Share

Menjawab Tantangan

Sepulang dari kantor tempatnya bekerja, Olivia Milan tak langsung menuju ke rumah. Ia memilih untuk mampir ke pemakaman lagi, hendak menemui suaminya yang kini telah tinggal di dalam tanah. Sebagaimana hari-hari sebelumnya, Olivia memang kerap mengadu kisah kesehariannya pada Varen. Dengan bercerita pada kuburan Varen, Olivia seolah merasakan ada sedikit beban yang akan terangkat dari pundaknya.

“Sayang, sedang apa dirimu hari ini? Apakah di sana indah? Apakah kau sedang menungguku dengan gelisah?” tanya Olivia seraya menempelkan telinganya ke nisan Varen Omkara, seolah ia ingin mendengar jawaban dari Varen atas pertanyaannya.

Tentu saja kuburan itu tak memberi jawaban, meski demikian Olivia terus mengoceh tanpa berhenti. Menceritakan ragam kesialannya hari ini, dan tak lupa juga Olivia menceritakan tentang Tuan Rainer Griffin yang aneh.

“Sayang, besok Tuan Griffin memintaku untuk ke ruangannya lagi pukul sembilan. Doakan istrimu ini, ya! Semoga aku tak mendapat kesialan lagi esok hari. Sudah dulu, aku mau pulang.”

Olivia memeluk nisan yang bertuliskan Varen Omkara tersebut. Mengusap-usap kepalanya dengan lembut seolah nisan itu adalah dada bidang milik Varen Omkara. Setelahnya, antara ingin pergi dan tetap tinggal, Olivia bangkit dan melambai-lambaikan tangan ke arah kuburan suaminya. Entah bagaimana, ia menganggap jika Varen Omkara masih selalu menemaninya meski suaminya itu sudah meninggal dunia.

Nyatanya, Varen Omkara memang masih mencintai Olivia Milan. Meski pria itu kini telah kehilangan nyawa!

***

Pukul sembilan pagi keesokan harinya, Olivia Milan telah berdiri lagi di depan ruang Tuan Rainer Griffin. Karena hari masih cukup pagi, salah seorang security menjelaskan pada Olivia jika Tuan Griffin belum tiba di kantor. Bahkan, security tersebut juga mengatakan jika Tuan Griffin tak pernah datang ke kantor sebelum pukul sepuluh siang.

Apa yang diucapkan security tersebut ternyata benar. Olivia sudah menunggu selama satu jam penuh tetapi Tuan Griffin tak juga muncul batang hidungnya. Ia menyesal sebab sebelumnya ia bahkan melewatkan sesi sarapan demi berangkat ke kantor pagi-pagi. Kini, perutnya telah memberi sinyal kelaparan lewat bunyi krucuk-krcuk yang beberapa kali terdengar di telinganya.

Baru setelah jam menunjukkan pukul sebelas, Olivia mendapati beberapa pria berjas hitam tengah keluar dari pintu lift di sebelah kiri. Olivia Milan masih mengingat wajah-wajah dari empat pria berjas hitam itu. Sebab dua di antara mereka telah menganiaya dirinya di hari sebelumnya. Olivia Milan dengan refleks memegangi pipi kanannya ketika wajah salah seorang pengawal Tuan Griffin itu terlihat oleh matanya.

Tuan Griffin keluar dari lift dengan mata langsung tertuju pada pintu ruangannya. Ia tampak tersenyum sinis tatkala menemukan Olivia Milan tengah berdiri di sana dengan kaku, seperti seseorang yang sedang ketakutan, kelelahan, tetapi tetap pasrah dengan keadaan.

“Lucu sekali wajah gadis miskin itu!” gumam Rainer Griffin dalam benak. Ia sudah tak sabar untuk membuat wajah Olivia Milan semakin gemetar ketakutan. Setidaknya, ia benar-benar ingin membuat perhitungan pada gadis itu karena telah membuatnya memiliki gairah aneh dan menjijikkan di hari sebelumnya.

Beberapa saat kemudian, Tuan Griffin telah sampai di depan pintu ruangannya. Olivia Milan terlihat berjalan mundur untuk memberi tempat lewat pada rombongan Tuan Muda Rainer Griffin. Sesaaat ia dilanda kebingungan, apakah langsung ikut masuk pada saat itu juga atau menunggu lagi beberapa saat sebelum akhirnya masuk ke dalam.

Dasar orang kaya sombong! Kalau memang terbiasa berangkat siang, mengapa memerintahkanku datang pagi-pagi? Apakah itu adalah caranya untuk memperlihatkan bahwa ia sangat berkuasa sementara pegawai sepertiku hanyalah butiran debu?

Gadis itu mendengus kesal. Ia meratapi nasibnya yang hanya seorang perempuan miskin, yang kemudian membuatnya seolah sah untuk ditindas oleh orang kaya macam Rainer Griffin. Untuk sejenak, Olivia justru berpikir mungkin dipecat dari perusahaan tersebut akan lebih baik ketimbang mendapat pekerjaan tetapi diperlakukan seperti bukan manusia.

“Nona, Tuan Griffin menunggumu. Masuklah dan jangan sampai membuat kesalahan!”

Salah seorang berjas hitam menghampiri Olivia lalu meminta Olivia memasuki ruangan Tuan Rainer Griffin. Semua pria berjas mulai keluar ketika Olivia memasuki ruang tersebut. Kembali, dada Olivia diserang dengan kegugupan dan kekhawatiran. Langkah kakinya pun terlihat cukup tegang karena ia takut kalau-kalau membuat kesalahan yang tak disadarinya.

