Intan dengan suasana hati yang berbunga-bunga mulai masuk ke kamarnya. Kamar gelap dan lampunya belum dinyalakan, sehingga Intan berpikir bahwa Ahem belum pulang ke rumah.
"Hah....jam segini Ahem belum pulang juga?" gerutu Intan.
Intan berjalan pelan menuju saklar listrik untuk menyalakan lampu. Saat tangan mulai meraba dinding, seseorang datang mendekapnya dari belakang sambil berbisik di telinga, "Aku merindukanmu, sayang."
"Ahem?" pekik Intan terkejut.
Intan masih berusaha meraba dinding untuk menemukan saklar lampu. Tapi Ahem bergerak cepat membalikkan tubuh Intan dan mencium bibirnya dengan ganas.
Intan pun tak berdaya, ciuman itu bagai ada magnetnya sehingga makin kuat dan sulit untuk dilepasnya. Perlahan Ahem menggeser tubuhnya dan mendekat ke dinding hingga menghimpit tubuh Intan, kemudian menekan saklatnya. Tiba-tiba lampu menyala dan Intan mengerjap-ngerjabkan matanya karena silau.
"Saat-saat seperti ini dan kejutan-kejutan yang selalu Ahem berikan padaku, aku makin takut kehilangan dan takut digantikan orang lain." batin Intan. "Apakah keputusanku ini tidak membahayakan diriku sendiri? Bagaimana kalau Ahem justru jatuh cinta pada Ishita. Ishita cantik, mungil dan imut. Tidak....tidak....tidak akan kubiarkan itu terjadi!" Pikir Intan dalam hati. Belum sampai rencana Intan dilaksanakan sudah posesive duluan.
"Aku merindukanmu, sayang. Jangan pernah jauh dariku, aku menunggumu dengan cemas dan rindu. Aku kesepian, padahal baru sebentar jauh darimu." Kata Ahem merayu.
"Ih gombal! Kau lebay....lelaki brengsek macam kamu hobby nya merayu." Kecam Intan berkelakar.
Kedua tangan Ahem merentang, mengapit tubuh sintal dan berisi Intan, yang sedang terpepet di dinding.
Wajahnya kembali mendekat ke wajah Intan. Ahem menatap Intan penuh nafsu. Tapi Intan segera menggeser tubuhnya, menunduk dan melesat lari dari bawah tangan Ahem.
"Aku mau mandi dulu!" teriak Intan yang berlari menuju kamar mandi.
"Sayang aku ingin mendengar cerita tentang orang yang tadi kamu tabrak. Dia sudah baikan kan?" teriaknya kepo.
"Iya nanti ku ceritakan!" jawab Intan berteriak dari dalam kamar mandi.
Ahem duduk termenung membayangkan seandainya di rumahnya ada suara tangis bayi, oh betapa lengkap kehidupan dan kebahagiaannya. Dia juga membayangkan masa-masa kecil bersama Intan, suka duka di sekolah. Intan adalah wanita yang paling mengerti apa saja tentang Ahem. Dia mengenal Ahem lebih baik daripada kedua orang tuanya sendiri. Karena sudah sejak kecil mereka selalu berbagi suka maupun duka. Ahem pun mengenal Intan dengan baik tentang apapun juga.
Dia ingat saat Ahem terjatuh dari sepedanya, Intan dengan penuh sayang merawatnya. Saat Intan dibully teman-temannya, Ahem lah yang berdiri di depan melindunginya.
Tak lama Intan pun keluar dari kamar mandi. Wajah Intan nampak segar dan harum. Ahem menatapnya dengan kagum, apalagi rambut basah Intan menambah segar dan menggairahkan.
"Ahem, jangan menatapku seperti itu! Kita bukan pengantin baru lagi." Ujar Intan malu.
"Apa untuk menatap istrinya harus menjadi pengantin baru dulu, begitu?" tanya Ahem menggoda. "Duduklah, dan ceritakan bagaimana kronologisnya sampai terjadi kecelakaan itu!" pinta Ahem kepo.
"Aku sih yang salah, lagi teleponan sama kamu tadi, tanpa sadar ada orang tua menyeberang, dan wanita itu menolongnya. Orang tua itu selamat tapi malah dia yang kesrempet." Intan mulai bercerita.
