Share

Mintalah Pada Lelaki Itu

Yang bertabiat sabar seperti Emma pun bisa marah. Ia selama ini selalu sabar dan menekan amarahnya. Jika bukan karena mawar itu, ia tidak akan semarah ini. Dan yang lebih membuatnya marah adalah Alin yang jelas-jelas tahu bagaimana Emma sangat menyayangi bunga tersebut. Tanaman yang sangat disayangi oleh Emma pun dia tidak segan mengambilnya. Alin sudah terbiasa mengambil barang miliknya sehingga ia tidak takut dan menjadi terbiasa.

Emma keluar dari kafe dan diikuti oleh Jane yang berjalan dengan tergesa-gesa lantaran Emma yang berjalan dengan cepatnya. Setelah sampai di parkiran, Emma melipat tangannya di dada dan pandangannya menatap tajam ke depan. Jane belum pernah melihat Emma semarah ini. Emma yang selalu sejuk dan ceria. Mawar sunsprite sudah seperti bayi kecil yang dirawatnya dengan penuh kasih.

“Kontrol emosi kamu, Emma.” Pinta Jane seraya membuka pintu mobil. Emma tidak merespon ucapan Jane dan langsung masuk ke dalam mobil.

Tidak mau menunggu lama dan berbasa-basi lagi, Jane langsung tancap gas menuju rumah Emma. Tidak ada obrolan sepanjang perjalanan. Jane yang fokus menyetir dan Emma yang masih tersulut emosi.

Lima belas kemudian mereka sampai di rumah Emma. Jones Roses sudah tutup. Mungkin Ester lah yang menutupnya. Emma membuka sabuk pengaman dan langsung turun dari mobil. Saking tergesa-gesanya ia sampai lupa untuk menutup pintu mobil. Jane lagi-lagi menggelengkan kepalanya melihat Emma yang sudah tidak mampu mengontrol emosinya.

Jane mengikuti Emma yang sudah masuk terlebih dahulu ke dalam rumah tanpa mempersilahkannya masuk. Jane hanya menggelengkan kepalanya menatap punggung sahabatnya itu.

“Memang beda yah marahnya seorang penyabar, mujur sudah aku anggap rumah sendiri,” ujar Jane.

“Emma sudah pulang?” Suara Ester menyambut kedatangan anaknya. Emma tidak menyahut dan langsung menuju ke kamar Alin. Ester mengerutkan keningnya bingung. Ia melihat ke arah Jane ingin memastikan apa yang terjadi pada Emma. Jane akhirnya mendekati Ester.

“Sepertinya, Emma akan menghabisi Alin malam ini, Bu.” Bisik Jane di telinga Ester.

Ester berkerut ,“Ada apa di antara mereka berdua?” tanya Ester bingung.

“Soal mawar, Bu.” Ester akhirnya memahami apa yang sedang terjadi. Dengan cepat ia menyusul Emma yang menggedor-gedor kamar Alin.

“Keluar kamu.” Nada emosi dari Emma membuat Alin yang berada di dalam kamar enggan membuka pintu kamarnya.

“Ma, ambilkan kapak.” Emma yang melihat kehadiran ibunya pun meminta tolong.

Ester berhenti melangkah. Apakah putrinya benar-benar ingin menghabisi adik kandungnya?

“Kapak? Mau diapakan, Emma?” tanya Ester dengan nada khawatir.

“Membelah pintu kamar ini.”

“Apa?” Jane yang berdiri di belakang Ester pun terkejut. “Apa kamu senekat itu? Kasihan pintu itu, Emma.”

“Aku peringatkan sekali lagi. Jika kamu tidak membuka pintu ini, maka kapak yang akan membukanya.” Bentak Emma dengan tangan yang terus menggedor-gedor pintu kamar Alin.

“Alin, keluarlah Nak.” Pinta Ester.

Ceklek!

Pintu akhirnya terbuka. Emma langsung mendorong pintu kamar itu. Alin yang berada dibaliknya terhuyung ke belakang. Kepalanya mengenai pintu. Ia meringis kesakitan.

Ester yang melihat hal itu hanya terdiam dan membiarkan Emma. Ia sudah tidak kuat baik hati maupun tenaganya karena sakit yang dideritanya selama ini.

Jane pun dengan cepat mengikuti Emma memasuki kamar adiknya. Melihat Alin yang terjatuh di lantai, Jane langsung membantunya berdiri.

“Ke mana, Emma?” tanya Jane setelah melihat ke sekeliling kamar dan tidak menemukan keberadaan Emma.

“Di kamar mandi, Kak,” jawab Alin dengan tangan memegang pinggangnya karena sakit.

