Share

Part-2 Edward Ferguson

Paris Fashion Week adalah peragaan busana bergengsi di kota penuh romansa cinta, Marta Ika adalah desainer muda tanah air yang ikut meramaikan ajang bergengsi bersama lima model terkenal ibu kota. Rancangannya yang eksklusif memamerkan busana houte couture bertema budaya dayak dan kalimantan, warna lembut dan magic mendominasi hasil kreasinya. Indonesia adalah surga buat para kreator adi busana, keaneka-ragaman budayanya adalah inspirasi tiada akhir buat mereka yang kreativ.

Houte Couture merupakan teknik pembuatan pakaian tingkat tinggi yang dibuat khusus untuk pemesannya, menggunakan bahan kualitas terbaik, teknik jahitan tingkat tinggi dan dihiasi detail yang dikerjakan dengan tangan hingga memerlukan waktu cukup lama dalam penyelesaiannya. Busana houte couture tidak memiliki "price tage" atau harga pasti. Tagihan terakhir dihitung meliputi setiap bahan yang dipakai dan lama pengerjaannya. Houte couture hanya milik bangsawan, kaum the have yang tidak perduli berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk sebuah penampilan eksklusif bahkan untuk sebuah gengsi! Busana houte couture mencerminkan status sosial pemakainya. 

Disebuah ruangan Savanna dan Alin melihat gaun-gaun mewah itu tergantung dilemari kaca. Savanna tak berhenti berdecak kagum, busana kreasi tangan-tangan terampil. Ia merasa beruntung berkesempatan memoeragajan busana istimewa itu.

"Dua busana ini yang akan kau pakai di catwalk....tunjuk Alin, asisten Marta Ika mengangguk hormat melihat keduanya.

"Lin, gaun ini dadanya terlalu rendah dan transparan. Hampir separuh tubuhku terawang, aku belum pernah memperagakan busana sevulgar ini. Bisakah ditukar dengan yang lain...?" bisik Savanna.

"Sejak kapan kamu mempersoalkan busana yang akan kau pakai di catwalk, apalagi di Paris...?" Alin mengerutkan keningnya.

"Kamu lupa, aku sudah menjadi brand ambassador busana muslim Kanaya...?"   jangan pernah memperagakan baju muslim jika masih memperagakan underwear!

Alin menggaruk kepalanya, merasa kali ini kurang jeli. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur.  Sudah berada di Paris, ia tak mungkin membatalkan kontrak dengan desainer Marta Ika.

"Siap-siap dibantai para netizen sesampai di tanah air" Savanna menghembuskan nafas berat.

"Berapa wartawan mode yang ikut sekarang?"

"Lima."

"Aku akan menemuinya, agar mereka tidak membuat liputan yang terlalu seksi untukmu" Alin mulai galau.

"Bagaimana dengan paparazi Paris, kau tidak bisa mengendalikannya Alin...?" Savanna mengingatkan.

"Baiklah masih ada Lucy, Luna dan Amira sebagai model. Aku akan negosiasi dengan Marta Ika, doakan berhasil ya..." Alin optimis, tak ada yang tak bisa di negosiasikan.

"Good luck managerku..." Savanna tersenyum ragu.

Peragaan busana Paris Houte Couture selalu ditunggu oleh para pencintanya, kaum jetset dan selebritis dunia. Berlokasi di grand palaise Paris, sang Creative Director tak pernah membuat tampilan panggung yang sama. Kali ini ia berhasil menyulap sebuah musium menjadi ruang pamer dengan ide yang brilian. 

"Aku berhasil negosiasi dengan Lucy dan Amira tetapi gadis itu menyerahkan keputusannya pada Marta Ika...." wajah Alin lesu, ia tahu bagaimana kerja Marta Ika. Setiap baju hanya didesain untuk satu model tidak bisa ditukar dengan model lain karena akan merusak desain dan cita rasa busana.

"Melihat wajahmu yang lesu sepertinya kau tidak berhasil nego dengan Marta Ika..." tebak Savanna.

"Busana itu hanya untukmu, kurang cocok dipakai oleh model lain katanya" Alin menggaruk kepalanya.

"Alin, kita siap-siap menerima komplain Kanaya...." Savanna dan Alin menarik nafas panjang bersamaan, belum pernah keduanya seresah ini.

"Kanaya mungkin bisa dinego tapi para konsumen baju muslim itu pasti mencibirmu, bodohnya aku...." Alin memegangi pelipisnya.

"Sudah terjadi...." Savanna mengangkat bahu, galau.

