Share

Hasrat Membara

Adit merasa tertekan mendengar kalimat ayahnya. Memang sampai detik ini, ia masih menikmati uang dan segala fasilitas dari lelaki itu, termasuk apartmen yang ditempatinya saat ini. Namun, sebagai anak, ia tidak menyangka jika Dimas akan berlaku kasar, sampai melayangkan tamparan untuk menyakitinya.

Pemuda itu meyakini bahwa ancaman orang tuanya untuk menghentikan seluruh fasilitas hidup padanya, hanya sebuah gertakan semata. Karena tidak ada orang tua yang tega menelantarkan anaknya demgan alasan apapun. 

Saat terbangun pagi harinya dengan semua masalah yang bergelayut di pundak pemuda itu, setelah melewati tidur dalam kegelisahan, tangannya terulur meraih laptop. Ia membuka email dan mendapat beberapa pesan baru. Salah satu pesan yang menarik perhatiannya adalah pesan yang dikirim oleh label.

"Wah, kontrak rekaman!" Adit cukup terhibur melihat pesan itu. Dibacanya dengan teliti satu per satu pasal-pasal perjanjian antara band dengan label tersebut, tidak ditemukan masalah yang berarti kecuali satu hal; pada klausul pembagian hasil. 

Pada pasal tersebut tertera pembagian 30-70 dengan rincian, tiga puluh persen Adam Band dan tujuh puluh persen pihal label. "Kok tiga puluh persen?" Adit merasa tidak puas dengan pembagian itu.

Tangannya meraih telepon genggam dan menghubungi nomer yang tertera pada tulisan contact person yang tak lain adalah Hendra. Panggilan itu pun tersambung.

"Halo," sapa Hendra terdengar.

"Halo, selamat pagi, Pak. Saya Adit." tukasnya segera. 

"Ya, ada apa Dit?" tanya Hendra.

"Perihal kontrak, Pak. Saya sudah membacanya, sepertinya saya kurang setuju dengan pembagian hasil penjualan CD album yang hanya 30 persen untuk band kami." Adit menjelaskan keberatannya.

"30 persen tuh sudah besar loh Mas Adit," jawab Hendra.

"Tidak, Pak, yang kami inginkan 50-50 supaya adil." Adit menegaskan.

"Oh, begitu ... saya rapatkan dahulu dengan team produksi, ya. Nanti saya hubungi Mas Adit segera." Hendra sedikit ragu dalam nada suaranya.

"Baik, Pak. Terima kasih." Adit menutup telepon genggamnya.

Lelaki itu bangkit dari tempat tidurnya, berjalan menuju ruang tamu. Namun, langkahnya terhenti ketika sampai di depan pintu kamar, dia mendengar suara musik dari ruang tamunya. 'Siapa yang pasang musik?' Adit membuka pintu kamar dan ternyata ....

"Alika?" Adit lega melihat kemunculan Alika.

"Baru bangun? Sarapan dulu, udah aku buatkan omelet dan kopi hangat." Alika menunjuk ke arah meja makan dan kembali membereskan dapur mini itu.

"Tumben, pagi-pagi ke sini?" Adit berjalan sambil garuk kepala dan duduk di meja makan, bingung karena tak biasanya Alika datang sepagi ini, tanpa mengabari terlebih dahulu.

"Ya gak apa-apa dong, sekali sekali." Alika menjawab sambil tersenyum.

Adit terdiam dan meneguk kopi hangat yang berada di depannya, 'Ada apa dengan orang-orang di sekitarku belakangan ini?' Pertanyaan yang membingungkan muncul di benaknya. 

Alika ikut bergabung ke meja makan dan duduk bersama Adit.

"Enak?" tanya Alika sambil mengambil cangkir teh miliknya.

"Hmm, enaklah, orang tinggal makan," Adit berseloroh.

"Dasar ...." Alika tersipu mendengar jawaban Adit.

Adit merasa mood Alika sudah membaik setelah pertengkaran mereka semalam, ia penasaran kenapa Alika seolah sudah memaafkannya atas kejadian di kafe, biasanya, kalau mereka bertengkar, butuh waktu dua atau tiga hari untuk berbaikan.

"Kamu tahu semalam papa dan mama kesini?" tanya Adit.

"Tahu. Mama kamu telepon aku tadi pagi."

Alika telah mendengar semua yang terjadi kepada kekasihnya. Untuk itulah ia datang menemui Adit. Mengkhawatirkan kondisi lelaki itu, yang tengah tertekan oleh permasalahannya.

"Kamu gak apa-apa kan?" tanya Alika dengan lembut seraya memegang tangan Adit.

"I'm okay ... sudah biasa." Adit mengerutkan dahinya. Berkata baik baik saja, tapi sebenarnya tidak dalam kondisi baik.

"Apapun yang terjadi ... aku disini, ya Sayang." Alika menegaskan bahwa ia tidak akan pergi dari sisinya.

