Share

4. Perjanjian Pernikahan

    Pagi sekali Intan sudah berada di rumah sakit. Kali ini dia tidak sendiri, melainkan bersama Indrayana, papanya. Sebelum menemui Ishita, Intan membicarakan kepada Indrayana rencana Intan mengenai keinginannya meminjam rahim Ishita untuk melahirkan anak Ahem.

    Indrayana mendukung keinginan putri semata wayangnya. Sebelum proses lebih jauh Indrayana yang kebetulan kepala rumah sakit dan seorang dokter, mengusulkan untuk cek up kesehatan rahim Ishita.  Dan Ishita menyetujuinya. Dengan tidak membuang waktu lagi, akhirnya hari itu juga diadakan cek up. Padahal tubuh Ishita belum pulih, dia duduk di kursi roda. Dan seorang asisten lelaki membantu mendorong kursi rodanya, menuju ruang periksa dokter.

    Intan dan asistennya menunggu di luar sambil memain ponselnya. Tiba-tiba ponsel Intan bergetar dan Intan segera mengangkatnya.

   "Iya sayang?" sapanya begitu telepon diangkat.

   "Kamu masih di rumah sakit,  sayang?" tanya Ahem.

   "Iya masih, ini ngantar Ishita cek up ditemeni papa." 

   "Aku perlu cek up tidak?" tanya Ahem menggoda.

   "Ih ngebet juga kamu ya, bikin aku cemburu aja!" seru Intan.

   "Ha..ha..ha...seneng deh kalau kamu cemburu gitu, pasti bibirmu lagi manyun." tebak Ahem menggoda.

   "Awas ya kamu!" ancam Intan.

   "Kamu tetap harus cek up juga, Ahem. Kalau kalian berdua dinyatakan sehat  maka menikahlah!" titah Intan pelan menahan perasaan cemburu dan takut kehilangan.

   "Baiklah istriku tersayang. Aku menurut apapun rencanamu. Kau nanti jangan pulang terlambat lagi ya. Aku tidak mau menunggu....jenuh tau!"ketus Ahem.

   "Iya aku nanti cepet pulang, jangan khawatir!" Intan menenangkannya.

   "Kutunggu di rumah sayang, by..by..!" ujarnya sambil menutup teleponnya.

    Tak lama kemudian Ishita keluar dari ruangan periksa. Dan perawat membawanya kembali ke kamar. Sedang Intan dan papanya berjalan menelusuri lorong rumah sakit. 

    "Hasil USG sangat bagus, Intan. Kita menunggu hasil cek darah nanti siang sudah keluar." Ujar Indrayana optimis.

    "Pa, Ahem harus cek up juga nggak?" tanya Intan.

    "Ya iyalah sayang, takutnya suamimu ternyata juga ada masalah. Akhirnya nggak juga punya anak, terlanjur menikah lagi. Kan kamu juga yang rugi, terlanjur diduakan." Ungkap Indrayana.

    "Menurut papa apakah Ishita bisa dipercaya, pa?" tanya Intan ragu.

    "Manusia bisa berubah kapan saja, Intan? Kita harus hati-hati! Buatlah surat perjanjian yang benar-benar mengikat dia, agar dia tidak bisa berkutik. Ayo kita bicarakan di ruangan papa!" ajak Indrayana kepada anaknya.

    Akhirnya ayah dan anak ini membuat surat perjanjian di ruangan Indrayana. Benar-benar pasal-pasalnya sangat merugikan dan penuh jeratan serta mengikat kuat Ishita sehingga benar-benar tidak bisa berkutik.

     Pukul 14.00, hasil tes darah keluar, semua bagus dan sehat. Akhirnya Intan dan Indrayan datang ke kamar Ishita untuk menyampaikan kabar baik itu, dan sekalian membawa surat perjanjian pranikah. 

    "Ishita, ini surat perjanjian pranikah, kau harus menandatangani!" kata Intan sambil menyodorkan beberapa lembar kertas yang harus Ishita tandatangani.

    "Apa isinya, Mbak? Aku boleh baca dulu kan?" tanya Ishita memohon.

