Disudut ruangan, Dara tertunduk lesu, selepas menerima panggilan telepon dari keluarganya. Bagaimana tidak, pasalnya sang bunda selalu menanyakan dirinya apakah sudah memiliki pacar atau belum. Karena menurut keluarganya seorang perempuan tidaklah baik jika sampai berumur 25 tahun tapi belum menikah. Bisa jadi bahan gunjingan tetangga. Dara mengembuskan nafas kasar lalu menenggelamkan kepalanya di antara kedua tangannya yang berada di meja.
"Masalah menikah lagi, Ra?" Nita bertanya seraya menarik sebuah kursi yang ada di depan Dara. Sontak saja kepalanya mendongak ke atas hingga bertemu sorot mata teduh sang sahabat. Nita merupakan salah satu sahabat dari Dara yang tahu tentang masalah yang sedang dihadapi perempuan itu. Keduanya tak pernah saling menutupi permasalahan yang sedang di hadapi. Mereka akan bercerita dan saling mencari solusi dari setiap masalah.
"Nggak tahu tuh, perasaan kolot banget pemikiran orang tua gue. Belum juga umur 25 udah ditodong suami aja. Dikira cari suami seperti cari baju kali, ya kali baju kalau gak cocok bisa di tukar atau di kasih ke orang lain. Masa iya suami gue mau gue tukar atau kasih ke orang lain, cari suami bagi gue ibarat bagaikan cari jarum di tumpukan jerami, alias sulit.” Cerocos Dara dengan wajah di tekuk. Sedangkan Nita hanya menatap iba pada sang sahabat.
"Hai Beib." Sapa Dion seraya melambai -lambaikan tangannya dan langsung mengambil tempat duduk di samping Dara. Gelas yang berisi minuman Dara pun tak luput dari serangan mendadaknya. Dara yang di sampingnya hanya menatap malas ke arahnya.
"Lecek banget itu muka beib." Canda nya yang langsung mendapat sebuah tatapan horor dari si pemilik mata. Sontak beberapa orang yang ada di sana tak kuasa menahan tawa mereka.
"Masih tentang jodoh, Ra?" Tanya Arga, yang mengambil tempat duduk di samping Nita, sedangkan yang ditanya hanya mengedikkan kedua bahunya. Arga pria satu devisi dengannya, mempunyai wajah tampan dan teduh. Bibir yang sedikit menghitam karena menghisap zat bernikotin, alis tebal dengan bulu mata lentik, dan mata yang aduhai menghanyutkan.
"Kawin sama abang aja yuk, Neng?" Canda Dion yang tak mendapat respon dari lawan bicaranya. Dara sama sekali tak pernah menganggap yang diucapkan oleh Dion sebagai sesuatu yang penting. Karena memang Dion tak pernah bisa diajak serius saat berbicara, hanya buang tenaga saja.
"Nikah Yon, kawin-kawin lue pikir anak kucing apa main kawin-kawin aja." Timbal Nita yang tak terima dengan pemilihan kata dari Dion. Arga sendiri tak banyak berkomentar dengan urusan Dara. Dia termasuk orang yang tak ingin mencampuri urusan orang lain, karena hidupnya sendiri penuh cobaan.
"Kalau nikahin Dara bagaimana kabarnya dengan bebeb Shanaz gue, bisa digantung gue sama orang tuanya karena macarin anaknya tapi nikahnya sama perempuan lain". Tambah Dion sambil tertawa dan seketika dapat pukulan dari Arga, sedangkan Dara hanya diam tanpa berniat untuk menimpali pembicaraan mereka.
"Yee itu mah urusan lho Yon, sekarang yang ada pacaran lama bukan menjamin berlangsungnya ikatan sampai ke pelaminan. Ingat Yon sepertiga malam lebih mujarab di banding pacaran bertahun-tahun ya enggak, Yang?" Timpal Nita seraya mengedipkan satu matanya kepada Arga yang dibalas dengan sebuah senyuman yang menawan oleh pemiliknya.
"Terus loe sudah ada solusi belum, Ra?" tanya Arga yang sedari tadi hanya sebagai pendengar dari mereka. Dara menerawang ke atas, sembari mengaduk minuman yang tidak berkurang sedari tadi. Sibuk memikirkan bagaimana nasibnya membuat Dara tak terlalu bersemangat makan. Beberapa kali bahkan Arga yang membawakan sarapan untuknya.
