Share

Bukti Cinta

Penulis: ZB
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-29 06:00:34
"Hujan yang pernah bertandang mulai reda. Bunga-bunga cinta yang kamu semi, mulai mekar.  Kuharap kasih sayangmu jangan pernah memudar."

Haziya tidak bisa lagi menahan ombak dalam dada, sejak tadi gemuruh  sudah bertalu-talu. Perut bawahnya diolesi gel oleh perawat, dilanjutkan penempelan alat transduser USG oleh dokter hingga matanya basah ketika melihat layar di pojok dinding atas. Meski masih belum tampak jelas, bahkan hanya ada bulatan kecil, dia sendiri tidak tahu apa itu jika dokter tidak segera menjelaskan. 

"Lingkaran kecil seperti biji kacang ini namanya embrio, Bu. Memang masih sangat kecil karena kandungan Ibu baru memasuki empat Minggu. Sebelumnya, selamat Ibu sedang hamil." Haziya membalas ucapan dokter dengan seulas senyum, dia masih begitu haru melihat pemandangan di depan, Shabir yang menggantikannya dengan kata-kata.

"Terima kasih, Pak. Ini anak pertama kami setelah penantian. Alhamdulillah." 

Haziya semakin terisak dalam diam, menahan suara karena mengingat di ruangan ini bukan hanya ada dia dan suaminya saja. Melihat wajah Shabir juga merona penuh kebahagiaan seperti dirinya, Haziya semakin diselimuti rasa sukacita. Bukan hanya dia saja yang senang dengan kabar ini, tetapi Shabir pun sama. Mereka akan menjadi orang tua sebentar lagi.

Haziya turun dari ranjang dibantu oleh Shabir yang memegang tangannya, lalu keduanya dipersilakan duduk di kursi. Dokter sekali lagi mengucapkan selamat kepada mereka. Kemudian menyodorkan buku kehamilan.

"Jaga kesehatan Ibu, jangan angkat yang berat-berat dulu. Jangan begadang, jangan suka bersedih juga karena bakal ngaruh ke janin. Bapak bantu Ibu selalu bahagia ya, biar anak kalian juga bahagia."

"Iya, Dokter." Shabir semakin mengeratkan genggamannya pada Haziya. Sebenarnya sejak masuk ke ruang pemeriksaan ini dia sudah begitu gemetaran. Usianya memang sudah dua puluh sembilan, sudah terbilang dewasa dan singgap untuk menjadi seorang ayah. Namun, tak bisa disembunyikan rasa campur aduk yang dirundungnya. 

"Makanan pedas jangan dimakan dulu karena bisa menyebabkan mencret bagi ibunya, nanti takutnya karena sering mencret dia sering ke toilet dan hidrasi. Kopi juga jangan banyak mengonsumsinya. Makan makanan yang bergizi. Ada yang mau ditanyakan lagi?" 

Haziya melirik Shabir, keduanya menggeleng. Dokter mengambil hasil USG dan buku kehamilan lalu menyerahkannya pada Shabir.

"Terima kasih, Dok."

"Sama-sama, semoga Ibu dan anak sehat selalu."

"Aamiin."

"Mari, Pak, Bu, saya antar keluar, nanti Ibu tunggu namanya dipanggil ya untuk mengambil obat," papar 
Perawat menuntun keduanya ke ruangan sebelah.

"Terima kasih." 

Shabir bangkit dari kursi penunggu ketika nama Haziya disebutkan oleh perawat dalam loker apotik. Dia menebus sekantong obat seharga empat ratus ribu.

"Ini vitaminnya diminum dua kali sehari ya, Pak."

"Baik, terima kasih." 

Haziya ikut bangkit dan menghampiri Shabir ketika suaminya berbalik berjalan ke arahnya.

"Berapaan, Bang?" tanyanya setengah berbisik.

"Empat ratus ribu," jawab Shabir. "Ini 'kan demi anakku, jadi nggak apa-apa ayahnya keluarin duit segitu kok, kamu tenang saja. Doain Abang moga mudah rezeki."

