Suasana di dalam mobil terasa canggung, tak ada yang memulai pembicaraan antara aku dan Dara hanya terdengar suara musik dari radio yang kebetulan sedang kuputar. Sesekali aku menoleh ke arahnya, atau Dara menoleh ke arahku atau kadang juga tatapan kami saling bertabrak sebelum salah satu dari kita akan segera memutuskan pandangan tersebut.
Sebelumnya kami memang tak begitu akrab, hanya sesekali saja kita pergi itu pun tak pernah hanya berdua jadi wajar saja jika saat ini kita terlibat kecanggungan saat hanya berdua begini.
“Kamu biasa melakukan hal seperti itu?” tanyanya yang tak kumengerti.
“Maksud kamu gimana?” tanyaku balik seraya menoleh kearahnya.
“Biasa ngasih orang seperti tadi?” Jawabnya. Aku kembali menoleh kearahnya. Sebelum kembali melajukan mobil karena lampu yang sudah kembali hijau.
“Tidak sering juga, hanya kadang saat kebetulan terjebak situasi seperti tadi saja.” Jawabku seraya fokus kembali ke kemudi.
“Kenapa nggak di kasih ke yayasan yang memang sudah ada ijinnya?, atau ke masjid atau musholla yang jelas-jelas ada pengurusnya?, bisa jadikan kalau mereka hanya memanfaatkan situasi saja?, memanfaatkan belas kasih seseorang demi mendapatkan keuntungannya sendiri.”
“Aku memberi mereka ya memang aku ingin membagi sebagian rezekiku kepada mereka, terserah mereka membohongiku atau tidak yang jelas aku hanya ingin memberi sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta.” Jelasku kepada Dara. Entah dia bakal berpikir aku munafik atau bagaimana hanya saja memang seperti itulah diriku.
“Kamu tahu, Ra?, banyak orang diluar sana yang tidak seberuntung kita dalam hal materi, kamu lihat bapak-bapak disana? Beliau mungkin berdiri disana dari pagi, menghalau teriknya matahari seraya membawa tempat asongan itu?, padahal belum tentu akan ada orang yang menyemir di tempatnya?, atau dia mengabaikan tatapan orang yang memandang rendah dirinya. Kamu tahu kenapa dia masih menjalani pekerjaannya?” Tanyaku setelah tadi aku menunjuk pada salah satu bapak-bapak tukang asongan yang berada di sekitar jalanan lampu merah, kurang lebih usianya sama dengan kedua orang tuaku, Dara hanya menatap lekat ke arahku setelah tadi ikut mengikuti arah jemariku.
“Bapak tersebut lebih baik mendapatkan uang sedikit tapi halal, dibanding harus memberi nafkah anak dan istrinya dengan uang haram. Kamu juga mungkin nggak tahu kalau aku sering melihatnya memasukkan infaq ke masjid. Itu pula yang awalnya membuatku malu karena di bandingkan dengan rezeki yang kuperolah tentu rezekinya jauh di bawahku, tapi dia tetap menyisihkan rezekinya untuk bersedekah.” Terangku panjang lebar. Dara hanya ber oh riya sebagai jawaban.
“Aku baru tahu kalau kamu punya pemikiran seperti itu. Sangat berbeda dengan yang terlihat di luar.” Ya aku tahu maksud dari kata-katanya, karena memang kesan yang terlihat akan mengatakan kalau aku pasti pria dingin namun....
“Memangnya aku kalau di luar terlihat seperti apa?” tanyaku kembali. Aku mungkin bisa menebak jawabannya tapi aku hanya ingin memastikan bagaimana pandangan dirinya terhadapku.
“Kamu terlihat sangat dingin kalau di luar, hanya memikirkan pekerjaan saja. Sangat berbeda kalau bersama keluarga.” Ucapnya seraya mengamati jalanan yang tampak lenggang karena memang saat ini masih masuk jam kerja, jadi jalanan tak begitu ramai seperti saat biasanya kita berangkat atau pulang kerja. Dimana mobil-mobil akan terparkir rapi di sepanjang jalan hingga sering mengakibatkan kemacetan yang panjang.
“Orang yang tak begitu kenal akan mengiraku membosankan bukan?, atau ada pula yang menganggap aku ini dingin atau kejam?, yang benar adalah aku menempatkan posisi pada siapa aku berhadapan. Aku bisa bersikap baik atau jahat semua itu tergantung partnerku. Hahaha...” Ucapku seraya tertawa. Jelas tawaku tersebut memicu Dara agar menoleh ke arahku dan tawaku seketika berhenti saat menangkap raut heran di wajahnya.
“Ehemm...” aku berdehem sebagai bentuk dari rasa kecanggungan yang kembali kurasakan. Dara yang merasa terciduk telah memandangku segera mengalihkan pandangannya keluar jendela.