"Gimana mau dapat solusi mas , pacar saja aku enggak punya. Masa sih aku harus terima pilihan dari Ayah." Ucap Dara dengan wajah Frustasi. Meskipun Dara yakin jika orang tuanya pasti akan memilihkan jodoh terbaik untuknya, namun dirinya terlalu takut untuk menikah dengan seseorang yang tak dikenalnya. Beberapa kali saat dirinya pulang kampung, orang tuanya memintanya untuk menemui anak teman ayahnya yang bekerja sebagai guru lah, ada juga yang pemilik rumah makan, ada pula yang seorang polisi namun dengan seribu alasan Dara selalu menghindar. Hingga beberapa bulan yang lalu maklumat dari orang tuanya yang mengatakan jika tak segera membawa calon suami maka mau tidak mau, suka tidak suka Dara harus menerima jodoh pilihan orang tuanya. Terus menerus memikirkan nasibnya membuat Dara kehilangan berat badannya beberapa kilo.
"Gimana kalau loe nikah aja sama Alfan?" saran Nita. Semua mata otomatis menatap Nita. Arga dengan sikap cueknya hanya menatap bergantian antara Dara dan Alfan, sedangkan Dion dengan kehebohannya langsung memeluk Dara dengan erat. Tak rela jika gadis yang di anggapnya pacar tersebut harus menikah dengan pria lain padahal dirinya sendiri punya kekasih.
"Uhuk - uhuk" Dara menatap Nita dengan pandangan yang seakan hendak membunuhnya hidup – hidup. Sebagai terdakwa Nita hanya memamerkan barisan gigi rapi serta putih seakan tak merasa bersalah dengan sarannya barusan.
"Nggak usah pakai melotot juga itu mata sudah kaya mau copot aja sih. Lagian enggak ada yang salah juga kan loe single dan Alfan juga single". Ucapnya sambil menyendok sebuah steak di depannya. Beberapa kali pandangannya jatuh kepada Alfan yang hanya diam tanpa ekspresi. Alfan memang terkenal sebagai pria dingin yang tak terjamah makhluk lain hingga terkadang orang lain merasa sungkan walau hanya sekedar untuk basa-basi. Meski telah banyak wanita di kantor merela yang terang-terangan mengungkapkan ketertarikannya dengan pria bermata elang tersebut.
"Loe tahu itu saran gila.” Ucap Dara.
"Kenapa gila? yang gue katakan benar kan sayang, kalian berdua kan sama - sama single jadi kenapa kalian enggak nikah saja. Loe enggak perlu terima perjodohan dari orang tua loe begitu pun Kania bakal punya Ibu untuk dirinya. Lagian kan Ra, loe juga sudah dekat sama Kania, Kania juga dekat sama loe, jadi apa yang mesti loe ragukan sih?" tambah Nita yang menganggap sarannya sudah benar.
"Gue memang dekat sama Kania, tapi bukan berarti dia berharap gue jadi pengganti ibunya, lagian ya belum tentu dia siap menerima ibu baru untuk dirinya." Elak Dara. Dirinya dan Alfan tak begitu dekat hingga dengan mudahnya menyerahkan sisa hidupnya dengan pria sepertinya.
"Tapi menurut gue yang dibilang Nita ada benarnya juga deh, kenapa tidak kita coba saja dulu, Ra." Tiba - tiba suara Alfan ikut menginterupsi di dalam percakapan mereka. Mata Dara seakan berhenti untuk bekerja hingga hanya bisa memandang ke arah Alfan dengan pandangan tak mengerti.
"Toh kita berdua juga sama -sama single kan? terus apa yang mesti loe takutin, Ra?"
