“Papa!”
Seorang bocah perempuan yang tengah duduk di pangkuan mamanya segera melompat turun dan berlari menyongsong kepulangan Aksa.
“Halo, Sayang!”
Aksa mengecup gemas pipi gembul sang bocah, lalu menggendongnya.
Seorang perempuan berkerudung menyambut kedatangan Aksa dengan senyuman menawan. Wajah teduhnya mirip sekali dengan Maudy Koesnaedi—Aktris lawas yang tersohor pada era 90-an.
“Sebaiknya Mas mandi dulu,” ujarnya.
“Kyra sama mama lagi, ya ....”
Bocah cantik itu segera meluncur turun dari gendongan Aksa.
Selesai mandi dan berganti pakaian, Aksa merebahkan tubuh lelahnya di atas sofa di ruang tengah. Meskipun rumahnya sederhana dan tidak terlalu besar, Aksa masih bersyukur dia tidak perlu tinggal di rumah kontrakan.
“Kopinya, Mas.”
Aksa membuka matanya yang sempat terpejam. Dilihatnya Ainun sudah ikut duduk di dekatnya.
Aksa menyesap kopi panas itu dengan perlahan. Meresapi rasa pahit di setiap tetesnya. Sepertinya Ainun lupa menaruh gula atau mungkin juga gulanya sudah habis dan Ainun tidak punya uang untuk membelinya.
Aksa merogoh kantong. “Ini, ambillah!” ujarnya sambil meletakkan dua lembar uang berwarna merah di atas meja.
Ainun meraih uang yang disodorkan Aksa dengan mata berbinar. Uangnya benar-benar sudah habis. Bahkan, beras dan garam di dapur pun juga tak lagi bersisa.
“Alhamdulillah … terima kasih, Mas,” ucap Ainun, penuh syukur.
Aksa menerbitkan senyum di wajah letihnya. Ainun tidak pernah mengeluh. Wanita itu selalu menerima pemberiannya dengan ikhlas walaupun terkadang jumlahnya tidak seberapa.
“Maaf kalau dua tahun terakhir ini aku tidak bisa mencukupi semua kebutuhanmu dan Kyra.”
Aksa dirasuki rasa bersalah. Kalau saja orang tuanya mau menerima kehadiran Ainun dan Kyra, mereka tidak perlu hidup menderita.
“Mas sangat bertanggung jawab terhadap kami. Itu sudah lebih dari cukup, Mas,” sahut Ainun. “Hari ini malah Mas memberi uang lebih banyak dari biasanya.”
Aksa tersenyum kecut. “Kebetulan aku sudah dapat pekerjaan tetap,” jelasnya. “Dan itu adalah bonus yang kuterima hari ini.”
“Alhamdulillah,” seru Ainun. “Pantas hari ini Mas bawa mobil, bos Mas pasti baik ya.”
“Begitulah.”
Aksa malas berbicara panjang lebar. Ainun tidak perlu tahu apa pekerjaannya dan bagaimana dia memperoleh pekerjaan tersebut. Yang penting, kebutuhan sehari-hari mereka tercukupi dengan cara halal.
“Oh ya, bagaimana kondisi Nek Rodiah?” tanya Aksa, teringat nenek Ainun yang tinggal bersama mereka.
Tidak hanya sekadar bertanya, Aksa langsung bangkit dan berjalan menuju kamar sang nenek. Pintu kamar itu tidak dikunci. Aksa segera masuk.
Wanita berusia tujuh puluhan tersebut tergolek lemah di atas ranjang. Tubuhnya sangat ringkih. Tinggal kulit pembalut tulang. Wajahnya semakin mengisut dalam pandangan Aksa.
Seakan dapat merasakan kehadiran Aksa di kamar berukuran tiga kali empat meter itu, sang nenek membuka mata.
“Apa kabar, Nek?” tanya Aksa. “Sudah makan?”
Saat dia meninggalkan rumah tadi pagi, nenek istrinya itu masih tertidur dan dia tidak tega untuk membangunkannya kalau hanya sekadar ingin pamit.
“Aksa? Kamu sudah pulang?”
