Siang ini banyak mata memandang iri, saat Ishita pergi menemani Afan makan siang di suatu restouran yang tak jauh dari kantornya. Banyak bisik-bisik usilnya membuat panas telinga. tapi Ishita tidak perduli. Dia berlenggang santai menuju mobil dan mobilpun sebentar kemudian berlalu meluncur pergi.
"Kamu ingin makan apa, Ishita?" tanya Afan yang hatinya lagi berbunga-bunga.
'Terserah Pak Afan, saya sih apa saja oke." Jawab Ishita.
"Jangan panggil pak dong, apalagi suasana di luar kantor begini. Panggil mas atau namaku Afan." titah Afandy.
"Baik mas Afan."
"Nah begitu dong." Ungkap Afan puas. Kita makan masakan Korea?" lanjutnya bertanya.
"Masakan Jawa aja mas, lidah kita belum tentu cocok dengan lidah orang Korea. Dari pada buang-buang uang bila tidak kemakan.
"Cerdas juga kamu, terus enaknya kita makan apa?" Afan minta pendapat.
"Waktu istirahat kita kan tidak banyak, kita cari saja yang simpel. Masakan Padang misalnya, kan dekat dari kantor. Kita makan siang habis itu kita masih punya waktu untuk sholat dan istirahat." Usul Ishita
"Itu yang kusuka dari kamu, pemikran yang cerdas." Gumam Afan.
"Ah cuma gitu aja, nggak usah dibesar-besarkan! Ayo kita ke restourant masakan Padang aja!" ajak Ishita.
"Ayo!" sambutnya sambil meraih tangan Ishita dan menggandengnya. Menolong Ishita keluar dari mobil agar berjalan tanpa kruknya.
"Kamu bisa berjalan tanpa kruk? Atau kugendong saja mau?" tawar Afan.
"Oh tidak perlu, aku bisa berjalan tanpa kruk. Tapi harus pelan-pelan dan hati-hati, Mas Afan!" kata Ishita memohon.
"Baik dengan sabar aku membantumu." Kata Afan yang memegangi tangan Ishita. Dia menggandeng Ishita masuk ke restourant Padang. Kemudian menata dan menarik kan kursi buat Ishita duduk. Akhirnya mereka memesan makan dan menikmatinya.
Ditengah-tengah makan tiba-tiba "cling" tanda ada chat masuk. Segera diambil ponsel di saku jaketnya dan ditatap layar ponsel. Terbaca notifikasi dari Nana, dan Ishita buru-buru membukanya.
Nana: "Ishita, hati-hati kamu sudah menikah. Jangan beri harapan apapun pada Mas Afan. Kasihan nanti dia terlanjur menggantungkan harapannya kepadamu."
Ishita: "Beres, kita cuma makan siang saja kok. Habis ini langsung pulang kok."
Nana: "Hati-hati kalau ketahuan suamimu, Ishita!" kata Nana mengingatkan dalam chatnya.
Ishita: "Ok." Jawab Ishita singkat.
Ishita menaruh ponselnya kembali ke saku jaketnya, dan melanjutkan makannya.
***
Di suatu restourant mewah, Ahem bersama klien sedang mengadakan pertemuan ditemani Intan.
Intan memang istri berkelas dan berpendidikan tinggi. Dia tahu cara memperlakukan teman bisnisnya, melebihi Ahem. Makanya Ahem sering mengajaknya menemui kliennya. Selain penampilannya yang menarik dia juga cerdas dan pandai bergaul dan bernegosiasi.
"Terima kasih sayang, kamu benar-benar membantuku!" ucapnya sambil menggenggam tangan Intan, setelah tamu menandatangani kontrak dan pergi.
"Santai saja. Aku akan selalu mendukungmu dalam suka mau duka senantiasa bersamamu. Itu karena kamu mengerti aku juga, sayang!" balas Intan meremas tangan Ahem seolah memberi kekuatan.
