Dengan tubuh lunglai aku berjalan pasrah ke apartemen Lindsay. Saat Lindsay bilang ia akan menyeretku... dia benar-benar, literally menyeretku ke tempat itu. And here I am, berjalan di belakang Lindsay masuk di lobi apartemen mewah menuju unit mewah miliknya. Aku sudah mengira pasti akan ada David di sana—berdasarkan ucapan Lindsay sebelumnya, David yang akan membiayai semua acara pertunangannya dengan Rick.
"Cheer-up, won't you? Kenapa kau terlihat seperti sangat terpaksa?! Ini untuk acara pertunangan sahabatmu! Setidaknya ceria sedikit!" protes Lindsay kepadaku saat berada di lift. Aku hanya menjawab dengan sebuah senyuman yang sama terpaksanya dengan diriku saat ini. My worst... arch-enemy, aku akan bertemu dengan musuh bebuyutanku.
Kami tiba di unit apartemen milik Lindsay, ia melenggang dengan santai dan meletakkan semua tas dan sepatunya dengan seenak hati, ia tak pernah pusing dengan urusan beberes ataupun mencuci karena semua akan dikerjakan seorang pembantu yang ia sewa di apartemen ini. Sementara aku, tinggal di sebuah kontrakan kecil tak jauh dari kampus, sebuah petak berukuran tiga kali empat meter yang kusulap menjadi empat ruangan. 'I know, I am genius!' Aku menyulapnya menjadi kamar tidur, kamar mandi, dapur dan mini studio.
Aku melihat dengan waspada. Aku menahan napas, takut akan kehadiran pria itu. Aku berkeliling apartemen ini dengan langkah ringan, tanpa sengaja berjinjit dari satu ruangan ke ruangan lain. Ingin memastikan bahwa ia tak ada.
"Heh, Gendut!" ucap suara kasar seorang pria dari arah dapur. Ia... pria itu hanya mengenakan celana boxer-nya dan bertelanjang dada, menoleh ke arahku dengan pandangan mencemooh. Ia sedang memegang sebuah sendok dan di depannya sebuah mangkuk yang sepertinya berisi sereal.
Kaget, aku langsung berbalik dan berjalan keluar dari tempat itu. Aku mencari Lindsay yang ternyata berada di ruang keluarga, ia duduk dengan Rick, saling memeluk dan di depan mereka seorang wanita rapi memegang beberapa modul.
"Rose, bantu aku memilih venue!" ucap Lindsay kepadaku.
Aku duduk di dekatnya dan melihat semua gambar venue yang ada di modul yang dibawa seorang event organizer.
"Aku mau kesan romantis... rustic. Sepertinya itu sedang trend, right?" tanya Lindsay kepadaku yang kujawab dengan anggukan.
"Kalau Mbak mau kesan rustic, biasanya yang dipakai adalah bunga kering, sedangkan Mbak mau bunganya real," ucap perempuan klimis itu. Ia memakai sebuah blazer elegan yang memeluk lekuk tubuh indahnya, ditambah ia mengenakan makeup yang sangat on-point.
"Tapi, aku mau bunganya asli!" keluh Lindsay.
Sepertinya Rick adalah tipe yang tak mau ruwet, ia hanya memeluk Lindsay dari belakang tanpa mengutarakan pendapatnya.
Aku mengerutkan dahi, berpikir sambil melihat beberapa contoh yang ditawarkan.
"Jangan mengkerut, sudah gendut, jelek, nanti keriputan loh!" ejek David yang tiba-tiba duduk di sampingku. Kok bisa? Kenapa aku tak tahu dia datang? Apa dia sudah punya ilmu berjalan tanpa menapak? Atau agh!
Aku tak menghiraukan ejekannya dan masih melihat semua gambar yang dibawa sang EO, yang sekarang fokus matanya tertuju pada dada bidang plus telanjang milik David. Ah, tentu ia seorang atlet dan tubuhnya harus berotot, wajar, kan?
"Linds, Coba kau lihat ini? Ada kesan rustic-nya dengan tableware dan hiasan di pintu masuk. Sisanya berkesan romantis dan elegan dengan bunga hidup. Kau kan mau keduanya?" Aku melihat sebuah gambar yang menurutku paling cocok dengan kemauan Lindsay. Aku menunjukkannya kepada Lindsay.
"Ah, ya. Aku suka! Itulah gunanya kau datang, Rose!" ucapnya ketus kepadaku.
Ah, dia pasti masih mendendam soal urusan pesta ulang tahun itu. Aku tersenyum kecil dan menggaruk rambut pendekku dengan canggung.
"Yang ini venue-nya saja rent untuk dua sampai tiga jam mulai dari lima ratus juta," ucap sang EO sementara matanya memandang wajah David yang duduk bersandar dengan wajah malas.
"I pay for it. Selama adikku setuju, aku juga setuju. Uang bukan masalah, akan kubayar semua." Ucapannya membuat perempuan cantik berprofesi sebagai EO itu merona dan memandangnya penuh kekaguman, sementara aku berdeham kecil dan bergumam.
