Share

Bab 4

“Selamat pagi, Papi."

“Selamat pagi juga, Princess”.

Kucium keningnya, kemudian kutarik kursi yang berada di samping tempat duduknya.

“Pagi Pa, Ma”. Ucapku sambil menerima piring yang disodorkan oleh mama.

“Hari ini princess cantik banget sih sayang, ada acara apa?” Tanyaku kepada gadis kecil berbando pink tersebut. Rambutnya sengaja dibiarkan terurai karena menurutnya dia akan terlihat lebih lucu dengan gayanya yang seperti itu. Tak heran karena dia juga memiliki pipi tembam yang semakin menggemaskan untuk dicubit.

“Papi emangnya lupa?" Tanyanya balik kepadaku. Aku mengerutkan kening mencoba mengingat adakah hal penting hari ini. Namun sudah beberapa hitungan detik ingatan tentang janji tersebut tak jua aku temukan. 

“Memangnya ada apa sayang?, papi tidak ingat”. Ya mungkin karena beban pekerjaan jadi aku sering melupakan beberapa hal bahkan mungkin lupa pada hal yang penting sekali pun. Meskipun begitu aku beruntung karena di rumah aku mempunyai mama yang bisa dibilang kalender berjalan aku, karena beliaulah yang sering memperingatkan aku akan hal yang sering kulupa. Kurasa keluargaku pun memaklumi karena Jabatan sebagai Wakil Direktur I yang aku miliki membuat sebagian ingatanku lebih terfokus pada pekerjaan. 

“Hari ini di sekolahnya Kania kan ada pertunjukan para siswa, setiap kelas mengirim perwakilannya, dan Kania masuk salah satu siswa yang terpilih di kelasnya.” Jelas mama kepadaku. Ya mama dan Kania memang pernah bercerita seperti itu kepadaku. Tapi aku sungguh lupa acaranya hari ini. Padahal sudah jauh-jauh hari mereka memperingatkanku untuk mengambil cuti kerja untuk acara sekolah Kania.

“Makanya kamu kalau kerja ingat keluarga juga, jangan hanya fokus kerja jadi sampai mengabaikan  keluarga terlebih sampai mengabaikan anak kamu." Ucap mama. 

“Ya kan aku kerja juga demi Kania, Ma, biar kehidupan dia juga berkecukupan, tidak perlu susah dulu jika ingin sesuatu. Dia juga perlu masuk sekolah yang berkualitas, rumah yang nyaman, fasilitas yang mencukupi. Aku cuma ingin kasih yang terbaik untuk orang yang aku sayangi." Ucapku tak mau disalahkan, walau dalam kenyataannya tetap aku merasa bersalah karena sudah banyak melewatkan perkembangan putriku. Aku mungkin hanya menemaninya sebelum tidur atau akhir pekan selebihnya Kania lebih sering bersama kedua orang tuaku. 

"Sudah- sudah, kalian bicarain ini kalau tidak ada Kania saja. Tapi Alfan, hari ini kamu bisa kan datang ke sekolah Kania, kamu juga jarang datang ke pertemuan Wali Murid."

Suara Papa menginterupsi percakapan antara aku dan mama. Aku menoleh ke  arah Kania yang terlihat tak begitu semangat dengan menu makanannya.

"Memangnya papi harus datang ke sekolah kamu sayang?" Kulembutkan sedikit nada bicaraku saat bertanya kepada Kania.

"Tidak juga sih, kata ibu guru aku yang penting ada perwakilan dari pihak keluarga, tapi kalau papi bisa datang aku pasti sangat senang."

Kuperhatikan matanya dan kudapatkan ada sebuah harapan  besar dari sorot mata itu. Kania adalah siswa kelas dua, sebenarnya dia kelas satu hanya saja karena saat kelas satu dia sudah menguasai semua pelajaran kelas satu, jadi pihak sekolah memutuskan agar Kania langsung berada di kelas dua. Aku sebagai orang tuanya tentu bangga karena apa yang sudah aku dan keluargaku lakukan bisa di praktikan oleh Kania dan tak jarang banyak yang memujinya karena kepintarannya yang bisa dibilang di atas teman seusia nya yang lain.