"Besuk Ishita masa subur, kamu harus tidur dengannya." Ujar Intan dengan berat hati. Seolah ada sebongkah batu yang mengganjal di dadanya.
"Besuk? Emangnya dia sudah sembuh?" tanya Ahem seolah tidak percaya.
"Kita jangan buang-buang waktu dengan menunda-nunda nya, Ahem. Aku tidak mau kamu terlalu lama dalam ikatan pernikahan dengannya." Ujarnya sedih.
"Begtu ya? Tapi aku tidak yakin aku bisa tidur dengannya, Intan." Ujar Ahem ragu.
"Sayang, kan mata kalian ditutup, kamu bisa bayangkan bercinta denganku. Ishita sendiri juga belum mengenalmu mungkin berat juga buat dia. Makanya dia juga kututup matanya." Titah Intan. "Waktumu pukul 23.00 sampai 01.00." Lanjunya.
"Begitu ya...." Kata Ahem ragu.
"Lebih kayak mau maju perang saja penuh aturan .... protokoler." Batin Ahem.
"Sudahlah yang penting menurut apa kata Hamid. Aku menyerahkan semuanya padanya." Gumam Intan.
" Yah terserahlah aku tidak bisa berpikir sampai kesana. Aku cari yang praktis tidak mau banyak berpikir."
"Kamu tidak perlu banyak berpikir sayang, serahkan semua padaku sama Hamid." Kata Intan sombong.
Akhirnya begitu usai makan siang, Ahem dan Intan keluar restourant. Intan kembali pulang ke rumah, sedang Ahem kembali ke kantor.
***
Siang ini Intan menunggu Ishita di rumah makan favorit langganan Intan. Dengan naik taksi Ishita akhirnya sampai di tempat tujuan. Nampak Intan sudah memesan dua gelas minuman.
"Siang Mbak Intan?" sapa Ishita sambil menarik kursi yang ada dihadapan Intan.
"Siang Ishita. Duduklah!" perintah Intan.
"Makasih."
"Hamid!" teriak Intan memanggil.
"Iya Nyonya." Jawab seorang lelaki bertubuh tegap bak bodyguard dengan stelan jas hitam, datang menghampiri Intan.
"Duduklah!" perintah Intan kepada Hamid. Akhirnya mereka bertiga duduk dalam meja bundar.
"Ishita, ini Hamid ...dia yang akan memandumu selama kamu tidur dengan suamiku. Dia akan menjemputmu dari tempat kos. Dia juga yang akan menutup matamu selama perjalanan dari tempat kosmu sampai kembali pulang. Waktu bersama kalian dari pukul 23.00 sampai pukul 01.00. Dan nanti Hamid yang akan selalu mengingatkan waktunya. Sampai disini kamu ada pertanyaan?" tanya Intan datar.
"Tidak Mbak Intan." Jawab Ishita penuh tanda tanya. "Sebegitu takutnya dia kehilangan suaminya, sampai memperlakukan aku seperti ini" kesalnya dalam hati.
"Hamid, Ishita harus menurut apa pun kata kamu. Dan kamu harus selalu menginformasikan setiap kejadian kepadaku, tanpa aku harus bertanya. Kamu mengerti?" tanya nya masih dingin.
"Saya mengerti Nyonya." Jawabnya tegas.
"Ishita, kamu tidak boleh membuka penutup mata sendiri. Biar Hamid yang membukakan!"pesannya kepada Ishita. "Kau tahu, suamiku pun nanti akan memakai penutup mata. Dia tidak bisa bercinta selain dengan istrinya. Dia orangnya selera tinggi, aku takut kamu bukan kriterianya." Lanjutnya seolah punya maksut agar Ishita tau diri.
"Baik Mbak."
"Pelayan, siapkan makanan pesanan kami!" perintah Intan kepada pelayan.
