Beranda / Rumah Tangga / Istri Sebatas Status / 9. Persepsi Yang Berbeda

Share

9. Persepsi Yang Berbeda

Penulis: Lathifah Nur
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-28 20:16:50

Agnes berjalan mondar-mandir bak setrikaan sedang bekerja. Jari-jarinya agak bergetar. Sedari kemarin dia menunggu Aksa menghubunginya, tetapi teleponnya tidak sekali pun berdering.

Mendadak Agnes menjadi semakin gugup. Apa Aksa marah? Dia tidak bermaksud menjatuhkan harga diri lelaki tersebut. Dia hanya ingin membantu.

Agnes mengeluarkan gawai dari sakunya. Menggenggamnya erat seakan-akan takut barang itu akan terlepas dari tangannya.

'Telepon tidak ya?'

Pertanyaan penuh keraguan terus bergema di kepala Agnes. Sebagian sisi hatinya ingin sekali menghubungi Aksa detik itu juga. Namun, sisi hati yang lain justru mencegahnya.

Entah sudah berapa lama Agnes bolak-balik dari ujung ke ujung di ruang kerjanya tersebut. Adakalanya dia menengadah sembari mengembuskan napas kencang. Berusaha melonggarkan rongga dadanya yang terasa bagai diimpit batu besar.

“Bagaimana kalau dia marah dan tidak terima?” Agnes terus bergumam sendiri dengan perasaan tak menentu.

“Jadi … benar Mbak yang mengirim paket itu?”

Tiba-tiba Aksa muncul dengan wajah yang masih terlihat sedikit pucat.

Seketika tubuh Agnes menjadi kaku. Dia tidak menduga Aksa akan datang hari ini. Bukankah dia sudah meminta lelaki itu untuk istirahat di rumah sampai kondisinya benar-benar pulih?

Sudah tidak bisa mengelak lagi. Kepalang basah, mandi sekali. Perlahan Agnes balik badan setelah berhasil menguasai kecemasannya.

“Kamu sudah sehat?” tanyanya, memasang wajah sedatar mungkin.

“Aku tidak selemah itu, Mbak.”

Aksa berjalan mendekati Agnes. Tatapan matanya terpaku pada sosok gadis yang tegak bergeming di depannya.

“Oh, syukurlah.”

Agnes beranjak ke tempat duduknya.

Aksa pun mengekori sang bos dan berhenti tepat di depan meja kerja Agnes.

“Kamu tidak harus bekerja hari ini,” ujar Agnes.

Saat dia berkata, kepalanya menunduk. Dia pura-pura menyibukkan diri dengan buku desainnya untuk menutupi rasa canggung yang tercipta di antara mereka.

“Niatku memang bukan untuk bekerja,” sahut Aksa. Kali ini nada bicaranya terdengar tegas.

Selama ini Agnes mengenal Aksa sebagai sosok lelaki yang cenderung berbicara dengan nada santai dan tenang. Baru pertama kali Agnes melihat Aksa begitu serius.

“Jangan salah paham!” tukas Agnes. “Aku mengirimkan motor semata-mata agar kamu bisa menghemat biaya transportasi saat tidak membawa pulang mobilku.”

Aksa meneleng. Tatapannya semakin intens. Sepertinya mereka adalah dua orang buta yang mendeskripsikan seekor gajah dari sudut pandang yang berbeda.

Reaksi Aksa membuat Agnes kian merasa tak enak hati. Dia tahu, harga diri dan ego merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi seorang lelaki. Jika salah satu dari dua hal itu terluka, bisa menimbulkan kekacauan besar.

“Maaf!”

Melihat Aksa mengunci mulutnya, Agnes hanya mampu melirihkan kata maaf. Meskipun dia tidak benar-benar melakukan kesalahan, setidaknya dia harus tetap menunjukkan bahwa dia memang tidak berniat untuk mempermalukan Aksa, apalagi memandang rendah dirinya sebagai seorang lelaki. Dia hanya peduli. Itu saja. Tidak lebih.

“Apa Mbak pikir aku ke sini karena merasa tersinggung dihadiahi motor?” selisik Aksa.

Agnes mendongak. Dahinya mengerut. Kalau bukan karena itu, lalu angin apa yang menyebabkan lelaki itu datang ke kantornya dengan tampang sedingin es di Kutub Utara?

“Apa tebakanku salah?”

“Salah besar!”

