Sore itu Adit sedang asik menikmati kopi hangat. Lagu dari Pearl Jam yang berjudul "Last Kiss" terdengar kencang diputar dari laptopnya. Sambil duduk di balkon apartment mewah milik ayahnya, Ia memandang ke langit sore yang agak mendung, namun matahari belum mau menghilang dari balik awan kelabu itu. Adit menengok ke arah jam dinding, dilihatnya waktu sudah menunjukkan pukul 16.35 sore.
(Suaramusik)
"Oh where oh where can my baby be ... the Lord took her away from me"Adit meneguk kopi hangatnya, "ah, mantap," gumam Adit sambil terpejam sesaat menikmati aliran pahitnya kopi melalui tenggorokannya.
Tidak lama kemudian, terdengar suara gawai berdering. Sudut mata lelaki itu melirik ke arah benda pipih yang berada di sebelah cangkir kopinya, lalu ia meraihnya dan melihat sebuah nama tertera pada layar, Krisna
"Halo," sapa Adit.
"Dit, di mana, Lo?" tanya Krisna dengan nada mendesak.
"Di apart gue, kenapa, Kris?" tanya Adit mulai penasaran.
"Ooh ... gue kesana, ya? Ada yang mau gue bahas nih, penting," ucap krisna terkesan buru-buru.
Adit terdiam sesaat, ia tidak dalam kondisi ingin bertemu dengan siapapun, hanya saja Krisna terdengar membutuhkannya. "Ya udah, ke sini aja," jawab Adit agak lesu.
Adit memutus sambungan telepon. Krisna adalah teman SMA yang sama-sama menyukai musik, hingga mereka memutuskan untuk membuat group band yang bernama GESMA, yaitu gejolak anak SMA.
Adit berperan sebagai vokalis karena mempunyai warna suara yang paling enak didengar dan berpower, sementara Krisna, dia adalah gitaris handal.
GESMA terdiri dari lima personil. Pada jamannya, prestasi demi prestasi diraih group band itu hingga namanya melejit dan begitu digandrungi oleh sekolah-sekolah lain di kota itu.
Tidak hanya itu, GESMA juga berhasil melambungkan nama SMA-nya dengan prestasi luar biasa karena selalu membawa pulang piala kemenangan saat mewakili sekolahnya.
Sayangnya, GESMA tidak bisa berlanjut. Group band itu terpaksa harus bubar jalan karena tiga personilnya memasuki Universitas yang berbeda, ditambah dengan banyaknya aktivitas yang menyibukkan mereka. Hanya Adit dan Krisna berhasil memasuki Universitas yang sama.
Dua jam sudah berlalu dari sejak Krisna menelepon. Hujan deras turun mewarnai sore yang semakin gelap.
(Ting Tong)
Terdengar suara bel pintu. Dengan malas Adit bangkit dari duduknya dan mengintip lubang pintu. Ia melihat Krisna basah kuyup. Lelaki itu segera membukakan pintu untuk sang teman."Kehujanan kan lo, lama sih." Adit mengomel sambil berbalik ke arah ruang tamu.
"Apes banget emang, giliran bawa motor hujan, pas bawa mobil macet, Bro." Krisna masuk ke dalam ruangan sambil mengusap rambutnya yang basah.
"Ngeluh terus hidup lo, pake baju gue tuh ambil di lemari," ujar Adit bernada datar.
Krisna berjalan menuju kamar Adit dan mengganti pakaiannya, sementara Adit duduk di ruang tamu sambil memetik gitar akustik miliknya dengan syahdu.
Krisna keluar dari kamar dan ikut duduk bersamanya."Katanya ada penting, tentang apa?" tanya Adit sambil tetap memetik senar gitarnya.
"Nanti dululah, baru juga sampe. Bikin kopi aja belum." Krisna bersungut-sungut.
"Sekalian bikinin gue deh kalo gitu," timpal Adit, mendapat kesempatan bisa minum kopi tanpa harus meracik sediri.
Sambil menjerang air, Krisna bertanya, "Alika ke mana, Dit? Biasanya ada di sini?"
"Ya ... di rumahnyalah," jawab Adit setengah malas menjawab hal itu.
"Tumben, lagi ribut lo berdua?" tanya Krisna pura-pura tidak paham kalau temannya itu terlihat malas menjawab.
"Nanya mulu kayak wartawan. Gue suruh pulang tadi, lagi males ada orang. Mending cepatan deh lo ngomong ada apa? Gue lagi pengen sendiri," tandas Adit seraya memalingkan wajahnya ke jendela.
"Jutek amat, Pak. Nyantai dikitlah, emang mau semedi?" sahut Krisna enggan bersimpati.
Sahabatnya itu telah menjalin hubungan dengan Alika selama tiga tahun ini. Gadis itu adalah juga temannya. Mereka saling kenal sejak sama-sama masuk kuliah dulu.
Alika adalah sosok wanita yang penuh pengertian. Dirinya bisa memahami kegiatan kekasihnya, yang digandrungi banyak orang hingga para wanita selalu histeris bila bertemu Adit.