Rodiah mengulurkan tangan. Aksa berdiri dengan kedua lututnya di tepi ranjang. Dia mencondongkan tubuh ke depan dan agak menunduk.
Jari-jari tremor Rodiah segera mendarat di kepala Aksa, lalu mengusapnya lembut. Senyuman dari bibir pucat Rodiah tampak seperti seringai nenek lampir. Terkesan menakutkan, tetapi Aksa tahu senyuman itu tulus. Lahir dari rasa kasih sayang.
“Nenek kebiasaan ya … ditanya malah balik bertanya,” kelakar Aksa. “Lihat! Badan Nenek semakin kurus. Belum makan?”
Aksa menjamah pipi kisut sang nenek. Dia juga menarik pelan helaian rambut putih Rodiah yang menempel pada pipinya.
“Sudah. Ainun tidak pernah terlambat memberi makan,” jawab Rodiah.
Aksa mendekatkan telinga pada bibir Rodiah ketika wanita tua itu memberi kode dengan jari kirinya.
“Dia lebih galak daripada sipir penjara,” bisik Rodiah.
“Hahaha .…”
Aksa terkekeh. Rodiah memang suka sekali bercanda. Walaupun raganya tidak bisa kemana-mana, daya ingat serta ketajaman penglihatan dan pendengaran Rodiah masih sangat jernih.
“Ini rahasia kita berdua saja ya, Nek,” ujar Aksa. “Kalau sampai Ainun tahu, bisa-bisa dia merajuk dan tidak mau menyuapi Nenek lagi. Memangnya Nenek bisa makan sendiri?”
“Ssst!” Rodiah menyilangkan jari di bibirnya. “Iya. Rahasia.”
Kelakuan Rodiah yang seperti anak kecil itu tak khayal membuat Aksa kembali mengumbar tawa.
“Ya sudah. Nenek istirahat lagi ya … aku juga mau tidur.”
Aksa pamit pada Rodiah dan dibalas dengan anggukan kepala oleh sang nenek.
Bersandar pada dinding di sisi pintu, Ainun menguping percakapan Aksa dan Rodiah dengan senyuman haru. Dia merasa sangat beruntung bersuamikan Aksa. Walaupun tak mampu memberinya kemewahan harta benda, Aksa kaya dengan kehangatan cinta kasih terhadap sang nenek dan anaknya. Akan tetapi, kemanakah hilangnya rasa cinta Aksa untuk dirinya yang dulu begitu menggelora?
Sudah lima tahun lebih Aksa tidak pernah menyentuhnya. Terhitung sejak seminggu setelah mereka menikah. Apa dia punya wanita lain yang menjadi tempat untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya di luar sana?
Berulang kali Ainun ingin menanyakan hal tersebut secara langsung kepada Aksa. Namun, setiap kali dia melihat kelelahan yang terpahat di wajah sang suami, pertanyaan itu pun tenggelam di lubuk hati.
Mendengar langkah kaki semakin mendekat ke arah pintu, buru-buru Ainun bergabung dengan Kyra di depan TV. Dia bersikap seolah-olah sedang asyik menemani si kecil menonton film kartun kesayangannya.
“Aku pergi sebentar,” pamit Aksa. “Aku bawa kunci.”
Ainun mengembuskan napas kencang setelah Aksa menghilang dari pandangannya. Aksa bawa kunci cadangan. Artinya malam ini lelaki itu juga tidak akan menyentuhnya.
"Ada apa denganmu, Mas?”
Ah, seperti syair salah satu lagu hits saja pertanyaan yang berkecamuk di dada Ainun.
***
Agnes duduk tenang di atas kursi kebesarannya. Memperhatikan Aksa yang sedang sibuk menata tumpukan dasar yang akan disulapnya menjadi baju. Cara kerja lelaki itu sangat cekatan dan rapi. Agnes tersenyum puas.
“Aksa!” panggilnya.
Aksa segera menjeda kegiatannya dan menoleh. “Ya, Mbak.”
“Tinggalkan saja itu dulu!” tegas Agnes. “Temani aku belanja sebentar!”