Aksa menarik sebuah kursi dan mengempaskan bobot tubuhnya dengan cepat. Dia duduk dengan membiarkan kedua kakinya terbuka. Kedua tangannya saling bertaut di atas meja. Sepasang netra gelapnya terus terpaku pada wajah cantik Agnes.

Hati kecilnya mengakui bahwa kecantikan Agnes memang sangat memesona walau hanya dengan polesan riasan minimalis. Sampai detik ini, dia masih belum paham kenapa wanita itu menginginkan dirinya. Padahal kalau Agnes mau, tidak sulit baginya untuk meluluhkan hati seorang pria tampan dan mapan dengan memanfaatkan pesona kecantikannya itu.

Ditatap intens begitu oleh Aksa, detak jantung Agnes berpacu cepat. Tiba-tiba saja dia merasa terintimidasi. Namun, sebisa mungkin dia tetap memperlihatkan ekspresi tenang dan datar di balik gemuruh dadanya yang bertalu-talu.

“Lalu?” tanya Agnes.

Aksa membuang napas kencang. “Aku bersedia menikahimu.”

DUAR!

Pengakuan Aksa seperti gelegar halilintar di telinga Agnes. Mulutnya ternganga. Walaupun dia sangat berharap Aksa akan memenuhi keinginannya, tetapi dia tidak menyangka lelaki itu benar-benar akan menyetujuinya.

Bola mata Agnes bergerak liar. Mencari-cari kebenaran yang membayang dari pancaran manik mata kelam Aksa.

“Kamu tidak sedang bercanda, kan?”

“Apa aku terlihat seperti sedang bergurau?”

“T–tidak sih, tapi … aku tak percaya kamu akan menerimanya secepat ini.”

Jujur saja, Agnes senang keinginannya terpenuhi. Bahkan, lebih cepat dari waktu berpikir yang dia berikan kepada Aksa.

“Kamu yakin tidak akan menyesal setelah menikah denganku?” konfirmasi Agnes.

“Apa yang membuatmu berpikir begitu?”

Agnes menjadi semakin kikuk. Aksa yang duduk di depannya kini sungguh terlihat seperti orang yang berbeda dari Aksa yang selama ini dikenalnya.

“I–itu …" sahut Agnes. “A–aku kan lebih tua darimu.”

Agnes menggigit bibir bawahnya setelah mengungkapkan kenyataan itu. Bagaimanapun, dia memang tiga tahun lebih tua dari Aksa. Karena itulah, dia tidak berani terlalu berharap bahwa lelaki tersebut akan menerima pinangannya.

“Tidak masalah. Menjadi dewasa bukan hanya faktor usia, melainkan lebih pada cara berpikir,” balas Aksa. “Lagi pula, Mbak tampak lebih muda dari usia sebenarnya.”

Tak khayal pipi Agnes bersemu merah ketika mendengar penilaian Aksa tentang tampilan wajahnya. Walau Aksa bukan orang pertama yang berpendapat begitu, tetapi rasanya sedikit berbeda.

'Ingat, Agnes! Aksa sudah punya keluarga! Dia hanya berbuat baik untuk membantumu, bukan mencintaimu.'

Agnes membatin. Mengingatkan dirinya sendiri tentang fakta yang sesungguhnya. Tujuan pernikahannya dengan Aksa tidaklah murni berdasarkan rasa saling cinta. Ini hanya semacam pernikahan bisnis yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak.

Agnes mengembuskan napas panjang, seperti sedang membuang segala beban yang memberati dadanya.

“Baiklah. Aku akan segera mempersiapkan segalanya,” putus Agnes. “Kita akan menikah secara sederhana, tapi … tidak ada salahnya kalau kamu ingin mendatangkan anggota keluargamu pada hari pernikahan kita.”

“Aku akan menjalankan bagianku sebagaimana layaknya sebuah pernikahan akan berlangsung,” tutur Aksa. “Walau mungkin bukan orang tua kandungku, tetap aku akan datang melamarmu bersama keluargaku.”

Agnes sungguh merasa dirinya berada di dunia mimpi ketika Aksa benar-benar datang menemui mamanya. Ia didampingi oleh seorang lelaki paruh baya yang diperkenalkan Aksa sebagai paman dari pihak ayahnya. Aksa meminta kesediaan Ranty untuk melepas anak gadisnya. Dia menyatakan siap menjadi suami Agnes tanpa ada keraguan sedikit pun dalam nada suaranya.

