Rumah berlantai tiga dengan nuansa Skandinavia terlihat dari kejauhan. Setelah lima tahun, Ethand akhirnya pulang ke rumah. Ia sangat merindukan suasana di rumah itu.
Bunyi klakson menggema di depan gerbang setinggi sepuluh meter. Tidak menunggu lama akhirnya gerbang itu terbuka secara otomatis.
Rumah dengan cat berwarna putih dengan deretan bunga mawar di depannya membuat Ethand langsung merasakan kasih seorang ibu. Terlihat di depan gerbang seorang wanita berusia sekitar empat puluhan tahun dengan mata berbinar menanti kedatangannya.
Segala rasa kerinduan berkecamuk di dalam dada Ethand. Sedingin-dinginnya dia menjadi lelaki dan segengsi-gengsinya ia di depan wanita, Ethand tetaplah seorang anak yang merindukan kasih seorang ibu. Setelah memarkirkan mobil, Ethand langsung berlari dan memeluk ibunya.
"Anak mama," ucap Ella dengan nada sendu. Ia juga sangat merindukan putra semata wayangnya.
"Mama sehat kan?" Terdengar nada khawatir dari lelaki yang tergolong tidak muda lagi.
"Mama baik-baik saja," jawab Ella sambil mengusap rambut putranya.
"Oh iya, Ma. Aku ada hadiah buat Mama." Ethand melepaskan pelukan ibunya dan kembali menuju mobil. Tidak lama kemudian, se-bucket bunga membuat Ella menutup mulutnya kaget.
"Bagaimana kamu mendapatkan mawar Sunsprite yang cantik ini?"
"Aku membelinya di toko bunga, Ma. Ternyata mawar ini sudah banyak disini. Jadi tidak perlu susah-susah lagi mencarinya ke luar negeri." Ethand terlihat senang saat melihat ibunya tersenyum senang.
"Setahu mama, mawar Sunsprite ini hanya ada di toko Jones Roses." Ella menerima mawar kesukaannya dan mencium aromanya yang menenangkan.
"Mama tahu toko bunga itu? Aku membelinya dari sana, Ma."
"Beberapa hari yang lalu mereka tidak menjualnya. Tapi karena ketampanan putra mama mampu meluluhkan hati gadis itu." Ella tersenyum senang. Sedangkan Ethand ikut tersenyum dan menyembunyikan kejadian yang sebenarnya. "Ayo masuk," ajak Ella. Ethand menganggukkan kepalanya. Keduanya memasuki rumah dengan tangan Ethand di pundak ibunya.
Raut wajah Ethand berubah ketika melihat seorang lelaki yang sedang duduk di sofa. Dia adalah Gregorio Alves, ayah Ethand.
"Sore, Pa." Ethand menyapa ayahnya. Ia melepaskan rangkulan di bahu Ella dan berjalan menuju ayahnya. Dalam hatinya, ia masih tidak bisa menerima perlakuan Gregorio yang melarangnya untuk pulang ke Vunia sebelum menyelesaikan studinya.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Gregorio sambil menepuk punggung putranya yang memeluknya erat.
"Baik, Pa. Papa bagaimana kabar?"
"Papa baik-baik saja." Gregorio melihat bunga di tangan Ella, ia kemudian menatap putranya. "Mana hadiah untukku? Apakah hanya ibumu yang mendapat hadiah?"
Ethand menggaruk kepalanya. Ia kemudian tersenyum kikuk. "Sebenarnya ada, Pa. Tapi apakah Papa akan menerimanya?"
Gregorio menatap putranya sejenak. "Apapun yang kamu berikan akan papa terima dengan senang hati."
"Benar, Pa?" tanya Ethand memastikan.
"Iya." Gregorio menjawab dengan yakin.
Ethand mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah kertas yang dilipat seadanya. Baik Gregorio dan Ella sama-sama bingung dengan apa yang akan diberikan oleh Ethand.
"Ini, Pa hadiahnya."
Gregorio tanpa ragu menerimanya. Ia perlahan membuka lipatan kertas itu. Setelah terbuka, dahi yang semula berkerut kini kembali pada tempatnya. Sebuah senyum kebanggaan terukir di bibirnya.
"Hebat kamu Ethand. Dana yang selama ini Papa cari akhirnya ditemukan."
