak-anak juga berada di sebelah kanan masjid. Mereka sedang mengaji rutin setiap sore. Selain terdapat Pendidikan Anak Usia Dini, di masjid yang dulunya terkenal nama Masjid Phep juga memiliki fasilitas perpustakaan, ruang Bilal, ruang Imam dan juga ruang rapat, serta kantor sekretariat. Tempat wuzu wanita dan pria pun dipisah. 

Haziya segera berdiri di shaf untuk menjalankan ibadah setelah memakai mukena. Beberapa perempuan di sebelahnya juga mulai menyejajarkan shaf ketika Teungku Imam menyelesaikan Iqamah. Di barisan shaf laki-laki, Shabir juga sedang melakukan salat Asar. Keduanya sengaja menunggu azan ketika melewati Masjid  di Trienggadeng ini ketika perjalanan pulang dari Bireuen.

Sudah tiga hari Haziya menginap di rumah saudara Shabir karena ada acara kenduri walimah. Sebenarnya, niat Haziya hanya ingin menghadiri di hari pesta saja karena jarak lumayan jauh menaiki sepeda motor, ditambah kondisinya kini sudah berbeda. Memasuki usia kehamilan delapan minggu Haziya merasakan perubahan. Pusing dan mual tiap pagi, mood yang naik turun dan cepat emosian. 

"Jangan beralasan, perutmu masih belum buncit. Jangan malu-maluin keluargaku, kalau kamu nggak pergi jangan pernah mengundang kami saat ada kenduri di rumahmu." 

"Bantu-bantu mereka masak, berberes. Lakuin apa yang kamu bisa, jangan beralasan mual terus." 

Haziya tidak bisa lagi menolak, mesti sudah diberikan alasan perutnya agak nyeri. Namun, mertuanya mengira dia bersandiwara. Alhasil, sehari sebelum pesta dia sudah sampai di rumah sepupu Shabir, memaksakan diri memasak dan membantu tuan rumah. Bahkan sehari setelah pesta pun dia masih harus membantu bersih-bersih. Bu Karni dan Lathifah serta suaminya sudah pulang sore kemarin dengan alasan Lathifah tidak bisa meninggalkan anaknya yang masih SD terlalu lama dengan mertua.

"Kita makan dulu, Dek?" tawar Shabir ketika keduanya baru saja keluar tempat parkir. 

"Abang lapar? Boleh, di warung dekat sini saja." 

"Wajahmu keliatan pucat, kita istirahat saja dulu. Pinggangnya masih sakit?" Shabir mengelus pinggang Haziya yang terbalut rok abu-abu. Tadi Haziya sempat mengeluh pinggangnya kerasa kram, makanya mereka beberapa kali singgah sebentar, tidak memaksakan perjalanan pulang. 

"Besok kalau ada acara gini kita naik mobil saja."

"Tapi Bang, ongkosnya, kan, mahal kata Ibu," sahut Haziya terlihat raut wajah sedih ketika mengingat omongan Bu Karni malam sebelum mereka pergi. Haziya sudah mencoba meminta izin bepergian dengan bus atau L300 saja, tetapi Bu Karni melarang. Katanya lebih hemat berkendara dengan sepeda motor. Shabir tidak bisa membantah, karena jika tidak menuruti perkataan Sang Ibu dia terus-menerus diomeli.

***
Arunika tampak terang, setelah membereskan kamar Haziya segera ke dapur. Kemarin Shabir sudah membeli bahan-bahan masak, jadi dia tidak perlu ke pasar lagi sekarang. Suaminya masih mandi, sengaja dia tidak mencuci pakaian dulu biar setelah suami rapi, makanan bisa langsung dihidangkan.

"Ziya, buatin bekal untuk Aca, ya, aku nggak sempat masak. Ini Riko rewel mulu sejak malam, aku bangunnya kesiangan, mana beras sudah abis. Tadi ibu bilang ke sini aja, soalnya kemarin Shabir beli banyak lauk." 

Haziya tercegang di depan meja makan yang barusan ditatanya dengan beberapa menu. Mulai dari tempe disambelin, telur dadar, kuah sop ayam, dan ikan untuk menambah nutrisi bagi janinnya. Lathifah mencomot tanpa menunggu persetujuan, perempuan yang datang tiba-tiba tanpa memberi salam itu langsung mengambil beberapa potongan tempe dan ikan untuk ditaruh ke kotak bekal. 

"Aca suka sop ayam, ada plastik?" Haziya sampai harus bergeser ketika Lathifah nyolong ke dapur, beruntung dia tidak terpeleset karena dorongan kakak iparnya, tangannya berhasil memegang pada sudut kursi. 

"Maaf ya, aku buru-buru!" pamit Lathifah setelah menjinjing bekal. Haziya menghela napas kasar, percuma jika dia melarang Lathifah agar tidak mengambil banyak. Bukannya tidak ikhlas, memang masih ada paha ayam untuk dibikin sop dan satu papan tempe lagi, tetapi memasak ulang sedikit keberatan mengingat waktu sudah hampir jam delapan. 

