Share

3. Ahem Menerima Perjodohan

     Intan dengan suasana hati yang berbunga-bunga mulai masuk ke kamarnya. Kamar gelap dan lampunya belum dinyalakan, sehingga Intan berpikir bahwa Ahem belum pulang ke rumah.

    "Hah....jam segini Ahem belum pulang juga?" gerutu Intan.

     Intan berjalan pelan menuju saklar listrik untuk menyalakan lampu. Saat tangan mulai meraba dinding, seseorang datang mendekapnya dari belakang sambil berbisik di telinga, "Aku merindukanmu, sayang."

     "Ahem?" pekik Intan terkejut.

     Intan masih berusaha meraba dinding untuk menemukan saklar  lampu. Tapi Ahem bergerak cepat membalikkan tubuh Intan dan mencium bibirnya dengan ganas.

     Intan pun tak berdaya, ciuman itu bagai ada magnetnya sehingga makin kuat dan sulit untuk dilepasnya. Perlahan Ahem menggeser tubuhnya dan mendekat ke dinding hingga menghimpit tubuh Intan, kemudian menekan saklatnya. Tiba-tiba lampu menyala dan Intan mengerjap-ngerjabkan matanya karena silau.

     "Saat-saat seperti ini dan kejutan-kejutan yang selalu Ahem berikan padaku, aku makin takut kehilangan dan takut digantikan orang lain." batin Intan. "Apakah keputusanku ini tidak membahayakan diriku sendiri? Bagaimana kalau Ahem justru jatuh cinta pada Ishita. Ishita cantik, mungil dan imut. Tidak....tidak....tidak akan kubiarkan itu terjadi!" Pikir Intan dalam hati. Belum sampai rencana Intan  dilaksanakan sudah posesive duluan.

     "Aku merindukanmu, sayang. Jangan pernah jauh dariku, aku menunggumu dengan cemas dan rindu. Aku kesepian, padahal baru sebentar jauh darimu." Kata Ahem merayu.

     "Ih gombal! Kau lebay....lelaki brengsek macam kamu hobby nya merayu." Kecam Intan berkelakar.

    Kedua tangan Ahem merentang, mengapit tubuh sintal dan berisi Intan, yang sedang terpepet di dinding.

    Wajahnya kembali mendekat ke wajah Intan. Ahem menatap Intan penuh nafsu. Tapi Intan segera menggeser tubuhnya, menunduk dan melesat lari dari bawah tangan Ahem.

    "Aku mau mandi dulu!" teriak Intan yang berlari menuju kamar mandi.

    "Sayang aku ingin mendengar cerita tentang orang yang tadi kamu tabrak. Dia sudah baikan kan?" teriaknya kepo.

    "Iya nanti ku ceritakan!" jawab Intan berteriak dari dalam kamar mandi.

     Ahem duduk termenung membayangkan seandainya di rumahnya ada suara tangis bayi, oh betapa lengkap kehidupan dan kebahagiaannya. Dia juga membayangkan masa-masa kecil bersama Intan, suka duka di sekolah. Intan adalah wanita yang paling mengerti apa saja tentang Ahem. Dia mengenal Ahem lebih baik daripada kedua orang tuanya sendiri. Karena sudah sejak kecil mereka selalu berbagi suka maupun duka. Ahem pun mengenal Intan dengan baik tentang apapun juga.

    Dia ingat saat Ahem terjatuh dari sepedanya, Intan dengan penuh sayang merawatnya. Saat Intan dibully teman-temannya, Ahem lah yang berdiri di depan melindunginya.

    Tak lama Intan pun keluar dari kamar mandi. Wajah Intan nampak segar dan harum. Ahem menatapnya dengan kagum, apalagi rambut basah Intan menambah segar dan menggairahkan.

    "Ahem, jangan menatapku seperti itu! Kita bukan pengantin baru lagi." Ujar Intan malu.

    "Apa untuk menatap istrinya harus menjadi pengantin baru dulu, begitu?" tanya Ahem menggoda. "Duduklah, dan ceritakan bagaimana  kronologisnya sampai terjadi kecelakaan itu!" pinta Ahem kepo.

