Share

Special Gift 4

Riana melambaikan tangannya pelan kepada Rafael, hingga sesaat kemudian ia menyadari keberadaan anak kecil yang duduk di ujung kursi panjang itu, Eh, anak perempuan itu?  batin Riana.

Kondektur bus memintanya untuk mengambil kursi di depan karena bagian belakang yang sudah penuh. Riana berjalan menuju bagian depan bus, mendapati seorang anak perempuan berusia delapan tahunan  duduk sendirian di bangku tepat di belakang sopir. Pada sisi yang lainnya dari bangku yang ditempati oleh anak, duduk pula seorang wanita dengan banyak bawaannya.

“Kak, duduk di sini saja,” kata anak perempuan itu menawari bangku kosong di sebelahnya

“Terima kasih, “ Riana membalas sopan anak itu.

Sesaat kemudian suara desing dari mesin bus terdengar, tanda bus akan segera berangkat meninggalkan halte itu. Riana memperhatikan anak itu, bernyanyi kecil sambil memegang erat buket bunga di tangannya.

“Bunga untuk siapa itu, Dik? ” tanya Riana.

“Oh, bunga ini? Hari ini ibuku berulang tahun, jadi aku ingin memberikan bunga ini kepadanya. Susah payah aku menabung, akhirnya uangku terkumpul tepat waktu." Gadis kecil tersebut memamerkan bunga itu pada Riana.

“Bunga yang indah ya,” balas Riana.

“Tentu saja, aku telah meminta pesanan khusus pada toko bunga itu. Aku harap ibuku senang menerima bunga ini dan mau bermain denganku,” kata gadis kecil itu tampak sedih.

“Memangnya apa yang terjadi pada padanya ?” Riana bertanya penasaran dengan ibu gadis kecil itu.

“Tidak ada, hanya saja semenjak aku punya adik, ibu jarang memperhatikan aku. Mungkin ia sudah tak sayang lagi padaku,” kata gadis kecil itu.

“Itu tidak benar kok, sepertinya kita punya cerita yang mirip ya.Tapi, kakak yakin ibumu pasti sangat meyanyangimu.” Riana mengelus kepala gadis itu, tersenyum lembut kepadanya. Saat itu juga ia teringat dengan pemandangan taman bunga di belakang rumahnya, dengan tanaman mawar yang merekah dan sebuah kursi taman berhiaskan bunga-bunga.

Tak lama kemudian suara pria dengan setelan rapi berteriak dari belakang bus.

“Pak, bisa lebih cepat tidak? Aku sedang buru-buru,” teriak pria itu pada sang supir di depan.

“Yang sabar, Pak, jalanan masih licin. Jadi, bus ini dijalankan perlahan.”

Orang itu mendengus kesal dengan jawaban supir bus, namun mendengar alasannya itu ia tak bisa berbuat apa-apa. Terlebih lagi akhir-akhir ini kasus mobil tergelincir sedang maraknya. Sehingga berjalan perlahan dalam kondisi hujan adalah pilihan yang tepat.

“Ya, ampun. Apa yang dipikirkan oleh chief, kasus tergelincir ini sudah marak terjadi.Terlebih lagi itu disebabkan oleh truk-truk angkutan dari perusahaan itu, mereka membawa terlalu banyak muatan. Harusnya ia segera menindak perusahaan tersebut!” supir itu mengeluh kesal, mungkin ia khawatir jika bertemu salah satu truk bermuatan berlebih itu.

“Jangan khawatir pak, tunanganku sedang bernegosiasi terkait hal tersebut kepada chief,“ balas perempuan yang duduk di bangku lainnya di sebelah Riana, menanggapi gerutu supir bus itu.

“Aku tidak tahu siapa tunanganmu, yang jelas jika ia sanggup menyelesaikan masalah ini aku mendukungnya  penuh.” Supir itu mengacungkan jempolnya ke belakang dengan tetap menjaga pandangannya ke depan. Ia bahkan tidak melihat wajah perempuan itu.

Sekali lagi Riana memperhatikan barang bawaan perempuan itu, sekilas ia melihat seperti lembaran kain mengisi bungkusan yang dibawa. “Kakak, membeli banyak sekali kain ya,” kata Riana, ingin memulai percakapan dengan perempuan itu.