"Aish! Kayak sinetron aja ada orang seperti itu. Mengorbankan dirinya untuk orang lain." Ahem menimpali.
"Tapi Ahem, aku merasa ada positifnya dari kejadian ini. Aku mendapatkan sosok yang selama ini aku cari." Kata Intan menggantung, membuat Ahem penasaran.
"Maksutnya?"
"Seperti yang pernah kita bicarakan sama mama dan papa kita, bahwa kita akan mencari wanita yang mau menyewakan rahimnya untuk kita. Dan dialah orangnya, Ahem!" gumamnya sambil tersenyum puas.
"Benarkah? Ada orang yang mau menyewakan rahim untuk kita?" tanya Ahem serasa tak percaya.
"Iya sayang, tadi dia habis operasi, kakinya patah. Dan ayahnya yang di kampung, besuk harus operasi juga karena kanker. Aku membiayai semuanya, dengan syarat dia mau mengandung anakmu." Intan menjelaskan.
"Dan dia bersedia?" tanya Ahem dengan wajah bersinar karena bahagia.
"Demi ayahnya dia bersedia, Ahem. Aku bahagia Ahem! Kita akan segera punya anak!" pekik Intan menahan perasaan harunya.
Mereka berpelukan penuh haru, seolah semua keinginannya telah nyata di depan mata. Tak terasa Ahem menitikkan air mata. Keinginannya menimang bayi memang sudah tidak terbendung lagi. Hanya saja Ahem bisa menyimpannya dan menahannya agar tidak melukai Intan.
"Kapan aku bisa menemuinya, untuk mengucapkan terima kasih padanya." Gumam Ahem.
"Jangan Ahem!" teriak Intan spontan.
Membuat Ahem terbelalak kaget, dipandangi istrinya yang ragu. Diraih tangan Intan dan digenggam erat.
"Apakah ada masalah?" bisik Ahem.
"Tidak sayang, kau jangan marah padaku ya?" pinta Intan.
"Mana bisa aku marah padamu, sayang. Katakan, ada apa?" tanya Ahem penasaran.
"Dia tidak mau inseminasi buatan. Dia mau menikah sah, kemudian menjalani proses alami. Karena dia tidak ingin bayinya lahir diluar pernikahan. Dia mau nikah sah agama dan negara dan setelah bayi itu lahir dia bersedia di cerai." Ungkap Intan.
"Harus menikah? Tidak...aku tidak bisa, apalagi dia mau nikah sah. Apaan, dia mau membodohi kita, apa?" hardik Ahem kesal.
"Dia gadis lugu, Ahem. Aku merasa permintaan itu tidaklah sulit." Sahut Intan.
"Tidak sulit? Dia itu minta nikah sah Intan, bagaimana tidak sulit? Aku juga ragu, apakah aku bisa berhubungan sama dia? Kenapa juga tidak mau inseminasi?" umpat Ahem makin kesal.
"Ahem, untuk kali ini percayalah sama aku, aku akan atur segalanya." Ujar Intan meyakinkan Ahem. " Kau tahu, ini berat buat aku....membayangkan suamiku menikahi orang lain. Wanita mana yang kuat, Ahem? Membayangkan suaminya tidur dan bercumbu dengan wanita lain, siapa yang kuat Ahem?" ungkap Intan sambil menangis.
"Kalau ini berat buat kamu, kenapa harus kamu paksakan? Aku tidak mau kamu tersakiti dan menderita karena rencanamu ini. Sudahlah lupakan....!" kata Ahem pelan dan sedih.
"Ahem, ini kesempatan yang tidak mungkin terulang lagi. Aku sudah cocok dengan gadis itu, dia lugu, cantik dan bersih. Kalau punya anak pasti cantik dan tampan. Kebetulan dia lagi butuh uang dan bersedia mengandung anakmu, tanpa melihat kamu siapa. Aku menyembunyikan identitas kamu sampai kapanpun, agar dia tidak tergoda dan berubah pikiran." Intan menjelaskan.