Demi penggemar, Adit terkadang tidak sungkan meladeni para wanita histeris itu di depan kekasihnya. Namun, Alika selalu menyikapinya dengan santai.
Lain hal ketika Alika diingatkan tentang Reina. Satu-satunya wanita yang berhasil membuat Alika panas dingin. Rasa takut kehilangan cinta Adit begitu kental, hingga membuatnya selalu khawatir pada gadis yang merupakan cinta pertama Adit pada masa SMA.
Lagi pula, mereka putus bukan karena sudah tidak saling mencintai tapi keduanya tidak sanggup menjalani long distance relationship. Reina harus menempuh pendidikan di luar negeri.
Krisna melangkah menghampiri sahabatnya dengan membawa dua cangkir kopi pahit. Ia meletakkan cangkir yang masih mengepulkan asap di meja, lalu duduk berhadapan dengan Adit yang tampak sedang merenung.
"Jadi gini, Dit ... hasil meeting dengan orang label genius record, yang diwakili sama pak Hendra, nah, sebelumnya kan mereka minta demo ke kita, udah tuh gue kirim lewat email, terus direspons minta ketemu, ya udah gue temuin ...."
"Ngapain ngikut label sih, Kris? Udah tahu sekarang banyak label yang gak jelas." Adit memotong kalimat Krisna, sambil meletakkan gitarnya agar bisa fokus bicara.
"Ya tetep aja, Dit. Kita butuh label buat publish sama promo sekaligus, lagian ini label bagus kok," timpal Krisna mencoba meyakinkan sahabatnya.
"Yaelah paling berapa duit sih buat promo tour kaya gitu? Gue ada duit, gak usah pesimis gitu deh, sampe butuh bantuan orang segala," gerutu Adit tidak setuju.
"Bukan kaya gitu konsepnya, Pak! Ini biar lo gak capek. Masa artis ngerjain promo, mikirin manggung di mana dan segala macam. Kita kan harusnya cuma latihan dan dapat jadwal manggung yang padet, mana bisa ngurusin yang lain," bantah Krisna.
"Ya udah gini, gue gak mau kontrak dari label, kontrak harus gue yang bikin. Lo tanya deh sama pak siapa tadi lo bilang?" tanya Adit, menjeda ucapannya.
"Hendra," jawab Krisna cepat.
"Nah, itu ... pak Hendra, lo bilang ke dia, kalau emang dia tertarik sama band kita, kontrak gue yang bikin. Ikutin mau gue intinya." Adit menjentikkan kedua jarinya di depan Krisna.
Krisna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia kebingungan, karena setahu dirinya, kontrak rekaman dengan sebuah label tentu pihak label yang menentukan, sesuai dengan jalur profesionalisme mereka. Bukan dari pihak band.
"Terus, lo udah kasih tahu anak-anak yang lain?" tanya Adit melirik Krisna yang bertampang bingung itu.
"Belum. Gue langsung ngomong ke elo dulu," jawab Krisna meraih cangkir kopi dan menyesap isinya. Berharap bisa sedikit menenangkan dirinya.
Sejurus kemudian, keduanya saling berdiam diri. Krisna paham kalau sahabatnya itu sedang dalam kondisi bad mood. Ia belum berani untuk meluruskan masalah kontrak tersebut pada saat ini.
___to be continue
Hari itu Adit terbangun di pagi hari, ia melihat ke arah jam dinding, pukul tujuh pagi, "sial, hari ini ikut papa ke kantor," batin Adit merasa kesal, mau tidak mau Adit harus mengikuti perintah Dimas jika masih ingin menikmati fasilitas milik Ayahnya itu, setidaknya sampai ia sukses di musik dan bisa menghasilkan uang sendiri. Adit merasa, sebentar lagi band Adam akan melejit mengalahkan band-band tenar lainnya, khayalannya sudah setinggi langit, ia bahkan sangat percaya diri akan berhasil. Adit segera bersiap untuk berangkat ke kantor, ia tidak ingin berlama lama disana, seribu alasan akan ia cari untuk segera pergi dari perusahaan Dimas. Setelah selesai mandi, telepon genggam Adit berbunyi, ia meraih benda pipih yang berada di dekatnya, dan melihat siapa yang menghubunginya, ternyata Dimas. "Halo," sapa Adit yang masih mengenakan handuknya. "Adit, sudah siap? Papa tunggu di kantor, ya," ucap Dimas memastikan anaknya datang. "Ok, Pa." Adit menutup t
Bel sekolah berbunyi, kegiatan belajar mengajar sudah usai. Seperti biasa, Adit dan Krisna mampir dulu ke studio band sekolah untuk bermain musik, mempunyai hobby yang sama membuat Krisna dan Adit cocok berteman."Sebentar lagi ada festival besar untuk tingkat pelajar antar sekolah, Dit. Mau ikutan gak?" Krisna terlihat antusias seraya memegang gitarnya."Ayo, siapa takut? Cari pemain yang lainnya gih, gue males nyariin," jawab Adit yang tingkat kepercayaan dirinya tinggi sekali saat berhubungan dengan musik."Gue suka gaya lo. Ok, gue cari, ya. Lo tinggal nyanyi aja pokoknya," ujar Krisna semangat.(Jreng jreng) Krisna memainkan intro lagu Nirvana yang berjudul Come As You Are, dengan fasih Adit langsung bersenandung menyanyikan lagu itu. "Come as you are, as you were. As I want you to be. As a friend, as a friend. As an old enemy," suara Adit begitu syahdu terdengar, sangat bagus, suara berat yang jantan membuat Ia terlihat memukau. Seketika perasaannya