“Untuk apa dia ke kamar mandi, Lin?” tanya Jane bingung. Dalam pikirannya, Emma pasti akan memukul Alin namun yang terjadi Emma malah ke kamar mandi. “Apakah dia tadi sedang menahan untuk buang air besar?”

Alin menggeleng dengan wajah ketakutan. Baru kali ini ia melihat Emma begitu marah pada dirinya. Ia pikir Emma hanya akan mengurangi biaya bulanannya tetapi ternyata tidak. Malah lebih mengerikan sampai ingin memakai kapak.

“Karena kamu sudah keterlaluan dan tidak menghargai barang milikku, maka beberapa bulan ke depan tidak ada uang bulanan dariku ataupun dari Ibu.” Ucap Emma yang keluar dari kamar mandi dan memegang sebuah kotak. “Dan ini aku sita.” Emma menunjukkan sebuah kotak berwarna Salem dan langsung membuat Alin terkejut karena ia sudah menyembunyikan kotak itu di kamar mandinya. Namun Emma berhasil menemukannya.

Jane menatap Emma dan Alin secara bergantian. Ia satu-satunya yang tidak mengerti dengan cara sahabatnya itu melampiaskan kemarahannya.

“Dan ponselnya juga aku sita.” Emma mengambil ponsel Alin dari atas nakas dekat tempat. Alin tidak menjawab dan hanya diam. Ia merasa bahwa Emma hari ini bukanlah kakaknya.

Baik Jane maupun Ester hanya terdiam dan membiarkan Emma memarahi adiknya. Memang marahnya seorang wanita sabar sangat berbeda. Sekali marah dunia seakan runtuh.

“Jangan ponsel, Kak. Aku tidak bisa tanpa benda itu,” pinta Alin dengan wajah sedih. Bagaimana hidupnya jika tanpa benda segi empat itu. Bagaimana dia berkomunikasi dengan sahabat-sahabatnya nanti.

“Tidak ada keringanan dariku. Kamu harus rasakan bagaimana kehilangan barang yang kamu sayangi,” ucap Emma seraya menunjukan ponsel di tangannya. Alin pun tertunduk. Dalam hatinya ia mengutuk lelaki pembeli mawar itu. Seandainya lelaki itu tidak membawa sejumlah besar uang maka kejadian tidak akan seperti ini.

“Maafkan aku, Kak,” ucap Alin lirih. Namun Emma seakan tidak mendengarnya. Ia menjelajahi seluruh isi kamar adiknya itu. Berusaha mencari barang berharga milik Alin. Ia sudah seperti kakak yang kejam. Emma ingin adiknya jera dan tidak mengulangi perbuatannya dan bertindak sesuka hati.

Emma dan Alin sudah lama kehilangan seorang ayah. Membuat Alin bertindak sesukanya dan tidak takut kepada Ester maupun Emma. Kesempatan ini digunakan Emma untuk membuatnya takut dan juga patuh.

Ester menatap sedih ke arah kedua putrinya. Mereka berdua telah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Ia tidak ingin keduanya harus berkelahi. Namun ketika melihat kesedihan dan kekecewaan di mata putri sulungnya, Ester tidak berani membela putri bungsunya.

“Lain kali jangan seperti ini lagi, Alin,” ucap Ester dan berjalan mendekati Emma dan mengambil kotak salem dari tangannya. “Biarkan ibu yang menyimpannya.”

Emma pun langsung memberikannya pada ibunya. Akan sangat aman jika ibunya yang menyimpannya. Mawar sunsprite kesukaannya telah berubah menjadi lembaran-lembaran uang. Ketika mengingat mawarnya, Emma kembali naik darah. Ia kembali menatap tajam ke Alin. Menyadari jika kakaknya menatapnya tajam, Alin pun kembali tertunduk.

“Tidak ada lagi yang dapat ku pandang. Kamu sudah merenggutnya, Alin. Jika engkau tidak merawatnya dengan baik, maka tidak ada ponsel dan uang jajan dariku untukmu,” tegas Emma. Ia memberi hukuman tambahan pada adiknya agar merawat mawar itu dan tumbuh seperti Emma yang merawatnya.

“Iya, Kak. Aku akan merawatnya dengan baik.”

“Apakah kamu tidak keterlaluan menghukumnya, Emma?” Jane yang sejak tadi hanya terdiam kini melihat sahabatnya sudah begitu berlebihan menghukum adiknya.

“Biar dia jera, Jane. Jangan membelanya,” balas Emma. jane pun langsung terdiam.

“Terus bagaimana aku hidup, Kak?” tanya Alin yang mulai terisak.

“Mintalah pada lelaki itu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status