Lalu kecanggungan kembali hadir di tengah-tengah kita hingga mobil melaju seakan melambat.
“Alfan.” Ucapnya sesaat sebelum aku membuka seatbelt.
“Ya” jawabku singkat. Hendak menunggu kiranya kata apa yang akan dia ucapku. Terlihat Dara ragu-ragu untuk berbicara. Telapak tangannya sesekali meremas telapak tangannya yang lain. Sedangkan aku masih menanti kelanjutan kata-katanya.
“Kamu nggak perlu memikirkan ucapan ayah dan bunda, kita bisa bersikap layaknya suami istri jika hanya berhadapan dengan keluarga kita, diluar itu kita bisa bersikap sebagai teman. Aku memang istri kamu kalau di rumah tapi aku wanita lajang jika di luar. Begitu pun dengan kamu, kamu bisa menjadi pria lajang jika luar. Aku berhak dekat dengan pria lain begitu pun kamu, karena aku tidak ingin di kekang. Kamu tentu paham kan yang aku bicarakan.” Katanya menatap tajam ke arahku. Masih jelas teringat kata-kata bunda yang ingin segera menimang cucu. Tentu saat itu kami saling pandang, merasa tak ada jawaban atas apa di minta oleh bunda. “Kami masih ingin fokus bekerja dulu bun. Aku juga perlu adaptasi dengan keluarga Alfan masih harus mendampingi Kania yang masih perlu kasih sayang dari kita berdua.” Jawab Dara saat kami semua sedang menunggu jam terbang pesawat di kantin bandara. Kita memang lebih memilih berangkat lebih awal daripada harus mepet jam penerbangan. Suara pintu mobil yang tertutup berhasil mengembalikan kesadaranku dari lamunan. Aku segera keluar mobil menyusul langkah Dara yang sudah berada di depan pintu. Aku mengeluarkan kunci cadangan yang memang selalu kubawa sebagai antisipasi jika sampai pulang kerja larut. Sepertinya tidak ada penghuni di dalam rumah terbukti setelah beberapa kali Dara mengetuk pintu namun tak kunjung terbuka.
“Kenapa nggak bilang kalau kamu bawa kunci cadangan. Jadi aku nggak perlu nunggu lama di depan tadi.” Ucapnya sedikit kesal setelah aku memasuki rumah sedangkan dirinya terlihat membawa minuman dari arah dapur.
“Memangnya kamu tanya.” Jawabku seraya melepas jaket yang sedari tadi kukenakan. Merenggangkan kedua tanganku yang sedikit pegal karena pulang pergi harus menyetir. Kurebahkan kepalaku ke sandaran sofa dengan mata terpejam.
“Ihh dasar cowok nyebelin, kalau aku nggak tanya harusnya kamu ngasih tahu aku. Atau kamu jangan – jangan kamu memang sengaja supaya aku nunggu lama tadi kan.” Ucapnya seraya mencebikkan bibir lalu berlalu kearah kamar.
Aku hanya melirik sekilas kearahnya, mataku terlalu berat untuk kuajak terbuka. Sepertinya pernikahan kemarin cukup menguras tenagaku, memang tak besar dan tak semeriah pernikahanku yang pertama tapi rupanya cukup membuatku lelah.
Aku melangkah kearah kamarku yang sekarang juga menjadi kamar Dara. Memutar ganggang pintu tatapanku seketika bertemu tatapan mata wanita yang tengah tersenyum ke arahku. Kakiku refleks mendekat setelah tadi menutup pintu. Wanita tersebut juga tersenyum dan melangkahkan kakinya mendekat kepadaku. Jarak antara aku dan dirinya hanya beberapa jengkal kaki saja.
“Aku mencintaimu.” Dipeluknya tubuhku erat, kepalanya bahkan menempel sempurna di dadaku.
“Dara kamu.....”
“A-aku.....” lidahku kelu, tenggorokan juga terasa serat hanya untuk menelan ludah. Pikiranku buntu, pandanganku berlari ke mana saja agar tak berserobok dengan pandangan tajam pria di depanku. Jantung... oh jangan tanyakan bagaimana detak jantungku yang jedag-jedug tak karuan sekarang. Yang mungkin saja bisa mengalahkan musik di clup malam. Duh hiperbola banget sih, Ra. Rutukku kepada diri sendiri.“Bagaimana kalau kita mencoba malam ini, Ra?” duh gusti, aku harus jawab apa?, kalau menolak takutnya dia kecewa dan tak akan meminta hal itu lagi, juga bukannya menolak suami tanpa alasan dosa, tapi kalau aku mengiyakan bisa saja Alfan menganggap aku wanita gampangan yang bisa di ajak berhubungan meski tanpa cinta. Cinta?, mungkin saja aku sudah cinta hanya saja aku tak yakin dengan Alfan. Pria itu terkenal dingin dan tertutup. Layaknya kutup utara. Bahkan selama menikah tak banyak cerita yang dia bagi kepadaku.“A...aku.”