Shabir segera menggandeng tangan Haziya, wajah istrinya tampak menyesal karena meminta datang ke rumah sakit untuk USG tanpa menggunakan BPJS sehingga Shabir harus merogek dompetnya sebanyak itu. 

"Lagian kalau kita datang USG gratis 'kan waktu Abang dan kamu juga terbuang banyak untuk antri, kamu juga nanti capek. Ini juga pertama, kamu nggak perlu merasa bersalah gitu." Shabir mengatakan kalimat indah yang didengar oleh telinga Haziya ketika perempuan berjilbab cokelat muda itu mengucapkan maaf berulang kali.

"Makasih ya, Bang." 

Shabir mengangguk, kemudian dia membantu Haziya memakaikan helm.

***

"Darimana kalian, jam segini baru pulang?" 

Bu Karni berkacak pinggang menyambut kepulangan Shabir dan Haziya. Bukannya menjawab salam dari mereka, wanita berkacamata itu malah melontarkan pertanyaan dengan wajah sangar. 

"Keluyuran aja terus, mentang-mentang lagi hamil maunya dimanjain," cecar Lathifah mendadak muncul dari arah dapur, sebelah tangannya menenteng plastik berisi buah-buahan yang dia ambil dari kulkas. 

Siang tadi ibunya Haziya sengaja menyuruh adik Haziya  mengantarkan beberapa jenis buah untuk dikonsumsi, karena baik untuk janin yang sedang dikandung oleh Haziya. Bahkan Haziya baru memakan satu buah apel, meski begitu dia tidak melarang kakak iparnya itu untuk membawa pulang semua buah-buahan miliknya. Badan Haziya agak lelah terkena angin malam, dia tidak ingin berdebat dengan Lathifah, percuma buang-buang tenaga saja. Bu Karni pasti akan semakin berang, menganggapnya pelit tidak mau berbagi.

"Kami pulang dari rumah sakit, Bu, tadi USG--"

"Berapa biaya USG?" Bu Karni memotong ucapan Shabir. "Suka sekali menghamburkan uang, kenapa nggak cek  yang gratis saja? Belum lahir anak saja sudah boros begini."

"Bu, jangan ngomong begitu," tegur Shabir, tetapi dihiraukan oleh ibunya.

"Kamu cuma tiduran di rumah, kerja nggak. Percuma kuliah tapi nggak jadi guru. Sekarang, kerjaannya cuma melorotin anakku saja," cibir Bu Karni tidak memberi kesempatan bagi Haziya untuk mengatakan sepatah kata pun. 

"Lihat dua anakku, mereka baik-baik saja, nggak pernah USG juga."

"Sudah, Bu. Ini aku bawain nasi goreng kesukaan Ibu." Shabir membawa ibunya ke meja makan.

Haziya merasakan pusing luar biasa mendengar omelan mertuanya, bahkan dia memaksakan untuk tetap menyunggingkan seulas senyum sebelum semuanya benar-benar gelap. Mata Haziya terpejam akibat kelelahan dan beban pikiran, akhirnya dia tumbang. Bersyukur, Shabir berhasil mendekap tubuh lemah Haziya yang tidak sadarkan diri. 

“Alah, pura-pura pingsan lagi, aku nggak akan tertipu dengan aktingmu.” 

Shabir segera menggendong Haziya ke kamar, Bu Karni semakin naik pitam. 

“Bu, Ibu tunggu di luar saja, ya?” Pintu terkunci dari dalam, Shabir tidak ingin ibunya memarahi Haziya bahkan di saat istrinya sedang pingsan, tetapi ibunya tidak berbelas kasihan. 

"Buka pintunya, suruh istrimu setrika baju menumpuk. Jangan malasan, sudah pinter akting saja, sekalian ikut syuting sinetron Curhatan Istri di Indosiar." Bu Karni mengetuk pintu disertai ocehan. 