“Kamu memanggilku kakak? Wah, senangnya padahal usiaku sudah hampir dua puluh delapan.” Perempuan itu tersenyum kepada Riana. “Aku membeli banyak kain, karena aku ingin menjahit sendiri pakaian dan jas pengantin untuk tunanganku, sebentar lagi kami akan menikah. Dia sangat menyukai jahitanku, jadi ku pikir dia akan senang jika aku membuatkan jas pengantin untuknya.”

“Kalau begitu aku ucapkan selamat ya.“

“Terima kasih, jika suatu hari kamu menemukan orang yang tepat. Pasti, kamu juga akan merasakan kebahagiaan yang sama.”

“Ya, sepertinya aku mengerti hal itu sedikit.” Perempuan itu hanya tersenyum mendengar jawaban Riana, lalu tidak melanjutkan percakapan.

Bus masih melaju perlahan menuju perhentian berikutnya, waktu itu jalanan masih lenggang dan sepi pengendara. Tiba-tiba kilatan cahaya terlihat di langit diikuti oleh petir yang menyambar tepat di dekat bus itu. Sontak sopir bus mengerem, kaget dengan petir itu. Bus berhenti dengan tidak mulus membuat beberapa penumpang terdorong ke depan, bahkan ada yang terjatuh. Terdengar riuh penumpang yang marah akibat tindakan sang supir bus.

Belum habis amarah penumpang, dengan cepat sebuah mobil truk besar yang kehilangan kendali menghantam bagian depan bus itu, teriak penumpang semakin meriah karena hal itu.

Refleks Riana memeluk tubuh mungil anak disebelahnya, berusaha melindungi anak itu.Bus terpental jauh dengan bagian depan ringsek terguling di tengah jalan, begitupun dengan truk yang menabrak. Sepertinya karena jalanan yang licin dan muatan berlebih yang dibawanya truk tersebut tergelincir.

Tubuh supir bus itu hancur remuk dan tewas di tempat, sementara Riana dan anak itu terpelanting ke belakang.Posisi bus tidak lagi berdiri tegak, samar-samar Riana melihat sekeliling penumpang yang terluka dan terjepit. Ia merasa dingin pada sekujur tubuhnya, kakinya patah tak bisa digerakkan, kepalanya sakit karena secara tak sadar ada benda yang membentur kepalanya. Dalam posisinya sekarang ia bisa melihat darah mengalir dari sekujur tubuhnya.

Ya ampun, apa yang kulakukan? Sepertinya aku akan mati sekarang.

Dari luar bus itu terlihat orang banyak telah berkumpul, beberapa dari mereka tampak menelepon bantuan medis. Sebagian lagi hanya memeriksa keadaan, dan lebih parah lagi segelintir orang tampak berfoto selfi dengan pemandangan naas itu.

Dalam keadaan sekarat ia seakan dapat melihat kenangan semasa hidupnya seperi menyaksikan film dokumenter. Sampailah ia  teringat kenangan dahulu, ketika ia menata kebun mawar di belakang rumah. Dengan bantuan pegawai ayahnya ia telah menyiapkan sebuah kursi taman untuk menikmati pemandangan taman.

Hari itu ibunya berulang tahun, tetapi ia tampak murung dan tak senang sama sekali.Riana ingin mengajak ibunya ke taman, untuk sedikit menghiburnya.Namun, ibunya abai dan tak mengindahkan niatan baiknya itu. Ibunya tampak terburu-buru lalu bergegas pergi meninggalkan segala usaha Riana.

Dari semua kenangan yang ada mengapa kenangan itu yang aku ingat. Aku masih kecil dan bodoh waktu itu, aku tak mengerti apapun.

Samar-samar ia dapat melihat tubuhnya masih memeluk anak kecil tadi, ia tak sadarkan diri tetapi keadaanya jauh lebih baik ketimbang Riana.

Ibu, lihatlah aku telah menjadi anak yang baik bukan? Aku tak ingin membiarkan  anak itu mati sekarang, setidaknya aku ingin dia menyadari betapa ibunya sangat menyayanginya. Keadaan Riana semakin memburuk, ia tak sanggup lagi bernafas dan hampir tak sadarkan diri.