Tema autum dengan daun-daun maple warna-warni yang sesekali gugur membuat suasana mewah dan magic. Kursi undangan penuh terisi, mereka serempak berdiri ketika model pertama menuju panggung. Savana, Amira dan Lucy keluar panggung beriringan, suara tepuk tangan menggema memenuhi runway. Mereka tak berhenti berdecak, mengagumi sebuah mahakarya indah dengan sentuhan etnik.

Savanna melenggang dengan busana mewah di runway, busana houte couture yang transparan melekat ditubuhnya begitu indah dan memperlihatkan sebagian anggota tubuh indahnya, renda dan manik-manik yang menjutai membuatnya harus berhati-hati melenggok di catwalk agar kejadian di New York Fashion Week tak terulang, terpeleset heels saat putar balik. Untuk pertama kalinya ia merasa tak nyaman dengan busana yang dipakainya, entah karena kontraknya dengan desainer Kanaya atau karena sepasang mata teduh sang Qori......?

Suasana catwalk menjadi dramatis ketika layar yang ada di langit-langit venue menampilkan visual musim gugur dengan bunga warna-warni yang sesekali jatuh di kepala para model chanel yang tengah berada di runway. 

Marta Ika tersenyum gembira saat menerima kalungan bunga penghormatan, bola matanya berbinar atas kesuksesannya malam ini. Dia berterima kasih dengan para model dan semua kru yang bekerja sama dengannya.

*****

Berada di kamar hotel Savanna segera melepas high heels dan atributnya. Setelah berganti baju santai  ia merebahkan tubuhnya, baru saja matanya teropejam ketika  mendengar suara ketukan pintu kamarnya. Dengan malas ia bangun dari tidurnya.

"Alin, please...aku harus istirahat.." tolak Savanna kembali menutup pintu namun sebelah kaki Alin mengganjal pintu itu.

"Sav, coba kau lihat apa yang kubawa. Hadiah dari Mr. Edward Ferguson pengagum-mu, dia sudah menunggumu di lobi" Alin tersenyum, nyengir kuda melihat sepasang bola mata modelnya yang meredup.

" Alin, kau sudah tahu jawabanku. Kamu aja yang menemuinya, kan kamu yang menerima bunganya" tolak Savanna.

"Ayolah dear, sesekali berpesta dan bertemu orang-orang penting tak ada salahnya. Tanpa penggemar kau bukan apa-apa lo, jangan kecewakan orang yang sudah datang menunggumu" seperti biasa, Alin sulit ditolak.

"Alin, mungkin aku mau bertemu penggemarku tetapi bukan Mr. Edward!" tegas Savanna.

"Dear, Ć pa kurangnya Mr.Edward. Dia sangat tampan, bersih dan berasal dari bangsawan Inggris. Kau mengabaikan permata mahal dunia, ayolah...." Alin memohon, saat seperti itu Alin selalu memanggilnya "dear".

"Aku sudah pernah bersamanya Alin dan aku tak tahan oleh tangannya yang kreativ..." Savanna mengalihkan tatapannya, kesal selalu berdebat dengan Alin.

Diantara gemerlap dunia model, ada beberapa hal yang tak ia suka. Pesta dan lelaki hidung belang! Dengan uangnya mereka menganggap model hanyalah manequin yang bisa dibeli dan dijamah sesukanya!

"Lucy dan Amira, apakah sudah kau tawari..?"

"Mr. Edward hanya ingin bertemu denganmu dear..." Alin tak putus asa.

"Kau selalu memaksaku Alin. Baiklah, aku akan menemui Mr. Edward tapi kamu jangan beranjak satu centipun dari sisiku, deal...?" Savanna nyengir kuda, membuat Alin melongo dengan kesepakatan itu.

"Aku tidak janji, aku hanya kambing congek melihat orang pacaran" Alin membuang mukanya, kesal merasa dikerjai modelnya.

"Ayolah, sesekali turuti keinginan modelmu ini. Deal....?" Savanna mengulurkan tangan pada Alin, bukanya menyambut Alin malah memukul tangannya gemas.

"Mr. Edward tidak mengharapkan kehadiranku dear, dia hanya butuh dirimu..." wajah Alin tampak ragu.

"Please Alin, itu persetujuannya jika kamu mau aku bertemu dengannya. Jika tidak setuju aku akan melanjutkan tidurku" Savanna menjawab tak acuh, dalam hati terbahak melihat muka Alin yang ditekuk. "Rasain Lu, siapa suruh suka maksa orang" rutuknya dalam hati.