“Siap, Mbak.”
Dalam waktu singkat, Aksa sudah memarkir mobilnya di pelataran parkir sebuah mal. Ternyata Agnes mengajaknya untuk berbelanja bulanan.
Aksa mulai menyusun satu persatu barang belanjaan Agnes di dalam bagasi.
“Aduh! Apa-apaan sih?!”
Aksa memekik kaget ketika merasakan sebuah tangan menarik kerah bajunya dari belakang dengan sangat kuat. Membuatnya sedikit terjajar mundur.
“Hebat ya! Utang tidak dibayar, tapi mampu beli mobil dan belanja banyak!”
Seorang lelaki berbisik di telinga Aksa dengan nada dingin, tetapi penuh tekanan dan ancaman.
Aksa segera mengenali siapa pemilik suara tersebut. Sudah berbulan-bulan dia berusaha menghindari lelaki itu. Tidak disangka sekarang dia malah tertangkap basah pada momen yang tidak tepat.
“A–ampun, Bang! Ini tidak seperti yang Abang lihat!”
“Heh! Masih mau mengelak?” Lelaki tersebut memperkuat cengkeramannya.
Aksa merasa tercekik dan berusaha melepas kancing atas kemejanya. Sebelah tangan lainnya menahan tarikan sang lelaki penagih utang.
Seorang lelaki berpenampilan perlente berjalan santai mendekati Aksa. Dia melepas topi bundarnya dan berkipas dengan topi itu. Matanya menyapu seluruh tubuh Aksa, lalu beralih ke bagasi dan mobil yang terparkir di depannya.
Sesaat lelaki tersebut menendang pelan ban mobil Agnes, menghasilkan bunyi dug-dug yang terdengar seperti dentuman meriam di telinga Aksa.
Lelaki itu melangkah dengan tenang, mengitari mobil Agnes hingga kembali ke hadapan Aksa. Ketenangan yang dipertontonkan lelaki tersebut memeras keringat dingin di tubuh Aksa. Dalam sekejap, kemejanya mulai basah.
“Berapa total utangnya, Fred?”
Lelaki itu bertanya kepada anak buahnya yang masih mencekal kerah baju Aksa. Namun, tatapan tajamnya justru mendarat pada kedua bola mata Aksa yang beriak cemas.
***
Aksa tersungkur tepat di ujung sepatu si lelaki perlente. Dorongan kuat Freddy menyebabkan wajahnya hampir menghantam lantai pelataran parkir dengan telak. “Jadi, kau bersikeras untuk tidak mau melunasi utangmu?” Lelaki perlente itu bertanya dengan nada dingin dan menginjak kepala Aksa dengan kaki kanannya. Aksa mengeritkan gigi. Menahan geram yang bergejolak di dalam dada. Ingin sekali dia bangkit dan merobohkan lelaki perlente tersebut. 'Kalau aku melawan sekarang, tidak mustahil mereka akan merusak atau bahkan menghancurkan mobil Agnes. Lebih baik aku mengalah saja,' batin Aksa, menimbang-nimbang untung rugi jika dia melakukan konfrontasi fisik. “Aku janji aku akan membayar semua utangku, Tuan Alvist,” ujar Aksa. “Tapi tidak sekarang. Beri aku waktu!” “Aku sudah memberimu waktu berbulan-bulan, tapi kau malah melarikan diri alih-alih membayar utangmu padaku,” balas Alvist. “Aku sudah tidak bisa menoleransi lagi. Bayar sekarang atau ….” Alvist tidak meneruskan kata-katanya. Dia
