Pagi ini aku bangun lebih awal, semalam aku mendapat sebuah bisikan aneh agar pagi ini aku saja menyiapkan sarapan bagi penghuni rumah. Ya gimana pun aku tetaplah orang baru di kelurga ini, tak sopan rasanya jika aku terlihat malas dimata mertua. Memang pernikahan yang aku jalani bukanlah pernikahan impianku, tapi setidaknya orang tuaku menjunjung tinggi sopan santun dan itu yang sekarang coba aku terapkan pada keluarga baruku.
"Pagi-pagi enaknya buat sarapan apa ya?" Gumamku pada diri sendiri. Kubuka pintu kulkas, meneliti kiranya apa yang bisa kubuat dengan bahan-bahan yang masih tersedia disana.
"Ck, sepertinya Alfan belum belanja bulanan." Ucapku karena hanya melihat beberapa Snak kemasan ringan yang biasa jadi camilannya dan Kania. Sedangkan untuk membuat sarapan hanya ada telur dan jamur. Aku tanpa menggigit kuku jariku kebiasaan jika aku sedang berpikir.
"Buat nasi goreng aja kali ya." Gumamku seraya mengambil beberapa telur dari almari pendingin. Memasangkan apron ke tubuhku.
"Ehh tapi mereka suka makanan yang berat-berat tidak ya buat sarapan?" Gumamku bermonolog pada diri sendiri. Tanpa sadar aku memijat kepalaku, begini ternyata rasanya jadi seorang istri yang harus berkutat dengan pekerjaan rumah tangga. Baru dua hari tugas ini kujalankan tapi rasanya sudah terasa sangat melelahkan. Kalau seperti ini aku akan lebih memilih bekerja di luar saja. Dalam situasi begini aku seketika teringat mama yang lebih memilih mengurus suami dan anak-anaknya dibanding bekerja diluar. Pasti rasanya sangat melelahkan atau bahkan mungkin lama-lama akan terasa membosankan.
"Nasi goreng sepertinya lebih banyak kalori, bagaimana kalau pagi ini kita sarapan Sandwich saja." Ucapku bermonolog dengan diri sendiri.
"Oke, saatnya beraksi." Kataku seraya mengambil beberapa bahan yang diperlukan. Seperti roti tawar, telur, keju, mayones, susu kental manis, daging, serta tak lupa beberapa sayuran sebagai pelengkap.
" Oke langkah pertama mari kita menggoreng smoke beef terlebih dahulu." Kuambil margarin untuk menggoreng. Suasana memang masih pagi, sehingga mungkin orang tua Alfan masih tidur setelah menunaikan kewajiban Shalat subuh tadi. Mereka sepertinya kelelahan, terbukti dengan tak adanya orang yang datang ke dapur meski suara dari aktivitasku yang mungkin sedikit berisik.
Sambil menunggu daging matang, aku memutuskan untuk membuat campuran yang lain. Seperti mengiris sayuran dan bumbu yang lainnya. Aku juga menambahkan jeruk nipis agar terasa lebih segar rasanya.
Tak terasa masakan yang tadi aku buat sudah selesai. “Tinggal menghidangkan ke meja makan deh.” Ucapku antusias seraya bertepuk tangan untuk diriku sendiri. Dari pihak keluargaku mereka menginap di salah satu paviliun yang dimiliki keluarga Alfan yang hanya berbeda beberapa rumah dari tempatku saat ini. Sesuai rencana mereka akan pulang hari ini alasannya kedua orang tuaku lebih nyaman hidup di desa di banding di pusat kota seperti Jakarta ini. Terlalu banyak polusi, ditambah orang-orang yang tak saling kenal, sangat berbeda dengan perkampungan yang mereka tempati. Lagi pula setelah akad kemarin kami tak akan menggelar resepsi seperti pernikahan umumnya Karena memang pernikahan ini hanya untuk kalangan sendiri. Barangkali hanya keluargaku, keluarga Alfan, beserta beberapa sahabat kami yang menghadiri pernikahan kemarin. Selain karena pernikahan tersebut yang hanya tercatat secara agama. Awalnya keluargaku keberatan dengan pernikahan ini, tapi ucapan dan janji Alfan berhasil meyakinkan kedua orang tuaku agar memberikan restunya kepada kita berdua.