Tak lama kemudian, pelayan pun datang membawakan makanan. Dan mereka bertiga mulai menyantapnya. Kalau saja bukan karena demi seorang bayi, Intan tak akan pernah sudi duduk semeja makan dengan orang yang rendahan kayak Ishita dan Hamid.
***
Hamid mulai menutup mata Ishita saat berada di tengah kota. Dia merasa kasihan kalau harus menutup matanya sejak di kosan. Ini pertama kalinya dia melanggar aturan Intan.
Sebelum menjemput Ishita, Hamid sudah menyiapkan kamar tamu yang bersih penuh wewangian dan beberapa vas bunga segar.
Ahem meraih ponselnya di atas meja dan menelepon Intan. Karena sejak siang hari ponselnya tidak aktif.
Ahem: "Kamu dimana sayang?" tanya Ahem penasaran.
Intan: "Aku di Singapura, sayang."
Ahem: "Apa? Kamu bercanda ya?
Intan: "Kita video call ya? Biar kamu percaya.
Ahem: "Kamu gila! Apa yang kamu lakukan Intan?"
Intan: "Hello Sayang!" sapanya sambil melambaikan tangan begitu video menyala. "Nih lihat sekitar ku pertokoan di Singapura dan itu restourant nya. Sudahlah nikmati saja, dan bayangkan wajahku selalu sayang! Aku merindukanmu, I love you!"
Ahem: "Jaga dirimu Sayang! By..by..
Mobil yang membawa Ishita sudah sampai di halaman rumah besar dan mewah dengan cat putih dan pagar besi yang tinggi. Dua orang satpam berjaga di pintu masuk. Halamannya sangat luas dengan rerumputan hijau di tengahnya.
"Mbak Ishita, tunggu di mobil sebentar ya? Saya mau melihat ke dalam sebentar!" pinta Hamid.
"Iya Pak Hamid."
Kemudian Hamid masuk dan memberitahukan kedatangan Ishita. Hamid meminta Ahem untuk standby di kamar tamu yang sudah disiapkan Hamid. Setelah Ahem masuk ruang tamu Hamid membantu Ahem menutup matanya. Setelah Ahem siap dengan mata tertutup, Hamid membawa Ishita masuk.
"Mbak Ishita, ini Tuan Ahem sudah ada di dekatmu. Sudah saya tinggal dulu ya mbak!" pamit Hamid.
"Pak Hamid!" pekiknya.
Namun Hamid yang dipanggil tidak menggubrisnya. Dia pergi keluar dan menutup pintunya.
Suasana menjadi hening dan kaku. Ishita merasa takut dan cemas. Mungkin pengaruh matanya yang tertutup lama. Memang dalam kegelapan sangatlah menakutkan. Jantungnya berdesir, bayangan terburuk melintas.
"Kenapa aku harus mengalami nasib seperti ini? Apa aku sanggup disentuh lelaki yang sama sekali tidak kukenal, bahkan tidak boleh aku lihatnya. Ini pernikahan macam apa? Kenapa aku terjebak didalamnya? Andai ayah tahu, pasti dia tidak akan mengijimkan!" batinnya tiba-tiba menangis tak tertahankan.
Perlahan Ahem mendekat dan meraba Ishita. Ishita yang tersentuh tangannya, sontak terperanjat dan melompat.
Dan Ahem pun ikut terperanjat kaget. Tapi tangannya sigap meraih tangan Ishita dan menariknya hingga tubuh Ishita terpelanting ke dalam pelukan Ahem.
Ini pertama kalinya Ishita disentuh lelaki. Ketakutannya membuatnya menangis, tubuhnya bergetar.
Karena Ahem penasaran dengan gadis yang dinikahi seminggu yang lalu, membuatnya berani meraba wajahnya. Ternyata wajah itu basah air mata.
Sontak Ahem mendorong tubuh Ishita dengan kuat.
