Share

6. Lorong Gelap

Author: Lathifah Nur
last update Last Updated: 2021-06-28 19:50:21

“Aaargh!”

Aksa bangkit dari pembaringan dan meremas rambutnya dengan frustrasi. Dia berjalan lesu meninggalkan kamar dan duduk di teras samping.

Rembulan menggantung di langit malam. Sedikit bersembunyi di balik pucuk pohon. Kerlip taburan bintang yang biasa memagari sang dewi malam kini tak lagi terlihat. Ke mana bintang-gemintang itu menghilang?

Aksa memandang sayu pada pendar rembulan yang kian memudar. Kesendirian seakan telah menyebabkan dewi malam itu bermuram durja. Tiba-tiba saja Aksa merasa dia tak ubahnya seperti bulan yang mulai menghilang, tersaput mega kelam.

Perlahan Aksa bangkit, mengayun langkah menuju halaman yang tidak begitu luas. Dia melangkah gontai dengan kedua tangan bersembunyi di dalam saku celana. Sesekali dia menarik kerah bajunya untuk melindungi lehernya dari serangan hawa dingin.

'Ya Tuhan, tidak adakah jalan lain yang bisa kutempuh?' batin Aksa, bertanya gundah.

Agnes menolak keras untuk memotong gajinya sebagai jalan pelunasan utang. Gilanya, wanita itu malah meminta dirinya untuk menikahinya. Apa sekarang zaman benar-benar sudah semakin edan sampai-sampai enau memanjat sigai?

Bagaimana bisa seorang wanita secantik dan sesukses Agnes terlihat begitu putus asa dan menginginkan pria yang baru dikenalnya untuk menjadi suaminya? Jelas-jelas Agnes sudah tahu bahwa dia memiliki keluarga. Lalu, dari mana ide konyol itu muncul?

“Kamu tidak harus menjawabnya sekarang,” kata Agnes. “Pertimbangkan saja dulu! Lagi pula, aku tidak akan menuntut waktumu untuk bersamaku selain dari jam kerja.”

“Tapi, Mbak—”

Kibasan tangan Agnes memotong sanggahan Aksa. “Aku tidak mau mendengar penolakanmu sekarang,” lirih Agnes. “Ini akan menjadi simbiosis mutualisme untuk kita. Utangmu lunas dan kamu tetap mendapatkan gaji secara utuh.”

“Lalu, Mbak dapat apa?” Aksa merasa hanya dia yang diuntungkan di sini.

“Aku?” Agnes melirik serius pada Aksa. Aksa mengangguk.

“Aku akan terbebas dari rongrongan mamaku.” Agnes melempar pandang ke luar jendela. Ada kabut tipis yang menutupi bola mata indahnya. “Syukur-syukur pernikahan ini juga akan mengunci mulut para tetangga.”

Agnes membuang napas resah. Dia sudah sangat lelah dengan semua cibiran dan tatapan mengejek yang dilayangkan ibu-ibu usil dan bermulut ember tersebut. Ibu-ibu yang senantiasa memanfaatkan momen berkumpul mereka untuk bergosip dan mengorek aib orang lain. Apa mereka tidak takut dosa? Atau mereka memang sangat ingin memakan daging busuk di neraka nanti? Entahlah.

Aksa menengadah sembari mengembuskan napas kencang. Asap tipis mengepul dari mulutnya begitu udara hangat yang dia keluarkan berbenturan dengan dinginnya cuaca malam. Di bentang cakrawala, rembulan kembali menampakkan rupa dengan pendar emasnya yang melingkar indah.

Setiap dialog yang terjadi antara dirinya dan Agnes tadi siang terus berputar seperti rekaman video pembelajaran yang selalu ditayangkan ulang agar dia benar-benar paham.

Dari balik jendela kamarnya, Ainun menyaksikan semua kegelisahan Aksa dengan air mata jatuh menitik. Dia tidak tahu kenapa dia menangis. Mungkin itu bukti valid dari ketajaman intuisi seorang wanita.