“Loh, kamu ngapain, Ra?” suara seseorang berhasil membuyarkan lamunanku. “Ini lagi buat sarapan, Ma.” Jawabku kepada sosok yang barusan menyapaku. Seorang wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang mungkin sudah menginjak kepala lima itu. Wajah yang menurutku tak berubah meski sudah sekitar lima tahunan saat aku mengenalnya pertama kali. Tutur kata yang halus semakin menambah kesan awet mudanya.“Kenapa tidak nanti saja, kan mama bisa bantuin kamu. Kalau begini kan kamu jadi capek sendiri Ra.” Ucap mama mertuaku seraya menyiapkan piring untuk di tata di meja makan. Tak lupa mama juga membuat susu yang kuperkirakan susu tersebut untuk Kania. Aku segera memindahkan makanan-makanan tersebut ke meja makan sebelum anggota yang lain tiba di ruang makan.“Pagi mama, pagi Dara.” Ucap Alfan seraya turun dari tangga dengan Kania yang berada di gendongannya. Anak tersebut terlihat manja meski lebih sering bersikap dewasa mungkin karena keadaanlah yang menuntutnya agar lebih dewasa dibanding anak seusianya yang lain. Aku hanya tersenyum sekilas ke arahnya sementara tanganku masih sibuk dengan piring-piring yang sudah berisi Sandwich, tak lupa aku juga menyiapkan secangkir kopi untuk Alfan. Tadi saat di dapur mama memberi tahuku jika pagi-pagi Alfan harus meminum kopi, kebiasaan sang papa mertua yang turun kepada suamiku. Aku hanya membuat satu untuk Alfan sementara papa, mama bilang beliau sendiri yang akan membuatkan untuk suaminya. “Papa nggak suka minum kopi kalau bukan buatan mama, pernah sekali mama minta bibi yang membuatkan, tapi kata papa rasanya berbeda. Semenjak hari itu mama sendiri yang selalu membuatkan kopi untuk papa.” Begitu kata mama saat aku hendak membuatkan kopi untuk papa. Mungkin memang benar apapun yang di buat dengan kasih sayang pasti rasanya akan berbeda. Lebih sedap-sedap nikmat gimana gitu kalau kata bundaku.“Mama hari ini antar Kania ke sekolah lagi?” tanya Kania yang sudah duduk di kursi yang berada tepat di sampingku begitu pun Alfan yang berada di sampingnya. Atau bisa juga di bilang Kania berada di tengah-tengahku dan Alfan. Mungkin kalau kita makan seperti ini di luar rumah pasti orang-orang akan melihat kami sebagai pasangan yang harmonis. Namun jika mereka semakin dekat dengan arah kami maka mungkin juga mereka akan melihat lubang yang mengangga diantara kita. Namun bagaimanapun ini adalah pilihan yang sudah kupilih. “Hari ini Kania ke sekolahnya di antar papi dulu ya. Emm Mama Dara harus mengantar ayah dan bundanya ke bandara sayang. Kan hari ini nenek dan kakek pulang.” Ucap Alfan terdengar terbata-bata seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Oh jadi nenek dan kakek akan pulang hari ini ya, ma? Kenapa tidak tinggal di rumah ini saja bareng kita?, kan lebih seru kalau ada banyak orang.” Tanya Kania beruntun.“Iya, nenek sama kakek kan sudah punya rumah sendiri di Yogyakarta sayang. Kalau mereka tinggal disini terus rumah yang di Jogja nggak ada yang menempati dong.” Jawabku seraya menjawil pipinya yang bulat sebulat tahu bulat itu.