Ah, selesai sudah.Waktuku akan berakhir.Ibu , ayah, kak Frans maafkan aku yang tidak bisa pulang hari ini, mungkin aku akan bertemu dengan adik kecilku segera. Riana tak lagi dapat melihat apapun, tubuhnya semakin dingin.

Rafael maafkan aku yang tak bisa lagi berjalan di sampingmu, mungkin aku bukanlah orang yang ditakdirkan bersamamu. Aku harap kamu bisa menemukan kebahagiaanmu yang sejati.

Terlebih lagi aku berharap semua perasaanku ini tersampaikan kepada kalian, terbawa oleh angin sejuk yang menyegarkan hati bukan menumbuhkan perasaan yang sedih. Dengan demikian aku bisa pergi dengan tenang.

***

Sekitar empat puluh lima menit kemudian, tampak seorang pemuda berlari dengan kencang menembus segala keramaian yang ada.

*Hosh … hosh ... hosh*

Nafas Rafael terengah-engah setelah berlari dalam lintasan yang panjang. Karena perasaannya tidak enak, ia berlari mengikuti jalur bus yang dinaiki Riana. Terutama setelah mendengar berita soal berita kecelakaan bus yang sudah tersebar di internet dan mulut ke mulut.

Ia tak percaya akan pemandangan yang ia lihat, setelah menerobos lautan manusia yang berdiri di sana. Bus yang dinaiki Riana terbalik serta ringsek pada bagian depannya. Petugas medis telah berdatangan sejak beberapa saat lalu, dan polisi telah membatasi tempat kejadian dari kerumunan orang yang ingin melihat.

Jalanan yang sempat lenggang itu, kini menjadi ramai dan bahkan menimbulkan kemacetan. Terlihat polisi lalu lintas sibuk mengatur jalan untuk mengatasi kemacetan tersebut. Dalam kecemasannya Rafael mencari petugas di sekitar untuk bertanya informasi seputar kecelakan itu, terutama tentang keadaan Riana.

Tak jauh dari tempatnya berdiri ia melihat seorang petugas yang sibuk mencatat di bawah pohon di pinggir jalan. Dengan tergesa-gesa ia segera menghampiri petugas itu.

“Selamat sore … Pak, bisa saya menanyakan sesuatu?” Rafael masih belum dapat bernafas dengan benar yang membuat bicaranya menjadi sedikit kacau.

“Apa yang ingin kamu tanyakan?” Petugas yang merupakan polisi itu menjawab tegas.

“Saya ingin bertanya, bagaimana nasib dari penumpang bus yang terlibat kecelakaan itu?”

“Kalau soal itu, sampai saat ini dilaporkan lima orang meninggal, dua diantaranya adalah supir bus dan truk yang terlibat kecelakaan. Sementara itu, sisanya mengalami luka mulai dari ringan hingga berat.” jawab petugas itu.

Petugas itu memperhatikan seragam sekolah yang dikenakan oleh Rafael, lalu berpikir sejenak.

“Nak, apakah ada teman sekolahmu yang juga menaiki bus itu?”

“Ya, ada pak.Bagaimana keadaannya?”

“Bagaimana menjelaskannya ya,” polisi itu sedikit bingung, perasaannya menjadi tidak enak.

“Apakah temanmu itu, dari keluarga Ellon? Kalau tidak salah nama lengkapnya Riana Ellon?”

“Ya, pak itu namanya. Apakah dia selamat?” Rafael menjadi semakin tegang menunggu jawaban, sementara polisi itu menghela nafas lalu mengambil sebuah bungkusan, berisikan kartu pelajar dompet, dan barang-barang lainnya.

“Sayangngya, Nak, temanmu itu salah satu dari korban tewas. Ia tak dapat di selamatkan keadaannya benar-benar buruk. Ia banyak mengalami cedera, terutama pada kepalanya.Tim medis tidak dapat melakukan apapun lagi, ia tewas setelah di evakuasi dari dalam bus.”

Rafael tersentak bak tersambar petir, “Itu ... itu semua bohong kan pak?” Rafael tidak terima dengan berita yang di dengarnya.

“Tetap tenang, Nak, meskipun temanmu itu tewas, sepertinya ia telah menyelamatkan nyawa seorang anak kecil. Lihatlah di sana, Nak.”

