Share

Part-24 Akhir Pesta Ulang Tahun

Bandara Tribhuvan Kathmandu-Nepali, Savana beruntung landing di pagi hari. 

Matahari bersinar cerah sehingga bisa menikmati pemandangan Pegunungan Himalaya yang menakjubkan, salah satu nilai jual Nepal. Rasanya penat perjalanan Milan-Nepal 12 jam terbayar sempurna. Pegunungan Himalaya memanjang hingga kurang lebih 2.400 km, mulai dari Nanga Parbat yang berada di sebelah barat hingga Namche Barwa di sebelah timur. Dengan lebar yang bervariasi antara 250-300 km, pegunungan ini terdiri dari 3 barisan pararel dengan ketinggian yang berbeda. Pegunungan ini muncul akibat adanya tumbukan antar lempeng tektonik sehingga menghasilkan deretan pegunungan tinggi non vulkanik. 

Di ketinggian sekitar 6.719 Mdpl, tepatnya di sisi sebelah barat terdapat Valley of Flowers, sebuah lembah yang sangat luas dengan pemandangan yang menawan. Hamparan bunga yang bermekaran berpadu dengan hijaunya dedaunan menjadi oase di tengah perjalanan yang melelahkan. The Kathmandu Valley yang berada di Nepal, di lokasi ini terdapat banyak situs warisan dunia dengan berbagai keindahannya. Namun dibalik pesona dan keindahan Gunung Himalaya yang sudah sangat mendunia, puncak Everest juga dijuluki sebagai tempat paling mematikan di dunia dimana terdapat jalur pendakian Death Zone di ketinggian 8.000 Mdpl. Di lokasi ini banyak jenazah pendaki yang dibiarkan begitu saja karena biaya untuk evakuasi sangatlah mahal. 

Beberapa penyebab kematian antara lain adalah hipotermia dan edema atau kelebihan cairan di paru-paru, hipoksia, suhu dingin yang terlalu ekstrem hingga badai salju dan gangguan kesehatan lainnya.

"Wow....is wonderful..." Hanny berdecak kagum.

"Sangat bagus Kak Hanny,  menyegarkan mata..."

Mobil yang menjemput membawanya ke Tiger Top Hotel Tharu Lodge di Chitwan, sepanjang perjalanan Savana dan Hanny menikmati pemandangan alam yang menakjubkan. Taman Nasional Chitwan yang terdaftar sebagai salah satu kawasan UNESCO World Heritage Site. Wangi udara hutan bercampur angin dan tanah basah seperti aroma terapi yang membawa ketenangan. Rasanya seperti melayang ke nirwana.

Pemandangan lembah-lembah sempit, tebing tinggi dengan sungai kehijauan membuat modernisasi pembangunan seperti tak ada gunanya. Buat apa modern jika kita tak lagi bisa melihat sungai bening, gunung dan lembah-lembah hijau. Kadang mobil melewati bebatuan yang terlihat longgar, dalam sekejap bisa longsor menimpa kendaraan di bawahnya. Savana kadang ngeri membayangkan. 

Sampai hotel Savana dan Hanny disambut di loby dengan welcome drink dengan para pelayan yang ramah. Edward menyambut keduanya dengan baju santai namun tak menghilangkan kesan eksklusifnya, jika tidak mengenal Thoriq mungkin Savana akan jatuh dalam pelukan pria flamboyan ini. Edward sangat perhatian dan memujanya, bersama Edward Savana selalu tertawa bahagia. Edward memberikan yang terbaik yang ada didunia ini, tak susah mencintai orang seperti Edward tapi Muhammad Thoriq Al-Farisi adalah Imam yang dicarinya.

"Hai honey, welcome to Nepali.." Edward memeluknya bergantian dengan Hanny Hananto sahabatnya.

"Terima kasih sudah mengundangku sejauh ini Edward..." bola mata Hanny berbinar.

"Edward, bagaimana kabarmu?" Savana menatap tersenyum.

"Alhamdulillah baik honey..."

"Alhamdulillah....?" Savana mengerutkan keningnya sambil tersenyum, merasa aneh Edward menyebut kata Alhamdulillah.

"Aku senang kalian datang, semoga kalian menyukai tempat ini..." 

Ketiganya terlibat obrolan seru, seorang pelayan mengantarkan Hanny ke kamarnya sementara Edward dan Savana masih berbincang.