“Aku mungkin memang tidak bisa menjanjikan kemewahan, tapi … aku akan berusaha menjadi suami yang baik untuk Agnes, Tante.”

Aksa berkata dengan nada mantap dan sangat meyakinkan laksana seorang kesatria yang berjanji dengan sepenuh hati.

Agnes terperanjat. Dia tidak menyangka Aksa akan mendalami dengan serius perannya sebagai calon suami. Tanpa disadari, seulas senyuman tipis terlukis di wajah Agnes. Secuil rasa senang menyusupi hatinya. Dia tidak salah pilih. Meskipun nasib rumah tangga mereka ke depannya masih terlihat buram, setidaknya dia tidak perlu khawatir bahwa Aksa akan menyakitinya secara fisik.

Ranty mengamati wajah Aksa dan seluruh penampilan calon menantunya itu dari ujung kepala hingga ke kaki. Dia tidak mengerti mengapa putri semata wayangnya justru lebih memilih untuk menikahi sopir pribadinya itu, padahal sudah banyak pria yang lebih mapan datang melamarnya.

“Aku butuh jaminan.”

Perkataan Ranty menyebabkan Aksa dan pamannya saling lempar pandang. Jaminan? Apa yang diinginkan Ranty? Mendadak sebutir peluh sebesar jagung jatuh menggelinding di pelipis Aksa.

Terpaku di tempat duduknya, Agnes merasa dirinya seakan sedang berdiri di bibir jurang.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Sebatas Status   82. Sentilan Langit

    Dada Haidar bergemuruh karena darah yang mendidih. Di sampingnya, Jovanta—pengacara yang dipercayainya untuk menangani kasus Agung—mengimbangi langkah cepatnya memasuki ruang tahanan. Haidar mengeritkan gigi ketika melihat Agung meringkuk di balik jeruji besi. Begitu menyadari kehadiran Haidar, Agung bergegas bangkit menemui papanya. “Keluarkan aku dari sini, Pa!” Tangan Agung menggapai udara, berusaha menjangkau Haidar yang tegak dua langkah darinya. Wajahnya tampak lebih tirus. Tulang pipinya mulai mencuat, padahal dia baru mendekam di sel tahanan sementara selama dua minggu. Melihat kulit wajah Agung terlihat kusam dan pucat, hati Haidar terenyuh. Marahnya perlahan memudar, berganti rasa iba. Bagaimanapun, Agung tetaplah anak sulungnya. Mana ada orang tua yang tidak merasa tertekan saat anaknya masuk penjara. Namun, Haidar tidak bisa berbuat apa-apa untuk membebaskan Agung. Dia tidak memiliki cukup uang untuk membayar jaminan. Perusahaan keluarga yang selama ini dikelola oleh A

  • Istri Sebatas Status   81. Menepuk Lalat

    Mobil Aksa meninggalkan butik Agnes dengan kecepatan rendah. Di sebelah Aksa, Agnes duduk tenang. Seulas senyuman tipis menghias wajahnya. “Kelihatannya kau senang sekali dengan pertemuan ini,” goda Aksa di sela-sela kesibukannya mengendalikan roda kemudi. “Ini pertama kalinya aku bisa makan di luar semenjak kecelakaan itu,” timpal Agnes, “Bohong kalau aku bilang aku tidak senang, apalagi … ini juga pengalaman pertama kita menikmati makan siang bersama keluarga Eksa.” “Kau benar. Sampai sekarang, terkadang aku masih merasa seperti mimpi bisa bertemu Eksa lagi.” “Kalian pasti telah melewati hari-hari yang sangat sulit.” Agnes dapat melihat betapa dekatnya hubungan mereka berdua. Setelah menyimak kisah pilu kehidupan masa kecil Aksa, dia mengerti mengapa Aksa mau mengorbankan status lajangnya demi menjaga dan melindungi Ainun. Alih-alih cemburu pada masa lalu Aksa, dia malah bersyukur mendapatkan lelaki sebaik Aksa. Seorang lelaki yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarga ser