Polisi itu menujuk ke arah ambulans, dimana disana duduk seorang anak perempuan bersama beberapa petugas medis. Pada tangannya ia masih memegang erat seikat bunga yang hampir layu dan rusak.

“Dari semua korban yang ada, dialah yang mengalami dampak paling kecil. Selain itu kami menemukan ini di dekat tubuh temanmu itu,” polisi itu merogoh bungkusan yang dipegangnya menyerahkan sebuah cincin plastik berwarna hijau muda, terhubung dengan sebuah kalung manik-manik berwarna-warni. “Aku tidak tahu mengapa, perasaanku bilang untuk menyerahkan ini kepadamu,”  tambah polisi itu.

Rafael membatu setelah melihat benda yang ditunjukkan oleh polisi itu. Perlahan ia meraih cincin itu, dan ketika sudah genap diterimanya, tubuhnya ambruk. Dengan sigap polisi itu menopang Rafael.

“Medis, cepat bawakan petugas medis ke sini,”  teriak polisi itu sambil memopong tubuh lemas Rafael.

Sementara itu dari kejauhan Claudia menyaksikan pemandangan tersebut, ia merogoh tasnya dan mengambil sebuah benda berbentuk lingkaran seukuran telapak tangannya. Benda itu mirip kaca pembesar dengan bingkai berwarna keemasan dan lensa jernih di tengahnya, tetapi tidak memiliki tangkai.

Ketika ia hendak mengarahkan benda itu, lengannya di tahan oleh seorang pria tinggi dengan pakaian serba hitam dan mengenakan tudung yang menutupi wajahnya.

“Jangan sembarangan menggunakan benda itu, aku meminjamkannya kepadamu bukan untuk kamu pakai seenaknya,” kata pria itu.

“Baik-baik, aku kembalikan.” Claudia menyerahkan alat tersebut pada Pria itu.

Setelah memasukkan benda tersebut ke saku celananya, pria itu mengisyaratkan Claudia untuk mengikutinya. Claudia menurut dan mereka menjauhi kerumunan itu, ke tempat yang lebih sepi. Mereka berjalan bersisian mengitari jalanan yang lebih sunyi.

“Jadi, bagaimana pekerjaanmu apa ada kesulitan? Selain itu aku juga tidak melihatmu di bus tadi, “ tanya Claudia.

“Ya, aku bisa bilang lancar-lancar saja. Walau ada banyak orang yang harus diantarkan dan karena kehebatanku pula aku bisa melakukannya tanpa terlacak olehmu,” jawab pria itu dengan sedikit angkuh.

Claudia bertanya kembali. “Lalu, soal gadis itu ?”

“Dia? Aku berhasil menyebrangkannya, jangan khawatir dia tidak akan mengusik dunia ini lagi. Lagipula ia mati tanpa ada penyesalan.”

“Begitu ya,” Claudia menghela nafas.  “Aku tidak menyangka maksud perkataanmu tempo hari adalah kecelakaan ini.Melihat kerusakannya, pasti banyak orang yang mati. Seandainya aku punya kemampuan melihat masa depan.”

“Lalu, jika kamu punya?” Pria itu memicingkan matanya, menatap tajam pada Claudia.

“Tidak usah di pikirkan,” Claudia memalingkan wajahnya dari pria itu sambil terus menjaga jalannya.

Pria itu menghentikan langkahnya, lalu menatap langit senja dimana mentari telah hampir mencapai kaki langit. Angin lembut membelai mereka, menggerakan halus rambut Claudia dan tudung pria itu.

“Aku benar-benar tidak mengerti kepadamu, Claudia”

“Soal apa?” tanya Claudia penasaran.

“Mengapa iblis sepertimu mau membantu manusia?”

“Aku bahkan lebih tidak mengerti tentangmu,” balas Claudia

“Tentang apa?” tanya pria itu.

“Mengapa malaikat sepertimu, malah berteman dengan iblis."

Pria itu tertawa terkikik, menyilangkan kedua tangannya di belakang kepala, lalu berjalan lebih cepat. Sementara itu, Claudia  berusaha ekstra untuk mengimbangi langkah kaki pria itu dengan kaki mungilnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status