"O begitu ya? Sekarang aku pasrah sama kamu, Intan. Aku ngikut apapun keputusanmu." Ahem menenangkan.
"Aku tahu mama dan papa kamu begitu menginginkan seorang cucu. Tapi dia menghormati mama dan papa ku, karena mereka bersahabat sejak kecil. Sehingga mereka hanya menahannya, mereka tidak mau melukai orangtuaku." Pekik Intan sambil menangis. "Kalau saja mereka mau, pasti sudah menyuruhmu menikah lagi. Daripada harus mereka yang mencarikan istri buat kamu mending aku, agar aku bisa memilih dan mengendalikan dia!" ujarnya menahan perih di hatinya.
"Iya Intan, aku mengerti...aku menurut apapun keputusanmu." Bisik Ahem sambil mengusap air mata Intan.
"Cuma yang aku takutkan kalau kalian saling jatuh cinta. Kalian akhirnya mengkhianati aku." Pekik Intan menahan tangis.
"Itu tidak mungkin sayang. Untuk tidur dengannya aku ragu apakah aku bisa? Aku tidak bisa mengkhianati kamu. Pasti wajahmu yang muncul saat aku mendekatinya. Kamu jangan ragukan cintaku padamu, Intan! Agar hatimu menjadi tenang, kenapa tidak kamu buatkan perjanjian tertulis agar dia tahu batasannya." Usul Ahem.
"Oh ya.... kenapa aku tidak berpikir kesana? Usul yang bagus, Ahem. Kakinya memang patah tulang, tapi tidak parah." Ujarnya berbohong padahal dari awal dia sudah berpikir menjerat Ishita dengan perjanjian tertulis.
"Ambilah laptop biar aku bantu mengetik!" usul Ahem.
"Tidak perlu sekarang sayang! Kamu tidak apa-apa kan sayang bila aku berbuat seperti ini? Ini semua karena aku takut kehilangan kamu, sayang!" ujar Intan sambil membenamkan tubuhnya dalam dekapan Ahem.
"Itu baik sayang, agar dibelakang hari tidak banyak masalah. Aku setuju! Aku tidak akan pernah bisa berpaling darimu. Kamu jangan takut akan kehilangan diriku, itu tidak mungkin, Intan!" ujarnya kembali menenangkan.
"Aku pegang janjimu, kalau sampai kau melupakan aku, akan kubunuh kamu, kemudian aku bunuh diri!" ancam Intan dengan serius.
"Hust! Kamu bicara apa sih...ngeri tau! Udah ambil laptopku kita bikin surat perjanjiannya!" titahnya.
"Tidak usah sayang, aku harus bicara sama mama dan papa serta pengacaraku untuk masalah ini." Kata Intan dengan tegas.
"Ya sudah terserahlah, aku menurut apapun keputusanmu, yang penting kamu bahagia....kebahagiaanmu adalah segalanya bagiku, sayang." Bisik Ahem di telinga Intan yang membuat Intan terbelalak merinding.
"Ahem, kamu bikin aku...." Sela Intan.
Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Ahem sudah melumat bibir merona Intan. Tangan Ahem terus meraba ke seluruh tubuh Intan. Dengan bibir terus saling melumat. Tangan Intan menggelayut ke leher Ahem, menekan kuat seolah tidak memberi kesempatan Ahem melepasnya. Pasutri itu semakin kesetanan bagai mendaki gunung yang tinggi. Nafasnya terengah-engah, peluhpun bercucuran. Sampai akhirnya keduanya terkapar tak berdaya setelah meluapkan nafsu birahinya. Di lantai berserakan pakaian mereka berdua. Tanpa sehelai benangpun mereka tidur berpelukan hingga pagi hari.
Bagaimana Ishita menanggapi perjanjian tertulis itu?
Bersambung.....