Shabir menyelimuti Haziya dari kaki hingga badan. Setelah menunggu tidak ada lagi suara gedoran pintu, dia langsung keluar. Ibu dan kakaknya masih di dapur dengan wajah cemberut.

"Lihat istrimu kulkas kosong begini padahal kemarin aku lihat masih ada dimsum. Pasti dia sengaja menghabiskan karena tahu aku ke sini. Dasar pelit."

"Buah-buahan belum cukup, Kak?"

"Bu, lihat, kan, dia jadi pelit juga, ikuta istrinya," adu Lhatifah.

"Mulai besok uang kedai biar ibu yang bawa pulang, kamu jadi boros. Ibu nggak suka."

"Tapi, Bu--"

"Tidak ada tapi-tapi, kamu nggak mau jadi anak durhaka, 'kan? Ibu nggak mau modal ibu nggak jadi balik karena kamu boros. Kalau kamu nggak mau uang toko di tangan ibu, tutup saja tokomu biar ibu suruh suami Kakakmu yang jualan."

Shabir tidak bisa lagi membantah. Keputusan ibu sudah bulat, hanya bisa menghela napas pasrah. 

"Ya sudah, mulai besok uang toko sama Ibu. Ayo, biar Shabir yang anter Ibu pulang."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Perpisahan Zaweel dan Haziya

    Miska menyiapkan segala keperluan untuk acara syukuran nanti malam di rumahnya. Sebagai seorang sahabat, dia senang akhirnya Haziya secara resmi berpisah dengan Shabir. Bahkan dia berencana untuk memperkenalkan Haziya dengan temannya yang masih single, nanti jika Haziya sudah terlihat lebih baik dan mulai membuka hati kembali.Namun, sebenarnya dia lebih suka jika Zaweel yang menjadi lelaki hebat untuk Haziya. Meskipun sikap Zaweel terkesan suka humoris, tetapi dia yakin jika Zaweel bisa melindungi sahabatnya dari gangguan mantan suami Haziya, apalagi dari tekanan Bu Karni, dan lain-lain.Miska sedikit tahu tentang perjodohan Zaweel dengan Safia, walaupun belum ada keputusan lebih lanjut. Monika pasti akan merencanakan perjodohan itu berjalan sesuai harapan mereka. Sekar dan Monika sudah bersahabat dan saling mengenal, serta keluarga mereka juga menjalin bisnis. Tentu saja bersatunya Zaweel dan Safia akan semakin meningkatkan hubungan persahabatan mereka.&n

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Keputusan Pengadilan

    Miska akan menginap di rumah Haziya malam ini, karena dia ingin menemani sahabatnya, serta akan ikut ke pengadilan besok. Sedangkan Zaweel sudah berpamitan sejak memasuki waktu ashar, dia shalat berjamaah di masjid terdekat bersama ayah Haziya. "Makasih ya Nak, kamu mau membantu putriku." "Sama-sama, Pak. Insya Allah besok kita pasti bisa menyudahi semua perkara ini." "Aamiin." "Kamu bakal balik ke Jakarta lagi setelah ini?" tanya Ayah Haziya ketika mereka menuju parkiran Masjid. "Iya, Pak, masih ada kerjaan di Jakarta," jawab Zaweel, dia juga enggan cepat balik ke kota karena merasa nyaman di sini. Namun, statusnya masih sebagai pengacara, dia harus profesional dan kembali melanjutkan profesinya. Ditambah perusahaan papanya yang juga membutuhkan dirinya. Meskipun dia tidak lagi bekerja di bidang pembela klien, Monika tidak akan membiarkannya menetap di Aceh. Zaweel harus menjadi penerus sang papa. "Semoga saja