Lelaki itu terdiam, perlahan melepaskan genggaman tangan Alika lalu berdiri ke arah dapur membawa piring kotornya. Adit bingung menghadapi situasi saat ini dengan Alika, karena kemunculan Reina yang tiba-tiba, membuatnya tak bisa berpikir.

"Aku mandi dulu ...." Adit melangkah ke arah kamarnya.

Gadis itu sudah terbiasa dengan sikap Adit yang terkadang dingin, kadang ramah dan hangat. 'Begitulah Adit' pikir Alika. Naik turun moodnya tidak bisa diprediksi.

Alika berdiri hendak ke ruang tamu. Namun, ia mendengar telepon genggam Adit yang berada di meja makan bergetar. Dengan penasaran, diraihnya benda pipih tersebut, ia tergoda untuk mengintip pesan yang baru masuk.

.

"Handphoneku di meja, ya?" Adit keluar kamar dengan handuk yang melilit pinggangnya.

"Iya, ada nih." Alika cepat-cepat mengembalikan ponsel tersebut ke tempatnya semula.

Lelaki yang mengenakan lilitan handuk itu, melangkah ke meja makan lalu mengambil ponselnya dan berbalik kembali ke kamar.

'Fiuhh, hampir saja' pikir Alika. Adit tidak menyukai jika seseorang membuka telepon genggamnya, karena baginya itu adalah privasi, termasuk kekasihnya sendiri. 

'Untung gue ingat ni handphone, kalau Alika tahu soal Reina, bisa gawat,' Adit melempar telepon genggamnya ke kasur dan segera berpakaian, kemudian, ia kembali ke ruang tamu.

"Semalam sampai jam berapa orang tua kamu mampir?" Alika membuka pembicaraan.

"Cuma sebentar." Adit menyesap kopinya.

"Oh ... hm ... pipi kamu udah gak sakit, kan?" Alika membelai pipi Adit dengan lembut sambil memeluk lengannya.

"Gak kok, masih lebih sakit hati aku, he he he." Adit terkekeh sambil merangkul Alika.

Gadis itu memahami suasana hati kekasihnya yang tertekan. Lelaki itu punya segalanya, tapi kesibukan orang tua membuatnya kehilangan kasih sayang dari sejak kecil.

"Kasian kamu ... sabar ya, Sayang. Aku yakin kamu pasti bisa melewati ini semua," bujuk Alika seraya mengecup pipi kekasihnya dengan lembut.

Adit tersenyum tipis, ia menatap Alika lekat-lekat. Perasaannya campur aduk. Tidak bisa dipungkiri hatinya bergejolak saat membaca pesan dari Reina tadi malam. Namun, di depan matanya saat ini ada Alika, kekasihnya. 

Ia membelai rambut Alika, menyentuh pipi dengan punggung jarinya, sementara Alika memandanginya penuh cinta serta rasa memuja. Perlahan, Alika menutup matanya. Adit menundukkan wajahnya, semakin mendekat dan mengecup bibir Alika.

Dengan lembut, ia melumat bibir kekasihnya itu, jemarinya mengusap dagu lancip nan lembut lalu menyentuh dan menyangganya. Alika membalas ciuman sang kekasih, senyum tipis terulas di sela sela romantisme mereka. 

"I love you ...." Alika membuka matanya, menatap Adit penuh cinta.

Adit tersenyum, ia tak bisa membalas pernyataan Alika, seperti ada yang tersangkut di tenggorokannya. Ada ketakutan tersendiri jika ia sampai mengucapkan kalimat itu. Ia memeluk Alika semakin erat dan mencium bibir Alika semakin panas.

"Dit ...." bisik Alika.

Udara di antara keduanya semakin menipis, "Sst ... say no more," bisik Adit sambil menciumi leher Alika, merasakan aroma bunga orchid dari tubuhnya. Alika terengah-engah, kepalanya mendongak ke atas, menikmati apa yang dilakukan kekasihnya. Bulu-bulu di sekujur tubuh pun ikut berdiri.

Lelaki itu menginginkan lebih, ia membuka kaos yang dikenakannya. Tangan kokohnya mengangkat tubuh seksi itu ke atas pangkuannya. Adit menatap Alika sangat dalam sambil terengah-engah, kedua tangannya merangkul pinggang langsing itu. Alika menunduk setelah mengibaskan rambut panjangnya, Ia mencium lelaki itu dengan lembut, kedua mata mereka terpejam. 

Glek

Adit menelan salivanya seiring dengan jemari yang tidak bisa diam menggerayangi tubuh Alika diselingi desahan lembut yang meluncur dari bibir ranum Alika. Keringat mulai bercucuran di antara keduanya. Gadis itu mulai melucuti pakaiannya sendiri dengan gerakan menggoda ....

___to be continue

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status