Share

Kuat?

Author: ZB
last update Huling Na-update: 2021-04-29 06:01:17
"Perempuan bisa tegar sambil  tersenyum padahal hatinya bergetar isakan getir yang disembunyikan. Sandaran pundak membuatnya kuat, dengarkan keluh kesahnya dan berikan kenyamanan agar dukanya tidak semakin melebar."

"Bang, aku takut!" bisik Haziya ketika dia hendak dibawa menuju ruang operasi untuk dikuret. Meski sudah dijelaskan berulang kali oleh dokter yang menanganinya, proses kuret hanya beberapa menit  dan Haziya akan diinfus sehingga tidak akan merasakan sakit. Namun, dia tetap saja diselimuti rasa takut. Ditambah emosional duka menerima kenyataan bahwa harus kehilangan bayi yang dinantinya lahir ke dunia beberapa bulan ke depan. Bahkan sebelum mereka tahu jenis kelamin sang janin. 

"Baca doa terus, Sayang. Abang, Mak dan ayah di luar bakal terus berdoa juga untukmu. Tenang, ya, insya Allah semua lancar dan dimudahkan." 

Shabir mengenggam tangan Haziya, mengelus pundak dengan lembut dan mengecup kepala sebelum mendorong kursi roda memasuki ruangan ICU. Di dalam dokter dan perawat sudah menunggu.�� 

***

"Sudah kubilang suruh ibumu bawa bantal dan tikar biar nggak usah beli lagi. Ini buang-buang duit saja." Omelan Bu Karni mengundang pening. Baru setengah jam yang lalu dia tersadar dari tidur sementara akibat obat bius. 

"Bu, dokter bilang tadi nggak perlu nginap makanya aku nggak suruh mereka bawain bantal. Mereka juga buru-buru langsung ke sini karena panik." Haziya menjelaskan agar tidak ada salah paham, tetapi Bu Karni masih saja mencak-mencak. 

"Sudah tahu anaknya di rumah sakit, jadi mertua sama saja dengan anak, melorotin uang mantunya."

"Astagfirullah, Bu, jangan berkata begitu." Kepala Haziya semakin pusing, ke mana Shabir dan kedua orang tuanya. Tadi ayah dan ibu meminta izin untuk ke kantin, sedangkan Shabir ingin mengurus beberapa hal setelah dipanggil oleh perawat. Haziya berharap salah satu dari mereka balik cepat supaya Bu Karni berhenti mengoceh. 

Drttt! 

Haziya segera mengambil ponsel di atas nakas, mengangkat panggilan yang sudah menyelamatkannya dari gerundel ibu mertua.

"Waalaikumsalam. Alhamdulillah baik, Azizah. Iya, ini masih di rumah sakit."

"Kamar berapa, Ziya? Ini aku sama Miska ke sana. Kamu mau dibawain apa? Buah-buahan?" 

"Nggak usah bawa apa-apa, nggak perlu repot. Iya, hati-hati, ya. Kamar Sakinah, nanti telepon saja biar Abang Shabir nunggu kalian di depan pintu."

"Oke, Ziya. Kami berangkat dulu. Wassalamu'alaikum," tutup Azizah di seberang.

"Waalaikumsalam."

Haziya bersyukur memiliki sahabat yang begitu peduli padanya, meski kuliah sudah setahun selesai, tetapi persahabatan mereka masih langgeng hingga sekarang. Kedua temannya belum menikah, mereka sering ke rumah untuk bersilaturahmi. Kadang juga ketiganya berpergian untuk sekadar jalan-jalan atau ke rumah makan, serta liburan. Haziya tidak dikekang oleh Shabir, lelaki itu penuh pengertian memberinya izin karena memaklumi kebosanan Haziya di rumah sendirian. 

Sejak menetap satu desa dengan Bu Karni dia hanya seminggu pernah menemani Shabir berjualan. Setelah dituduh oleh mertuanya suka mengambil uang, dan sampai sekarang Haziya dilarang untuk ke toko. Dia tidak mempermasalahkan, biarlah Shabir mencari nafkah dengan tenang, tanpa harus melihat dan mendengar pertengkaran dirinya dengan ibu. 
  