Ella pun tidak mau diam dan ingin membaca isi surat itu.
"Jadi pak Leon yang mengambil uang itu, Pa?" Gregorio menganggukkan kepalanya.
"Jadi bagaimana hadiahnya, Pa? Apakah Papa menyukainya?" Goda Ethand pada ayahnya.
"Ini adalah hadiah terindah seumur hidup Papa setelah kehadiran mama dan kamu, Ethand," ucap Gregorio mantap.
Ethand dan ibunya tersenyum senang. Suasana yang tidak biasa itu membuat Gregorio merangkul anak dan istrinya dengan penuh kasih.
"Jadi, apakah kamu sudah memiliki kekasih?"
Pertanyaan tiba-tiba dari Gregorio sontak membuat Ethand menoleh ke ayahnya. Terlihat Gregorio dan Ella sangat menunggu jawaban dari Ethand.
Bagi banyak orang, kehidupan percintaan bisa sangat memengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka, dan menjadi motivasi untuk senantiasa memperbaiki diri. Kendati demikian, nyatanya ada sebagian orang yang mengalami kesulitan untuk jatuh cinta. Ada juga yang menilai bahwa jatuh cinta adalah membuang-buang waktu dan tenaga.
Ethand Giorgino Alves seseorang yang tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan. Hal itu karena ia tidak menemukan esensi atau poin penting dari menjalin komitmen dengan lawan jenis. Alasan lainnya juga adalah ia terlalu mencintai diri sendiri dan menilai bahwa tidak ada wanita yang mampu disandingkan dengannya.
Ketika mendengar pertanyaan kedua orang tuanya membuat Ethand risau. Bagaimana mungkin ia memiliki kekasih sedangkan waktunya dihabiskan untuk belajar dan melakukan riset.
Melihat raut wajah penuh harap dari orang tuanya membuat Ethand terenyuh. Dipaksakannya sebuah senyum dan melihat ke arah orang tuanya.
“Secepatnya Pa, Ma. Untuk sekarang aku ingin konsentrasi pada perusahaan.”
Ella pun menoleh menatap pada suaminya. Bagaimanapun, niatnya untuk segera menimang cucu tidak terkabul. Gregorio membalas tatapan istrinya dan melingkarkan tangannya pada pinggang Ella, ia tidak mau istrinya kecewa.
“Kami senantiasa menunggu kabar gembira itu, Ethand. Jangan lama-lama, lihat ibumu sudah tidak sabar ingin menimang cucu.” Gregorio dengan nada khas seorang ayah. Ella mengangguk-anggukkan kepala menyetujui kalimat suaminya.
Mendengar kata cucu dalam kalimat Gregorio membuat kepala Ethand terasa pusing.
“Papa sama Mama tenang saja. Aku pasti akan menikah ada waktunya.”
“Baiklah.” Ella dengan nada yang tidak seperti biasanya. Jelas ia sedikit kecewa. Selama ini tidak pernah didengarnya bahwa Ethand memiliki kekasih. Ella juga sempat curiga jika putranya itu mengalami kelainan. Ia senantiasa berharap, dugaannya tidak benar.
Melihat raut wajah istri dan putranya yang tidak sejalan, Gregorio menghela napas panjang. “Istriku tersayang, kita makan apa malam ini?”
“Oh iya. Mama sudah masak makanan kesukaan kamu.” Ella dengan mata berbinar.
“Apakah ikan suwir, Ma?” tanya Ethand tidak kalah berbinarnya seperti Ella.
“Betul sekali. Ayo sudah berapa lama tidak mencicipi masakan Mama? Hm?” tanya Ella dengan nada khas keibuannya. Gregorio menghembuskan napas lega ketika melihat istri dan putranya kembali akur.
“Lima tahun, Ma.”
“Pergilah mandi. Mama sama Papa akan menunggu kamu di meja makan.”
“Iya, Pa.” Ethand pun beranjak menuju kamarnya. Ia menapaki tangga dan langsung melihat foto keluarga. Ia yang masih di sekolah menengah atas dengan rambut di belah tengah. Ayah dan ibunya mengapit Ethand dengan senyum ceria. Itu adalah foto sebelum Ethand berangkat kuliah.