Dara sedang duduk dengan bersandar kepala ranjang. Di tangannya terdapat gawai kesayangan. Gawai dengan lambang apel di gigit. Matanya tak lepas mengawasi gambar Kania yang ada di dalamnya. Pikirannya terus berkelana kepada wanita yang sempat dia temui beberapa kali namun tak pernah tahu siapa namanya. Siapa yang menduga jika dia akan berkenalan langsung dengan seseorang ingin dia temui itu.“Embun.” Iya Dara masih ingat betul siapa nama perempuan yang tadi siang dia temui. Perempuan dengan kulit putih dan rambut hitam panjang sebatas punggung. Entah mengapa dia merasa mengenal Embun. Mata indah dan lesung pipi jika perempuan itu tersenyum seakan sering Dara lihat. Dara tak merasa asing dengan ekspresi tersebut. Sekilas Kania seperti kemiripan dengan Embun. Tapi bagaimana mungkin?, mungkin hanya pikirannya saja.“Aku pikir kamu belum pulang.” Dara terlonjak dari lamunannya. Tanpa memandang-pun Dara jelas tahu siapa pemilik suara itu. Dar
Butuh waktu lebih dari empat puluh menit bagi Dara untuk sampai ke tempat tujuan. Hujan yang turun tanpa aba-aba otomatis membuat perjalanannya lebih lama. Cuaca akhir-akhir ini memang seperti tidak bersahabat. Jika pagi cerah bisa saja siang hujan turun dengan derasnya. Sama seperti hari ini. Dara tadi sempat memberi kabar kepada Gladis jika dirinya akan telat nanti dan meminta sang adik memesan beberapa makanan selagi menunggu dirinya yang masih terjebak macet. Meski siang ini kendaraan tak terlalu ramai, namun air yang menggenangi jalanan membuat Dara melajukan kendaraannya di bawah rata-rata. Dara ingin mengumpat merasakan jalanan yang tergenang air, namun dia tak ingin gadis kecil yang sedang duduk manis di kursi samping kemudinya tak nyaman. Bagaimanapun Dara ingin menjadi sosok ibu yang baik untuk Kania. Bukan karena dia ingin menunjukkan ke Alfan kalau dirinya bisa menjadi sosok ibu yang baik untuk sang putri semata wayang, melainkan memang hatinya yang seperti sudah bertaut
Harusnya saat ini aku sudah mendapat jawaban tentang sosok Reyhan, namun sepertinya tuhan sedang ingin menguji kesabaranku dan memainkan teka-teki tentang siapa Reyhan. Kania yang tiba-tiba muncul dan mengatakan ingin tidur kami menjadi tersangka utamanya. Marah?, tidak mungkin bisa. Setiap langkah kecilnya memasuki pintu seakan mengundangku untuk menariknya ke dalam pelukan. Gadis kecil yang memakai baju tidur berwarna pink tersebut tak segera naik ke ranjang kami. Dirinya masih berdiri tegak di depan ranjang di mana aku dan Dara sedang duduk dan menatapnya bingung. Aku dan Dara saling pandang penuh tanya.“Hei, kenapa masih berdiri di sana, Princess?” tanyaku segera turun dari ranjang dan menghampirinya. Kania menatap bergantian antara aku dan Dara yang membuat kami semakin bingung. Kania menunduk, menyembunyikan wajahnya dari tatapan penuh tanyaku. Jemari-jemarinya saling bertautan. Kurentangkan kedua telapak tanganku guna memeluknya. Tubuhku yang lebih tin
Dara yang sedang duduk di meja rias seketika menoleh ke arah Pintu begitu telinganya mendengar derit pintu yang terbuka, menampilkan sang suami yang berjalan menuju tempat tidur mereka. Alfan memilih duduk dengan bersandar pada kepala ranjang dengan tangan yang sibuk dengan gawai pintarnya. Dara sesekali mencuri pandang lewat pantulan cermin.Dara melangkahkan kakinya menuju tempat tidur begitu ritual Skin care malamnya telah selesai. Dia segera duduk di tepi ranjang , mengambil ponsel yang terletak di nakas yang berada tepat di samping ranjangnya. Dirinya menata bantal sebelum ikut duduk dengan bersandar pada kepala ranjang mengikuti posisi sang suami. Beberapa menit keduanya sibuk dengan gawai masing-masing. Denting jam dinding menjadi satu-satunya bunyi yang tercipta di ruangan tersebut.“Besok sepertinya aku ijin tidak berangkat kerja dulu.” Ucap Dara begitu meletakkan ponselnya ke nakas. Alfan menautkan kedua alisnya seakan bertanya alasan apa yang m