Di halaman belakang rumah, Reina dan Widya menghindari konflik antara Dimas dan Adit. Sesungguhnya Widya ingin semua baik baik saja. Namun, ia sendiri tidak berdaya karena takut penyakit jantungnya kambuh. Sementara, Reina merasa iba kepada Adit, ternyata sifat keras sang Ayah masih sama seperti dulu. Melihat mantan kekasihnya yang menunduk malu, ia tidak tahan. Ingin rasanya memeluk lelaki itu untuk menenangkan diri bahwa ia tidak perlu merasa malu atau tidak enak hati. Hanya saja itu tidak mungkin dilakukannya. "Sekali lagi Tante minta maaf ya, Rei," ucap Widya tidak enak hati. "Gak apa-apa, Tan, kan aku juga dari dulu sering lihat pertengkaran mereka," jawab Reina seraya memegang tangan Widya. "Iya, kamu anak baik, selalu mengerti kondisi Adit." Widya tersenyum penuh rasa syukur bisa mengenal Reina. Sementara di ruang tamu, Adit dan Dimas masih saling membisu, Dimas terlihat sangat kesal dengan anak semata wayangnya itu dan Adit, masi
Adit mendatangi rumah orang tuanya, berharap mereka tidak ada di sana, sebenarnya ia merasa malas bertemu Dimas karena pasti mendesaknya untuk mengikuti keinginannya. Namun, di sisi lain, ia harus menyampaikan pesan bahwa Reina akan datang bertamu.Ia terdiam sejenak di depan pintu rumah. 'semoga papa gak ada' batin Adit. Ia membuka pintu dan melangkah masuk, melihat ke arah ruang tamu yang sepi, hatinya mulai tenang karena sepertinya hanya ada mbak Sum disana."Loh, kok kamu datang gak kasih kabar, Nak?" Widya menuruni tangga dan terkejut melihat putranya telah berada di ruang keluarga."Ya, Ma. Hm, Reina mau ke sini," jawab Adit sambil melirik-lirik ke sekitar ruangan mencari Dimas."Reina? Aduh ... sudah lama sekali mama gak dengar kabar anak itu, jam berapa Reina mau datang?" Widya terlihat antusias sambil menepuk bahu Adit."Sore kayaknya, Ma." Adit melangkah ke halaman belakang dan duduk di bangku kayu, tempat biasa ia dan W
Adit dan Reina sudah berada di sebuah restoran di dalam mall, mereka terlihat sangat senang dengan pertemuan itu. Bagaimana tidak, empat tahun lamanya tidak saling tahu kabar masing masing, akhirnya bisa terwujud hari ini karena Reina memutuskan untuk stay di Jakarta setelah menyelesaikan tesisnya."So, gimana kabar kamu, Dit? Wow... long time no see, ya." Reina tersenyum lebar, keceriaan menyelimuti wajahnya."Aku baik-baik aja ... gini-gini ajalah, kamu tuh yang apa kabar? Kok tahu-tahu udah sampai aja di Jakarta." Adit tersipu malu menahan rasa rindunya."Ha ha ha ... kaget ya aku datang? Surprise! Gak banyak yang tahu aku balik ke Indo kok, cuma orang tuaku dan kamu." Reina tertawa.Reina memang suka dengan kejutan-kejutan yang ia buat untuk Adit, pernah suatu hari, sewaktu Adit dan Reina masih menjalin hubungan jarak jauh, Adit merasakan rindu yang hebat di enam bulan setelah Reina pergi keluar negeri, Adit meminta Reina untuk pulang ke I
Teringat saat itu di hari minggu, masa rehat dari kegiatan belajar, seorang lelaki muda memetik gitar dengan santai di ruang tamu keluarga. Tiba-tiba keasikannya terganggu, ia mendengar suara gaduh dari pembicaraan kedua orang tuanya di dalam kamar.Tidak lama kemudian, ia melihat sang ayah, Dimas keluar dari kamarnya membanting pintu dengan keras. Wajah lelaki itu tampak merah dan berlalu dengan geram."Ada apa sih, Pa?" Adit terkejut mendengar bunyi pintu terbanting keras, lalu ia meletakkan gitar yang dipegangnya di atas meja.Dimas melewati putranya yang sedang berdiri menatap dirinya, ia berjalan ke arah luar dan meninggalkan rumah tanpa berkata apa-apa. Pemuda itu merasa khawatir pada ibunya. Ia melangkah ke arah kamar Dimas, mengetuknya dengan perlahan sambil memanggil, "Ma ....?" Adit ingin memastikan keadaan ibunya.Samar-samar ia mendengar suara isak tangis dari balik pintu kamar. Adit membuka pintu itu dan melongokkan kepalanya ke dalam ruangan