***

“Aku tidak pernah memintamu untuk tetap menunggu di mobil.”

Agnes berkata serius dengan tatapan setajam belati kepada Aksa. Lelaki itu masih belum menunjukkan tanda-tanda akan segera turun dari mobil.

“Di sini lebih nyaman, Mbak.” Aksa menyahut enteng.

Tidak ada alasan baginya untuk mengikuti ke mana pun Agnes pergi. Dia sopir, bukan pengawal pribadi. Lagi pula, kerja sama yang akan dijalani Agnes tidak ada kaitan sama sekali dengan dirinya. Dia tidak terlibat sedikit pun.

“Ikut aku!” Agnes balik badan dan langsung melangkah pergi.

Aksa bengong, menatap punggung Agnes yang semakin menjauh. Hatinya bimbang. Benarkah dia perlu mendampingi Agnes?

“Tunggu apa lagi?!”

“Oh … i–iya, Mbak.”

Buru-buru Aksa memutus kebingungannya dan berjalan cepat, menyusul Agnes yang menunggunya dengan raut muka sedingin es.

Meskipun tidak mengerti dengan kelakuan Agnes, Aksa tidak berani menguntai tanya. Apalah daya, dia tidak lebih dari sekadar seorang pekerja. Sudah lumrah bagi bawahan untuk bersikap patuh kepada atasan kalau tidak ingin didepak dari kedudukannya.

Seorang petugas resepsionis menyambut ramah kehadiran Agnes.

“Nona Agnes Fan?”

Pertanyaan konfirmasi tersebut disambut Agnes dengan anggukan kepala. Tak lupa dia juga membalas senyuman hangat sang resepsionis cantik. Dengan sudut matanya, Agnes sempat membaca nama ‘Rara’ tertera pada dada gadis muda tersebut.

“Mari, Nona!” ajak Rara. “Tuan Nevan sudah menunggu Anda.”

Agnes melangkah anggun di samping Rara. Begitu pula dengan Aksa. Dia tidak berani menarik diri setelah menerima lirikan tajam dari Agnes.

“Silakan, Nona!”

Rara memberi kode dengan jari agar Agnes masuk sendiri ke ruangan Nevan. Kewajibannya hanya mengantar sampai ke depan pintu ruang kerja bos besarnya itu. Selanjutnya, dia tidak perlu tahu.

“Terima kasih,” ujar Agnes.

Dia mengetuk pintu yang berdiri kokoh di depannya sebanyak tiga kali. Ketukan tersebut menghasilkan irama yang khas dan bernada tegas.

“Masuk!”

Terdengar teriakan dari dalam. Agnes pun tidak membuang waktu. Didorongnya daun pintu secara perlahan. Suara entakan sepatu bertumit tinggi segera bergema di dalam ruangan tertutup itu.

“Ah, Nona Agnes!” sambut Nevan.

Senyuman riang terukir indah di bibirnya ketika menyadari kedatangan wanita yang sudah ditunggunya sedari tadi. Refleks dia meninggalkan singgasana kebesarannya untuk menyongsong Agnes.

“Sepertinya kedatanganku sedikit mengganggu,” komentar Agnes.

Mata jelinya mengamati tumpukan berkas yang berserakan di atas meja kerja Nevan.

“Apa yang kau bicarakan?” kekeh Nevan. “Kau tidak menggangguku sama sekali. Ayo duduk!”

Agnes mengenyakkan pantat di atas sofa yang tersedia di sisi kiri meja kerja Nevan.

“Wah, aku baru tahu Anda mempekerjakan seorang asisten sekarang,” kelakar Nevan setelah melihat Aksa ikut duduk tidak jauh dari Agnes.

“Dia Aksa,” sahut Agnes, memperkenalkan Aksa kepada Nevan.

“Nevan.”