"Kenapa kamu menangis? Apakah aku memaksamu? Apa aku memperkosa kamu? Katakan kenapa kamu menangis?" hardik Ahem emosi.
"Ini untuk pertama kalinya bagiku. " Ujar Ishita.
Oh iya? Aku tidak salah dengar kan? Kamu yang saat ini berada disini karena uang, bisa bicara seperti itu? Memangnya aku percaya? Bahkan ayahmu saja tega menjual kamu." Ujarnya menghina.
Spontan tanpa berpikir lagi tangan Ishita mendarat dengan kuat di wajah Ahem karena kesal dan tersinghung.
Plagh!
Bagaimana akhir malam pertama mereka?
Bersambung...
Indrayana dengan menahan geram dan benci menatap Ahem dan Ishita bergantian. "Jangan sakiti dirimu sendiri, Sayang! Hanya demi lelaki tak punya hati dan pelakor murahan seperti dia! Biarkan papa yang melakukannya, anakku!" Indrayana menenangkan Intan. "Tidak Pa, biarkan aku mati bersama anak kesayangannya ini!" ujar Intan masih mencengkeram Saga dan perlahan melangkah mundur. "Berhenti, Mbak! Hati-hati jangan lakukan itu! Bicaralah apa yang harus aku lakukan, katakan!" teriak Ishita tercekam panik. "Apa kamu saja yang melompat dari sini, menggantikan anak kamu?" tawar Intan. "Kamu gila ya! Kenapa tidak kamu saja yang melompat sendiri?" sahut Affan berteriak. "Oh ya kamu masih hidup, Affan? Lantang sekali suara kamu, udah sehat?" tanya Indrayana mengejek. "Malang sekali Intan punya orang tua sebengis kamu, tidak salah kalau Intan menjadi seperti itu, ternyata karena mencontoh orang tuanya," olok Affan. "Biarkan aku
Ahem menatap Affan dengan kebencian yang ditahan. Dia tidak bisa melihat orang yang paling dicintai ada di dekatnya. Tapi Ahem melihat semua mata tertuju padanya, dia merasa harus bisa mengendalikan perasaannya. "Kabarku, baik," jawab Ahem sambil menyambut tangan Affan. "Kamu sendiri kelihatannya sehat-sehat saja," lanjutnya. "Iya beginilah," jawab Affan asal. "Bagaimana keadaanmu, Kak Nazim? Maaf kamu jadi menderita gara-gara keluargaku," kata Ishita lembut. "Jangan begitu, Ishi! Selamat ya, semoga kamu bahagia," ucap Nazim. "Terima kasih, Kak Nazim." Ishita kikuk akan menyapa Ahem, tapi karena dia adalah tamu yang datang belakangan, harusnya dia menyapa semuanya tanpa terkecuali. "Kak Ahem, kok sendirian? Dimana Bella dan Arjun?" tanya Ishita basa-basi tanpa berani menatap wajah Ahem. "Ada di rumah," jawab Ahem datar, juga tanpa melihat wajah Ishita. Kini hubungan mereka tiba-tiba terasa dingin dan asing seper
Affan masih tertegun menatap Ishita yang kelelahan mengangkat baju pengantin yang panjang. Wajah cantik dan bersinar cerah bagai mutiara, membuat Affan tertegun penuh kekaguman. "Baik, kalau memang kamu menginginkan pernikahan ini dibatalkan. Aku akan menghubungi Wahyu dan kawan-kawannya agar mengatakan ini kepada tamu dan penghulu. Aku tidak mau mereka menunggu lama," hardik Ishita emosi. "Biar Pak Wahyu segera mengabarkan kepada Kak Ahem tentang batalnya pernikahan ini, biar puas dia," ujar Ishita sambil mencet telepon kepada Wahyu. "Iya Nyonya?" jawab Wahyu setelah telepon Ishita diangkat. "Pak Wahyu, tolong ...," "Hentikan Ishi!" sahut Affan berteriak. "Kita menikah, sekarang!" lanjutnya pelan sambil menatap Ishita penuh penyesalan. "Kamu yakin?" tanya Ishita ragu, kemudian menutup telepon dengan Wahyu. Perlahan Affan menghampiri Ishita kemudian mbopongnya menuju mobil. Ishita membiarkan Affan membuktikan kesungguhannya. Dia