Setelah menatap foto itu sejenak, Ethand berjalan menuju kamarnya. Sudah lima tahun ia tidak menempati kamar itu namun masih rapi dan hangat. Pasti Ella lah yang senantiasa membersihkannya. Nuansa skandinavia dan minim gambar membuat kamar itu sangat mewah. Beberapa barang kesukaan milik Ethand masih tertata rapi. Termasuk komik dan bola basket.
Sebuah komputer di atas meja mengingatkan Ethand pada sosok Emma yang pandai bahasa program. Wajah wanita dengan hodeed eyesnya memenuhi kepala Ethand. Entah kenapa ia tiba-tiba seperti itu. Ia pun menepis segala pikirannya. Bukankah segala yang menyangkut wanita tidak pernah terlintas di otaknya?
Ethand pun berjalan menuju kamar mandi. Ia ingin mandi sekaligus dapat menghilangkan bayangan wanita itu dari kepalanya.
***
“Apakah kamu yakin bisa menghabisi lelaki itu?” Jane dengan tatapan menyelidik. Siapa pun lelaki itu tentunya media sosial miliknya tidak akan aman. Yang dimaksudkan Emma bukanlah pergi memukul lelaki itu namun menghabisinya lewat dunia maya.
“Demi mawarku, aku tidak akan segan-segan, Jane.” Emma dengan wajah yang masih merah padam.
“Lalu kenapa kamu tidak menghabisinya di sini saja?” tanya Jane ingin tahu.
“Sebelum menghabisi lelaki itu, aku ingin memberi pelajaran ke Alin terlebih dahulu.”
“Apa?”
Setelah kejadian di menara jam Ester selalu setia menemani Darek di rumah. Merawat dan menjaga suaminya dengan penuh kasih. Seminggu sekali mereka berdua akan pergi mengunjungi Emma di rumah sakit.Sudah sebulan Emma belum sadarkan diri. Selama itu pula Ethand selalu setia mendapinginya. Setiap hari ia akan membacakan berbagai cerita novel dan juga mendengarka musik bersama. Ia akan bergantian bersama Alin dan Jane untuk menjaga wanitanya itu.Seperti hari ini, Ethand kembali membacakan sebuah novel romantic pada Emma. Perlahan Emma menggerakan jari telunjuknya. Hal itu tidak disadari Ethand. Lelaki itu dengan ekspresi mendalami cerita tersebut terus membaca novel pada kekasihnya. Sampai pada cerita itu selesai, Ethand meneteskan air matanya karena kisah dalam cerita novel itu sungguh bahagia berbeda dengan kisah cintanya bersama Emma. Sampai saat ini, Emma belum sadarkan diri.Ethand menangis tersedu-sedu sambil menggenggam tangan Emma. Ethand merasa nyaman ketika menggenggam tangan
Emma baru saja selesai mandi dan berniat untuk istirahat namun ponselnya terus berdering. Ia segera mengambil ponselnya. Matanya membelalak kaget ketika membaca isi pesan dari Johan Prima. Lelaki itu mengirim gambar wajah Darek yang sudah membiru.Tanpa pikir panjang Emma langsung mencari koordinat telepon Johan. Setelah mendapatkannya Emma langsung keluar dari rumah Caroline. Namun naas, ketika sampai di depan Wilobi mall, Emma sudah dibekap oleh sebuah sapu tangan yang berisi bius. Tidak lama kemudian wanita itu tidak sadarkan diri.Emma hanya bisa mendengar suara samar-samar para lelaki disekelilingnya. Kepalanya terasa berat dan pusing. Setelah itu Emma tidak mendengar apa-apa lagi dan gelap sepenuhnya.***Rasanya baru terlelap namun kini hawa dingin menerpa tubuh Emma. Ia perlahan membuka matanya. Kepalanya masih terasa berat namun karena pandangan di depannya terlihat asing ia berusaha sadar sepenuhnya. Ia sangat terkejut ketika melihat siapa lelaki yang duduk di depannya.Bar