Nevan memperkenalkan diri ketika Aksa mengulurkan tangan kepadanya. Tak sedikit pun kesombongan membias di wajahnya, tetapi kilat tak suka berkelebat pada sinar matanya.

“Jadi, kapan aku bisa bertemu dengan para model itu?” tanya Agnes pada Nevan.

“Santai saja, Nona. Tidak perlu terburu-buru.”

“Anda tahu? Aku akan kehilangan banyak hal jika terbiasa menunda.”

“Benar sekali! Aku tidak salah telah memilih Anda sebagai partner,” komentar Nevan. “Tapi … aku lebih tertarik untuk melihat rancangan Anda terlebih dulu.”

Agnes mengeluarkan sebuah buku desain dari dalam tas kerjanya dan menyerahkan buku tersebut kepada Nevan.

“Kalau ada detail yang perlu diubah, katakan saja! Aku akan memperbaikinya.”

Tatapan Nevan menyapu bersih setiap detail yang tergores halus pada rancangan gaun-gaun wewah yang dihasilkan Agnes. Sesekali dia mendecak sembari menggeleng pelan dengan sudut bibir sedikit naik, membentuk senyuman puas.

“Aku kehabisan kata,” pungkas Nevan setelah menutup kembali buku desain milik Agnes.

Ditaruhnya buku tersebut di atas meja. Sorot matanya tak mampu menyembunyikan bias kekaguman pada sosok wanita cantik yang duduk di depannya itu.

“Terima kasih. Itu artinya tidak ada yang perlu diubah, bukan?”

Agnes bertanya untuk memastikan kebenaran kesimpulannya atas sikap Nevan terhadap hasil karyanya.

“Itu sudah sangat sempurna,” tegas Nevan. “Aku yakin kerja sama ini akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar.”

Agnes hanya tersenyum tipis mendengar keyakinan Nevan. “Hanya kalau aku punya cukup waktu untuk mengerjakannya setelah mengukur para model.”

Nevan menyipitkan mata. Dia merasa Agnes sangat kaku dan terkesan ingin menghindari pertemuan dengannya.

“Haha … tidak perlu tergesa-gesa, Nona Agnes,” tukasnya. “Anda masih punya banyak waktu untuk melakukan semua itu.”

Agnes melayangkan tatapan dingin pada Nevan. Dia jengah setiap kali berhadapan dengan para pebisnis muda. Begitu pula berurusan dengan Nevan. Isi kepala lelaki itu tidak hanya seputar kerja sama. Dasar lelaki! Apa tidak bisa sehari saja berhenti mencari celah untuk menggoda wanita?

“Anda tahu? Desain yang sudah kubuat itu tidak bisa menggunakan bahan sembarangan,” jelas Agnes. “Butuh waktu untuk memilih dan menemukan dasar yang sesuai. Bukan hanya karena soal harga, tetapi juga sehubungan dengan ketersediaan stok bahan. Tidak mudah untuk mendapatkan semua bahan yang dibutuhkan.”

Wajah santai Nevan kini berubah serius. Dia seperti baru saja tersadar dari sebuah lamunan panjang.

'Sial! Kenapa aku lupa?'

Nevan memaki dirinya sendiri dalam hati. Bisa-bisanya dia lupa bahwa Agnes memang seorang desainer yang selalu mempersembahkan gaun-gaun spesial dengan bahan kualitas terbaik dan sulit didapat.

Seorang Agnes akan lebih memilih untuk menunda atau bahkan membatalkan jadwal peluncuran karya terbarunya bila tidak berhasil menemukan bahan yang sesuai dengan gaun rancangannya.

“Baiklah, Nona,” ujar Nevan. “Tunggu sebentar!”

Nevan kembali ke meja kerjanya dan menghubungi seseorang.

“Aks—”

Panggilan Agnes terhenti. Tubuhnya seketika membatu. Aksa tidak lagi berada di tempat semula. Ke mana dia?