“Aaargh!” Aksa bangkit dari pembaringan dan meremas rambutnya dengan frustrasi. Dia berjalan lesu meninggalkan kamar dan duduk di teras samping. Rembulan menggantung di langit malam. Sedikit bersembunyi di balik pucuk pohon. Kerlip taburan bintang yang biasa memagari sang dewi malam kini tak lagi terlihat. Ke mana bintang-gemintang itu menghilang? Aksa memandang sayu pada pendar rembulan yang kian memudar. Kesendirian seakan telah menyebabkan dewi malam itu bermuram durja. Tiba-tiba saja Aksa merasa dia tak ubahnya seperti bulan yang mulai menghilang, tersaput mega kelam. Perlahan Aksa bangkit, mengayun langkah menuju halaman yang tidak begitu luas. Dia melangkah gontai dengan kedua tangan bersembunyi di dalam saku celana. Sesekali dia menarik kerah bajunya untuk melindungi lehernya dari serangan hawa dingin. 'Ya Tuhan, tidak adakah jalan lain yang bisa kutempuh?' batin Aksa, bertanya gundah. Agnes menolak keras untuk memotong gajinya sebagai jalan pelunasan utang. Gilanya, wanit
Detak jantung Agnes berdebar kencang ketika menyaksikan Nevan telah meletakkan gagang telepon dan berpaling kepadanya. Senyuman yang terbit di wajah lelaki tersebut terlihat mengerikan dengan bola mata berkilat licik. Dalam hati, Agnes tak henti-hentinya melafal doa agar Aksa segera kembali. Atmosfer ruang kerja Nevan mendadak terasa pengap dan lembap. Aura hangatnya telah berganti dengan suasana dingin dan mencekam, laksana sebuah gua gelap yang belum pernah terjamah. Langkah kaki Nevan yang berjalan mendekat terdengar seperti dentuman meriam di medan perang. Begitu menakutkan dan membuat bulu kuduk merinding. “Maaf! Aku butuh ke toilet sebentar!” pamit Agnes, buru-buru tegak. Dia mengayun langkah panjang menuju pintu sebelum Nevan semakin memangkas jarak di antara mereka. Nevan mengatupkan rahang rapat-rapat begitu Agnes menghilang di balik pintu tanpa menunggu persetujuannya. “Tak seorang pun bisa melarikan diri dariku,” geram Nevan. Manik matanya berkilat semakin tajam. Dia s
“Terima kasih, Mbak!” ujar Aksa begitu turun dari mobil. “Besok tidak usah kerja dulu,” tegas Agnes. “Istirahatlah sampai kondisimu benar-benar pulih!” “Ya, Mbak.” “Tunggu!” Baru beberapa langkah berjalan, Aksa kembali balik badan. Agnes memanggilnya. Apa wanita itu berubah pikiran? “Ya, Mbak?” Aksa mendekat dan sedikit membungkuk pada jendela mobil Agnes. “Ambil ini!” Agnes menyodorkan kantong keresek berisi kotak kepada Aksa. Ragu-ragu Aksa mengulurkan tangan dan meraih kantong tersebut. “Apa ini, Mbak?” tanyanya. “Hanya hadiah kecil untuk keluargamu.” Agnes menyahut santai, lalu mengoper gigi persneling dan menginjak pedal gas untuk meninggalkan rumah Aksa. Dia tidak ingin berlama-lama di sana. Tidak enak jika istri Aksa melihat kehadirannya. Aksa hanya bisa tegak bengong seperti orang linglung, menatap kepergian Agnes yang menyisakan kabut putih tipis dari hasil pembakaran mesin kendaraannya. UHUK! UHUK! Aksa terbatuk. Entah karena efek karbon monoksida yang ditinggalk
Agnes berjalan mondar-mandir bak setrikaan sedang bekerja. Jari-jarinya agak bergetar. Sedari kemarin dia menunggu Aksa menghubunginya, tetapi teleponnya tidak sekali pun berdering. Mendadak Agnes menjadi semakin gugup. Apa Aksa marah? Dia tidak bermaksud menjatuhkan harga diri lelaki tersebut. Dia hanya ingin membantu. Agnes mengeluarkan gawai dari sakunya. Menggenggamnya erat seakan-akan takut barang itu akan terlepas dari tangannya. 'Telepon tidak ya?' Pertanyaan penuh keraguan terus bergema di kepala Agnes. Sebagian sisi hatinya ingin sekali menghubungi Aksa detik itu juga. Namun, sisi hati yang lain justru mencegahnya. Entah sudah berapa lama Agnes bolak-balik dari ujung ke ujung di ruang kerjanya tersebut. Adakalanya dia menengadah sembari mengembuskan napas kencang. Berusaha melonggarkan rongga dadanya yang terasa bagai diimpit batu besar. “Bagaimana kalau dia marah dan tidak terima?” Agnes terus bergumam sendiri dengan perasaan tak menentu. “Jadi … benar Mbak yang mengir