    "Aku sih yang salah, lagi teleponan sama kamu tadi, tanpa sadar ada orang tua menyeberang, dan wanita itu menolongnya. Orang tua itu selamat tapi  malah dia yang kesrempet." Intan mulai bercerita.

    "Aish! Kayak sinetron aja ada orang seperti itu. Mengorbankan dirinya untuk orang lain." Ahem menimpali.

     "Tapi Ahem, aku merasa ada positifnya dari kejadian ini. Aku mendapatkan sosok yang selama ini aku cari." Kata Intan menggantung, membuat Ahem penasaran.

    "Maksutnya?"

    "Seperti yang pernah kita bicarakan sama mama dan papa kita, bahwa kita akan mencari wanita yang mau menyewakan rahimnya untuk kita. Dan dialah orangnya, Ahem!" gumamnya sambil tersenyum puas.

    "Benarkah? Ada orang yang mau menyewakan rahim untuk kita?" tanya Ahem serasa tak percaya.

    "Iya sayang,  tadi dia habis operasi, kakinya patah. Dan ayahnya yang di kampung, besuk harus operasi juga karena kanker. Aku membiayai semuanya, dengan syarat dia mau mengandung anakmu." Intan menjelaskan.

    "Dan dia bersedia?" tanya Ahem dengan wajah bersinar karena bahagia.

    "Demi ayahnya dia bersedia, Ahem. Aku bahagia Ahem! Kita akan segera punya anak!" pekik Intan menahan perasaan harunya.

    Mereka berpelukan penuh haru, seolah semua keinginannya telah nyata di depan mata. Tak terasa Ahem menitikkan air mata. Keinginannya menimang bayi memang sudah tidak terbendung lagi. Hanya saja Ahem bisa menyimpannya dan menahannya agar tidak melukai Intan.

    "Kapan aku bisa menemuinya, untuk mengucapkan terima kasih padanya." Gumam Ahem.

   "Jangan Ahem!" teriak Intan spontan.

    Membuat Ahem terbelalak kaget, dipandangi istrinya yang ragu. Diraih tangan Intan dan digenggam erat.

   "Apakah ada masalah?" bisik Ahem.

   "Tidak sayang, kau jangan marah padaku ya?" pinta Intan.

    "Mana bisa aku marah padamu, sayang. Katakan, ada apa?" tanya Ahem penasaran.

    "Dia tidak mau inseminasi buatan. Dia mau menikah sah, kemudian menjalani proses alami. Karena dia tidak ingin bayinya lahir diluar pernikahan. Dia mau nikah sah agama dan negara dan setelah bayi itu lahir dia bersedia di cerai." Ungkap Intan.

    "Harus menikah? Tidak...aku tidak bisa, apalagi dia mau nikah sah. Apaan, dia mau membodohi kita, apa?" hardik Ahem kesal.

   "Dia gadis lugu, Ahem. Aku merasa permintaan itu tidaklah sulit." Sahut Intan.

   "Tidak sulit? Dia itu minta nikah sah Intan, bagaimana tidak sulit? Aku juga ragu, apakah aku bisa berhubungan sama dia? Kenapa juga tidak mau inseminasi?" umpat Ahem makin kesal.

    "Ahem, untuk kali ini percayalah sama aku, aku akan atur segalanya." Ujar Intan meyakinkan Ahem. " Kau tahu, ini berat buat aku....membayangkan suamiku menikahi orang lain. Wanita mana yang kuat, Ahem? Membayangkan suaminya tidur dan bercumbu dengan wanita lain, siapa yang kuat Ahem?" ungkap Intan sambil menangis.

    "Kalau ini berat buat kamu, kenapa harus kamu paksakan? Aku tidak mau kamu tersakiti dan menderita karena rencanamu ini. Sudahlah lupakan....!" kata Ahem pelan dan sedih.