Shabir masuk ke dapur, wajahnya sudah bersih dan pakaiannya begitu rapi. Meski hanya berdagang di toko bangunan, Shabir selalu memperhatikan penampilan. 

"Kenapa, Dek? Perasaan Abang dengar suara Kak Lathif?" Shabir menarik bangku, mencium aroma wangi yang mengundang selera.

"Iya, tadi ke sini ngambil--"

"Ikhlaskan saja, nanti Abang beli banyak. Sini duduk dekat Abang." Shabir mengenggam tangan Haziya, lalu menuntunnya untuk duduk di kursi yang sudah ditariknya.

"Apa mau Abang suapin?"

"Abang makan saja, jangan telat nanti." Haziya tidak mau Bu Karni menuduhnya lagi yang sengaja menahan Shabir untuk terlambat berjualan hanya karena pagi selumbari dia muntah banyak sehingga Shabir menunggunya baikan dulu. 

"Bang, ini 'kan mau sembilan minggu apa kita USG lagi, soalnya ...."

"Nggak usah USG segala, mau kasih makan apa anakmu nanti kalau kamu nggak bisa nabung?"

"Bukan gitu, Bu, nggak apa-apa USG gratis kok. Besok pagi--"

"Mau kamu pagi dia nggak berjualan? Harus antri di rumah sakit, toko tutup?" 

Haziya menunduk, dia serba salah jadinya. 

"Bu, jangan marah-marah, ayo makan dulu!" Shabir menengahi keduanya. "Gimana kalau besok ibu yang temenin mereka?" 

Haziya terdiam menunggu jawaban Bu Karni, bagaimanapun mau dia tolak akan tetap sama saja. 

"Baiklah, besok aku temani." 

Shabir mengulas senyum seraya mengelus telapak tangan istrinya. "Abang, pergi dulu ya, kamu hati-hati di rumah."

"Baik, Bang. Hati-hati di jalan." Haziya mengantar Shabir hingga ke teras tanpa lupa mengecup tangan suaminya. 

"Nggak usah lama-lama di sana, cepet beresin meja makan. Cuci piring, aku nggak mau punya cucu nanti malas kek ibunya!" hardik Bu Karni berkacak pinggang. 

"Baik, Bu." 

***

Haziya menatap dirinya di cermin, polesan bedak bayi yang dipakai dan sedikit lipstik. Penampilan Haziya selalu sederhana, dia tidak menuntut Shabir membeli alat perawatan mahal. Dulu pernah beli skincare sekali, tetapi ketahuan Bu Karni. Setelah mendapat teguran karena dicap menghamburkan uang Haziya tidak lagi memaksa keadaan. 

Bu Karni juga sudah bersiap menemaninya ke rumah sakit terdekat untuk USG. Mereka sengaja pergi pukul tujuh agar tidak telat mengambil nomor antrian. Shabir sudah ke toko lima menit lalu. Haziya membonceng Bu Karni. 

"Sudah nomor berapa?" tanya Bu Karni merasa gerah sudah terlalu lama menunggu. "Sejam lebih kita duduk di sini, coba tanya kita kapan dipanggil?"

"Satu nomor lagi, Bu. Kan barusan sudah Ziya tanya." Haziya menyembunyikan rasa malu ditatap oleh pasangan suami istri di bangku penunggu, karena dia beberapa kali bangkit dan menghampiri perawat untuk bertanya.

"Bu, Haziya!" 

Keduanya langsung berdiri ketika perawat memanggil dari pintu depan ruangan.

"Coba kita periksa dari bawah ya?" Izin Pak Dokter ingin memastikan pemerikasaan barusan. Haziya hanya bisa mengangguk, ketika tadi alat transduser diletakkan di perut, dokter tidak mengatakan apa-apa. Hatinya tiada henti berdoa agar janin yang dia kandung baik-baik saja.

"Bagaimana, dok?" tanya Haziya setelah dipersilakan duduk. 

"Apa cucuku baik-baik saja, dok?" Haziya tertegun, melirik mertua yang tampak serius bertanya. Meski Bu Karni sering galak kepadanya, ternyata dia peduli untuk cucu yang masih di dalam rahimnya. Haziya berharap bisa menjalin hubungan  baik dengan sang mertua. 

"Maaf, Bu, janin tidak berkembang. Mohon bersabar ya, Bu." 

Langit biru milik Haziya seketika runtuh, gerimis hujan berdesakan pada mata beningnya. 

"Nggak mungkin, dok. Semalam dia masih gerak, kok." 

Haziya masih tidak percaya akan kehilangan secepat ini. Belum sempat dia menikmati pelangi usai hujan reda, kini badai kembali menjatuhkan asa dan karsanya. 

Apakah untuk bahagia memang sesulit ini? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status