  • Istri Sebatas Status   80. Pulang

    “Pa, Aksa tidak pernah berniat untuk mempermalukan Papa ataupun Mama,” ujar Agnes, merasa tidak nyaman dengan perdebatan mertua dan suaminya. “Ainun memang bukan istri Aksa. Selama ini, dia hanya berusaha melindungi Ainun dan Kyra.” Muka Haidar menggelap. Dia paling benci dibohongi. “Kalau dia bukan istri dan anakmu, untuk apa kau peduli pada mereka?” semburnya, menatap garang pada Aksa. “Mereka keluarga Eksa, Pa. Bagaimana mungkin aku menelantarkan mereka?” “Apa? Jangan bercanda, Aksa! Eksa sudah lama mati! Mayatnya bahkan tidak pernah bisa ditemukan.” Aksa membuang pandang ke lantai. “Ya. Bagi Papa sama Mama Eksa sudah mati. Kalian tidak pernah peduli setelah dia melarikan diri.” Bulir bening di sudut mata Clarissa menggelinding jatuh mendengar penuturan Aksa. Sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan mereka, dia memang tidak pernah mempertanyakan keberadaan Eksa semenjak anaknya itu memberontak dan minggat dari rumah. Dia tidak pernah tahu bahwa Eksa telah mengganti nama pangg

  • Istri Sebatas Status   79. Mengesampingkan Ego

    Agnes menyeka kristal bening yang meluruh dari sudut matanya. Emosinya terhanyut mendengar kidung lara kehidupan masa kecil Aksa. “Kau menangis? Membuat aku benar-benar terlihat menyedihkan!” Meskipun bibirnya melontarkan keluhan mengejek kepada Agnes, Aksa merasakan hatinya menghangat ketika menyadari bahwa Agnes berempati terhadap nasibnya yang kurang beruntung di masa lalu. Setelah berhasil mengendalikan perasaannya, Agnes mengumbar senyuman hangat. “Dengan begitu aku yakin kamu akan lebih menghargai orang lain dan memahami makna kata bahagia yang sesungguhnya.” Agnes juga semakin paham sekarang mengapa Aksa begitu melindungi Ainun dan Kyra. Dia sudah merasakan pahitnya diabaikan. Jadi, wajar jika dia tidak ingin Kyra mengalami hal yang sama. “Kamu enggak dendam kan sama mama?” “Entahlah. Aku hanya merasa berat untuk menemuinya lagi.” Agnes sangat mengerti. Siapa pun yang pernah disakiti—apalagi dalam jangka waktu lama—tentu sulit untuk benar-benar bersikap normal. Mungkin me

  • Istri Sebatas Status   78. Enggan

    “Di mana kau sekarang?” Haidar menodong Aksa dengan pertanyaan interogasi tanpa basi-basi tentang kabar. Aksa mendengkus kecewa. Sepertinya Haidar benar-benar tak peduli apakah dia masih hidup atau sudah mati. “Yang jelas, bukan di rumah Papa!” Aksa menyahut dengan nada dingin. “Anak kurang ajar!” umpat Haidar. “Kalau di rumahku, apa perlu aku bertanya seperti itu?” “Sudahlah. Aku sedang tidak ingin bertengkar,” sahut Aksa. “Aku masih ngantuk.” Selesai berkata begitu, Aksa langsung memutus sambungan telepon. Di ujung telepon. Haidar mengomel panjang pendek lantaran kesal dengan perbuatan Aksa. Berkali-kali dia mencoba memanggil ulang nomor telepon Aksa, tetapi Aksa tidak lagi mengangkat panggilannya. Dengan kesal dan mulut tak henti mengumpat dan memaki, dia mengetik pesan untuk Aksa. Aksa turun dari ranjang dengan tampang kusut. Niatnya untuk melanjutkan tidur sedikit lebih lama gagal total akibat gangguan dering telepon dari papanya. “Lelaki itu masih belum menyerah!” ejek Aks

  • Istri Sebatas Status   77. Lara

    Aksa mematung di depan pintu. Awalnya, dia berniat untuk mengetuk pintu rumah orang tuanya itu. Namun, mendengar suara ribut dari dalam, dia pun membatalkan niatnya. Dia tetap tegak mematung di sana. Menguping pertengkaran yang sedang berlangsung antara mama dan kakak iparnya. Dia merasa aneh mengetahui dua orang yang biasanya sangat akur tersebut berubah seperti musuh. “Ma … Ma … Mama pikir aku naif? Aku tahu Mama tidak pernah membesarkan Aksa dan saudara kembarnya dengan tangan Mama sendiri,” cemooh Marsha. “Mama bahkan tidak pernah memberi mereka ASI. Mereka adalah dua anak sapi yang diasuh oleh pembantu.” “Kamu?” Clarissa mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Ingin sekali dia bisa mencabik-cabik mulut Marsha. “Apa aku salah?” Marsha semakin merasa bahwa dirinya berada di atas angin ketika melihat Clarissa tidak berani melayangkan tangan kepadanya. Sudut bibir Marsha mencebik sinis. “Mama bahkan tak peduli Eksa masih hidup atau sudah mati!” Sentilan telak itu membungkam mu

  • Istri Sebatas Status   76. Tutup Mulutmu!