Tujuan Emma dan Caroline datang ke Nuni’s Club dan bertemu Johan adalah untuk mendapatkan sidik jari lelaki tersebut. Database prima corp di setting menggunak sidik jari Johan sendiri. Sehingga Emma dan Caroline untuk bertemu dengan lelaki kejam itu.“Jadi bagaimana apakah kamu bisa masuk ke dalam database mereka?” tanya Caroline yang sudah tidak sabar.“Tentu saja, Carol. Lihatlah…” Emma mempersilahkan Carol melihat semua data penting yang disembunyikan Johan begitu rapat. Betapa kagetnya ia ketika melihat data kepemilikan Prima Corp adalah orang tua kandungnya.“Dasar brengsek!” Caroline mengepal kedua tangannya. Wajahnya memerah karena menahan marah. Ia boleh mengemis pada pamannya itu ternyata malah sebaliknya. Sungguh kejam Johan pada orang tuanya. “Aku tidak ingin menunggu sampai besok, malam ini juga dunia harus tahu betapa kejam dan tidak punya perasaan lelaki bernama Johan tersebut.Emma segera menuruti perkataan Caroline. Ternyata Prima Corp adalah miliki wanita yang menolon
Suasana Nuni’s Club malam ini mengingatkan Emma pada kejadian lampau. Dimana ia dipukul oleh Daniel Jiani dan diselamatkan oleh Ethand. Dimana ia diselamatkan kedua kalinya di hari yang sama. Hari terpuruk dan terendah dirinya.Emma mengenakan sebuah dress yang sedikit ketat dan menampakkan tubuhnya yang ramping. Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai. Wajahnya sedikit dipolesi riasan.Sedangkan Caroline memakai pakaian yang kurang kain. Bagian dadanya terbuka lebar dan dress di atas lutut. Di tambah dengan high heels yang membuatnya terlihat tinggi dan juga cantik. Apalagi dia lama hidup di Spanyol.Kedua wanita itu melangkah masuk ke dalam Nuni’s Club. Caroline memakai wig dan menambahkan sebuah tahi lalat di atas bibirnya. Sedangkan Emma tampil apa adanya. Hanya sedkit riasan yang membuatnya terlihat berbeda. Ia terlihat seperti wanita karir dengan uang melimpah.“Di mana ruangan mereka?” tanya Emma. Kedua kalinya ia ke tempat ini dan tidak mengetahui ruangan di klub malam tersebu
Setelah mendengar Emma berada di Bank Central Vunia, Ethand dan Ryan langsung menuju ke bank tersebut. Namun ia sedikit terlambat, Emma sudah pergi dari tempat itu.“Bolehkah saya melihat rekaman cctvnya?” tanya Ethand pada Ryan.“Ini, Pak.”Ethand segera melihat rekaman cctv tersebut. “Carol?” ucap Ethand. Ia ingat pakaian yang dikenakan mantan kekasihnya pagi ini. Ethand lebih terkejut lagi ketika melihat Emma dengan busana yang sangat berbeda dari biasanya. Ternyata punggung wanita familiar yang dilihatnya sebelumnya adalah Emma. Ethand membanting ponsel Ryan begitu saja dan menimbulkan suara gaduh di dalam mobil. Ryan yang duduk di kursi kemudia hanya bisa terdiam. Ethand sedang marah dan kesal.“Bagaimana bisa aku tidak menahannya pagi tadi?” Suara berat Ethand diiringi dengan hembusan napas kasar membuat Ryan memberanikan diri melihat atasannya lewat kaca spion di depannya. Ethand terlihat berantakan dan juga wajahnya sangat muram.“Apakah kamu bertemu mereka sebelumnya?” tanya
Black Card sudah diterima Emma. Setelah urusan di bank usai, Emma dan Caroline segera keluar dari tempat itu. Emma berulang kali melirik ke arah cctv. Ia segera mempercepat langkahnya. Carolina juga demikian.“Aku lupa mengenakan masker. Sepertinya kita harus segera berangkat.” Emma dengan nada serius. Ia segera memasang sabuk pengamannya.“Bukankah itu adalah mobil Ethand?” tanya Caroline. Ia segera menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan bank itu.Emma melihat dari kaca spion di depannya. Ia masih bisa melihat lelaki itu keluar dengan terburu-buru dari dalam mobilnya. Wanita itu langsung membuang tatapannya ke tempat lain dengan tatapan sendu menatap pada jalanan yang tampak ramai oleh kendaraan.“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Caroline.“Aku baik-baik saja,” balas Emma. Untuk membalas Prima ia harus bisa dan menahan rasa rindunya. Emma juga harus bisa membuktikan bahwa ayahnya sepenuhnya tidak bersalah. Semuanya karena perbuatan Johan Prima.Jika cinta merupakan penyakit m