“Di mana sih mereka?” monolog Dara pada dirinya sendiri. Matanya mengedar sekeliling kantin perusahaan yang memang selalu ramai seperti biasa. Dara telat sepuluh menit karena harus mengerjakan tugas yang tanggung untuk tinggalkan jadilah seperti sekarang. Sebenarnya Dara tidak begitu lapar, hanya saja sejak tadi Nita terus menghubunginya yang mengatakan ingin makan siang bersama dan dirinya tidak menerima penolakan. Dara mengambil ponselnya berniat menghubungi Nita namun tiba-tiba tangannya terlebih dahulu di tarik seseorang. Dara berniat melawan namun kembali dia urungkan begitu pandangannya menangkap sosok yang menarik tangannya adalah pria yang sangat di kenalnya.“Mereka duduk di meja ujung. Kalau kamu lihatnya dari sini ya tidak akan terlihat.” Alfan menarik tangan Dara, keduanya berjalan menuju meja ujung. Di sana sudah ada Nita, Arga, dan Dion. Dara duduk di antara Alfan dan Dion, sementara di depan mereka ada Nita dan Arga yang di dep
Cuaca pagi hari ini terasa hangat karena matahari telah menyapa bumi dengan sempurna, namun berbanding terbalik dengan situasi di dalam sebuah mobil yang sedang di kemudikan oleh Alfan. Dua makhluk yang mengisi di dalamnya masih belum ada yang mencoba mencairkan suasana beku yang tercipta. Dara merasakan jika akhir-akhir jantungnya tak normal karena setiap berdekatan dengan Alfan jantungnya seakan berdetak lebih cepat di banding biasanya. Dara duduk di kursi penumpang dengan gelisah, beberapa kali Dara mengalihkan pandangan ke arah luar jendela lalu kembali sibuk dengan gawai pintarnya. Alfan tahu jika beberapa kali Dara mencuri pandang ke arah dirinya lewat kaca spion yang ada di dalam mobil namun dia memilih pura-pura tidak tahu dan fokus dengan stir bundarnya. Bukan karena Alfan tak ingin mencairkan suasana namun dirinya juga merasa bingung harus memulai pembicaraan tentang apa. Mereka tak ubahnya dua orang asing yang tinggal bersama hingga untuk memulai pembicaraan saja terasa s
Pagi telah tiba, cahaya matahari yang masuk melewati celah gorden kamar mengusik tidur Dara. Dara menggeliat sebelum kemudian menyembunyikan wajah di dada bidang sang suami, hingga dapat di rasakan jelas hembusan nafas hangatnya oleh Dara. Dara merasakan bagian perutnya terasa berat, dirinya mengerjapkan matanya berulang, masih mencoba membiasakan dengan cahaya yang sedikit menyilaukan matanya. Pandangannya turun ke bawah hingga menampakkan tangan kekar yang melingkar erat di bagian perutnya. Meski dirasa berat, toh nyatanya Dara tak ingin menyingkirkan tangan sang pria yang sekarang mulai mengisi hatinya itu. Posisi tidur yang saling berhadapan memudahkan Dara memandangi wajah teduh sang suami. Dara merapikan bagian depan rambut Alfan yang terlihat acak-acakan tersebut dengan tangannya. Perlahan tangannya turun meraba wajah tegas namun penuh kasih sayang dan turun ke rahang kokohnya. Dara mengecup sekilas kening sang suami, sebelum sebelah tangannya menurunkan tangan po
Tuhan apakah aku sudah jatuh cinta kepada Alfan dengan begitu mudahnya. Seseorang yang tak pernah aku bayangkan akan menjadi salah satu sosok yang mengambil alih duniaku. Meskipun begitu, aku masih terlalu meragu untuk mengatakan jika perasaan yang kumiliki saat ini adalah bentuk cinta dan bukan rasa kagum semata. Tuhan semoga saja aku tak salah melabuhkan hati pada pelabuhan yang semestinya.Tuhan apakah aku sudah salah karena selama ini mempermainkan ikatan yang begitu sakral?, meskipun pernikahanku yang kita jalani bukan pernikahan atas dasar saling mencintai, tapi bukankah tidak ada yang tidak mungkin menurut sang kuasa?, lalu bagaimana jika aku dan Alfan di takdirkan berjodoh?. Bukankah seharusnya aku berusaha membuat Alfan mencintaiku? Dan juga sebaliknya.Jika dulu aku pernah berdoa kepadamu agar kelak di jodohkan dengan Reyhan, maka mulai sekarang aku akan mengubahku doaku, memintamu agar melunakkan hatiku, agar lebih ikhlas menerima pria lain sebagai imamku.