“Selamat pagi, Papi."“Selamat pagi juga, Princess”.Kucium keningnya, kemudian kutarik kursi yang berada di samping tempat duduknya.“Pagi Pa, Ma”. Ucapku sambil menerima piring yang disodorkan oleh mama.“Hari ini princess cantik banget sih sayang, ada acara apa?” Tanyaku kepada gadis kecil berbando pink tersebut. Rambutnya sengaja dibiarkan terurai karena menurutnya dia akan terlihat lebih lucu dengan gayanya yang seperti itu. Tak heran karena dia juga memiliki pipi tembam yang semakin menggemaskan untuk dicubit.“Papi emangnya lupa?" Tanyanya balik kepadaku. Aku mengerutkan kening mencoba mengingat adakah hal penting hari ini. Namun sudah beberapa hitungan detik ingatan tentang janji tersebut tak jua aku temukan.“Memangnya ada apa sayang?, papi tidak ingat”. Ya mungkin karena beban pekerjaan jadi aku sering melupakan beberapa hal bahkan mungkin lupa pada hal yang penting sekali pun. Meskipun begitu aku beruntung karena di rumah aku memp
"Al, masih pagi Kenapa muka loe sudah lecek gitu sih, gue setrika juga muka lu lama-lama." kata Dion yang saat ini sedang berada di dalam lift bersamaku."Tahu ah, Pusing gue Yon, pagi ini Kania ada acara di sekolahnya, gue diminta Kania datang, tapi lu kan tahu kalau hari ini ada rapat jajaran komisaris.""Lah yang rapat kan pak bos, kenapa loe yang pusing." Sekilas menoleh ke arah pria jangkung yang tiba-tiba hadir tanpa di undang. Begini nih kalau punya teman otaknya pindah ke dengkul, bikin tambah enggak semangat kerja saja. Batinku dalam hati."Loe enggak ingat kalau Pak Bos beserta keluarganya lagi ada perjalanan bisnis ke Luar Negeri. Jadi beliau mengutus gue buat jadi perwakilannya." Jelasku dengan sedikit tidak santai, sedangkan Dion yang mendengar nada suaraku malah hanya tertawa saja. Dikiranya gue badut apa. Memang antara aku dan Dion pemikiran berbeda seratus delapan puluh derajat mungkin. Ya iyalah kalau dia segenius Alfan sudah pasti
Bagaimana acaranya tadi Princess?" Tanyaku kepada gadis kecil yang saat ini duduk di sampingku."Bagus banget pi, tadi ada yang bernyanyi, menari, baca puisi, pokoknya tadi aku suka banget pi." Ceritanya kepada sosok lelaki yang saat ini berada di samping sang putri dengan senyum yang tak lepas dari kedua sudut bibirnya."Princess sendiri tadi dapat bagian apa, sayang?" Masih dengan tatapan yang fokus kepada gadis kecil berbando pink dengan gaun warna putih yang menambah kesan cantik di wajah sang gadis belia tersebut."Kelas aku menampilkan drama Pih, jadi tadi aku sama teman-temanku jadi artis. Kalau sudah besar nanti Kania mau jadi artis beneran yah pi, biar terkenal dan membanggakan buat papi. Pokoknya tadi Kania seneng banget, pi." Gadis kecil yang bernama Kania tersebut menjawab pertanyaan ayahnya yang tak lain adalah Alfan seraya mulutnya memakan makanan, sedangkan sang ayah yang melihat bagaimana Kania bercerita ikut tersenyum. Kadang Alfan juga in
Mata ini masih menatap komputer di depan namun pikiranku berkelana entah ke dunia mana. Sedari tadi aku hanya memandangi layar tersebut tanpa melakukan tugas-tugasku. Kubiarkan saja tugas-tugas tersebut tergeletak di atas meja, barangkali nanti mungkin akan ada orang baik hati yang membantu mengerjakan tugas tersebut.Sudah seminggu ini aku tak fokus pada pekerjaan, hingga mengakibatkan diriku yang mendapat teguran langsung dari atasan yang tak lain adalah Alfan, ya dan kalian tahu karena pria itu pula yang membuatku tak fokus pada pekerjaanku akhir-akhir ini.Kupikir dia hanya bercanda saat memintaku menjadi mami Kania, tapi ternyata aku salah. Karena pada malam dia mengantarku pulang Alfan kembali berbicara seperti itu."Aku serius Ra, sama ucapan aku tadi. Dan aku harap kamu bisa mempertimbangkannya. Aku akan menerima apapun keputusan kamu."Ya seperti itulah yang Alfan ucapkan malam itu saat kami berada di dalam mobil dengan Kania ya