"Baiklah...." Alin menyerah.

Keduanya akhirnya menemui Mr.Edward di loby. Pertama melihat Alin, Mr. Edward agak terkejut, tapi selanjutnya mereka terlibat perbincangan hangat di restaurant hotel. Tak berapa lama Lucy, Amira dan Luna bergabung membuat suasana semakin hangat.

" Mana ibu Marta, setelah turun panggung aku tak melihatnya..." Lucy bertanya pada Alin.

" Lagi kebanjiran order busana, kulihat Shinta marketingnya sibuk sekali."

"Mr. Edward, bolehkah kapan-kapan kami berkunjung ke rumah anda" Luna menatap penuh harap.

"Dengan senang hati Miss Luna, jangan lupa ajak Savanna" Edward mengedipkan sebelah matanya pada Savanna.

"Sav, dia tergila-gila padamu, kapan lagi dapat gebetan bangsawan inggris gini. Kesempatan tidak datang dua kali lo, andai dia mau sama gue" bisik Lucy sambil cengar-cengir."

"Savanna masih menunggu pangeran impiannya datang kedunia nyata..." sindir Alin.

"Apa...?" bola mata Amira membesar.

"Alin, jangan mulai lagi..." Savanna menatap malas.

"Baiklah...." Alin mengalah.

"Ternyata negeri dongeng masih ada di abad ini...." sambung Lucy mengikuti jejak Alin.

"Eh...netizen dilarang nyinyir ya" jawab Savanna tersenyum.

Di restaurant ini tortilanya sangat enak dan spesial, roti pipih tanpa ragi yang terbuat dari jagung giling pilihan ini memiliki rasa khas dan memanjakan lidah dengan saus mexico-nya yang pedas, membuat mata yang tadinya sayu menjadi melek, dipadu dengan sayuran, paprika, jalapeno dan daging giling pilihan. Alin dan Luna sudah mendesis kepedasan sejak pertama makan namun anehnya menambah satu lagi.

" Savanna, apakah besok kita masih bisa bertemu? Aku ingin mengajakmu keliling Paris. Makan di Le Pre Catelan atau di bristol, menu caviarnya sangat enak" tawar Mr. Edward.

"Terima kasih tapi besok kami menuju Kairo-Mesir Edward, KBRI mengundang kami pameran budaya Indonesia disana..."

"Tak mengapa, aku bisa datang ke Kairo atau ke Antartika jika kau ijinkan nona...." canda Edward.

"Aku tidak bisa janji Mr. Edward, bahkan sampai bulan depan jadwalku padat" Savanna melihat Alin, memberi kode agar bisa menolongnya terlepas dari bangsawan Inggris ini.

"Jika kamu menginginkan liburan aku sanggup mengganti pembayaran show-mu nona, tinggal sebutkan nilainya dan tinggal sebutkan ujung dunia mana yang akan kau kunjungi bersamaku..." tawar Edward.

Edward kaya sejak kecil, bahkan diumurnya yang ke dua belas ia sudah keliling dunia. Kesenangan, makanan paling enak, tempat paling indah dan mewah bahkan gadis-gadis cantik yang datang silih berganti tanpa ia mengundangnya. Mereka menawarkan diri untuk berkencan bahkan dengan sukarela menyerahkan tubuhnya. Tapi gadis didepannya ini tak terpikat olehnya. Dia begitu tenang, tak acuh dan tak menginginkannya. Padahal Edward bisa memberikan dunia untuknya.

"Wow....amazing" bola mata Lucy membulat.

"Sayang tidak ada tawaran untuk kita..." Alin, Amira, Luna dan Lucy mengangkat bahu.

Ketika Savanna akan pamit Mr. Edward memegang lengannya, Savanna masih berdiri ketika tiba-tiba Mr.Edward berlutut didepannya dengan satu kaki sementara kaki yang satunya menyangga tubuhnya, tangan kanannya mengeluarkan sebuah kotak mungil berwarna merah dari saku jasnya. Ketika lelaki itu membuka kotak merah, Savanna, Alin dan Lucy silau oleh cahayanya. Cincin putih bertahtakan berlian, aliran darah Savanna sekejab seperti berhenti. Sibuk berpikir, bagaimana cara menolak tanpa membuat Edward kecewa. Savanna tak mau terikat oleh apapun dan siapapun, ia masih ingin terbang tinggi seperti elang, mengepakkan sayap dan terbang bebas diatas cakrawala.

"Maukah menikah denganku...?" tatap Edward penuh harap."