“Oh... Papi Yogyakarta itu mana?, jauh tidak?, Kania mau ke rumah kakek dan nenek.” Dia berkata seraya mengedip- ngedipkan matanya lucu, sedangkan mulutnya masih mengunyah makanan. “Nggak jauh kok sayang, kapan-kapan kita akan ke rumah nenek dan kakek tapi kalau Kania libur sekolahnya jadi kita bisa sekalian berlibur disana deh.” Ucapku seraya mengusap pucuk kepalanya penuh kasih sayang. “Nanti aku antar Kania ke sekolah dulu habis itu aku temani kamu mengantar ayah dan bunda. Kamu tunggu sampai aku pulang.” Kata Alfan yang mengalihkan pandanganku dari gadis kecil tersebut.“Tidak usah, Al. Nanti aku yang akan antar ayah dan bunda ke bandara sendiri saja. Aku nggak mau terlalu merepotkanmu.” “Merepotkan apanya?, ayah bunda kamu berarti mertua aku yang dalam artian mereka berdua juga orang tuaku.” Mertua?, Alfan menganggap ayah dan bunda mertuanya?, berarti dia juga menganggap aku istrinya begitu?, mataku mendelik kearahnya tapi sepertinya dia tak menghiraukannya. Bukankah dia harusnya sadar bahwa pernikahan yang kita jalani bukan pernikahan normal seperti yang lainnya.“A-aku.....” lidahku kelu, tenggorokan juga terasa serat hanya untuk menelan ludah. Pikiranku buntu, pandanganku berlari ke mana saja agar tak berserobok dengan pandangan tajam pria di depanku. Jantung... oh jangan tanyakan bagaimana detak jantungku yang jedag-jedug tak karuan sekarang. Yang mungkin saja bisa mengalahkan musik di clup malam. Duh hiperbola banget sih, Ra. Rutukku kepada diri sendiri.“Bagaimana kalau kita mencoba malam ini, Ra?” duh gusti, aku harus jawab apa?, kalau menolak takutnya dia kecewa dan tak akan meminta hal itu lagi, juga bukannya menolak suami tanpa alasan dosa, tapi kalau aku mengiyakan bisa saja Alfan menganggap aku wanita gampangan yang bisa di ajak berhubungan meski tanpa cinta. Cinta?, mungkin saja aku sudah cinta hanya saja aku tak yakin dengan Alfan. Pria itu terkenal dingin dan tertutup. Layaknya kutup utara. Bahkan selama menikah tak banyak cerita yang dia bagi kepadaku.“A...aku.”
Dara sedang duduk dengan bersandar kepala ranjang. Di tangannya terdapat gawai kesayangan. Gawai dengan lambang apel di gigit. Matanya tak lepas mengawasi gambar Kania yang ada di dalamnya. Pikirannya terus berkelana kepada wanita yang sempat dia temui beberapa kali namun tak pernah tahu siapa namanya. Siapa yang menduga jika dia akan berkenalan langsung dengan seseorang ingin dia temui itu.“Embun.” Iya Dara masih ingat betul siapa nama perempuan yang tadi siang dia temui. Perempuan dengan kulit putih dan rambut hitam panjang sebatas punggung. Entah mengapa dia merasa mengenal Embun. Mata indah dan lesung pipi jika perempuan itu tersenyum seakan sering Dara lihat. Dara tak merasa asing dengan ekspresi tersebut. Sekilas Kania seperti kemiripan dengan Embun. Tapi bagaimana mungkin?, mungkin hanya pikirannya saja.“Aku pikir kamu belum pulang.” Dara terlonjak dari lamunannya. Tanpa memandang-pun Dara jelas tahu siapa pemilik suara itu. Dar