“Gila kamu, Aksa!” Dendra memaki keponakannya sembari menghentikan langkah dan tegak dengan berkacak pinggang. Dari kejauhan dia masih bisa menyaksikan bayangan Agnes bercengkerama dengan mamanya dari balik kaca jendela yang sedikit gelap. “Cuma itu yang terlintas di pikiranku, Paman.” Aksa juga tidak tahu kenapa pada saat Ranty meminta jaminan, bibirnya spontan mengucap janji dengan lantang bahwa dia tidak akan menceraikan Agnes kecuali jika Agnes sendiri yang mengajukan gugatan cerai kepadanya. “Seharusnya kamu pakai batas waktu.” Dendra sangat menyayangkan kecerobohan Aksa. Walaupun dia tidak berharap rumah tangga keponakannya itu hancur di tengah jalan, dia juga tidak yakin Aksa mampu memegang teguh janjinya. Terlebih dengan mengingat usia Aksa yang lebih muda dari Agnes dan perkenalan mereka yang terbilang singkat. “Sudahlah, Paman,” tukas Aksa. “Semua sudah terjadi. Doakan saja aku bisa memenuhinya. Memangnya Paman tidak senang melihat rumah tanggaku langgeng?” “Bukan begi
Siluet sebuah benda yang melayang tepat ke arahnya memicu gerak refleks Aksa untuk segera menangkap benda itu. Sebuah bantal kini berada di dalam genggaman tangannya. Aksa memutar kepala ke kiri. Tampak Agnes sedang merapikan tempat tidur. Bersikap seolah-olah dia tidak tahu apa-apa mengenai bantal terbang yang menyasar tubuh Aksa. 'Ah, nyaman sekali bisa berbaring seperti ini,' pikir Agnes setelah merasakan penat di sekujur tubuhnya akibat prosesi pernikahannya dengan Aksa. Kelopak matanya yang sempat terkatup rapat mendadak terbuka lebar. Dia terlonjak bangkit, lantas duduk bersila di atas pembaringan. “Kamu boleh tidur di atas sofa itu.” Agnes menunjuk sofa besar yang terbentang di bawah jendela kamarnya. Pandangan Aksa mengikuti arah jari telunjuk Agnes. Sebuah sofa besar berwarna ungu gelap seperti memang sudah siap menyambut kehadirannya. 'Yang benar saja!' gerutu Aksa dalam hati. Dia tidak pernah bermimpi bahwa di malam pertama pernikahannya dia akan diminta untuk tidur
Menjejakkan kaki di dalam kamar, Aksa mendapati atmosfer ruang kamar itu seperti sedang dihantam angin badai disertai sambaran petir. Agnes berdiri di depan cermin, lalu balik badan begitu mendengar pintu berderit pelan dan Aksa berdiri di sana. Wajah cantiknya telah beralih rupa menjadi sosok dedemit yang sangat mengerikan. Kedua matanya melotot merah seakan-akan siap memancarkan sepasang sinar laser dari sana untuk meluluhlantakkan sekujur tubuh Aksa menjadi serpihan debu, yang akan menghilang tertiup angin. Gigi gerahamnya saling bertaut dan mengerit kuat. Membayangkan daging dari setiap bagian tubuh suaminya itu sedang dikunyahnya sekuat tenaga. “Masih pagi kok teriak-teriak,” komentar Aksa, berusaha memasang wajah setenang permukaan air danau tanpa embusan angin. “Ada apa?” “Kamu?!” Agnes menggeram. “Apa yang kamu lakukan pada tubuhku?!” Agnes menarik kerah bajunya lebar-lebar dan mengancakkan dua bercak merah keunguan yang menghiasi leher putih jenjangnya. Aksa menyeringai