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Sebatas Status   82. Sentilan Langit

    Dada Haidar bergemuruh karena darah yang mendidih. Di sampingnya, Jovanta—pengacara yang dipercayainya untuk menangani kasus Agung—mengimbangi langkah cepatnya memasuki ruang tahanan. Haidar mengeritkan gigi ketika melihat Agung meringkuk di balik jeruji besi. Begitu menyadari kehadiran Haidar, Agung bergegas bangkit menemui papanya. “Keluarkan aku dari sini, Pa!” Tangan Agung menggapai udara, berusaha menjangkau Haidar yang tegak dua langkah darinya. Wajahnya tampak lebih tirus. Tulang pipinya mulai mencuat, padahal dia baru mendekam di sel tahanan sementara selama dua minggu. Melihat kulit wajah Agung terlihat kusam dan pucat, hati Haidar terenyuh. Marahnya perlahan memudar, berganti rasa iba. Bagaimanapun, Agung tetaplah anak sulungnya. Mana ada orang tua yang tidak merasa tertekan saat anaknya masuk penjara. Namun, Haidar tidak bisa berbuat apa-apa untuk membebaskan Agung. Dia tidak memiliki cukup uang untuk membayar jaminan. Perusahaan keluarga yang selama ini dikelola oleh A

  • Istri Sebatas Status   81. Menepuk Lalat

    Mobil Aksa meninggalkan butik Agnes dengan kecepatan rendah. Di sebelah Aksa, Agnes duduk tenang. Seulas senyuman tipis menghias wajahnya. “Kelihatannya kau senang sekali dengan pertemuan ini,” goda Aksa di sela-sela kesibukannya mengendalikan roda kemudi. “Ini pertama kalinya aku bisa makan di luar semenjak kecelakaan itu,” timpal Agnes, “Bohong kalau aku bilang aku tidak senang, apalagi … ini juga pengalaman pertama kita menikmati makan siang bersama keluarga Eksa.” “Kau benar. Sampai sekarang, terkadang aku masih merasa seperti mimpi bisa bertemu Eksa lagi.” “Kalian pasti telah melewati hari-hari yang sangat sulit.” Agnes dapat melihat betapa dekatnya hubungan mereka berdua. Setelah menyimak kisah pilu kehidupan masa kecil Aksa, dia mengerti mengapa Aksa mau mengorbankan status lajangnya demi menjaga dan melindungi Ainun. Alih-alih cemburu pada masa lalu Aksa, dia malah bersyukur mendapatkan lelaki sebaik Aksa. Seorang lelaki yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarga ser

  • Istri Sebatas Status   80. Pulang

    “Pa, Aksa tidak pernah berniat untuk mempermalukan Papa ataupun Mama,” ujar Agnes, merasa tidak nyaman dengan perdebatan mertua dan suaminya. “Ainun memang bukan istri Aksa. Selama ini, dia hanya berusaha melindungi Ainun dan Kyra.” Muka Haidar menggelap. Dia paling benci dibohongi. “Kalau dia bukan istri dan anakmu, untuk apa kau peduli pada mereka?” semburnya, menatap garang pada Aksa. “Mereka keluarga Eksa, Pa. Bagaimana mungkin aku menelantarkan mereka?” “Apa? Jangan bercanda, Aksa! Eksa sudah lama mati! Mayatnya bahkan tidak pernah bisa ditemukan.” Aksa membuang pandang ke lantai. “Ya. Bagi Papa sama Mama Eksa sudah mati. Kalian tidak pernah peduli setelah dia melarikan diri.” Bulir bening di sudut mata Clarissa menggelinding jatuh mendengar penuturan Aksa. Sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan mereka, dia memang tidak pernah mempertanyakan keberadaan Eksa semenjak anaknya itu memberontak dan minggat dari rumah. Dia tidak pernah tahu bahwa Eksa telah mengganti nama pangg