Pagi sekali Intan sudah berada di rumah sakit. Kali ini dia tidak sendiri, melainkan bersama Indrayana, papanya. Sebelum menemui Ishita, Intan membicarakan kepada Indrayana rencana Intan mengenai keinginannya meminjam rahim Ishita untuk melahirkan anak Ahem. Indrayana mendukung keinginan putri semata wayangnya. Sebelum proses lebih jauh Indrayana yang kebetulan kepala rumah sakit dan seorang dokter, mengusulkan untuk cek up kesehatan rahim Ishita. Dan Ishita menyetujuinya. Dengan tidak membuang waktu lagi, akhirnya hari itu juga diadakan cek up. Padahal tubuh Ishita belum pulih, dia duduk di kursi roda. Dan seorang asisten lelaki membantu mendorong kursi rodanya, menuju ruang periksa dokter. Intan dan asistennya menunggu di luar sambil memain ponselnya. Tiba-tiba ponsel Intan bergetar dan Intan segera mengangkatnya. "Iya sayang?" sapanya begitu telepon diangkat. "Kamu masih di r
Setelah acara ijab kabul nikah, Ahem berpamitan untuk pulang dulu kepada keluarga Ishita dan tanpa berpamitan pada Ishita. Kepada Intan, Ahem berpamitan lewat telepon. Ishita pun belum sempat melihat wajah suami yang dinikahi beberapa jam yang lalu. Saat ijab kabul ada tirai putih yang memisahkan mereka. Saat ijab diucapkan dengan lantang, Ishita hanya mendengarkan tanpa melihat wajahnya. Ada debar- debar di jantung yang muncul saat ikrar ijab dan serempak undangan berteriak sah. Ahem meninggalkan masjid dan para tamu undangan pun menyusulnya. Tinggal Ishita dan Ririn serta pamannya yang masih bercengkrama membicarakan tentang ayahnya.yang belum juga sadarkan diri. Intan masih menunggu di mobilnya, yang terparkir di halaman masjid. Dia harus membawa Ishita pulang kembali ke Jakarta. Padahal dia masih harus menempuh perjalanan panjang dan lama sekitar empat jam. "Ayolah Ishita! Kita nant
Siang ini banyak mata memandang iri, saat Ishita pergi menemani Afan makan siang di suatu restouran yang tak jauh dari kantornya. Banyak bisik-bisik usilnya membuat panas telinga. tapi Ishita tidak perduli. Dia berlenggang santai menuju mobil dan mobilpun sebentar kemudian berlalu meluncur pergi. "Kamu ingin makan apa, Ishita?" tanya Afan yang hatinya lagi berbunga-bunga. 'Terserah Pak Afan, saya sih apa saja oke." Jawab Ishita. "Jangan panggil pak dong, apalagi suasana di luar kantor begini. Panggil mas atau namaku Afan." titah Afandy. "Baik mas Afan." "Nah begitu dong." Ungkap Afan puas. Kita makan masakan Korea?" lanjutnya bertanya. "Masakan Jawa aja mas, lidah kita belum tentu cocok dengan lidah orang Korea. Dari pada buang-buang uang bila tidak kemakan. "Cerdas juga kamu, terus enaknya kita makan
Ahem segera menangkap tangan Ishita setelah dengan kerasnya menampar wajah Ahem. Dia mencengkeram dengan kuat pegelangan tangan Ishita. "Auh sakit, Kak!" pekiknya. "Beraninya kamu menampar aku, emangnya siapa kamu? Baru pertama kali seumur hidupku ada orang berani menamparku. Orang tuaku saja tidak pernah melakukannya. Siapa kau berani melakukannya!" bentak Ahem sambil mencengkeram kuat pergelangan tangan Ishita setengah di pelintir. "Auh sakit, Kak!" jerit Ishita. "Kamu harus tahu diri siapa kamu? Aku bisa lakukan apapun kepadamu bila aku mau!" ancamnya. "Ok, Kamu boleh lakukan apapun yang kamu mau, kamu boleh sakiti tubuhku. Tapi jangan sampai kamu menghina Ayahku. Perlu kamu tahu, aku ada disini sekarang karena demi menyelamatkan nyawa ayahku. Uang 1 Milyar yang dijanjikan Mbak Intan bukan aku yang minta, tapi Mbak Intan sendiri yang menawarkannya. Dan itu b
