Share

4. Tertangkap Basah

“Papa!”

Seorang bocah perempuan yang tengah duduk di pangkuan mamanya segera melompat turun dan berlari menyongsong kepulangan Aksa.

“Halo, Sayang!”

Aksa mengecup gemas pipi gembul sang bocah, lalu menggendongnya.

Seorang perempuan berkerudung menyambut kedatangan Aksa dengan senyuman menawan. Wajah teduhnya mirip sekali dengan Maudy Koesnaedi—Aktris lawas yang tersohor pada era 90-an.

“Sebaiknya Mas mandi dulu,” ujarnya.

“Kyra sama mama lagi, ya ....”

Bocah cantik itu segera meluncur turun dari gendongan Aksa.

Selesai mandi dan berganti pakaian, Aksa merebahkan tubuh lelahnya di atas sofa di ruang tengah. Meskipun rumahnya sederhana dan tidak terlalu besar, Aksa masih bersyukur dia tidak perlu tinggal di rumah kontrakan.

“Kopinya, Mas.”

Aksa membuka matanya yang sempat terpejam. Dilihatnya Ainun sudah ikut duduk di dekatnya.

Aksa menyesap kopi panas itu dengan perlahan. Meresapi rasa pahit di setiap tetesnya. Sepertinya Ainun lupa menaruh gula atau mungkin juga gulanya sudah habis dan Ainun tidak punya uang untuk membelinya.

Aksa merogoh kantong. “Ini, ambillah!” ujarnya sambil meletakkan dua lembar uang berwarna merah di atas meja.

Ainun meraih uang yang disodorkan Aksa dengan mata berbinar. Uangnya benar-benar sudah habis. Bahkan, beras dan garam di dapur pun juga tak lagi bersisa.

“Alhamdulillah … terima kasih, Mas,” ucap Ainun, penuh syukur.

Aksa menerbitkan senyum di wajah letihnya. Ainun tidak pernah mengeluh. Wanita itu selalu menerima pemberiannya dengan ikhlas walaupun terkadang jumlahnya tidak seberapa.

“Maaf kalau dua tahun terakhir ini aku tidak bisa mencukupi semua kebutuhanmu dan Kyra.”

Aksa dirasuki rasa bersalah. Kalau saja orang tuanya mau menerima kehadiran Ainun dan Kyra, mereka tidak perlu hidup menderita.

“Mas sangat bertanggung jawab terhadap kami. Itu sudah lebih dari cukup, Mas,” sahut Ainun. “Hari ini malah Mas memberi uang lebih banyak dari biasanya.”

Aksa tersenyum kecut. “Kebetulan aku sudah dapat pekerjaan tetap,” jelasnya. “Dan itu adalah bonus yang kuterima hari ini.”

“Alhamdulillah,” seru Ainun. “Pantas hari ini Mas bawa mobil, bos Mas pasti baik ya.”

“Begitulah.”

Aksa malas berbicara panjang lebar. Ainun tidak perlu tahu apa pekerjaannya dan bagaimana dia memperoleh pekerjaan tersebut. Yang penting, kebutuhan sehari-hari mereka tercukupi dengan cara halal.

“Oh ya, bagaimana kondisi Nek Rodiah?” tanya Aksa, teringat nenek Ainun yang tinggal bersama mereka.

Tidak hanya sekadar bertanya, Aksa langsung bangkit dan berjalan menuju kamar sang nenek. Pintu kamar itu tidak dikunci. Aksa segera masuk.

Wanita berusia tujuh puluhan tersebut tergolek lemah di atas ranjang. Tubuhnya sangat ringkih. Tinggal kulit pembalut tulang. Wajahnya semakin mengisut dalam pandangan Aksa.

Seakan dapat merasakan kehadiran Aksa di kamar berukuran tiga kali empat meter itu, sang nenek membuka mata.

“Apa kabar, Nek?” tanya Aksa. “Sudah makan?”

Saat dia meninggalkan rumah tadi pagi, nenek istrinya itu masih tertidur dan dia tidak tega untuk membangunkannya kalau hanya sekadar ingin pamit.

“Aksa? Kamu sudah pulang?”

Rodiah mengulurkan tangan. Aksa berdiri dengan kedua lututnya di tepi ranjang. Dia mencondongkan tubuh ke depan dan agak menunduk.

Jari-jari tremor Rodiah segera mendarat di kepala Aksa, lalu mengusapnya lembut. Senyuman dari bibir pucat Rodiah tampak seperti seringai nenek lampir. Terkesan menakutkan, tetapi Aksa tahu senyuman itu tulus. Lahir dari rasa kasih sayang.

“Nenek kebiasaan ya … ditanya malah balik bertanya,” kelakar Aksa. “Lihat! Badan Nenek semakin kurus. Belum makan?”

Aksa menjamah pipi kisut sang nenek. Dia juga menarik pelan helaian rambut putih Rodiah yang menempel pada pipinya.

“Sudah. Ainun tidak pernah terlambat memberi makan,” jawab Rodiah.

Aksa mendekatkan telinga pada bibir Rodiah ketika wanita tua itu memberi kode dengan jari kirinya.

“Dia lebih galak daripada sipir penjara,” bisik Rodiah.