"Tapi papi hari ini ada rapat sayang, kamu ke sekolahnya ditemani oma saja ya." 

kulihat dia langsung menunduk dan apa itu.....matanya, matanya terlihat berkaca-kaca.

Oh jangan menangis princess, karena itu adalah hal yang sulit untuk papi lihat. Meskipun tak banyak waktu dengannya, tapi apa pun tentang Kania seakan menjadi kelemahan serta kekuatan untukku. Meski terkadang aku merasa bersalah jika ingat hanya memberinya materi sementara kasih sayang yang aku curahkan untuknya masih sangat kurang. 

"Hay  jangan sedih begitu sayang, papi janji lain kali papi akan datang ke sekolah kamu ya. Tapi nanti kalau papi tidak sibuk, tapi hari ini papi memang sibuk sayang". Kulihat Kania masih tak merespons kata-kataku. Tak hanya sekali dua kali aku membatalkan janji dengan putriku, mungkin Kania sendiri sudah enggan mendengar permintaan maafku yang tak terhitung jari. 

"Princess, jangan marah dong sama papi. Papi sedih nih kalau princess marah, nanti yang ada papi enggak konsentrasi kerjanya, kalau pekerjaan papi salah nanti papi kena omel sama bos papi. Princess memang tidak kasihan kalau nanti papi di marahin sama bos papi sayang."

Ucapku sedikit merajuk agar putri kecilku tak jadi marah. Kuperhatikan dirinya mulai mengangkat kepalanya.

"Maafin Kania yah Pi, Kania enggak akan memaksa papi datang ke sekolah Kania hari ini kalau memang papi sibuk kerja kok. Kania juga enggak mau papi nanti di marahin sama bosnya papi.

Tapi papi harus janji kalau lain kali pasti akan datang ke sekolah Kania".

Ujarnya sambil menyodorkan jari kelingking ke arahku yang segera aku sambut dengan melakukan hal serupa. 

"Iya sayang, papi janji". Ucapku masih dengan  jari kelingking masih saling bertaut.

"Ya sudah, sekarang Kania lanjutin dulu sarapannya biar nanti tidak telat ok." Aku beruntung karena aku tidak membesarkan Kania seorang diri, kedua orang tuaku sangat membantuku dalam mengurus putriku tersebut. Terutama Mama, beliau selalu menyiapkan semua keperluan Kania dan beliau juga mencurahkan semua kasih sayangnya kepada princess kami itu. Ya kami memang menganggap Kania bak seorang putri, putri kecil kami yang membawa kebahagiaan di kehidupan kami. 

Kami bahkan tidak akan rela jika ada satu orang saja yang memarahinya, jika ada yang boleh memarahinya, orang itu hanya lah aku dan kedua orang tuaku. Walaupun harus banyak omongan-omongan orang lain yang membuat kuping kita panas, ditambah kadang ada perbuatan dari mereka yang menyakiti kita bahkan menyakiti princess kita, dia tetaplah akan menjadi anugerah terindah dari tuhan untuk keluarga kami.

"Mama bisa kan hari ini menemani Kania ke sekolah?" Tanyaku seraya menyuapkan nasi goreng ke dalam mulut. Dari ekor mataku, aku menangkap mama yang beberapa kali menghembuskan nafas kasar ,juga papa menarik nafas dan menghembuskan untuk mengurangi kekesalannya. Biasanya mama akan menceramahiku panjang lebar. Tapi karena ada Kania di antara kita jadi mama lebih menggeram ucapannya. Tak ingin Kania tumbuh menjadi sosok pemarah dan negatif lainnya. 

"Memangnya kalau mama enggak mau, kamu enggak akan maksa mama." Jawabnya mama telak, sedangkan aku tak dapat menampik ucapan mama. Karena aku sadar tak ada orang yang bisa aku andalkan untuk merawat putriku selain mama. Bahkan bukan sosok wanita yang sudah melahirkan malaikat kecil kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status