  • Istri Sebatas Status   79. Mengesampingkan Ego

    Agnes menyeka kristal bening yang meluruh dari sudut matanya. Emosinya terhanyut mendengar kidung lara kehidupan masa kecil Aksa. “Kau menangis? Membuat aku benar-benar terlihat menyedihkan!” Meskipun bibirnya melontarkan keluhan mengejek kepada Agnes, Aksa merasakan hatinya menghangat ketika menyadari bahwa Agnes berempati terhadap nasibnya yang kurang beruntung di masa lalu. Setelah berhasil mengendalikan perasaannya, Agnes mengumbar senyuman hangat. “Dengan begitu aku yakin kamu akan lebih menghargai orang lain dan memahami makna kata bahagia yang sesungguhnya.” Agnes juga semakin paham sekarang mengapa Aksa begitu melindungi Ainun dan Kyra. Dia sudah merasakan pahitnya diabaikan. Jadi, wajar jika dia tidak ingin Kyra mengalami hal yang sama. “Kamu enggak dendam kan sama mama?” “Entahlah. Aku hanya merasa berat untuk menemuinya lagi.” Agnes sangat mengerti. Siapa pun yang pernah disakiti—apalagi dalam jangka waktu lama—tentu sulit untuk benar-benar bersikap normal. Mungkin me

  • Istri Sebatas Status   78. Enggan

    “Di mana kau sekarang?” Haidar menodong Aksa dengan pertanyaan interogasi tanpa basi-basi tentang kabar. Aksa mendengkus kecewa. Sepertinya Haidar benar-benar tak peduli apakah dia masih hidup atau sudah mati. “Yang jelas, bukan di rumah Papa!” Aksa menyahut dengan nada dingin. “Anak kurang ajar!” umpat Haidar. “Kalau di rumahku, apa perlu aku bertanya seperti itu?” “Sudahlah. Aku sedang tidak ingin bertengkar,” sahut Aksa. “Aku masih ngantuk.” Selesai berkata begitu, Aksa langsung memutus sambungan telepon. Di ujung telepon. Haidar mengomel panjang pendek lantaran kesal dengan perbuatan Aksa. Berkali-kali dia mencoba memanggil ulang nomor telepon Aksa, tetapi Aksa tidak lagi mengangkat panggilannya. Dengan kesal dan mulut tak henti mengumpat dan memaki, dia mengetik pesan untuk Aksa. Aksa turun dari ranjang dengan tampang kusut. Niatnya untuk melanjutkan tidur sedikit lebih lama gagal total akibat gangguan dering telepon dari papanya. “Lelaki itu masih belum menyerah!” ejek Aks

  • Istri Sebatas Status   77. Lara

    Aksa mematung di depan pintu. Awalnya, dia berniat untuk mengetuk pintu rumah orang tuanya itu. Namun, mendengar suara ribut dari dalam, dia pun membatalkan niatnya. Dia tetap tegak mematung di sana. Menguping pertengkaran yang sedang berlangsung antara mama dan kakak iparnya. Dia merasa aneh mengetahui dua orang yang biasanya sangat akur tersebut berubah seperti musuh. “Ma … Ma … Mama pikir aku naif? Aku tahu Mama tidak pernah membesarkan Aksa dan saudara kembarnya dengan tangan Mama sendiri,” cemooh Marsha. “Mama bahkan tidak pernah memberi mereka ASI. Mereka adalah dua anak sapi yang diasuh oleh pembantu.” “Kamu?” Clarissa mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Ingin sekali dia bisa mencabik-cabik mulut Marsha. “Apa aku salah?” Marsha semakin merasa bahwa dirinya berada di atas angin ketika melihat Clarissa tidak berani melayangkan tangan kepadanya. Sudut bibir Marsha mencebik sinis. “Mama bahkan tak peduli Eksa masih hidup atau sudah mati!” Sentilan telak itu membungkam mu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status