"Sok pamer!"
"Apa kau bilang?" tanyanya menatap wajahku yang ia tarik dengan tangannya agar mengarah kepadanya.
Aku tersenyum malas. "Nothing."
"Dasar gendut! Sepertinya kau bertambah sepuluh kilo lagi ya semenjak kita terakhir bertemu? Kau semakin mirip dengan hippo!" ejeknya dan aku hanya melengos malas. Ia selalu seperti itu kepadaku, dan aku terbiasa dengan semua hinaannya. That is why, aku paling malas dan anti bertemu dengan makhluk yang satu ini.
Nona cantik ber-blazer elegan di depanku menutup mulutnya menahan tawa. Lalu ia berdeham kecil.
"So, deal yang ini?" tanyanya. Lindsay mengangguk. "Baik, nanti kalau ada keperluan lagi, saya akan menghubungi Mbak Lindsay ya?" Lindsay sekali lagi mengangguk.
"Mmh, Tuan David, boleh minta foto bareng?" tanya perempuan itu yang sudah memegang ponsel keluaran terbarunya.
David berdiri, dan dengan ketus menjawab, "Tidak!" Ia berjalan ke arah kamar yang sering ia tempati kalau menginap.
Dasar pria berengsek! batinku kesal.
Kunjunganku ke apartemen Lindsay berujung pada makan malam ekstra lemak yang menurut Lindsay semua dipesan oleh David. Entah maksudnya apa? Semua yang ia pesan adalah hidangan berlemak, mulai dari pasta dengan lumuran keju yang sangat banyak, sebuah casserole penuh daging dan sup daging. Ia memesan dua porsi kecil caesar salad dan ternyata dua salad itu diperuntukkan untuk David dan Lindsay."Sudah, makan sana! Kau kan suka makanan model seperti itu... berlemak! Lagian kau tak akan kenyang kalau memakan seporsi kecil salad sepertiku dan Lindsay!" ucap David yang sukses membuatku ingin menangis. Kenapa ia jahat sekali?Aku hanya duduk dan menatapnya datar. Ia benar-benar ingin melecehkanku."Linds, aku mau pulang!" ucapku tegas."Loh, why? Kau belum makan!" protesnya."Dan... diejek oleh pria ini?! Sudah cukup! Kau memang kaya dan bertubuh bagus, karier cemerlang! Ya, kau sempurna
Hari ini adalah Jumat, akan ada ujian penting hari ini dan terpaksa aku masuk kuliah—kemarin aku benar-benar tidur seharian. Sebenarnya aku tak terlalu fit hari ini, tapi apa boleh buat karena quiz hari ini adalah quiz terakhir sebelum ujian semester.Aku nekat berangkat. Aku mengambil celana bahan longgar dengan blouse berwarna hitam, kupakai kembali jaket super tebalku yang memiliki hoodie, setidaknya tubuh dan leherku terasa hangat. Aku berjalan kaki ke kampus, aku tahu jalur cepat dan hanya akan memakan waktu sepuluh menit berjalan kaki, melewati kampung bergang sempit."Hem! Kau ke mana kemarin? Kenapa ponselmu tak diangkat!" omel seorang perempuan yang menyambutku di gerbang kampus. Ia memakai setelah serba pink, entah itu brand dari fashion house mana."Sakit," jawabku irit. "Ponselku hilang, waktu aku ke downtown untuk membeli peralatan lukis, aku dicopet.""Jangan bilang kau marah deng
Benar ucapan Lindsay, ia menunggu sampai paling akhir, dan akhirnya kami berjalan bersamaan menuju aula depan kampus. Aku sudah menitipkan karya masterpiece-ku pada panitia pameran lukisan.Acara akan dimulai dua menit lagi, dan semua panitia sudah berbaris rapi mengenakan alamamater berwarna biru tua. Aku berdiri di samping lukisanku, bersiap kalau ada orang yang bertanya tentang lukisanku ini. Aku melukis sebuah wajah pria berhidung ala Eropa, berambut ikal hitam, berseragam tentara di zaman dahulu kala, aku melukis versi realistik dari Napoleon Bonaparte. Aku pelukis realis, aku suka menggambar sejak aku kecil dan selagi remaja aku menyukai manga, dan inilah aku... seorang mahasiswi jurusan lukis yang sedang menjual lukisannya untuk bertahan hidup.Ada beberapa orang yang berhenti di lukisanku, dua dari mereka bertanya siapa gerangan yang aku lukis dan jenis cat yang aku pakai. Aku menjawab bahwa pria tegak di lukisanku adalah panglima pe