"Begini caramu menghabiskan uangmu Sir Edward, sudah berapa hari kau tinggal disini..?"

"Aku tinggal disini karena ada bisnis, tak selalu menghabiskan uang percuma honey. Kau cantik sekali dengan busana biru ini.." Edward memujinya, mata birunya melirik cincin di jari manis Savana.

"Ada cincin baru menggantikan Emerald Colombiaku, apakah dia...?"

"Maafkan aku Ed..."

"Tidak apa-apa, asal kau bahagia bersamanya.." kata-kata Edward tersangkut dikerongkongannya, cinta selalu memberinya rasa sakit.

"Seperti apa dia, apa lebih hebat dariku...? Kenapa kau begitu mencintainya hingga tak ada tempat dihatimu untukku..?" Edward menghembuskan nafas panjang, ia tengah mengundang seorang gadis yang hatinya telah dimiliki oleh pria lain.

"Dia tidak sepertimu Edward, dia seorang yang konvensional tapi aku mencintainya. Edward jangan menungguku, pilihlah satu dari mereka yang mencintaimu..."

"Entahlah honey, tak usah kau pikirkan aku..." Edward menghembuskan nafas berat.

"Ada acara apa mengundangku dan Hanny ditempat yang indah ini Ed...?"

"Happy birthday honey..." Edward memeluknya hangat.

"Terima kasih Ed tapi ini berlebihan untukku, melibatkan big boss untuk ulang tahunku..."

"Kamu tak akan datang ke Nepal tanpa Hanny, kau pasti menolakku..."

"Edward ini kejutan yang membuatku benar-benar terkejut.." bola mata Savana membulat sempurna.

"Sudahlah, jangan pikirkan apapun nikmati saja sekarang, oke honey...? Yuk kuantar kekamarmu..."

Pesta ulang tahun Savana digelar disebuah ruangan dengan undangan terbatas namun tak menghilangkan kemeriahannya, setelah tiup lilin Edward, Hanny dan kolega Edward mengucapkàn selamat padanya. Savana terharu, betapa besar perhatian Edward padanya. Edward selalu ingin membuatnya bahagia, memberikan hadiah-hadiah mahal dan kejutan-kejutan yang membuat hatinya terharu. 

Menikmati makanan dan minuman khas hotel bintang lima, mereka makan sambil mengobrol. Teman-teman Edward sangat ramah, mereka ada diseluruh dunia. Edward adalah pebisnis muda yang sangat briliant, Savana harusnya bersyukur mengenal laki-laki seperti Edward. Kepala Savana mulai pusing, pandangannya mulai berkunang-kunang. Tangan kanannya memijit pelipisnya, mungkin kelelahan.

"Kamu kenapa honey...?" Edward menatap kawatir.

"Tidak apa-apa, hanya sedikit pusing."

"Mungkin kamu kecapean, yuk kuantar kekamarmu.."

"Aku tidak apa-apa Ed, biar Hanny yang mengantarku.." Savana masih memegangi pelipisnya sementara pandangannya kian kabur.

Hanny memapahnya menuju kamar dibantu Edward setelah itu Savana tak ingat apa-apa. Dalam mimpinya Savana bertemu Thoriq dan Ilham di Milan tapi wajah Thoriq tampak layu dan mempertanyakan dari mana saja Savana. Kenapa pergi tanpa pamit dan dengan siapa Savana pergi, pertanyaan yang membuat Savana sulit menjawab. 

......

Ketika terbangun badan Savana terasa pegal semua, serasa habis bekerja sangat keras ia menggeliat. Savana merasakan udara yang sangat dingin ditubuhnya namun ketika membuka mata ia terperanjat, Edward tidur disampingnya bahkan satu selimut. Savana melihat dirinya dibalik selimut, hanya menggunakan bra dan celana dalam. Ditariknya selimut dengan kasar untuk membungkus tubuhnya, Edward terbangun dengan hanya menggunakan celana boxer.

"Apa yang kau lakukan padaku...?!" teriak Savana marah, sepasang bola matanya membulat seakan ingin keluar dari kelopaknya.

"Aku tidak tahu, kenapa berada disini bersamamu.." Edward mengucek kedua matanya, bingung dengan apa yang terjadi. Edward berusaha mengingat apa yang terjadi namun tiba-tiba pipinya menerima tamparan yang begitu keras.