“Hahaha .…”

Aksa terkekeh. Rodiah memang suka sekali bercanda. Walaupun raganya tidak bisa kemana-mana, daya ingat serta ketajaman penglihatan dan pendengaran Rodiah masih sangat jernih.

“Ini rahasia kita berdua saja ya, Nek,” ujar Aksa. “Kalau sampai Ainun tahu, bisa-bisa dia merajuk dan tidak mau menyuapi Nenek lagi. Memangnya Nenek bisa makan sendiri?”

“Ssst!” Rodiah menyilangkan jari di bibirnya. “Iya. Rahasia.”

Kelakuan Rodiah yang seperti anak kecil itu tak khayal membuat Aksa kembali mengumbar tawa.

“Ya sudah. Nenek istirahat lagi ya … aku juga mau tidur.”

Aksa pamit pada Rodiah dan dibalas dengan anggukan kepala oleh sang nenek.

Bersandar pada dinding di sisi pintu, Ainun menguping percakapan Aksa dan Rodiah dengan senyuman haru. Dia merasa sangat beruntung bersuamikan Aksa. Walaupun tak mampu memberinya kemewahan harta benda, Aksa kaya dengan kehangatan cinta kasih terhadap sang nenek dan anaknya. Akan tetapi, kemanakah hilangnya rasa cinta Aksa untuk dirinya yang dulu begitu menggelora?

Sudah lima tahun lebih Aksa tidak pernah menyentuhnya. Terhitung sejak seminggu setelah mereka menikah. Apa dia punya wanita lain yang menjadi tempat untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya di luar sana?

Berulang kali Ainun ingin menanyakan hal tersebut secara langsung kepada Aksa. Namun, setiap kali dia melihat kelelahan yang terpahat di wajah sang suami, pertanyaan itu pun tenggelam di lubuk hati.

Mendengar langkah kaki semakin mendekat ke arah pintu, buru-buru Ainun bergabung dengan Kyra di depan TV. Dia bersikap seolah-olah sedang asyik menemani si kecil menonton film kartun kesayangannya.

“Aku pergi sebentar,” pamit Aksa. “Aku bawa kunci.”

Ainun mengembuskan napas kencang setelah Aksa menghilang dari pandangannya. Aksa bawa kunci cadangan. Artinya malam ini lelaki itu juga tidak akan menyentuhnya.

"Ada apa denganmu, Mas?”

Ah, seperti syair salah satu lagu hits saja pertanyaan yang berkecamuk di dada Ainun.

***

Agnes duduk tenang di atas kursi kebesarannya. Memperhatikan Aksa yang sedang sibuk menata tumpukan dasar yang akan disulapnya menjadi baju. Cara kerja lelaki itu sangat cekatan dan rapi. Agnes tersenyum puas.

“Aksa!” panggilnya.

Aksa segera menjeda kegiatannya dan menoleh. “Ya, Mbak.”

“Tinggalkan saja itu dulu!” tegas Agnes. “Temani aku belanja sebentar!”

“Siap, Mbak.”

Dalam waktu singkat, Aksa sudah memarkir mobilnya di pelataran parkir sebuah mal. Ternyata Agnes mengajaknya untuk berbelanja bulanan.

Aksa mulai menyusun satu persatu barang belanjaan Agnes di dalam bagasi.

“Aduh! Apa-apaan sih?!”

Aksa memekik kaget ketika merasakan sebuah tangan menarik kerah bajunya dari belakang dengan sangat kuat. Membuatnya sedikit terjajar mundur.

“Hebat ya! Utang tidak dibayar, tapi mampu beli mobil dan belanja banyak!”

Seorang lelaki berbisik di telinga Aksa dengan nada dingin, tetapi penuh tekanan dan ancaman.

Aksa segera mengenali siapa pemilik suara tersebut. Sudah berbulan-bulan dia berusaha menghindari lelaki itu. Tidak disangka sekarang dia malah tertangkap basah pada momen yang tidak tepat.

“A–ampun, Bang! Ini tidak seperti yang Abang lihat!”

“Heh! Masih mau mengelak?” Lelaki tersebut memperkuat cengkeramannya.

Aksa merasa tercekik dan berusaha melepas kancing atas kemejanya. Sebelah tangan lainnya menahan tarikan sang lelaki penagih utang.

Seorang lelaki berpenampilan perlente berjalan santai mendekati Aksa. Dia melepas topi bundarnya dan berkipas dengan topi itu. Matanya menyapu seluruh tubuh Aksa, lalu beralih ke bagasi dan mobil yang terparkir di depannya.

Sesaat lelaki tersebut menendang pelan ban mobil Agnes, menghasilkan bunyi dug-dug yang terdengar seperti dentuman meriam di telinga Aksa.

Lelaki itu melangkah dengan tenang, mengitari mobil Agnes hingga kembali ke hadapan Aksa. Ketenangan yang dipertontonkan lelaki tersebut memeras keringat dingin di tubuh Aksa. Dalam sekejap, kemejanya mulai basah.

“Berapa total utangnya, Fred?”

Lelaki itu bertanya kepada anak buahnya yang masih mencekal kerah baju Aksa. Namun, tatapan tajamnya justru mendarat pada kedua bola mata Aksa yang beriak cemas.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status