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Zaweel Menepati Janjinya

    Haziya bersiap untuk ke rumah bimbingan belajar, dia akan mulai mengajar lagi hari ini. Miska menghubunginya ketika dia hendak ke Sigli."Assalamualaikum, kamu baik-baik saja, kan?" Miska terdengar khawatir di seberang. "Kenapa baru aktif nomornya?""Waalaikumsalam, Alhamdulillah baik-baik saja Miska. Maaf semalam lupa aktifkan ponsel," jawab Haziya jujur."Ada apa? Dia mencoba menghubungi kamu lagi makanya kamu harus matiin HP?"Tebakan Miska tepat sasaran, Haziya membenarkan karena dia tidak akan bisa membohongi sahabatnya yang sudah terlalu pandai membaca dirinya."Lelaki pecundang. Dia pasti mencoba menggelabui kamu lagi, pura-pura menyesal dan minta balikan padahal sudah punya istri baru. Ckck!" gerutu Miska kesal dengan sikap tak berpendirian Shabir."Masih banyak lelaki lain, jangan sampai kamu masuk ke lubang yang sama. Biarkan dia bersama Tante itu, nanti yang ada kamu malah dituduh sama Tante itu merebut sua

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Larangan Ayah Haziya

    Bu Laela berdiri di depan kompor, suasana hatinya berubah tidak karuan disebabkan kedatangan tamu tadi. Bahkan tadi dia sangat bersemangat untuk memasak rebung kala merah."Bu, biar aku saja yang masak. Ibu istirahat saja ke kamar!" saran Haziya meminta Bu Laela untuk tidak memaksakan diri memasak dalam keadaan tidak konsentrasi."Enggak apa-apa, Ibu bisa lanjutin. Kamu datang?" tanya Bu Laela seraya membuka penutup panci, memasukkan bumbu yang sudah dihaluskan untuk merebus ayam."Sekarang aku kembali harus dapat izin dari ayah dan ibu kalau mau ke mana saja, Bu. Jadi, aku bakal patuhi semua kata Ibu. Ibu jangan resah, aku enggak bakal datang tanpa izin dari kalian." Haziya tersenyum hangat memberikan ketenangan pada perempuan yang begitu disayanginya itu."Assalamualaikum, Bu!" Ayah Haziya masuk tergesa-gesa setelah mengucapkan salam. Dia langsung menuju dapur karena mencium aroma harum dari masakan yang sedang dimasak."Waalaikumsala

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Bu Karni Mengundang Haziya

    Bu Karni memandang mereka dengan senyum menyeringai, begitu juga dengan Vina di sebelahnya.Mengapa mereka datang ke sini?Suami Bu Laela sedang di luar, sedangkan Adil masih kecil tidak mungkin bisa kuat mengusir keduanya dari rumah. Bu Laela sendiri tidak mau membuat keributan yang menarik perhatian dari tetangga jika dia mengusir mereka."Ada apa?" ketus Bu Laela di tempatnya."Bu, kita duduk dulu yuk!" ajak Haziya. Dia bisa memahami ketidaksukaan Ibunya pada kehadiran Bu Karni, mantan besannya setelah perlakuan mereka terhadap Haziya selama ini. Namun, bagaimanapun mereka harus menghormati dan menghargai tamu."Ibu, sebentar ya aku ambilkan minum," tawar Haziya seraya membuat air untuk Bu Karni juga Vina. Sebagai tuan rumah dia harus menyajikan setidaknya minuman pada mereka, meskipun tamu tak diundang.&nbs

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Tamu Tak Diundang

    Lidya terpaksa harus kembali ke Lhokseumawe lagi sehari setelahnya. Haziya tidak ingin adiknya ketinggalan mata kuliah. Dia juga tidak mempermasalahkan jika Lidya tidak bisa hadir di persidangan keputusan nanti."Doakan saja Kakak, Dik. Kamu belajar yang rajin di sana, ya," pesan Haziya sebelum Lidya berangkat ke Lhokseumawe."Iya, Kak. Kabarin aku ya perkembangannya. Semoga dimudahkan dan Kakak bisa memulai hidup bahagia dengan baik.""Aamiin."Haziya memasukkan baju-baju ke dalam lemari setelah menyetrikanya. Dia berniat untuk istirahat sebentar sebelum masuk waktu shalat ashar.Namun, baru saja dia memejamkan mata, ponsel di atas nakas berdering yang menunjukkan nomor tak dikenal. Dia ragu mengangkatnya, karena khawatir jika panggilan tersebut dari Shabir, atau Vina.Haziya tidak mengangkatnya, tetapi penelepon tidak putus asa meskipun telah diabaikan hingga ke dua kali. Pada panggilan ke tiga