    Melangkah mundur dengan kaki gemetar, muka Nevan memucat seperti kain kafan. Pantatnya kini telah membentur bagian belakang mobilnya. Ke mana dia harus lari sekarang? Nevan bergeser ke kiri. Dia harus bisa menemukan celah untuk berbalik dan masuk ke dalam mobilnya. Dia tidak mau mati konyol di tangan Aksa. “Kupikir kau tak akan muncul lagi di hadapan istriku karena kau sudah belajar dari kesalahanmu,” ejek Aksa dengan seringai menakutkan. “Ternyata kau bertindak terlalu bodoh. Kali ini aku akan memberimu pelajaran yang lebih keras.” Sebuah mobil melintas dan berhenti di dekat Aksa. “Papa!” Krya berteriak dari jendela dengan kaca yang sudah diturunkan. Nevan memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Namun, teringat gadis kecil itu memanggil papa pada Aksa, langkahnya terhenti. Seringai licik terbit di wajahnya. Dia belum kalah. Krya turun dari mobil dan berlari ke pelukan Aksa yang sudah berjongkok untuk menyambutnya. Ainun mengiring di belakangnya. Seringai Nevan makin leb

  • Istri Sebatas Status   75. Hidupku Bukan Urusanmu!

    Sepasang kaki terbalut celana berwarna navy menjulur dari dalam mobil, diikuti keseluruhan tubuh sang pemilik kaki. Nevan berjalan ke belakang mobilnya dengan dada membusung. Dia melendehkan pantat pada bagian belakang mobil itu dengan bersilang kaki. Sebelah tangannya bersembunyi di dalam saku celana. Sudut bibir Nevan mencebik sinis kepada Aksa. Seringai mengejek pun menggenapi tatapan penuh kebencian yang membidik tepat ke netra gelap Aksa. “Sebaiknya kau menjauh dari sana, Agnes Fan!” sarannya dalam nada perintah. “Kemarilah dan masuk ke mobilku!” Darah Aksa mendidih mendengar anjuran dan perintah Nevan kepada Agnes. Lelaki itu terkesan sengaja menganggapnya sebagai patung batu. Kedua tangan Aksa terkepal erat membentuk tinju. “Apa hakmu memerintah istriku?” Nevan mengungkai kakinya dan tegak lurus. Dia maju selangkah. Berpaling pada Agnes seolah-olah pertanyaan Aksa hanya embusan angin lalu. “Lelaki seperti itu tidak pantas menjadi suamimu,” tegasnya. “Kau desainer ternama d

  • Istri Sebatas Status   74. Kapan Buat Adik?

    “Sayang … itu kan Papa Aksa,” jelas Ainun. “Papa yang selama ini bersama kita.” Mata Kyra berpaling pada Gugun dengan tatapan penuh tanya, 'Kalau itu Papa Aksa, lalu yang ini siapa?' “Nah, yang ini ….” Ainun menepuk pelan lengan atas Gugun, “Papa Gugun. Papa kandung Kyra yang selama ini bekerja jauuuh banget.” Gugun mengelus lembut rambut Kyra. “Iya, Sayang … selama papa pergi, Papa Aksa yang menjaga Kyra sama mama,” jelasnya. “Benarkah?” Senyuman dan anggukan kepala dari empat orang dewasa yang duduk semeja dengannya menghalau ketakutan Kyra. Dia melompat turun dari bangku. “Yeaaay! Aku punya dua papa!” serunya dengan wajah berbinar cerah, berlari mengelilingi meja untuk menghampiri Aksa. Aksa segera mengangkat tubuh mungil Kyra untuk duduk di pangkuannya. Dia terkekeh geli ketika Kyra menyerangnya dengan kecupan bertubi-tubi, nyaris memenuhi seluruh permukaan wajahnya. Setelah puas melepas rindu pada Aksa, mata bening Kyra beralih pada Agnes. “Tante Cantik … apa aku boleh man

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status