Share

Target enam bulan

Hari itu Adit terbangun di pagi hari, ia melihat ke arah jam dinding, pukul tujuh pagi, "sial, hari ini ikut papa ke kantor," batin Adit merasa kesal, mau tidak mau Adit harus mengikuti perintah Dimas jika masih ingin menikmati fasilitas milik Ayahnya itu, setidaknya sampai ia sukses di musik dan bisa menghasilkan uang sendiri. Adit merasa, sebentar lagi band Adam akan melejit mengalahkan band-band tenar lainnya, khayalannya sudah setinggi langit, ia bahkan sangat percaya diri akan berhasil.

Adit segera bersiap untuk berangkat ke kantor, ia tidak ingin berlama lama disana, seribu alasan akan ia cari untuk segera pergi dari perusahaan Dimas. Setelah selesai mandi, telepon genggam Adit berbunyi, ia meraih benda pipih yang berada di dekatnya, dan melihat siapa yang menghubunginya, ternyata Dimas.

"Halo," sapa Adit yang masih mengenakan handuknya.

"Adit, sudah siap? Papa tunggu di kantor, ya," ucap Dimas memastikan anaknya datang.

"Ok, Pa." Adit menutup telepon genggamnya.

"Males banget, sumpah." Adit melempar benda pipih itu ke ranjang, ia berjalan ke arah lemari, memilih pakaian untuk di kenakan hari ini ke kantor, tentu saja Adit tidak memiliki pakaian rapih layaknya pebisnis atau pekerja kantoran. Adit memilih kaos hitam, celana jeans dan jaket kulit, seperti akan manggung dengan bandnya.

Sesampainya di kantor, Adit langsung menuju ke ruangan CEO dimana sang Ayah berada. Adit berdiri di depan pintu ruangan itu, ia ragu untuk masuk, ia menghela napasnya. (Tok tok tok) Adit perlahan mengetuk pintu, "masuk," terdengar suara Dimas dari dalam, ia tidak sendiri, sepertinya sedang membicarakan hal penting bersama seorang pria muda.

"Ah, kamu Dit. Perkenalkan, ini Christian, dia salah satu konsultan keuangan di perusahaan ini," ucap Dimas seraya menutup pintu ruangan tersebut.

"Halo, saya Tian," ucap pria muda tampan itu mengulurkan tangannya untuk berjabat.

"Adit," jawab Adit singkat.

"Adit ini anak semata wayang saya, yang segera menggantikan posisi saya sebagai CEO di perusahaan kita," ucap Dimas seraya kembali duduk di kursinya.

"Baik, Pak. Senang berkenalan dengan anda, pak Adit." Tian tersenyum ramah.

"Sama-sama," jawab Adit yang sedikit malas mendengar perkataan Dimas.

"Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak. Masih banyak yang harus saya kerjakan." Tian berangsur pergi meninggalkan ruangan.

Adit melihat-lihat ke sekeliling ruangan besar itu, kaca besar yang menembus pemandangan kemacetan kota Jakarta, membuat Adit berpikir, kalau malam pasti bagus viewnya. Adit berjalan mendekati meja Dimas, ia mengambil sebuah bingkai foto yang terpajang, sebuah foto keluarga menghiasi meja CEO. Adit tersenyum tipis saat melihat dirinya masih berusia 10 tahun di foto itu.

"Tian itu orangnya ulet dalam bekerja, kamu nanti akan sering bertemu dia dalam persoalan finansial perusahaan," ucap Dimas seraya merapihkan beberapa dokumen yang berserakan di meja.

Adit terdiam, masih memandangi foto yang ia pegang.

"Rencana papa, beberapa bulan lagi akan pensiun, kamu harus secepatnya belajar mengenal seluk beluk perusahaan ini ya, Dit." Dimas sangat serius dengan ucapannya.

"Tapi, Pa..." belum selesai Adit menjawab.

"Tidak ada tapi-tapi, kamu harus menjadi CEO di perusahaan ini, papa tidak ingin mendengar alasan apapun." Dimas memotong kalimat Adit dengan tegas.

"Aku sudah besar, Pa. Punya kebebasan untuk memilih jalan hidupku sendiri." Adit menaruh bingkai foto yang di pegangnya.