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Haziya Pulang Tanpa Gangguan Shabir

    Lidya membelok sepeda motor mereka ke salah satu warung di pinggir jalan ketika langit mendung pekat terlihat, bahkan rintik-rintik hujan mulai bertandang. Jika dipaksakan melanjutkan perjalanan maka mereka akan kebasahan, meskipun membawa mantel, tetap saja perjalanan masih jauh akan berbahaya karena jalanan licin. "Kak mau pesan cane durian?" tanya Lidya setelah duduk di salah satu kursi, mereka duduk bersebelahan sedangkan Hanif duduk di meja seberang. Salah satu kuliner di Kota Bireuen terkenal dengan makanan manis bernama cane durian. Warung kopi berjejeran di simpang. "Teh hangat saja," ujar Haziya menyebutkan nama minuman. "Baik. Abang Hanif mau pesan apa?" "Abang samaan saja dengan kalian, biar Abang yang pesanin, kamu duduk saja," kata Hanif memberi isyarat untuk Lidya tidak bangun dari kursi. "Baik, Bang." Haziya bersyukur selama perjalanan tadi tidak ada gangguan dari Shabir. Dia berdoa dalam hati semo

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Zaweel Dilarang Pulang Ke Aceh

    Zaweel membawa pulang kue kesukaan mamanya. Dia tahu kalau Monika masih kecewa karena penolakan pertunangan semalam. Bahkan mamanya tidak menyapanya tadi pagi di meja makan."Assalamualaikum, Mama!" salam Zaweel memasuki rumah lalu berjalan mendekati sang mama yang sedang menyiapkan makan malam."Waalaikumsalam," jawab mama tanpa menoleh pada putranya."Ma, ini aku beli kue kesukaan mama." Zaweel menyodorkan sekotak kue terang bulan isi keju dan cokelat manis."Letak di sana saja, meja sudah penuh," titah Monika seraya menunjuk pantry. Biasanya Monika akan tersenyum senang menerima pemberian Zaweel, tetapi karena masih marah dia menyembunyikan kegembiraannya."Mama masih marah ya? Kalau aku beli sekalian gerobaknya mama mau enggak maafin Zaweel?"Dengan wajah polos dan dipasang sendu, Zaweel menatap mamanya lekat.

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Haziya Pulang Bersama Lidya

    Haziya sudah berulang kali menyakinkan adiknya kalau dia bisa pulang sendirian saja, tetapi masih tidak diperbolehkan. Lidya bahkan menghubungi kedua orang tua mereka untuk menceritakan masalah Shabir kemarin.Bu Laela tidak pikir panjang mengatakan akan menjemput Haziya ke Lhokseumawe sekarang juga bersama suaminya."Mak, enggak usah. Adik gimana?""Dia biar sama Wawak yang jagain. Sekalian mamak dan ayah mau jalan-jalan juga, kan?"Haziya khawatir jika ibu dan ayahnya harus melakukan perjalanan yang jauh. Namun, jika dia memilih Lidya yang mengantarkannya pulang nanti sang adik harus balik sendiri ke kota ini untuk menuntut ilmu. Serba salah.Haziya merasa selalu menyusahkan orang lain, padahal usianya sudah dewasa. Karena alasan inilah dia tidak mau memberitahukan dulu kepada ibu dan ayah soal Shabir supaya mereka tidak terlalu cemas, apalagi sampai berencana menje

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status