Dia ketawa! Biarpun keliatan banget susah payah nyembunyiin, tapi tetep aja, tawanya ngga bisa pergi.
Baru ini, kayanya, aku liat dia ketawa. Cute banget, ya, Allah.
Ah, bukan. Aku pernah liat tawa kaya gini sebelumnya. Di balkon itu, sebelas tahun lalu, waktu dia sama kakak rumah depan.
Aih, ngga nyangka bisa liat lagi tawa dia kaya gini. Ngga bosen-bosen liatnya.
"Apa kamu sekarang punya hobi baru?" tanyanya tiba-tiba.
"Hobi?" Maksudnya apa, deh? Nyindir aku yang ngga mau nurut dia buat nunggu?
"Staring at me
Kembali ke kamar dengan perut keroncongan. Ternyata dia baik-baik saja, hanya aku yang terlalu khawatir. Memalukan sekali!Kubuka dua pesan yang sedari tadi kuabaikan. Pesan pertama dari Amran, mengabarkan bahwa dia sudah mendarat dengan selamat di Maryland. Segera kubalas dengan ucapan selamat dan menyuruhnya istirahat. Kutelepon juga manajer on duty agar menyiapkan tiga kamar hotel untuk Amran dan crew.Lanjut makan malam, perutku sudah tak bisa kompromi lagi. Pesan kedua dari Arta, kubuka setelah perut kenyang dan kepala ringan. "Pak, saya sudah bertemu dengan Mas Fikri Ramadhan," tulisnya sebaga
Ini ngga adil.Ngga adil banget. Ngeselin.Ya, Allah, aku pengen banting pintu, nendang meja, tapi kakiku nanti bengkak lagi.Kutarik syal yang ngelilit kepala. Mantel panjang kulempar sembarangan ke kasur. Aku ngga ngerti semua ini. Sistem apa ini? Bener-bener ngeselin.Hidupku baik-baik aja tanpa sistem ini. Trus kenapa musti ngikutin sistem, hah?Kubanting badan sampe telungkup di atas kasur. Keluar dari sistem aja apa? Biar ngga usah repot?Hah! Pusing! Aku mau jalan-jalan aja.Kuraih hape buat googling amusement park di Maryland. Cum
Kututup pintu kamar dengan seluruh punggung. Benar-benar tak disangka, Alisha merespon berita ini lebih buruk dari dugaanku.Kuempaskan punggung ke kasur. Kata Ayah, Ibu dulu suka melakukan ini setiap kali tiba di kamar. "Kecuali waktu hamil kamu. Perutnya udah terlalu besar, jadinya Ayah yang disuruh menggantikan." Beliau menceritakannya sambil tertawa, padahal aku tahu kerinduan pasti meremas hatinya.Kuraih bantal dan kudekap erat. Alisha masih di kamar sebelah dan aku sudah merindukannya.Kupejamkan mata. Makin dipikirkan, makin berat terasa. Jangankan menjalani prosesi ijab kabul dengan makhluk itu, bertemu muka saja rasanya aku tak sanggup. Bukan karena takut, tetapi aku khawatir tergoda untuk membunuhnya.Aku ingin tahu, bagaimana pendapat Naila. Apakah dia bisa m
Makin lama di kamar, kayanya pikiran makin buntu, deh.Ah, ngeselin! Aku butuh udara segar!Kuambil mantel dan kulilitkan lagi syal di kepala. Ngeliat muka sendiri di cermin, jadi bertanya-tanya. Kenapa tadi aku mau ngikutin sistem ini? Sistem yang ngeselin ini? Hidupku baik-baik aja sebelum tau soal sistem ini. Udah ngikutin sistem ini malah jadi berantakan. Huh!Kubuka lagi syal yang udah ngelilit kepala. Rambutku jadi awut-awutan ketarik kain pure cashmere. Kurapiin rambut seadanya pake tangan.Hmmppft! Ngeselin.Liat lagi muka di cermin. Kenapa jadi ngerasa ada yang aneh di mukaku setelah syal dilepas?
Ha ha ha! Sembarangan si Alex. "Kirain aku lagi berhadapan sama calon suami orang."Dia ngebales dengan ketawa juga. "Soalnya cewek yang aku suka, ngga suka sama aku kalo aku lagi available."Aku tertegun. Dia bener. Kalo mau jujur, dia emang keliatan seksi banget sekarang, tapi aku udah tobat. Inget-inget lagi, gimana akibatnya kalo nekat ngga mau ngikutin sistem."Iya, kan?" katanya lagi, "atau Shasha udah berubah sekarang?"Kutarik napas dalam abis minum air mineral. "Alex, kita hidup yang lurus-lurus aja, deh, sekarang. Kamu mau nikah bulan depan. Ya, udah, jangan main api sekarang.""Kamu serius sama dia?"
Ingatanku seperti kabut. Semua samar-samar, seperti mimpi yang terlihat begitu nyata. Namun, terasa seperti kenyataan yang mengawang bagai mimpi.Aku terbangun dengan sakit kepala menusuk di kepala belakang, akibat getar ponsel yang beresonansi di telinga. "Hm?"Ada embusan napas lega di seberang sana. "Akhirnya. Kamu udah bangun?" Suara Alisha seperti gema di kepalaku.Kukucek mata. Cahaya matahari masuk melalui celah tirai jendela. "Ya. Argh!""Kenapa?" Ada nada khawatir dalam suaranya."Ngga apa-apa." Kepalaku sakit sekali saat bergerak."Udah sarapan?"Kupijit tengkuk dan kujambak sedikit rambut di kepalaku. Ya, Allah, sakitn
Tuh, kan, dia pasti punya rencana, deh. "Apa?""Apanya?" Ih, malah ngeles."Rencananya," kataku ngga sabar.Dia narik napas, ngeliat aku dalem. "Belum matang."What the ...? "Hhh, kirain beneran udah ada."Dia masih ngeliatin aku. Peduli amat. Mendingan ngeliat pemandangan di luar. Pohon-pohon di trotoar udah jadi kuning semua. Orang-orang jalan kaki sambil masukin tangan ke dalam saku jaket, kayanya hari ini lumayan dingin.Cahaya matahari ketutup awan hitam, jangan-jangan bakal ada hujan angin lagi, aku lupa ngecek prakiraan cuaca. Suasana di luar mobil keliatan agak suram dan gelap. Pantes, katanya pas musim dingin banyak ya
Aku terpaksa meminta penjadwalan ulang wawancara dengan pihak kedutaan karena jam kerja telah berakhir ketika pesawat Alisha akhirnya mendapat izin lepas landas. Hari itu bisa dibilang bukan hari paling produktif dalam hidupku. Mungkin hari paling tidak produktif selama delapan tahun ini, dalam konteks menghasilkan sesuatu yang bersifat material. Namun, di sisi lain, setidaknya aku menghasilkan kesepakatan baru dengan Alisha.Hhh, bicara soal kesepakatan dengan Alisha, tampaknya aku harus bersabar. Seperti air, hubunganku dengan Alisha akan sangat bergantung pada wadahnya. Tak ada yang pasti di sini. Aku harus memastikan wadahnya dulu agar bentuknya pun menjadi jelas.Tak banyak yang kukerjakan setelah tiba di hotel. Memeriksa e-mail, menyimak laporan Arta tentang kondi