Share

Selamat Tinggal Agensi

Lily menyusuri jalanan pinggir kampung di tempat yang sama ia memperoleh sinyal hari sebelumnya. Sorot matanya waspada memastikan tak ada yang membuntutinya.

Diambilnya handphone dari saku. Digunakannya untuk menelepon seseorang.

“Halo.”

“Lily. Kamu dimana sekarang? Liam mencarimu!” kata suara di seberang terdengar panik.

Lily melihat jam tangannya. Ia hanya punya tiga puluh detik agar lokasinya tidak terlacak.

“Aku tahu. Aku mendapat pesannya kemarin,” sahut Lily.

“Kamu harus pulang, Lil. Kamu sudah melewati batas waktu cutimu.Aku dengar,  Liam punya tugas baru untukmu.”

Lily diam. Ia memandangi kejauhan. Ke hamparan sawah yang hijau dan indah.

“Lily!?” suara di seberang semakin panik.

“Mungkin aku takkan kembali,” jawab Lily yakin.

“Apa!? Jangan bercanda kamu?!”

“Aku sudah bekerja untuk White Lotus sejak usiaku belasan tahun. Aku sudah membunuh ratusan target tanpa protes sekalipun. Sekarang sudah saatnya aku berhenti dan mencari kebahagiaanku sendiri.”

“Kamu tahu kan tak semudah itu meninggalkan agensi. Kamu punya kontrak mengikat. Dengan memutuskan secara sepihak, sama artinya kamu menyatakan perang terbuka dengan Liam dan para petinggi White Lotus yang lain.”

Lily diam tak menjawab. Pandangannya masih tetap menatap kejauhan.

“Lil—“

Bip!

Panggilan diakhiri. Handphone flip itu dibongkarnya. Diambil kartu simnya dan dipatahkan.

“Selamat tinggal agensi.”

Lily memasukkan tangannya ke saku hoodie dan berjalan pulang. Kembali menyusuri jalanan kampung. Udaranya yang segar menerbitkan senyum Lily. Sesekali keramahan warga menyambutnya.

“Aku bisa tinggal selamanya di sini,” gumamnya.

Langkah kaki membawanya ke pasar tradisional. Lily melambatkan langkah dan menyaksikan transaksi jual beli antar sesama warga. Medadak ia siaga karena menyadari seseorang mendekat dari belakang.

“Lagi jalan-jalan?”

Kewaspadaannya mengendur. Ia mengenali suara itu.

“Iya.” Lily balik badan dan di sana berdiri lelaki tampan dengan tubuh atletis. Peluh membasahi tubuhnya yang bertelanjang dada.

“Kita belum sempat berkenalan sebelumnya.” Lelaki itu menyodorkan tangan. “Din,” kata lelaki tampan berhidung mancung.

Lily menyambut jabat tangan lelaki di depannya. “Lily. Tapi ibuku memanggilku Anna.”

“Senang bertemu denganmu, Lily,” ujar Din. “Mau kutemani jalan-jalan?”

Lily menatap waspada dengan mata birunya yang indah.

“Ada yang salah?” tanya Din heran.

“Aku selalu curiga pada orang yang terlalu baik.”

“Tunggu tunggu. Aku benar hanya ingin menemanimu berkeliling. Tidak ada maksud lain,” tutur Din mencoba menjelaskan.

“Aku bisa melakukannya sendiri. Terima kasih.” Lily balik badan dan berjalan menjauh.

“Tunggu!” panggil Din.

Lily berhenti dan menoleh. “Iya?”

“Aku mau berterima kasih karena kamu menolongku di rumah Ronggo kemarin.”

“Aku tak menolongmu. Anak pak Ronggo yang melakukannya. Seharusnya terima kasih itu dialamatkan untuknya.”

“Tetap saja. Kalau bukan karena ada kamu di sana, aku yakin Rinja tak akan berbesar hati membiarkanku pergi.”

Lily melihat ketulusan di mata Din. Ia membalasanya dengan senyum tipis lalu memutar badannya dan berjalan pulang. Tak menyadari kalau lelaki bernama Din itu diam-diam jatuh hati padanya.

***

Matanya terpejam dengan mata pisau siap dilemparkan. Tangannya berayun dan pisau dilemparkan pada sebuah batang pohon di belakang rumah.

Tak!

Lily tahu targetnya tepat sasaran saat mendengar tepuk tangan dari Agafia dan Natasha. Gadis itu membuka mata dan kedua adiknya itu menghampiri dengan terkagum-kagum.

Lily tersenyum dan menyentuh kepala kedua adiknya. Ia mengambil pisau lain dari belakang punggungnya.

“Kalian mau coba?”