Pagi ini aku bangun lebih awal, semalam aku mendapat sebuah bisikan aneh agar pagi ini aku saja menyiapkan sarapan bagi penghuni rumah. Ya gimana pun aku tetaplah orang baru di kelurga ini, tak sopan rasanya jika aku terlihat malas dimata mertua. Memang pernikahan yang aku jalani bukanlah pernikahan impianku, tapi setidaknya orang tuaku menjunjung tinggi sopan santun dan itu yang sekarang coba aku terapkan pada keluarga baruku."Pagi-pagi enaknya buat sarapan apa ya?" Gumamku pada diri sendiri. Kubuka pintu kulkas, meneliti kiranya apa yang bisa kubuat dengan bahan-bahan yang masih tersedia disana."Ck, sepertinya Alfan belum belanja bulanan." Ucapku karena hanya melihat beberapa Snak kemasan ringan yang biasa jadi camilannya dan Kania. Sedangkan untuk membuat sarapan hanya ada telur dan jamur. Aku tanpa menggigit kuku jariku kebiasaan jika aku sedang berpikir."Buat nasi goreng aja kali ya." Gumamku seraya mengambil beberapa telur dari almari pendin
Suasana di dalam mobil terasa canggung, tak ada yang memulai pembicaraan antara aku dan Dara hanya terdengar suara musik dari radio yang kebetulan sedang kuputar. Sesekali aku menoleh ke arahnya, atau Dara menoleh ke arahku atau kadang juga tatapan kami saling bertabrak sebelum salah satu dari kita akan segera memutuskan pandangan tersebut.Sebelumnya kami memang tak begitu akrab, hanya sesekali saja kita pergi itu pun tak pernah hanya berdua jadi wajar saja jika saat ini kita terlibat kecanggungan saat hanya berdua begini.“Kamu biasa melakukan hal seperti itu?” tanyanya yang tak kumengerti.“Maksud kamu gimana?” tanyaku balik seraya menoleh kearahnya.“Biasa ngasih orang seperti tadi?” Jawabnya. Aku kembali menoleh kearahnya. Sebelum kembali melajukan mobil karena lampu yang sudah kembali hijau.“Tidak sering juga, hanya kadang saat kebetulan terjebak situasi sep
“Aku mencintaimu.” Dipeluknya tubuhku erat, bahkan kepalanya menempel sempurna di dada bidangku.“Dara kamu....” Lidahku terlalu kelu untuk berbicara, bahkan mataku pun yakin sudah melotot sempurna.“Aku mencintaimu, suamiku.” Ucapnya lagi dengan tersenyum. Bahkan genggaman tangannya terasa hangat menyentuh kulitku. Dara memperpendek jarak antara kita, matanya lekat menatap ke arahku hingga dapat kurasakan embusan nafasnya yang hangat. Mata kami saling pandang pada satu garis lurus yang sama hingga tanpa kusadari jarak antara kita semakin terkikis. Aku mendekatkan wajahku dengan wajahnya, kupejamkan kedua mataku yang juga di ikuti oleh Dara, bibir kami hampir saja bersentuhan jika saja tak kurasakan sebuah tepukan di wajahku.“Papi bangun.” Mataku seketika membeliak setelah mendengar suara Kania. Kutoleh sekitar ruangan dan aku baru menyadari rupanya aku telah tertidur di sofa ruang tamu. Ja
“Ini gulingnya nggak bisa di singkirkan, Ra?, barangkali kali butuh kehangatan dari tubuhku.” Ucap Alfan berbisik di dekat telinga Dara. Tengkuk leher Dara meremang merasakan nafas Alfan yang terasa sangat dekat dengan dengannya, Dara seketika berbalik, keduanya bertatap pada satu garis pandang yang sama. Alfan menyangga kepalanya dengan salah satu tangannya, tersenyum yang menampilkan barisan gigi rapi dan putihnya. Melihat reaksi spontan dari Dara yang melotot ke arahnya semakin memperlebar senyum di wajah Alfan.“Aduh sakit, Ra.” Memang pukulan dari tangan Dara tak begitu keras tapi Alfan hanya ingin menjahili istrinya. Bahkan pukulan tersebut tak ubahnya pukulan manja dari sang istri. Tak puas hanya dengan pukulan, Dara mengambil guling yang berada di tengah- tengah keduanya. Tak puas hanya dengan guling Dara kembali mengambil bantal dan melemparkannya ke arah Alfan hingga bantal yang menjadi alas kepalanya di bekapkan ke wajah Alfan.