Ishita masih berada di dekapan dada bidang dan berotot itu. Kepalanya dibenamkannya sambil tangan Ishita memeluk erat tubuh kekar itu. Sebentar-sebentar Ahem mencium dengan hangat kening Ishita. "Aku semakin ragu dengan perasaanku, bagaimana kalau aku nyaman dengannya dan jatuh cinta padanya?" tanya Ahem dalam hati. "Aku penasaran ingin melihat wajahmu, Ishita!" bisiknya di telinga Ishita. "Jangan Kak, jangan sekarang! Suatu saat pasti kita akan dipertemukan." Jawab Ishita menenangkan. Entah kenapa Ahem tiba-tiba mencium dan melumat kembali bibir Ishita. Seakan ingin mengulang kembali pergulatannya yang sangat terkesan itu. Ishita pun tidak menolak dengan apa yang dilakukan Ahem kepadanya, bahkan dia menyambutnya. Dan pergulatan itu pun terjadi lagi. Bak kesetanan Ahem mulai dengan ganasnya melahap tubuh Ishita tak
Seperti biasa pagi sekali Ishita sudah bangun untuk membuat sarapan. Ponsel di meja bergetar keras, Dret... Dret.... Dret.... Ishita mengambil ponsel dan dibawa ke dapur sambil memasak. "Ririn, bagaimana kabar ayah?" tanya Ishita begitu telepon diangkat. "Itu dia yang ingin aku ceritakan Mbak!" jawabnya. "Iya bagaimana?" tanya Ishita penasaran. "Mbak, ayah sudah siuman. Dia mencarimu. Dia ingin kamu datang bersama suamimu!" ujar Ririn. "Iyakah, Alhamdulillah! Coba kontrol kan kembali ke dokternya, Ririn!" usul Ishita. "Iya Mbak, rencananya nanti sepulang sekolah." Jawab Ririn. "Ririn, katakan pada ayah, aku dan suamiku harus pengajuan cuti dulu kalau mau pulang. Sabar dulu ya Ririn, pasti kita akan pulang." Ishita berjanji dan menghiburny
Malam ini bagi Ahem ada kesan yang mendalam, itu mungkin karena perasaannya sedang dibalut cemburu. Bukan itu saja tak sadar dia mulai merindukannya. Harum tubuh yang alami bukan karena parfum ataupun sabun, tapi seolah pancaran dari tubuhnya. Jam sudah menunjukan 01.00 lebih, tapi Intan belum juga memberi peringatan dengan panggilan telepon. Demikian juga dengan Hamid sedang menunggu sidak dari sang nyonya besar. "Sampai pukul 01.30, nyonya belum juga telepon? Haruskah aku biarkan ataukah aku mengingatkan. Aneh sekali tadi siang mereka bertemu tapi malah bermasalah. Bagaimana kalau dia tahu ternyata dia adalah istrinya?" batin Hamid sambil tertawa geli. "Apakah dia hari ini belum juga membuka penutup mata? Seandainya mereka berdua ingin membukanya bukan hal yang sulit sih, tapi kenapa mereka berdua tidak melakukannya? Aduh kisah cinta yang aneh, aku yakin bos Ahem akan jatuh cinta bila melihat kecantikan Mbak Ishi
Akhirnya Ahem mengangkat telepon dari Intan. Dia bisa menahan perasaannya untuk suatu tujuan yaitu memiliki anak. "Halo sayang?" sapa Intan. 'Kenapa sih ponsel kamu tidak aktif sejak kemarin malam?" hardik Ahem. "Sayang, ponsel aku ketinggalan di butik saat aku membeli baju. Dan aku baru saja mengambilnya pagi ini. Kamu pasti gelisah ya? Aku yakin kamu pasti merindukan aku, meskipun ada wanita lain disishmu, iya kan?" tanya Intan menggoda. "Kamu sudah mengenalku luar dalam, Intan? Sehingga apa yang aku rasakan kamu pun mengetahuinya. Kapan kamu pulang?" tanya Ahem datar. "Besuk Ahem. Bukankah malam ini adalah malam terakhir buat kamu dan Ishita?" tanya Intan seolah mengingatkan. "Iya aku ingat, Intan." Kata Ahem sedih. "Kenapa kamu bersedih? Tidak rela ini menjadi malam terakhir? Udah waktunya ganti aku sayang?