Plak!

"Dasar bajingan, kau memanfaatkanku, kau menghancurkan hidupku Edward..." Savana menangis, tak lagi bisa mengendalikan dirinya.

"Maafkan aku Honey tapi aku tak mungkin sanggup menghancurkan hidupmu..." Edward kebingungan dengan tangis dan kemarahan Savana.

"Tapi kau sudah melakukannya Edward, kau merenggut kehormatanku. Itu milik suamiku, bukan untukmu..." Savana sesengukan, dunianya seperti terbalik. Entah bagaimana ia bisa menatap wajah Thoriq setelah ini.

Edward kebingungan, tak tahu harus melakukan apa. Melihat keadaan Savana seperti itu ia ingin memeluknya, menghiburnya bahkan ingin memberikan nyawanya jika bisa tapi Savana pasti menolaknya. Savana tak benar-benar menginginkannya, posisinya hanya seoramg teman!

"Jangan mendekat, kau membungkus semua kecurangan dibalik pesta ulang tahunku. Aku menyesal pernah mengenalmu Edward..." Savana menyilangkan kedua tangannya didepan dadanya.

"Tidak honey, jangan menghukumku seperti ini..." Edward sedih, kata-kata Savana begitu tajam menghunus tepat di ulu hatinya. Tubuh Edward gemetar, langkahnya tertahan oleh rasa yang menyesakkan dada. 

Seingat Edward semalam ia mengantar Savana ke kamarnya bersama Hanny Hananto ketika dilihatnya gadis itu terlihat lelah dan waktu Edward menyentuh dahinya panas, sepertinya demam. Ketika dibaringkan ditempat tidur mulut Savana tampak meracau, menyebut satu nama terus menerus. Meski kesal namun Edward sempat menaruh kompres dikepala gadis itu sementara Hanny menghubungi tim medis hotel untuk menangani Savana. Setelah diberi injeksi dipunggung tangannya Savana tampak membaik, ternyata asam lambungnya naik. Edward sempat menunggu Savana membaik bersama Hanny dan ketika gadis itu tertidur dengan tenang Edward akan meninggalkan kamar Savana bersama Hanny tapi tiba-tiba kepalanya pusing dan badannya lemas sekali, setelah itu Edward tak tahu apa yang terjadi. Ketika Edward terbangun tiba- tiba dia mendapatkan tamparan yang begitu keras. Savana begitu marah dan tak mau mendengar penjelasannya. 

Apa yang terjadi semalam, kenapa dirinya bisa tidur satu selimut dengan Savana dan hanya menggunakan boxer sementara bajunya berserakan dilantai. Edward bingung dan ketakutan, takut sudah menghancurkan kehidupan gadis itu seperti tuduhannya tadi. Edward sudah biasa tidur dengan wanita sebelum ini tapi tak mungkin merenggut kehormatan Savana dalam keadaan tak berdaya, itu bukan sifatnya. Edward seorang pemenang bukan pecundang. Ia tak mungkin mengambil sesuatu tanpa ijin pemiliknya! 

.........

Savana duduk di balkon hotel, pemandangan indah dan menakjubkan pengunungan Himalaya tak lagi menarik perhatiannya. Matahari tampak terbit dibalik punggung perbukitan, sinarnya yang keemasan membuat semua areal sekitarnya berwarna keemasan. Ini hari kedua dirinya berada di Nepal, tepatnya Tiger Tops Tharu Lodge di Chitwan. Hotel hutan terbaik yang berada di Taman Nasional Chitwan-Nepali. Hari ini Thoriq datang ke Milan bersama Ilham dan tim nasyid-nya, Savana tidak bisa menemui bahkan sudah dua hari teleponnya tak bisa digunakan karena signal di Nepal sangat buruk. Mungkin Thoriq sudah bertanya-tanya kemana dirinya selama dua hari tidak menghubungi. Waktu berangkat ke Nepal tengah malam bersama big boss-nya tak sempat mengabari Thoriq namun Verga tahu dirinya ada dimana. 

"Maafkan Kakak, aku tak bisa menjaga diri..." Savana kembali meneteskan air mata mengingat pesan Thoriq saat di Bandara Soeta "Jaga dirimu untukku..."

