Share

Bab 9

Suasana di dalam mobil terasa canggung, tak ada yang memulai pembicaraan antara aku dan Dara hanya terdengar suara musik dari radio yang   kebetulan sedang kuputar. Sesekali aku menoleh ke arahnya, atau Dara menoleh ke arahku atau kadang juga tatapan kami saling bertabrak sebelum salah satu dari kita akan segera memutuskan pandangan tersebut. 

Sebelumnya kami memang tak begitu akrab, hanya sesekali saja kita pergi itu pun tak pernah hanya berdua jadi wajar saja jika saat ini kita terlibat kecanggungan saat hanya berdua begini. 

“Kamu biasa melakukan hal seperti itu?” tanyanya yang tak kumengerti. 

“Maksud kamu gimana?” tanyaku balik seraya menoleh kearahnya. 

“Biasa ngasih orang seperti tadi?”  Jawabnya. Aku kembali menoleh kearahnya. Sebelum kembali melajukan mobil karena lampu yang sudah kembali hijau. 

“Tidak sering juga, hanya kadang saat kebetulan terjebak situasi seperti tadi saja.”  Jawabku seraya fokus kembali ke kemudi.

“Kenapa nggak di kasih ke yayasan yang memang sudah ada ijinnya?, atau ke masjid atau musholla yang jelas-jelas ada pengurusnya?, bisa jadikan kalau mereka hanya memanfaatkan situasi saja?, memanfaatkan belas kasih seseorang demi mendapatkan keuntungannya sendiri.” 

 “Aku memberi mereka ya memang aku ingin membagi sebagian rezekiku kepada mereka, terserah mereka membohongiku atau tidak yang jelas aku hanya ingin memberi sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta.” Jelasku kepada Dara. Entah dia bakal berpikir aku munafik atau bagaimana hanya saja memang seperti itulah diriku.

“Kamu tahu, Ra?, banyak orang diluar sana yang tidak seberuntung kita dalam hal materi, kamu lihat bapak-bapak disana? Beliau mungkin berdiri disana dari pagi, menghalau teriknya matahari seraya membawa tempat asongan itu?, padahal belum tentu akan ada orang yang menyemir di tempatnya?, atau dia mengabaikan tatapan orang yang memandang rendah dirinya. Kamu tahu kenapa dia masih menjalani pekerjaannya?” Tanyaku setelah tadi aku menunjuk pada salah satu bapak-bapak tukang asongan yang berada di sekitar jalanan lampu merah, kurang lebih usianya sama dengan kedua orang tuaku, Dara hanya menatap lekat ke arahku setelah tadi ikut mengikuti arah jemariku. 

“Bapak tersebut lebih baik mendapatkan uang sedikit tapi halal, dibanding harus memberi nafkah anak dan istrinya dengan uang haram. Kamu juga mungkin nggak tahu kalau aku sering melihatnya memasukkan infaq ke masjid. Itu pula yang awalnya membuatku malu karena di bandingkan dengan rezeki yang kuperolah tentu rezekinya jauh di bawahku, tapi dia tetap menyisihkan rezekinya untuk bersedekah.”  Terangku panjang lebar. Dara hanya ber oh riya sebagai jawaban.

“Aku baru tahu kalau kamu punya pemikiran seperti itu. Sangat berbeda dengan yang terlihat di luar.” Ya  aku tahu maksud dari kata-katanya, karena memang kesan yang terlihat akan mengatakan kalau aku pasti pria dingin namun....

“Memangnya aku kalau di luar terlihat seperti apa?” tanyaku kembali. Aku mungkin bisa menebak jawabannya tapi aku hanya ingin memastikan bagaimana pandangan dirinya terhadapku.

“Kamu terlihat sangat dingin kalau di luar, hanya memikirkan pekerjaan saja. Sangat berbeda kalau bersama keluarga.” Ucapnya seraya mengamati jalanan yang tampak lenggang karena memang saat ini masih masuk jam kerja, jadi jalanan tak begitu ramai seperti saat biasanya kita berangkat atau pulang kerja. Dimana mobil-mobil akan terparkir rapi di sepanjang jalan hingga sering mengakibatkan kemacetan yang panjang. 