"Edward....tidak sekarang, beri aku waktu..." Savanna memohon, ia paling tidak bisa mengecewakan orang.

"Beri aku waktu..." ditariknya tangan Edward agar lelaki itu berdiri.

"Tapi ini untukmu...." Edward menaruh kotak merah itu dalam genggamannya.

"Jangan Edward....jangan beri apa-apa lagi.." Savanna menghembuskan nafas panjang, bingung harus berkata apa. Edward sudah memberinya begitu banyak sementara dirinya tak mampu menjanjikan apapun.

"Aku khusus membeli ini untukmu, apapun yang terjadi terimalah....." Edward kembali menggenggam tangannya.

"Kita banyak perbedaan Edward, aku tidak bisa tinggal di Inggris..."

"Aku akan tinggal di Indonesia."

"Kita tidak seagama..."

"Aku akan ikut agamamu."

Savanna mati kutu, tak ada yang bisa dikatakannya lagi. Edward memberikan hatinya tanpa syarat, meski tahu Savana tidak mencintainya. 

Alin, Luna, Amira dan Lucy terdiam, terpana melihat pemandangan dihadapannya. Edward begitu baik dan romantis tapi Savanna menolaknya. Bangsawan Inggris yang tampan dan tajir itu hanya tersenyum,  bodohnya Savanna!

******

Bayangan Muhammad Thoriq Al-Farisi memenuhi benaknya. Pemuda penghapal Al-Quran Nur Karim, pemuda pembuka pintu surga kata bu Rasti, indahnya kata-kata itu. Savanna menarik nafas berat, bagaimana mungkin ia menyukai seseorang yang bahkan tak mengenal namanya....? Savanna membandingkan Sir Edward dengan Muhammad Thoriq, perbedaannya bagai bumi dan langit tapi ia tak mampu menghilangkan tatapan mata itu dari ingatannya. Tatapan yang hanya sekejap karena pemiliknya segera berpaling karena tak mau berlama-lama memandang wanita.

"Dear, ada baiknya kamu membuka hatimu..." Alin membuka pembicaraan melihat Savanna melamun.

"Untuk Edward....?" kening Savanna berkerut, cincin itu masih tergeletak di meja kecil dekat lampu tidur. Cincin yang sangat cantik dan mewah, tentunya berharga mahal. Memperlihatkan seberapa besar kekayaan pemberinya.

"Untuk seseorang yang menyukaimu, jangan berhenti jadi manusia...." kritik Alin.

"Maksudmu...?" 

"Selama jadi managermu aku belum pernah melihatmu dekat dengan lawan jenismu, apakah kau normal ...?" Alin bertanya hati-hati, Savanna malah terbahak.

"Tentu saja normal, aku hanya tak mau membuang waktu sia-sia dimasa mudaku. Tahukah Lin, aku menghabiskan masa sekolahku di Al Azhar dari SD hingga SMP, disana berkalwat dengan lawan jenis itu tabu karena yang ketiga adalah setan...."

"Tapi sekarang kau hidup didunia model dear, bukan di pesantren...." bantah Alin.

"Apa salahnya tidak memiliki kekasih Alin..? Aku hanya ingin menjaga kehormatan yang suatu saat kupersembahkan pada pemiliknya, suamiku."

"Hebat, kau sangat berbeda dear. Di dunia hingar-bingar para model kukira hanya kau satu-satunya yang memiliki prinsip seperti itu" jika tadinya Alin kagum pada modelnya, hari ini ia menaruh hormat. Di era milenial ini masih ada seorang gadis yang menjaga kesuciannya untuk suaminya kelak. Alin hanya mampu menggelengkan kepalanya, tak paham!

"Model adalah pekerjaan sedangkan menjaga kesucian adalah prinsip hidup, aku ingin menjaga keduanya Alin."

"Apakah kau pernah jatuh cinta Sav..?"

"Ya, bahkan sekarang aku sedang patah hati" Savanna menerawang, wajah blasteran Indonesia- Arab Muhammad Thoriq Al-Farisi kembali hadir, suaranya yang penuh dinamika ketika membaca Al-Quran dan sepasang tatapannya yang teduh. Mungkinkah dapat bertemu lagi...?

"Siapa pemuda beruntung itu?" Alin penasaran.

"Kau pasti sudah bisa menebaknya..." Savanna tersenyum penuh misteri.

"Jangan katakan Qori itu..." Alin menutup mukanya dengan telapak tangan.

" Ya, dia!" Savanna menatap serius.

"Apa....?" Alin terlonjak dari tempat duduknya, tiba-tiba saja kepalanya pening!

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status