    "Ahem, ini kesempatan yang tidak mungkin terulang lagi. Aku sudah cocok dengan gadis itu, dia lugu, cantik dan bersih. Kalau punya anak pasti cantik dan tampan. Kebetulan dia lagi butuh uang dan bersedia mengandung anakmu, tanpa melihat kamu siapa. Aku menyembunyikan identitas kamu sampai kapanpun, agar dia tidak tergoda dan berubah pikiran." Intan menjelaskan.

    "O begitu ya? Sekarang aku pasrah sama kamu, Intan. Aku ngikut apapun keputusanmu." Ahem menenangkan.

     "Aku tahu mama dan papa kamu begitu menginginkan seorang cucu. Tapi dia menghormati mama dan papa ku, karena mereka bersahabat sejak kecil. Sehingga mereka hanya menahannya, mereka tidak mau melukai orangtuaku." Pekik Intan sambil menangis. "Kalau saja mereka mau, pasti sudah menyuruhmu menikah lagi. Daripada harus mereka yang mencarikan istri buat kamu mending aku, agar aku bisa memilih dan mengendalikan dia!" ujarnya menahan perih di hatinya.

    "Iya Intan, aku mengerti...aku menurut apapun keputusanmu." Bisik Ahem sambil mengusap air mata Intan.

    "Cuma yang aku takutkan kalau kalian saling jatuh cinta. Kalian akhirnya mengkhianati aku." Pekik Intan menahan tangis.

   "Itu tidak mungkin sayang. Untuk tidur dengannya aku ragu apakah aku bisa? Aku tidak bisa mengkhianati kamu. Pasti wajahmu yang muncul saat aku mendekatinya. Kamu jangan ragukan cintaku padamu, Intan!  Agar hatimu menjadi tenang, kenapa tidak kamu buatkan perjanjian tertulis agar dia tahu batasannya." Usul Ahem.

    "Oh ya.... kenapa aku tidak berpikir kesana? Usul yang bagus, Ahem.  Kakinya memang patah tulang, tapi tidak parah." Ujarnya berbohong padahal dari awal dia sudah berpikir menjerat Ishita dengan perjanjian tertulis.

    "Ambilah laptop biar aku bantu mengetik!" usul Ahem.

    "Tidak perlu sekarang sayang! Kamu tidak apa-apa kan sayang bila aku berbuat seperti ini? Ini semua karena aku takut kehilangan kamu, sayang!" ujar Intan sambil membenamkan tubuhnya dalam dekapan Ahem.

    "Itu baik sayang, agar dibelakang hari tidak banyak masalah. Aku setuju! Aku tidak akan pernah bisa berpaling darimu. Kamu jangan takut akan kehilangan diriku, itu tidak mungkin, Intan!" ujarnya kembali menenangkan.

   "Aku pegang janjimu, kalau sampai kau melupakan aku, akan kubunuh kamu, kemudian aku bunuh diri!" ancam Intan dengan serius.

   "Hust! Kamu bicara apa sih...ngeri tau! Udah ambil laptopku kita bikin surat perjanjiannya!" titahnya.

    "Tidak usah sayang, aku harus bicara sama mama dan papa serta pengacaraku untuk masalah ini." Kata Intan dengan tegas.

    "Ya sudah terserahlah, aku menurut apapun keputusanmu, yang penting kamu bahagia....kebahagiaanmu adalah segalanya bagiku, sayang." Bisik Ahem di telinga Intan yang membuat Intan terbelalak merinding.

    "Ahem, kamu bikin aku...." Sela Intan.

     Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Ahem sudah melumat bibir merona Intan. Tangan Ahem terus meraba ke seluruh tubuh Intan. Dengan bibir terus saling melumat. Tangan Intan menggelayut ke leher Ahem, menekan kuat seolah tidak memberi kesempatan Ahem melepasnya. Pasutri itu semakin kesetanan bagai mendaki gunung yang tinggi. Nafasnya terengah-engah, peluhpun bercucuran. Sampai akhirnya keduanya terkapar tak berdaya setelah meluapkan nafsu birahinya. Di lantai berserakan pakaian mereka berdua. Tanpa sehelai benangpun mereka tidur berpelukan hingga pagi hari.

Bagaimana Ishita menanggapi perjanjian tertulis itu?

     Bersambung.....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status