Ketika telah berada tak tauh dari Tuan Griffin, Olivia langsung disambut oleh sebuah pertanyaan.

“Menurutmu, mengapa aku memintamu datang ke sini? Tanya Rainer Griffin dengan ekspresi acuh tak acuh.

“Ehm, sepertinya berhubungan dengan arca yang saya rusak kemarin. Apakah saya keliru, Tuan?” Olivia menjawab takut-takut.

“Lalu?”

“Soal arca yang saya pecahkan kemarin itu, sepertinya saya pantas dipecat dari perusahaan ini, Tuan. Saya juga akan membayar denda untuk kerugian yang dialami perusahaan,” Olivia mulai memberanikan diri mengungkapkan keinginannya untuk dipecat. Ia yakin keputusannya sudah benar, berada di dalam perusahaan yang dipimpin CEO arogan seperti Tuan Griffin adalah hal buruk menurutnya.

“Arca yang kau rusak itu bernilai lima ratus ribu dolar. Kau mampu membayarnya?” Rainer Griffin menyeringai, ia yakin gadis di depannya itu bahkan tak mungkin memiliki harta lebih dari sepuluh ribu dolar di akun banknya.

“Lima ratus ribu dolar?” Olivia Milan terbelalak kaget mendengar nominal yang disebutkan oleh Tuan Griffin. Bahkan, seluruh harta kekayaan Olivia Milan jika dijumlah menjadi satu, bisa jadi hanya mencapai tiga ribu dolar saja. Lima ratus ribu dolar adalah angka yang tak pernah terlintas di kepalanya.

“Mengapa kaget begitu? Hartamu tak cukup? Huft, sudah kuduga! Kalau miskin jangan bertingkah, ini akibatnya!” Rainer Griffin mencibir. Ia merasakan ada gejolak kegembiraan ketika mengejek gadis di depannya itu. Gadis yang semalam kembali muncul ke dalam mimpinya tanpa pernah ia mengerti alasannya.

“Tuan, bagaimana ini? Andai saya bekerja seumur hidup pun sepertinya tak mungkin mencapai angka sebesar itu. Bagaimana ini?” Dua tangan Olivia Milan meremas-remas roknya. Gurat-gurat keputusasaan mulai terlihat di wajah Olivia.

Rainer Griffin melepaskan beberapa lembar dokumen yang ia baca, menghempaskannya begitu saja ke meja, lalu beralih memandang ke Olivia.

"Kau yang melakukan kesalahan, mengapa bertanya padaku bagaimana solusinya?" 

"Tapi, Tuan, sungguh saya tak mungkin memiliki harta sebanyak itu. Bagaimana ini?"

“Baiklah, kalau begitu apa yang bisa kau tawarkan?” Rainer Griffin mencoba menantang Olivia, menguji apa yang akan diucapkan gadis itu dalam posisi tersebut. Ada sedikit keyakinan di benak Rainer Griffin jika Olivia akan menawarkan tubuhnya sebagai ganti dari denda lima ratus ribu dolar atas arca yang dirusaknya. Bukankah semua perempuan cukup paham jika meskipun mereka tak memiliki satu sen pun harta benda, mereka masih memiliki tubuh untuk bisa dijual.

Olivia terlihat berpikir cukup keras. Kaki dan jari-jemarinya tak berhenti bergerak demi mengimbangi laju kerja otaknya yang meningkat. Tiba-tiba, gadis itu teringat sebuah momen ketika ia merusakkan fasilitas kampus seharga ribuan dolar. Ya, dia sudah pernah mengalami hal tersebut. Tak ada yang perlu dikhawatirkan soal itu. Ia hanya perlu membayar dendanya, itu saja.

“Tuan, sebelumnya saya meminta maaf atas kemiskinan yang saya alami. Saya tidak punya harta, itu benar. Tapi bukan berarti saya tak punya tanggung jawab. Saya akan mengangsur denda saya, bahkan jika sampai menemui ajal hutang saya belum lunas, anak cucu saya yang akan melanjutkan pembayaran hutang, saya berani menandatangani surat resmi untuk ini. Mengingat keadaan saya yang cukup miskin, ini adalah tawaran terbaik yang bisa saya usahakan, Tuan.”

Olivia Milan mengepalkan dua tangannya kuat-kuat, gadis itu menahan segala rasa takut dan khawatir yang mendera jantungnya. Bagaimanapun semua bermula dari kesalahannya sendiri. Jadi, hal terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah menghadapinya. Lagi pula, tak ada gunanya menjadi gadis cengeng dan meratapi nasib, ia akan membuktikan pada pria kaya sombong itu bahwa ia mampu melunasi hutang 500 ribu dolar.

Di lain sisi, Rainer Griffin seperti terkesiap oleh mantra-mantra yang keluar dari bibir Olivia Milan. Kalimat Olivia sama sekali tak tampak seperti bualan basi seorang pendusta. Nyatanya, sekumpulan setan sekalipun akan sepakat jika ucapan yang keluar dari mulut Olivia Milan adalah kejujuran yang tak bisa dibantah.

Rainer Griffin menelan ludah berulang kali. Satu sudut hatinya mengagumi sikap kesatria seorang gadis miskin yang cukup bertanggung jawab.

Bagaimana ini? Mengapa hatiku berkata aku mulai tertarik pada gadis miskin sialan ini?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Wardani Abdul Rauf
cerita mantap
goodnovel comment avatar
Bunda Tini Kadarustini
cerita bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status