Asisten pribadi Affan membantu mengurus acara pernikahan Affan dan Ishita. Affan sudah bisa berjalan layaknya orang sehat. Apalagi di balik tubuhnya yang kuat dan kekar siapa menyangka dia punya penyakit yang mengintai nyawanya. "Tuan Affan, semua persiapan pernikahan sudah selesai. "Baiklah, terima kasih, Ali," jawab Affan. "Duduklah, Mas Affan! Kamu jangan sampai capek!" pinta Ishita. "Kamu jangan memperlakukan aku seolah aku sedang sakit, Ishi! keluh Affan. "Iya udah, yang penting kamu harus bahagia, Mas Affan. Kita sebentar lagi menikah?" ujar Ishita. "Tapi kamu sendiri bahagia juga kan?" tanya Affan penasaran. "Ya iyalah, sangat bahagia," sahut Ishita. "Menurut kamu perlukah anak-anak tahu tentang pernikahan kita ini?" tanya Affan. "Kayaknya tidak perlu deh, Mas, kan mereka tahunya papa dan mamanya suami istri. Tahu-tahu baru menikah kan menjadi tanda tanya mereka?" jawab Ishita. "Benar juga s
Satpol PP mengirim Nazim ke rumah sakit, Kini dia terbaring tak berdaya dengan luka bakar di tubuhnya. Ishita mengetahui dari berita media sosial maupun berita di televisi. Ditemani Wahyu dan anak buahnya, Ishita menuju rumah sakit. Dia melihat Nazim tergolek tak berdaya. Dari jendela kaca Ishita hanya bisa memandangnya. "Kak Nazim, bagaimana keadaan anak-anakku?" gumam Ishita lirih. "Dimanakah mereka, Kak Nazim?" lanjutnya. Ishita masih terpaku, dia tidak menyangka kepulangannya ke Indonesia akan menemui masalah seberat ini. Ishita juga sedang memikirkan Affan yang harus menyembunyikan sakitnya karena tidak mau membuatnya bersedih. "Bagaimana keadaanmu, Ishi?" tanya Ahem yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Ishita. Ishita terdiam bergeming, dia tidak mau menatap mata Ahem. Dia tidak mau hatinya akan luluh dan melupakan Affan yang sudah banyak mempertaruhkan hidupnya. "Aku baik. Kapan semua ini berakhir, Kak Ahem? Semua ini bermula
Tifa berdiri di dekat orang-orang yang nongkrong di pagar lokasi pemakaman Cina. Langkahnya terhenti, dia tidak jadi masuk ke lokasi dimana Nazim berbaring sakit. "Kak mau tanya, apa yang kakak ceritakan itu orang yang sedang sakit di bangunan putih dan hijau itu?" tanya Tifa sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan yang lumayan bagus. "Iya betul seorang lelaki yang sakit di bangunan itu tadi diciduk Satpol PP,' ujar salah seorang diantaranya. Tifa sambil mengedarkan pandangannya, takut kalau ada poster yang menempel yang mengumumkan sayembara untuk menemukan dirinya. Dengan penasaran Tifa tetap menempuh jalan setapak menghampiri gubug itu. Betapa terkejutnya Tifa, dia mendapati tempat itu sudah kosong. "Om Nazim ...!" tangisnya memanggil. "Dimanakah kamu? Harusnya aku tidak meninggalkan kamu sendirian," lanjutnya. "Kamu mencari siapa, Nak?" tanya seseorang yang sedang membersihkan makam itu. "Saya mencari Om Nazim, dia om saya se