“Orang yang tak begitu kenal akan mengiraku membosankan bukan?, atau ada pula yang menganggap aku ini dingin atau kejam?, yang benar adalah aku menempatkan posisi pada siapa aku berhadapan. Aku bisa bersikap baik atau jahat semua itu tergantung partnerku. Hahaha...” Ucapku seraya tertawa. Jelas tawaku tersebut memicu Dara agar menoleh ke arahku dan tawaku seketika berhenti saat menangkap raut heran di wajahnya. 

“Ehemm...” aku berdehem sebagai bentuk dari rasa kecanggungan yang kembali kurasakan. Dara yang merasa terciduk telah  memandangku segera mengalihkan pandangannya keluar jendela.

Lalu kecanggungan kembali  hadir di tengah-tengah kita hingga mobil melaju seakan melambat. 

“Alfan.” Ucapnya sesaat sebelum aku membuka seatbelt.

“Ya” jawabku singkat. Hendak menunggu kiranya kata apa yang akan dia ucapku. Terlihat Dara ragu-ragu untuk berbicara. Telapak tangannya sesekali meremas telapak tangannya yang lain. Sedangkan aku masih menanti kelanjutan kata-katanya.

“Kamu nggak perlu memikirkan ucapan ayah dan bunda, kita bisa bersikap layaknya suami istri jika hanya berhadapan dengan keluarga kita, diluar itu kita bisa bersikap sebagai teman. Aku memang istri kamu kalau di rumah tapi aku wanita lajang jika di luar. Begitu pun dengan kamu, kamu bisa menjadi pria lajang jika luar. Aku berhak dekat dengan pria lain begitu pun kamu, karena aku tidak ingin di kekang. Kamu tentu paham kan yang aku bicarakan.” Katanya menatap tajam ke arahku. Masih jelas teringat kata-kata bunda  yang ingin segera menimang cucu. Tentu saat itu kami saling pandang, merasa tak ada jawaban atas apa di minta oleh bunda. “Kami masih ingin fokus bekerja dulu bun. Aku juga perlu adaptasi dengan keluarga Alfan masih harus mendampingi Kania yang masih perlu kasih sayang dari kita berdua.” Jawab Dara saat kami semua sedang  menunggu jam terbang pesawat di kantin bandara. Kita memang lebih memilih berangkat lebih awal daripada harus mepet jam penerbangan. Suara pintu mobil yang tertutup berhasil mengembalikan kesadaranku dari lamunan. Aku segera keluar mobil menyusul langkah Dara yang sudah berada di depan pintu. Aku mengeluarkan kunci cadangan yang memang selalu kubawa sebagai antisipasi jika sampai pulang kerja larut. Sepertinya tidak ada penghuni di dalam rumah terbukti setelah beberapa kali Dara mengetuk pintu namun tak kunjung terbuka. 

“Kenapa nggak bilang kalau kamu bawa kunci cadangan. Jadi aku nggak perlu nunggu lama di depan tadi.” Ucapnya sedikit kesal setelah aku memasuki rumah sedangkan dirinya terlihat membawa  minuman dari arah dapur.

“Memangnya kamu tanya.” Jawabku seraya melepas jaket yang sedari tadi kukenakan. Merenggangkan kedua tanganku yang sedikit pegal karena pulang pergi harus menyetir. Kurebahkan kepalaku ke sandaran sofa dengan mata terpejam.

“Ihh dasar cowok nyebelin, kalau aku nggak tanya harusnya kamu ngasih tahu aku. Atau kamu jangan – jangan kamu memang sengaja supaya aku nunggu lama tadi kan.” Ucapnya seraya mencebikkan bibir lalu berlalu kearah kamar.

Aku hanya melirik sekilas kearahnya, mataku terlalu berat untuk kuajak terbuka. Sepertinya pernikahan kemarin cukup menguras tenagaku, memang tak besar dan tak semeriah pernikahanku yang pertama tapi rupanya cukup membuatku lelah.

Aku melangkah kearah kamarku yang sekarang juga menjadi kamar Dara. Memutar ganggang pintu tatapanku seketika bertemu tatapan mata wanita yang tengah  tersenyum ke arahku. Kakiku refleks mendekat setelah tadi menutup pintu. Wanita tersebut juga tersenyum dan melangkahkan kakinya mendekat kepadaku. Jarak antara aku dan dirinya hanya beberapa jengkal kaki saja.

“Aku mencintaimu.” Dipeluknya tubuhku erat, kepalanya bahkan menempel sempurna di dadaku.

“Dara kamu.....”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status