Lindsay akhirnya memilih kue vanilla sebagai base, lalu sekarang giliran memilih pastry yang akan dihidangkan untuk tamu. Beberapa karyawan menata meja di depan kami dan meletakkan beberapa piring berisi pastry beraneka jenis."Rose, aku butuh bantuanmu. Ayo pilihkan dua puluh yang terbaik!" pinta Lindsay kepadaku dengan wajah merengek."Dua puluh? Jadi kau mau aku mencicipi semuanya?!" balasku tak percaya."Hehe, lalu bagaimana lagi?" tanyanya ulang sambil meringis."Langsung pilih saja! Aku sudah tak sanggup makan lagi!" omelku. Memang aku tak suka kue-kuean, jadi di bagian ini aku menyerah kalah."Oh ya? Kau bisa tak sanggup makan? Menarik!" bisik David di sampingku. Aku tak menengok ataupun membalas ucapannya, wajahku menatap lurus pada sebuah croissant cokelat di depanku."Kupikir-pikir.... Kau memang terlihat kurusan, kau diet ya?" lanjut David lagi. Ak
Aku tersadar dengan bau antiseptik yang menyengat, tubuhku terasa habis dipukuli.Aku menoleh di sebelah kanan, ada David yang sedang bersandar di kursi tunggu rumah sakit dengan lengan kemejanya digulung sampai siku. Jadi aku di rumah sakit? Memang ada apa?"Kau sudah sadar?" ucap suara bariton yang paling kubenci. Aku menoleh ke arahnya dengan kedua alis terangkat. "Kau pingsan dan aku membawamu ke sini. Kau memiliki peradangan di lambung... setidaknya kau harus dirawat dulu baru bisa pulang.""Senin depan aku ada ujian di kampus!" ucapku horor, ini adalah pekan Minggu tenang ujian akhir semester. Berikutnya Adalah pekan ujian akhir semester."Be good. Jadi kau bisa ikut ujian hari Senin nanti. apa yang dikatakan dokter dan hentikan diet bodohmu itu! Kau hanya membuat tubuhmu menderita!" omelnya. Aku sedang sakit seperti ini, ia masih sempat-sempatnya memarahiku."Aku tidak die
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali seorang wanita berusia setengah abad membawakan nampan dengan senyuman lebarnya ke dalam kamar yang kugunakan. "Selamat pagi... aku yang ditugaskan Tuan Robinson untuk memasak untukmu... aku Alice." Ia meletakkan mangkuk berisi bubur di nakas, juga obat yang harus kuminum. Aku tersenyum lebar. "Terima kasih, Alice." "Kau punya kekasih yang hebat dan baik," ucapnya lalu berjalan keluar. Wait... what? Kekasih yang baik? Maksudnya siapa? Dave?? Demi Dewa Ubur-ubur... jangan sampai itu terjadi! Aku tak rela hidupku ditindas oleh pria seperti dirinya! "Rose, kau bagaimana? Better?" Lindsay datang ke kamarku dengan pakaian trendy serba army. Ini hari libur kuliah dan ia sangat bergaya. Ini sudah memasuki pekan tenang menjelang ujian akhir. "Yes and no. Masih perih untuk menelan," jawabku tersenyum kecil. "Kau m
Aku jauh lebih sehat sekarang, dan hari ini adalah hari terakhir ujian akhir semesterku. Selama ini aku tinggal di apartemen Lindsay dan dirawat oleh Alice. Ia memberiku makanan setiap dua jam sekali dan obat-obatan. Aku jauh lebih kuat dan ringan sekarang. Aku selesai mengerjakan semua ujianku hari ini sementara Lindsay sudah selesai sejak tiga jam yang lalu, ia berjanji menungguku di parkiran. Here I am menunggu plus mencari Lindsay dan mobilnya. Aku mencoba menelepon ponselnya, namun tak diangkat. Sampai ada mobil putih berhenti di depanku. "Naik!" ucap suara pria saat jendela setengah terbuka. Aku menunduk sedikit untuk melihat siapa gerangan pria dengan suara menyebalkan itu. Dan bodohnya aku yang harus memastikan dengan mata dari indra pendengaranku... deep down aku sudah tahu kalau itu Dave. Ah, kenapa ia sudah pulang? Aku baru selesai menjawab semua e-mail penawaran iklannya dua hari yang lalu dan sejauh in
Dave menyewa satu lantai penuh hotel Ritz Carlton di Las Vegas, aula hotel ini yang akan menjadi venue acara pertunangan Lindsay dan Rick.Aku sudah membeli gaun yang pantas untuk acara esok malam. Aku sekamar dengan Lili dan di kamar sampingku adalah Rowena dan Gracia. Dave berada di kamar paling bagus dan Lindsay di sampingnya. Kami akan menginap tiga hari di hotel ini karena acara pertunangan Lindsay akan berlangsung besok malam."Aku sudah keluar uang sangat banyak untuk acaramu, so you better treat me better, Sis!" omel Dave, yang dijawab sebuah senyuman paling merekah dari Lindsay. Menurut Lindsay, Dave baru saja membayar kontan semua tagihan acaranya termasuk liburan Lindsay dan Rick pasca acara. Aku selalu membatin kenapa Rick tidak ada andil dalam acara ini? Bahkan berdasarkan keterangan Lindsay, Dave yang membayar bahkan sampai hal yang paling sepele... valet mobil."Rose... kau kelihatan lebih kurus." Lili yang sedang bersandar