    "Isinya, bahwa kamu akan meninggalkan kita, setelah anak Ahem lahir. Kamu sudah tidak berhak atas bayi itu. Dan kamu harus bercerai begitu bayi Ahem terlahir. Pergi dari rumah tanpa membawa apapun." Ungkap Intan berbohong.

    Karena banyak hal yang per pasalnya lebih keras tapi tidak disebutkan oleh Intan. Dan dengan percayanya tanpa sedikit pun curiga Ishita menandatanganinya. 

   "Ishita, keadaanmu sekarang  bagaimana? Masih sakitkah?" tanya Intan. 

   "Sudah berkurang banyak, Mbak." Jawabnya.

   "Syukurlah, ayahku memberimu obat yang terbaik, Ishita." Ujarnya.

   "Terima kasih mbak."

   "Ishita, ada aturan main yang harus kau ketahui sebelum menikah. Nanti kalau sekiranya ada yang keberatan katakan saja!" 

   "Iya Mbak, katakan saja!" titah Ishita.

    "Nanti setelah kalian menikah, aku hanya mempertemukan kalian pada saat kamu masa subur, ingat itu! Dan setelah kamu hamil, kamu tidak boleh bertemu suamiku lagi sampai anak itu lahir dan sampai akhirnya kalian bercerai. Sampai disini kau setuju?" tanya Intan seolah menekan.

    "Iya, aku setuju." Jawab Ishita tegas.

    'Dan lagi...saat kalian berhubungan aku ingin menutup matamu. Agar kamu tidak melihat suamiku, aku takut kamu jatuh cinta pada suamiku. Aku beri kalian waktu pukul 23.00 sampai pukul 01.00 dengan mata tertutup saat masuk rumahku maupun keluar rumahku. Nanti ada asisten yang menemani dan memandu kamu. Sampai disini kamu bisa terima?" tanya Intan lagi.

    Karena niatan merebut suami orang juga tidak ada, ingin dicumbu suaminya  orang juga tidak, maka bagi Ishita ini adalah syarat yang tidak sulit. "Malah lebih baik kalau aku tidak melihat wajah dia, jangan-jangan dia sudah berumur. Atau aku risih dicumbu lelaki yang sama sekali tidak kukenal. Hih membayangkannya saja aku geli. Daripada aku memejamkan mata, lebih baik mataku ditutup. Itu merupakan ide yang bagus." Batin Ishita justru senang dengan aturan itu.

    "Aku sangat setuju, Mbak. Aku sendiri tidak bisa membayangkan dicumbu lelaki yang sama sekali tidak aku kenal." Ujar Ishita.

    "Baik. Aku tenang mendengarnya.  Nanti kamu tidak perlu banyak komunikasi, diam lebih baik." Pinta Intan.

    "Setuju!" Jawabnya tegas.

    "Baik, sementara itu syarat-syarat dari aku, bila ada tambahan nanti menyusul. Setelah pernikahan uang 1M tak transfer di rekening kamu. Dan setelah kamu hamil, aku sewakan rumah yang layak untuk kamu tinggali." Janji Intan.

    "Iya mbak, aku menurut." Jawabnya tegas.

    "Ishita, apakah kamu sudah punya pacar?" tanya Indrayana tiba-tiba.

    "Sudah Om." Jawabnya berbohong. Agar mereka tidak ketakutan akan merebut suaminya.

    "Bagus, trus apa yang akan kamu katakan bila nanti kamu harus menikah dengan orang lain?" tanya Indrayana penasaran.

    "Saya akan terus terang Om, saya tidak mau berbohong, semua ini aku lakukan untuk menolong ayahku. Juga untuk masa depanku." Jawab Ishita.

     "Ya sudah, kita pulang dulu Intan, biarkan Ishita istirahat!" usul Indrayana memberi kode, seolah ingin berbicara lagi empat mata.

    Akhirnya ayah dan anak itu berjalan beriringan keluar kamar inap Ishita.

     ***

     Tiga hari kemudian, ganti Ahem yang datang untuk cek up ke rumah sakit. Dan hasilnya memuaskan, semua baik dan sehat.