Butuh waktu lebih dari empat puluh menit bagi Dara untuk sampai ke tempat tujuan. Hujan yang turun tanpa aba-aba otomatis membuat perjalanannya lebih lama. Cuaca akhir-akhir ini memang seperti tidak bersahabat. Jika pagi cerah bisa saja siang hujan turun dengan derasnya. Sama seperti hari ini. Dara tadi sempat memberi kabar kepada Gladis jika dirinya akan telat nanti dan meminta sang adik memesan beberapa makanan selagi menunggu dirinya yang masih terjebak macet. Meski siang ini kendaraan tak terlalu ramai, namun air yang menggenangi jalanan membuat Dara melajukan kendaraannya di bawah rata-rata. Dara ingin mengumpat merasakan jalanan yang tergenang air, namun dia tak ingin gadis kecil yang sedang duduk manis di kursi samping kemudinya tak nyaman. Bagaimanapun Dara ingin menjadi sosok ibu yang baik untuk Kania. Bukan karena dia ingin menunjukkan ke Alfan kalau dirinya bisa menjadi sosok ibu yang baik untuk sang putri semata wayang, melainkan memang hatinya yang seperti sudah bertaut
Harusnya saat ini aku sudah mendapat jawaban tentang sosok Reyhan, namun sepertinya tuhan sedang ingin menguji kesabaranku dan memainkan teka-teki tentang siapa Reyhan. Kania yang tiba-tiba muncul dan mengatakan ingin tidur kami menjadi tersangka utamanya. Marah?, tidak mungkin bisa. Setiap langkah kecilnya memasuki pintu seakan mengundangku untuk menariknya ke dalam pelukan. Gadis kecil yang memakai baju tidur berwarna pink tersebut tak segera naik ke ranjang kami. Dirinya masih berdiri tegak di depan ranjang di mana aku dan Dara sedang duduk dan menatapnya bingung. Aku dan Dara saling pandang penuh tanya.“Hei, kenapa masih berdiri di sana, Princess?” tanyaku segera turun dari ranjang dan menghampirinya. Kania menatap bergantian antara aku dan Dara yang membuat kami semakin bingung. Kania menunduk, menyembunyikan wajahnya dari tatapan penuh tanyaku. Jemari-jemarinya saling bertautan. Kurentangkan kedua telapak tanganku guna memeluknya. Tubuhku yang lebih tin
Dara yang sedang duduk di meja rias seketika menoleh ke arah Pintu begitu telinganya mendengar derit pintu yang terbuka, menampilkan sang suami yang berjalan menuju tempat tidur mereka. Alfan memilih duduk dengan bersandar pada kepala ranjang dengan tangan yang sibuk dengan gawai pintarnya. Dara sesekali mencuri pandang lewat pantulan cermin.Dara melangkahkan kakinya menuju tempat tidur begitu ritual Skin care malamnya telah selesai. Dia segera duduk di tepi ranjang , mengambil ponsel yang terletak di nakas yang berada tepat di samping ranjangnya. Dirinya menata bantal sebelum ikut duduk dengan bersandar pada kepala ranjang mengikuti posisi sang suami. Beberapa menit keduanya sibuk dengan gawai masing-masing. Denting jam dinding menjadi satu-satunya bunyi yang tercipta di ruangan tersebut.“Besok sepertinya aku ijin tidak berangkat kerja dulu.” Ucap Dara begitu meletakkan ponselnya ke nakas. Alfan menautkan kedua alisnya seakan bertanya alasan apa yang m
“Di mana sih mereka?” monolog Dara pada dirinya sendiri. Matanya mengedar sekeliling kantin perusahaan yang memang selalu ramai seperti biasa. Dara telat sepuluh menit karena harus mengerjakan tugas yang tanggung untuk tinggalkan jadilah seperti sekarang. Sebenarnya Dara tidak begitu lapar, hanya saja sejak tadi Nita terus menghubunginya yang mengatakan ingin makan siang bersama dan dirinya tidak menerima penolakan. Dara mengambil ponselnya berniat menghubungi Nita namun tiba-tiba tangannya terlebih dahulu di tarik seseorang. Dara berniat melawan namun kembali dia urungkan begitu pandangannya menangkap sosok yang menarik tangannya adalah pria yang sangat di kenalnya.“Mereka duduk di meja ujung. Kalau kamu lihatnya dari sini ya tidak akan terlihat.” Alfan menarik tangan Dara, keduanya berjalan menuju meja ujung. Di sana sudah ada Nita, Arga, dan Dion. Dara duduk di antara Alfan dan Dion, sementara di depan mereka ada Nita dan Arga yang di dep