Shabir masuk ruangan sembari menenteng plastik. Dia berjalan ke samping Haziya, setelah bertanya keadaan istri dia langsung menaruh bawaannya berisi obat-obatan dan secarik kertas resep yang barusan ditebus di apotik untuk dibawa pulang. Besok pagi Haziya sudah diperbolehkan meninggalkan ruangan kalau tidak ada keluhan. 

Haziya bersyukur tidak harus berlama-lama di sini, perkataan Bu Karni sesaat sebelum Shabir masuk begitu menusuk. 

"Nggak usah manja, mau kamu Shabir nggak buka toko besok? Biaya inap di rumah sakit emang gratis, tapi buat beli makanan keluargamu itu merogoh uang anakku."

"Bu, mereka sudah menolak nggak ambil tadi, tapi Shabir yang maksa kasih," bela Haziya tidak terima orang tuanya dikatain yang bukan-bukan.

Haziya memejamkan mata untuk kembali istirahat. Begitu susah untuk terlelap, bayangan janin yang telah tiada kembali mengusik ketenangan. Meski sudah ditahan untuk tidak terisak, deburan ombak di ujung mata telah meronta. Ibu mana yang siap ikhlas berpisah dengan anaknya? Apalagi setelah penantian. Di mana letak keikhlasan melupakan ketika tiap saat dirinya selalu mengingat? 

"Sabar, ikhlaskan, Allah nggak akan memberi kesedihan tanpa kebahagiaan. Insya Allah dia bisa jadi tabungan akhirat untuk kalian berdua nanti." Nasihat Bu Laela sedikit menetramkan gemuruh yang pasang surut. 

***

Hampir dua Minggu Haziya kembali ke rumah ibu untuk proses penyembuhan. Selama di sana, dia begitu dimanjakan oleh orang tua. Rasa rindu yang begitu memuncak kala berjauhan dengan ibu dan ayah kini terobati sudah. Haziya hanya diperbolehkan melakukan kegiatan ringan, dan dilarang mengerjakan tugas rumah. 

Shabir tiga hari sekali menjenguk dan tidur di rumah mertua yang terletak di Asan Nicah itu, karena paginya dia harus buka toko pagi, pulang jam sembilan malam dan segera pulang ke rumah istri. 

"Makin gendut kamu, ya, kerjaannya pasti rebahan mulu."

"Alhamdulillah, Bu, aku mulai pulih kembali."

"Iyalah, nggak ngapa-ngapain di rumah sana makanya minta pulang. Anak manja," sinis Bu Karni seraya memasukkan buah-buahan yang dibeli oleh Bu Laela. 

Haziya tidak ingin meladeni, dia memilih ke ruang TV untuk menonton. Shabir sudah berangkat ke toko. 

"Tagihan listrik tinggi sukanya nonton terus!"

Allahu Akbar, mertuanya cocok duet sama ibu mertua di sinetron ikan terbang yang barusan ditontonnya sekilas sebelum iklan. Padahal Haziya tadi sudah mencuci piring setelah mereka makan, bahkan piring bekas Lathifah bersama kedua anaknya pun dicuci. Seharusnya mereka mengerti dan  berbelas kasihan akan kondisinya belum sepenuhnya stabil. Namun, bukannya ikut membantu Haziya malah menambah beban. 

"Iya, ibu mertuaku sayang. Ini aku matiin televisinya, ya," ujar Haziya gemas dan memilih mengalah saja. Dia masuk ke kamar mandi untuk memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci yang baru dibeli oleh Shabir. Jangan tanya berapa lama ocehan Bu Karni kepadanya ketuka tahu mesin warna putih abu-abu itu dibawa pulang oleh Shabir. 

"Buka jasa laundry saja biar balik modal. Uang jajan dia juga dipotong, cicilan seharga mesin harus balik sebelum bulan depan."

Sabarkan hati Haziya ketika kembali mengingat Bu Karni memerintahkan itu kepada anaknya tadi pagi. Haziya semakin bersedih ketika Shabir mengiyakan, padahal dia tidak memaksa suaminya itu untuk membeli. Kemarin ketika dia diantarkan oleh ayahnya ke sini, mesin cuci sudah ada di kamar mandi. Memang dulu pernah mengusulkan agar Shabir membelinya mesin cuci, tetapi ketika Shabir menyuruhnya bersabar dulu karena keuangan mereka belum begitu stabil, toko juga baru beberapa bulan buka, Haziya tidak lagi menyinggung perihal itu.