Dengan telaten, Lily mengajari Aga dan Nata teknik melempar pisau. Bagaimana posisi tangan dan kaki. Agafia mampu melempar cukup jauh meskipun tak mengenai sasaran. Sementara Natasha hanya mampu melempar dekat sambil menjerit.

“Kenapa takut, Nata?” tanya Lily yang tertawa melihat tingkah lucu adiknya.

“Nanti ada yang kena pisaunya gimana, Kak?”

“Ga akan ada yang kena. Kecuali kamu benar-benar menargetkan pisau itu untuk lawanmu.”

Natasha tak benar-benar mengerti apa yang kakaknya itu ucapkan. Ia hanya memandangi dengan mata birunya yang polos.

Tak!

Lily dan Natasha kompak menoleh saat melihat Agafia melompat kegirangan karena tepat sasaran.

“Kamu hebat, Aga,” puji Lily seraya bertepuk tangan.

“Anna! Apa yang kamu lakukan?” Tampak Atmarini keluar dari pintu belakang dan terkejut melihat apa yang dilakuan Lily bersama kedua adiknya.

“Aku tak mengerti maksud ibu?” tanya Lily.

“Aga, Nata, masuk ke dalam rumah,” ujar Atmarini memberi perintah. Kedua malaikat kecil itu langsung menurut dan masuk. Wanita berkebaya itu memutar lehernya setelah memastikan kedua putrinya tak mampu mendengar apa yang hendak dibicarakan.

“Kamu ga seharusnya mengajari adik-adikmu apa yang kamu pelajari selama pelatihan,” protes Atmarini.

Lily menaikkan satu alisnya, “Apa yang salah dengan itu, Bu?”

“Kamu mau mereka jadi ---“

“Pembunuh,” ujar Lily memotong kalimat ibunya. Atmarini terhenyak. “Tak apa-apa, Bu. Ibu bisa mengucapkannya.”

Atmarini menghela napasnya berat. “Ibu hanya mau yang terbaik untuk anak-anak ibu.”

“Dan aku hanya mengajari kedua adikku apa yang menurutku perlu.”

“Membunuh orang itu perlu?”

“Jika dibutuhkan, iya.”

“Memangnya siapa yang mau melukai mereka di sini?” suara Atmarini semakin meninggi.

“Ibu sudah lupa kejadian tempo hari saat anak buah Ronggo menyerbu rumah?!”

“Anna ... mereka hanya melakukan apa yang perlu dilakukan. Seumur-umur tindak kekerasan yang dilakukan Ronggo dan anak buahnya tak sampai melibatkan korban jiwa.”

Lily meninggalkan ibunya dan masuk ke dalam rumah. Menuju kamarnya dan menyambar kemeja untuk menutupi baju dalamnya yang cukup seksi lalu menuju pintu depan.

“Hi.”

Lily tersentak kaget dan menoleh ke sumber suara.

“Maaf. Aku ga bermaksud ngagetin.”

“Kamu lagi. Kamu membuntutiku. Din?”

“Apa? Tidak. Aku membawakan belanjaan ibumu.”

Lily memutar matanya dan melihat sekarung beras dan aneka kebutuhan rumah. “Jadi apa sebenarnya profesimu?”

“Aku kuli panggul di pasar?”

Lily memiringkan kepalanya karena tak paham.

“Aku membantu mengangkut belanjaan orang dan mereka memberiku upah.”

Lily mengangguk karena akhirnnya mengerti. Menyadari ibunya mendekat dari dalam, Lily meninggalkan Din. Masih didengarnya dengan jelas ibunya mengucapkan terima kasih pada lelaki dengan tubuh atletisnya itu.

“Hei tunggu!”

Lily tak menggubris dan berjalan menjauh. “Mau pergi ke suatu tempat ya?” tanya Din mencoba basa-basi.

Lily menoleh sambil tetap mempercepat langkah, “Kamu suka mencampuri urusan orang ya?”

Din tertawa kecil.

“Ada yang lucu?”

“Kamu yang lucu.”

“Kenapa gitu?”

“Di tempat ini, hal demikian disebut ramah.”

“Di tempatku tinggal, itu disebut mencampuri urusan orang.” Lily semakin mempercepat langkah. Tampak Din tak mengejarnya lagi. Membuat gadis berambut panjang berwarna pirang itu heran dan akhirnya menoleh. Tampak Din berbalik arah.

“Hei!” panggil Lily.

Din menoleh. “Iya?”

“Kenapa berbalik?”

“Kamu tak mau aku temani kan?” tanya Din.

Lily diam. Sebenarnya dia justru butuh teman untuk berbagi isi kepalanya. “Kamu bisa berenang kan?”

Din tersenyum panjang.

Tunggu bab berikutnya ya. Yuk subscribe biar aku makin semangat update bab barunya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status