Aku tak ingin hidup lagi Kakak, aku malu padamu pada Allah dan semua orang. Aku tak sanggup bertemu Kakak lagi, aku tak mungkin jadi istri Kakak. Seperti kata Umi dulu, aku tak pantas untuk Kakak. Seseorang mendorong pintu balkon, Edward menatap prihatin dengan nampan berisi sarapan.

"Kamu ditunggu Hanny di restaurant tapi tak muncul-muncul, aku dan Hanny menghawatirkanmu. Makanlah..." Edward menatap prihatin.

"Aku tidak lapar..." Savana menatap menerawang tak dilihatnya kehadiran Edward.

"Tapi kau harus menjaga kesehatan tubuhmu agar kondisimu pulih, mau kusuapi..." tawar Edward.

"Jangan mendekat, letakkan nampan itu dan segera keluar dari kamarku.." Savana mengusir Edward tanpa menoleh.

"Jangan begini honey, maafkan kesalahanku..." Edward serba salah.

"Buang maafmu kelaut saja karena apapun yang akan kamu lakukan tak akan bisa mengembalikan apa yang sudah kau renggut dariku...." air mata kembali menetes dipipinya, mimpi menikah dengan Thoriq tinggal selangkah lagi tapi mungkin mimpi tinggalah mimpi tak akan berubah jadi kenyataan.

"Tidak honey, aku tidak seperti tuduhanmu."

"Aku ingin pulang Edward..."

"Besok kamu dan Hanny akan pulang, sesuai jadwal."

"Tidak Edward, aku ingin pulang sekarang" kali ini Savana menatap Edward, wajah Edward tampak layu tak seperti biasanya. Ia terlihat terluka sama dengan dirinya tapi apa pedulinya...? Salah Edward, kenapa menghancurkan semuanya.

"Akan kuusahakan, aku akan mengantarmu ke Milan.."

"Tidak usah Edward, menjauhlah setelah ini dari kehidupanku selamanya..."

"Honey, tidakkah kita bisa tetap menjadi teman setelah ini..?"

"Aku tidak mau berteman denganmu Edward...." Savana menatap dingin.

"Bolehkah aku minta satu hal darimu..." Edward bicara ragu-ragu.

"Kau sudah mengambil semuanya dariku Edward. Masih pantaskah kau meminta lagi...?" Savana berbalik membelakanginya.

"Menikahlah denganku..." Edward masih berdiri menunggu tapi Savana tak mengatakan apapun.

Dada Edward kembang kempis, sesak rasanya. Ia telah membuat kesalahan besar terhadap Savana tetapi mengapa Edward merasa Savana hanya salah paham....? Setelah meletakkan nampan di meja teras Edward keluar kamar Savana. Menghembuskan nafas kasar dan bingung harus melakukan apa, kenapa saat dirinya mulai mengenal arti hidup tetapi mendapatkan hal yang sebaliknya...? Air mata menetes disudut matanya, meratapi kasih yang tak berbalas. Edward tak pernah tertolak oleh gadis manapun namun saat cinta menyapanya hanya penolakan yang didapatnya, pelan-pelan Edward menutup pintu hatinya. 

.......

Ada lima panggilan tak terjawab dari nomor yang tak dikenal oleh Verga. Mungkinkah Savana atau Hanny Hananto, sudah dua hari Verga kehilangan kontak dengan mereka. Mungkin signal buruk karena Nepal daerah pegunungan. Ponsel Verga kembali bergetar, dilihatnya layar, masih nomor yang sama....

"Halo...."

"Halo, apakah ini Manager Savana...?"

"Ya, Anda siapa..?" Verga mengerutkan keningnya.

"Saya calon suami Savana....?"

"Calon suami...?" Verga tambah tak paham. 

"Verga....namaku Thoriq, bisakah anda memberitahu sekarang Savana berada dimana..?"

"Savana ada urusan pekerjaan ke Nepal dengan big boss..."

"Nepal....?" Thoriq mengingat Edward, bukankah saat di bandara Savana mengatakan Edward berada di Nepal..? Sesuatu yang buruk berkelebat diotaknya namun Thoriq segera menepisnya, tak boleh suudzon.

"Kapan kembali ke Milan..?"

"Besok pagi."

"Baiklah Verga terima kasih bantuannya, selamat siang..." Thoriq menutup percakapannya dengan Verga.