Haziya sebenarnya bisa merasakan perbedaan sikap yang ditunjukkan oleh Shabir kepadanya. Lelaki itu bahkan tidak membela dia ketika tadi pagi dimarahi Bu Karni karena bangun sedikit kesiangan, setelah salat subuh dia tertidur lagi efek gampang lelah melakukan perjalanan hampir sejam dari rumah ibunya,  sehingga makanan belum disajikan di atas meja makan. Seharusnya Shabir bisa mengerti, untuk hari ini saja mereka bisa membeli nasi di warung depan. Ah, sudahlah, suaminya memang jarang membela, kebanyakan hanya mengiyakan dan menuruti kemauan Bu Karni. 

"Jangan tiduran menunggu baju diperas, sana ke halaman belakang sudah mirip hutan saja!" teriak Bu Karni dari ruang televisi sedang menonton sinetron perkumpulan mertua diktator. 

"Latihan memerani tokohnya agar menjiwai para mertua penindas menantu," gerutu Haziya dalam hati seraya beranjak dari ranjang. Selama tidak di rumah ini, sampah tergeletak sembarang, begitu juga rumput liar mengotori perkarangan. Dia sendirian harus membersihkannya tanpa dibantu oleh mertua yang keasyikan sedang tertawa terbahak karena sinetron yang ditontonnya. 

"Kumenangis ... membayangkan ...." Soundtrack lagu dari sinetron tersebut mengiringi langkah Haziya menuju halaman belakang rumah. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)Ā Ā Ā Perpisahan Zaweel dan Haziya

    Miska menyiapkan segala keperluan untuk acara syukuran nanti malam di rumahnya. Sebagai seorang sahabat, dia senang akhirnya Haziya secara resmi berpisah dengan Shabir. Bahkan dia berencana untuk memperkenalkan Haziya dengan temannya yang masih single, nanti jika Haziya sudah terlihat lebih baik dan mulai membuka hati kembali.Namun, sebenarnya dia lebih suka jika Zaweel yang menjadi lelaki hebat untuk Haziya. Meskipun sikap Zaweel terkesan suka humoris, tetapi dia yakin jika Zaweel bisa melindungi sahabatnya dari gangguan mantan suami Haziya, apalagi dari tekanan Bu Karni, dan lain-lain.Miska sedikit tahu tentang perjodohan Zaweel dengan Safia, walaupun belum ada keputusan lebih lanjut. Monika pasti akan merencanakan perjodohan itu berjalan sesuai harapan mereka. Sekar dan Monika sudah bersahabat dan saling mengenal, serta keluarga mereka juga menjalin bisnis. Tentu saja bersatunya Zaweel dan Safia akan semakin meningkatkan hubungan persahabatan mereka.&n

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)Ā Ā Ā Keputusan Pengadilan

    Miska akan menginap di rumah Haziya malam ini, karena dia ingin menemani sahabatnya, serta akan ikut ke pengadilan besok. Sedangkan Zaweel sudah berpamitan sejak memasuki waktu ashar, dia shalat berjamaah di masjid terdekat bersama ayah Haziya. "Makasih ya Nak, kamu mau membantu putriku." "Sama-sama, Pak. Insya Allah besok kita pasti bisa menyudahi semua perkara ini." "Aamiin." "Kamu bakal balik ke Jakarta lagi setelah ini?" tanya Ayah Haziya ketika mereka menuju parkiran Masjid. "Iya, Pak, masih ada kerjaan di Jakarta," jawab Zaweel, dia juga enggan cepat balik ke kota karena merasa nyaman di sini. Namun, statusnya masih sebagai pengacara, dia harus profesional dan kembali melanjutkan profesinya. Ditambah perusahaan papanya yang juga membutuhkan dirinya. Meskipun dia tidak lagi bekerja di bidang pembela klien, Monika tidak akan membiarkannya menetap di Aceh. Zaweel harus menjadi penerus sang papa. "Semoga saja

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)Ā Ā Ā Zaweel Menepati Janjinya