    Dan Ishita sudah pulang ke kosannya. Dia sementara menggunakan kruk untuk jalan. Karena dia belum sembuh benar. Dan dari kantor dia mendapat izin istirahat karena kecelakaan.

    Ishita membaringkan tubuhnya di ranjang kecil yang sederhana. Dia menghubungi Ririn menanyakan ayahnya. Ternyata ayahnya belum sadarkan diri paska operasi.

    Padahal Intan sudah mendesak untuk segera melangsungkan pernikahannya. Dari pihak Ahem surat-surat sudah lengkap. Akhirnya Ishita minta tolong pamannya untuk mengurus surat-surat dan sekaligus menjadi wali nikah.

    Setelah surat-surat sudah beres, pamannya memberitahu dan menata tempat pernikahannya, yaitu masjid yang tak jauh dari tempat tinggalnya.

   Hari pernikahan sudah ditentukan. Undangan hanya khusus keluarga sendiri. Intan mendesint lokasi pernikahan dengan memisahkan tamu lelaki dan wanita.

    Pernikahan itu atas persetujuan istri pertama, dengan alasan karena istri pertama tidak punya keturunan.

   Dan pernikahan ini dibatasi tirai putih yang membuat pengantin wanita dan para tamu wanita terpisah. Mereka tidak bisa saling melihat dengan pengantin pria maupun tamu pria.

    Setelah penghulu menyatakan pernikahan sudah sah, pengantin pria dan wanita dipandu untuk saling berjabat tangan. Tapi segera Intan berdiri sambil berkata, "Pak penghulu gimana kalau jabat tangannya nanti saja biar bertemu di kamar." Usul Intan. "Lagian pengantin wanitanya sedang sakit habis kecelakaan, Pak!" Intan menjelaskan.

     "Oh begitu? Ya sudah terserah....yang penting sekarang kalian berdua sudah sah menjadi suami istri menurut negara maupun agama." Penghulu mengumumkan.

    Entah kenapa tiba-tiba Ishita menangis, seolah bagai mimpi. Semua begitu cepat terjadi. Ririn menghampiri kakaknya sambil menangis tersedu-sedu. Ishita dipeluknya dengan erat dan diciuminya.

    "Maafkan aku ya Kak, karena keadaan seperti ini kakak harus berkorban. Aku tidak bisa membantu apa-apa Kak!" Bisik Ririn sambil menangis.

    "Kamu jangan menyalahkan diri kamu sendiri, kakak baik-baik saja kok."

     Pelukannya makin erat dan tangisannya pun makin menjadi-jadi. Ishita menarik tubuhnya dan mengusap airmata Ririn. 

     "Kakak melakukan ini semua karena uang, Ririn. Hidup kita terlalu miskin, sehingga untuk berobat ayah saja kita tak berdaya. Maafkan kakak yang tidak bisa memberi contoh yang baik buatmu, Ririn!' bisik Ishita di telinga Ririn.

    "Tidak Kak, kakak adalah kakak terbaik bagiku." Pekiknya.

     "Ishita, kita pulang bersama!" ajak Intan. Pengawal Ahem membawa Ishita dengan kursi rodanya. Mereka semobil bertiga, Intan, Ishita dan pengawal. Ahem pulang duluan bersama pengawalnya juga. Karena Intan tidak pernah memberi kesempatan mereka untuk saling bertemu.

    "Ishita, kapan terakhir kamu menstruasi?" tanya Intan didalam mobil.

    "Sekarang saya sedang menstruasi, Mbak." Jawabnya.

    "Apa? Sudah berapa hari?" tanya Intan tak percaya.

    "Baru dua hari, Mbak."

    "Masa suburmu berarti Minggu depan. Kamu harus segera sembuh, Ishita. Agar tidak memakai kursi roda ataupun kruk pada saat malam pertama dengan suamiku. Ingat kamu harus menurut apapun petunjuk dariku!" desak Intan.

    "Baik Mbak, jangan khawatir!" jawab Ishita pelan.

     "Sementara kamu tetap tinggal di kosanmu, nanti aku antar!" gumamnya.

     "Baik Mbak."

Bagaimana malam pertama Ishita dan Ahem?

      Bersambung......

    

    

    

     

   

     

    

   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status