Dimas berdiri dari kursinya, wajahnya berubah penuh kekecewaan terhadap anak semata wayangnya itu, ia melangkah mendekat ke arah Adit, menatapnya sangat tajam. Adit tertunduk melihat sikap Dimas, ia takut Dimas akan menamparnya jika sudah marah.

"Papa cuma ingin, kamu mencoba dulu untuk terjun ke dunia bisnis seperti Papa, ini untuk kebaikan masa depan kamu, Dit." Dimas memegang pundak Adit.

Dimas memang punya rencana menyibukan Adit dengan dunia perkantoran, agar ia perlahan bisa melepaskan kegiatannya dari bermusik. Namun, tidak akan mudah melakukan itu semua, karena Adit punya pendirian yang keras seperti sang Ayah.

"Perusahaan kita sangat besar dan sukses, hampir semua proyek industri bekerja sama dengan perusahaan kita." Dimas memandang ke arah kota.

"Kasih aku waktu untuk mengejar impianku dulu, Pa. Kalau gagal, aku janji akan menuruti permintaan Papa," tegas Adit berusaha meyakinkan Dimas.

"Berapa lama kamu bisa pastikan?" Dimas menatap Adit sangat tajam.

"Satu tahun," jawab Adit.

"Enam bulan cukup, Papa akan memberi kamu kesempatan selama enam bulan, begitu kamu gagal, Papa tidak ingin mendengar alasan lain lagi, kalau kamu masih terus begini, semua fasilitas akan Papa cabut." Dimas berkata seolah mengancam.

Adit tertekan dengan perkataan Dimas, ia benar-benar harus berusaha untuk meraih mimpinya, ia harus membuktikan kepada Dimas bahwa ia akan berhasil di musik. "Enam bulan?" Batin Adit tidak kuasa mempertanyakan waktu yang di ultimatum oleh Dimas, enam bulan adalah waktu yang singkat, band lain saja butuh waktu bertahun-tahun agar bisa sukses, apa yang harus di lakukan dalam waktu enam bulan, batin Adit berkecamuk di buatnya.

"Ok, Pa. Aku akan buktiin ke Papa, enam bulan lagi, aku akan sukses." Adit pergi meninggalkan Dimas di dalam ruangan.

Adit berlari ke arah toilet untuk sekedar menenangkan diri, ia berdiri menghadap kaca, napasnya terengah-engah menahan kekesalan. Adit menyalakan keran air dan membasuh wajahnya, sangat sulit untuk Adit menahan amarahnya. "Sial," batin Adit teriak, ia mengusap wajahnya yang basah. Seseorang keluar dari bilik toilet, ternyata Tian sedang berada disana. Tian mencuci kedua tangannya dan mengambil tisyu yang berada di dekat Adit.

"Sorry," ucap Tian seraya menggapai kotak tisyu itu 

Adit memundurkan tubuhnya agar pria muda itu bisa meraih kotak tersebut.

"Loh, Pak Adit." Tian menyadari orang yang bersamanya.

"Adit aja, gue masih muda," jawab Adit seraya merapihkan rambutnya 

"He he, sorry, saya sudah dua tahun bekerja disini, tapi baru lihat anaknya Pak Dimas," kekeh Tian yang terlihat ingin mengenal Adit lebih jauh.

"Gue juga gak tahu sebenarnya gue ini anak siapa? Lo punya Bapak?" Tanya Adit seraya membuang tisyu ke tempat sampah.

"He he he, bisa aja mas Adit, saya? Punya sih, tapi Papa saya gak kenal saya dari kecil," wajah Tian mendadak berubah jadi murung.

"Masih mending, gue punya bokap, tapi kayak gak punya dari kecil, gimana tuh? Mau tukeran nasib gak? He he he," Kekeh Adit.

"Waduh mas, tapi apapun yang terjadi, semoga mas Adit dan Pak Dimas, bisa mengatasi permasalahannya, ya. Saya doakan," Tian tersenyum dan melangkah keluar toilet.

Adit terdiam mendengar doa pria muda baik hati itu, harapannya juga sama, ingin semuanya baik-baik saja. Namun, banyak sekali perbedaan pendapat di antara mereka, seandainya keduanya bisa saling mengalah, atau saling mengerti, semua pasti akan sejalan.

___to be continue

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status