    Haziya bersiap untuk ke rumah bimbingan belajar, dia akan mulai mengajar lagi hari ini. Miska menghubunginya ketika dia hendak ke Sigli."Assalamualaikum, kamu baik-baik saja, kan?" Miska terdengar khawatir di seberang. "Kenapa baru aktif nomornya?""Waalaikumsalam, Alhamdulillah baik-baik saja Miska. Maaf semalam lupa aktifkan ponsel," jawab Haziya jujur."Ada apa? Dia mencoba menghubungi kamu lagi makanya kamu harus matiin HP?"Tebakan Miska tepat sasaran, Haziya membenarkan karena dia tidak akan bisa membohongi sahabatnya yang sudah terlalu pandai membaca dirinya."Lelaki pecundang. Dia pasti mencoba menggelabui kamu lagi, pura-pura menyesal dan minta balikan padahal sudah punya istri baru. Ckck!" gerutu Miska kesal dengan sikap tak berpendirian Shabir."Masih banyak lelaki lain, jangan sampai kamu masuk ke lubang yang sama. Biarkan dia bersama Tante itu, nanti yang ada kamu malah dituduh sama Tante itu merebut sua

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)Ā Ā Ā Larangan Ayah Haziya

    Bu Laela berdiri di depan kompor, suasana hatinya berubah tidak karuan disebabkan kedatangan tamu tadi. Bahkan tadi dia sangat bersemangat untuk memasak rebung kala merah."Bu, biar aku saja yang masak. Ibu istirahat saja ke kamar!" saran Haziya meminta Bu Laela untuk tidak memaksakan diri memasak dalam keadaan tidak konsentrasi."Enggak apa-apa, Ibu bisa lanjutin. Kamu datang?" tanya Bu Laela seraya membuka penutup panci, memasukkan bumbu yang sudah dihaluskan untuk merebus ayam."Sekarang aku kembali harus dapat izin dari ayah dan ibu kalau mau ke mana saja, Bu. Jadi, aku bakal patuhi semua kata Ibu. Ibu jangan resah, aku enggak bakal datang tanpa izin dari kalian." Haziya tersenyum hangat memberikan ketenangan pada perempuan yang begitu disayanginya itu."Assalamualaikum, Bu!" Ayah Haziya masuk tergesa-gesa setelah mengucapkan salam. Dia langsung menuju dapur karena mencium aroma harum dari masakan yang sedang dimasak."Waalaikumsala

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)Ā Ā Ā Bu Karni Mengundang Haziya

    Bu Karni memandang mereka dengan senyum menyeringai, begitu juga dengan Vina di sebelahnya.Mengapa mereka datang ke sini?Suami Bu Laela sedang di luar, sedangkan Adil masih kecil tidak mungkin bisa kuat mengusir keduanya dari rumah. Bu Laela sendiri tidak mau membuat keributan yang menarik perhatian dari tetangga jika dia mengusir mereka."Ada apa?" ketus Bu Laela di tempatnya."Bu, kita duduk dulu yuk!" ajak Haziya. Dia bisa memahami ketidaksukaan Ibunya pada kehadiran Bu Karni, mantan besannya setelah perlakuan mereka terhadap Haziya selama ini. Namun, bagaimanapun mereka harus menghormati dan menghargai tamu."Ibu, sebentar ya aku ambilkan minum," tawar Haziya seraya membuat air untuk Bu Karni juga Vina. Sebagai tuan rumah dia harus menyajikan setidaknya minuman pada mereka, meskipun tamu tak diundang.&nbs

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)Ā Ā Ā Tamu Tak Diundang

    Lidya terpaksa harus kembali ke Lhokseumawe lagi sehari setelahnya. Haziya tidak ingin adiknya ketinggalan mata kuliah. Dia juga tidak mempermasalahkan jika Lidya tidak bisa hadir di persidangan keputusan nanti."Doakan saja Kakak, Dik. Kamu belajar yang rajin di sana, ya," pesan Haziya sebelum Lidya berangkat ke Lhokseumawe."Iya, Kak. Kabarin aku ya perkembangannya. Semoga dimudahkan dan Kakak bisa memulai hidup bahagia dengan baik.""Aamiin."Haziya memasukkan baju-baju ke dalam lemari setelah menyetrikanya. Dia berniat untuk istirahat sebentar sebelum masuk waktu shalat ashar.Namun, baru saja dia memejamkan mata, ponsel di atas nakas berdering yang menunjukkan nomor tak dikenal. Dia ragu mengangkatnya, karena khawatir jika panggilan tersebut dari Shabir, atau Vina.Haziya tidak mengangkatnya, tetapi penelepon tidak putus asa meskipun telah diabaikan hingga ke dua kali. Pada panggilan ke tiga

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status