Savana memiliki calon suami, kenapa tak pernah bilang....? Apa mungkin ini salah satu alasan kenapa Savana belum tanda tangan kontrak dua tahun di New York City...?

Savana tidur telentang di apartemennya, menatap langit-langit kamar seperti merasakan pertama kali datang ke apartemen ini setahun yang lalu. Merasa sendiri, sedih dan kesepian. Dulu ia langsung menelfon Mama dan curhat tentang rasa sepinya di Milan, sekarang ia tak berani curhat, tak tahu harus curhat pada siapa tentang kegundahan hatinya. Ia merasa sendiri dan tak seorangpun bisa menolong dirinya, ponselnya bergetar dilayar tertera nama Thoriq namun Savana membiarkan poñsel tersebut menjerit-jerit. Untuk apa aku harus menjawab teleponnya, aku tak pantas untuknya. Aku kotor dan ternoda tidak seperti Kakak yang bersih dan selalu menjaga diri.

Verga bilang Savana sudah berada di apartemennya tapi telepon Thoriq tetap tidak diangkat. Akhirnya Thoriq dan Ilham janji bertemu Verga untuk diantar ke apartement Savana di Be Mate Via Tivoli. Ilham menunggu di teras ketika Verga dan Thoriq masuk dan betapa terkejut keduanya ketika melihat keadaan gadis itu. Menggigil dibawah selimut dengan wajah pias dan bibir pucat, matanya melirik Thoriq sekilas kemudian terpejam, pingsan! Thoriq, Ilham dan Verga membawa Savana ke emergency room terdekat.

Savana merasakan aliran hangat ditangannya, sensasi itu pernah dirasakannya bertahun yang lalu, hanya Thoriq yang mampu memberikan sensasi hangat dialiran darahnya. Savana mengingat semuanya, kesadarannya telah pulih namun tak ingin membuka matanya. Savana tak ingin melihat tatapan Thoriq, ia malu.

"Humairoh...bangun, istighfar jangan putus berzikir...." suara Thoriq menggelitik telinganya, air matanya meleleh.

"Maafkan aku Kakak..." ingin kucium kaki Kakak untuk minta maaf tapi aku tak pantas dimaafkan.

"Hai....jangan menangis..." Thoriq menghapus air matanya dengan jari tangannya, wajahnya yang bersih tengah menatapnya teduh.

"Kakak maafkan aku yang tidak bisa bergabung dengan acara Kakak, aku.."

"Sudahlah, jangan berpikiran macam-macam yang penting kesembuhanmu.." Thoriq menghembuskan nafas berat, melihat gadisnya seperti ini berat meninggalkan Milan.

"Sayang, bagaimana kalau kita pulang saja ke Indonesia...?"

"Tinggal seminggu lagi kontrakku dengan Hanny Kakak..." air mata Savana kembali merembes dikedua matanya, terlihat Thoriq sangat menghawatirkannya padahal ia bukanlah gadis yang pantas dipikirkan lagi. Savana gagal menjaga dirinya, kini ia tak utuh lagi.

"Aku akan bicara dengan Hanny, mengganti sisa kontrakmu dengan uang jika mungkin..." rahang Thoriq menegang dengan sebelah tangan mengepal, ia ingin membawa Savana pulang.

"Kakak jangan terlalu khawatir, aku bisa mengatasi ini, percayalah..." 

"Kondisimu seperti ini, bagaimana bisa menjaga diri...?"

"Pasti ada jalan keluarnya Kakak..."

"Maaf, apakah kau bertemu dengannya di Nepal...?" sepasang mata Thoriq menatap tajam, lupa kalau Savana masih sakit.

"Aku kesana bersama Hanny Kakak, mereka ada bisnis bersama..." hati Savana sakit karena harus berbohong tapi ia tak punya cara lain. Thoriq menjaganya dengan baik selama dua tahun namun Edward menghancurkannya hingga tak bersisa! Rasanya Savana ingin pingsan sekali lagi agar terbebas dari kebohongan ini.

Thoriq masih menatapnya, sepasang sorot matanya yang teduh membuatnya kembali menemukan dunianya yang hilang. Savana selalu berharap bisa menikah dengan pemuda impiannya ini namun ketika saat itu sudah begitu dekat dalam genggamannya Savana malah tak berani berharap. Dirinya sudah menyimpan kebohongan besar, pernikahan macam apa yang dilandasi dengan kebohongan...? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status