Cuaca pagi hari ini terasa hangat karena matahari telah menyapa bumi dengan sempurna, namun berbanding terbalik dengan situasi di dalam sebuah mobil yang sedang di kemudikan oleh Alfan. Dua makhluk yang mengisi di dalamnya masih belum ada yang mencoba mencairkan suasana beku yang tercipta. Dara merasakan jika akhir-akhir jantungnya tak normal karena setiap berdekatan dengan Alfan jantungnya seakan berdetak lebih cepat di banding biasanya. Dara duduk di kursi penumpang dengan gelisah, beberapa kali Dara mengalihkan pandangan ke arah luar jendela lalu kembali sibuk dengan gawai pintarnya. Alfan tahu jika beberapa kali Dara mencuri pandang ke arah dirinya lewat kaca spion yang ada di dalam mobil namun dia memilih pura-pura tidak tahu dan fokus dengan stir bundarnya. Bukan karena Alfan tak ingin mencairkan suasana namun dirinya juga merasa bingung harus memulai pembicaraan tentang apa. Mereka tak ubahnya dua orang asing yang tinggal bersama hingga untuk memulai pembicaraan saja terasa s
Pagi telah tiba, cahaya matahari yang masuk melewati celah gorden kamar mengusik tidur Dara. Dara menggeliat sebelum kemudian menyembunyikan wajah di dada bidang sang suami, hingga dapat di rasakan jelas hembusan nafas hangatnya oleh Dara. Dara merasakan bagian perutnya terasa berat, dirinya mengerjapkan matanya berulang, masih mencoba membiasakan dengan cahaya yang sedikit menyilaukan matanya. Pandangannya turun ke bawah hingga menampakkan tangan kekar yang melingkar erat di bagian perutnya. Meski dirasa berat, toh nyatanya Dara tak ingin menyingkirkan tangan sang pria yang sekarang mulai mengisi hatinya itu. Posisi tidur yang saling berhadapan memudahkan Dara memandangi wajah teduh sang suami. Dara merapikan bagian depan rambut Alfan yang terlihat acak-acakan tersebut dengan tangannya. Perlahan tangannya turun meraba wajah tegas namun penuh kasih sayang dan turun ke rahang kokohnya. Dara mengecup sekilas kening sang suami, sebelum sebelah tangannya menurunkan tangan po
Tuhan apakah aku sudah jatuh cinta kepada Alfan dengan begitu mudahnya. Seseorang yang tak pernah aku bayangkan akan menjadi salah satu sosok yang mengambil alih duniaku. Meskipun begitu, aku masih terlalu meragu untuk mengatakan jika perasaan yang kumiliki saat ini adalah bentuk cinta dan bukan rasa kagum semata. Tuhan semoga saja aku tak salah melabuhkan hati pada pelabuhan yang semestinya.Tuhan apakah aku sudah salah karena selama ini mempermainkan ikatan yang begitu sakral?, meskipun pernikahanku yang kita jalani bukan pernikahan atas dasar saling mencintai, tapi bukankah tidak ada yang tidak mungkin menurut sang kuasa?, lalu bagaimana jika aku dan Alfan di takdirkan berjodoh?. Bukankah seharusnya aku berusaha membuat Alfan mencintaiku? Dan juga sebaliknya.Jika dulu aku pernah berdoa kepadamu agar kelak di jodohkan dengan Reyhan, maka mulai sekarang aku akan mengubahku doaku, memintamu agar melunakkan hatiku, agar lebih ikhlas menerima pria lain sebagai imamku.