POV Reza
"Apa? Bagaimana bisa?" Aku terhenyak saat salah satu karyawan tempatku karaoke melaporkan bahwa ada satu dari karyawanku yang membawa uang kantor.
"Bodoh!" hardikku kesal pada seorang karyawan yang mengadu kepadaku.
"Berapa juta uang yang dibawa oleh kariawan itu?" cetusku bersungut-sungut. Dadaku bergemuruh menahan amarah yang membuncah.
Gadis muda yang tertunduk lesu di hadapanku itu tak bergeming. Sesekali ia melirik ke arahku dengan wajah' takut. "Sekitar seratus juta, Bu!" lirihnya seraya mengigit bibir bawahnya.
"Apa?" Seketika kedua bola mataku membulat penuh dan hampir lepas dari cangkangnya. "Seratus juta!" Kepalaku terasa berdenyut. Hampir saja tubuhku jatuh pingsan mendengar kerugian tempat karaoke yang baru saja aku rintis. Bagaimana bisa semua seperti ini.
"Bu Reza, Bu Reza!" Seseorang membantuku duduk pada bangku sofa saat aku hampir terjatuh. Dadaku
POV author.15 tahun kemudianLangit masih saja sama. Mendung datang bergulung-gulung. Lelaki bertubuh tinggi besar itu mempercepat langkah kakinya menuju sebuah rumah sederhana. Kedua tangannya menutup bagian kepalanya agar rintik hujan tidak membahasi tubuhnya. Menurut mitos hujan pertama kali itu bikin sakit.Cekret!Suara derit pintu yang terbuka menandakan bahwa pintu itu sudah lama tidak diberi pelumas. Seseorang yang duduk pada bangku kursi goyang melihat ke arah kedatangan lelaki tampan berkulit sawo matang yang menenteng sebuah kantong plastik di tangannya."Aska!" suara serak itu menandakan bahwa kini usia lelaki yang duduk di kursi goyang itu sudah tidak lagi muda. Sebuah senyuman tersungging dari bibir lelaki tua itu saat melihat kedatangan Aska."Papa, maaf jika aku terlambat datang ke sini. Tadi hujan turun cukup deras, jadi aku memutuskan untuk tinggal di ka
Aku masih memandangi pria dengan hidung mancung yang kini sedang terlelap di sampingku. Pria yang baru kemarin mengucapkan janji suci di depan ayah dan ibuku. Memintaku untuk menjadi teman hidupnya berbagi dalam suka dan duka, teman saling menjaga, dan saling mengasihi. Teman yang akan setia membimbingku hingga akhir hayatku dan teman yang akan bersama-sama menuju janahnya. Iya, dia adalah Mas Bagas. Pria yang aku pacari hampir delapan tahun lamanya. Bukan waktu yang singkat untuk kita saling mengenal, yang pasti waktu selama itu sudah cukup untuk kami saling mempelajari karakter masing-masing hingga kami memutuskan untuk melanjutkan ke pelaminan. Maklum, untuk wanita seperti aku yang telah menginjak usia 30 tahun bukan saatnya lagi untuk bermain-main dalam menjalani cinta. Aku butuh pria yg serius untuk menjadi imamku dan ayah dari anak-anakku. Apalagi tentang finansial, jelas Mas Bagas sudah lebih bagiku. Dia adalah seorang mandor perhutani, w
"Maafkan aku Mas!" Aku masih mengigit bibir bawahku. Kuusap lembut layar ponsel Mas Bagas. Berharap bisa menemukan jawaban dari teka teki yang terus menyelimuti hatiku."Masukan kata sandi!"Tulis layar itu, membuat kumengulum saliva. Kemudian mendengus kesal."Dek, di mana?" teriak Mas Bagas membuatku terkejut. Segera kuletakan benda pipih itu kembali pada tempatnya."Di kamar, Mas!" sahutku masih dengan jantung yang berdebar.Tak! Tak! Tak!Suara hentakan kaki Mas Bagas yang berjalan ke arahku terdengar semakin dekat. Dengan cepat kuayunkan kembali gagang sapuku agar pria bertubuh tegap itu tidak curiga."Huf," Mas Bagas meniup kecil diambang pintu yang terbuka dengan terse
Part sebelumnya.Kenyataan apa lagi ini Mas!Aku masih menguatkan tubuhku berdiri di hadapan teman Mas Bagas. Setelah pria itu menyerahkan kantong kresek yang berisi tas rangsel milik Mas Bagas dan kemudian pergi. Tubuhku seketika terhuyun duduk di kursi teras rumah. Netraku terasa dipenuhi oleh cairan yang membuat sesak seluruh dadaku. Baru kali ini Mas Bagas membohongiku atau baru kali ini kebohongan Mas Bagas yang aku ketahuiAku manangis tergugu di teras rumah, benakku samakin berkeliaran pada hal hal yang tak masuk di akalku. Apakah mungkin Mas Bagas seperti Sarifudin, suami Bu Iska?Next PART 3Hari-hari kulakui dengan sepi bahkan rasa sakit ini pun tak kujung juga mereda. Tak kuperduli kan Mas Bagas yang berkali kali menghubungiku bahkan ribua
Segara kuraih selembar nota pembayaran rumah sakit yang terjatuh sembarang. Kubuka lipatan secarik kertas yang jelas tertulis nama Yasmin yang terletak di ujung nota lengkap dengan tanda tangannya.Di dalam nota itu hanya tertulis rincian biaya perawatan, tanpa nama pasien atau pun penyakit yang diderita. Hanya pada akhir nota tertulis nama Yasmin sebagai pelunas biaya tersebut.'Kenapa bukan nama Mas Bagas?' Apakah nota ini bukan milik Mas Bagas? Jika bukan kenapa nota ini ada di dalam saku baju Mas Bagas?'Benakku terus berfikir, namun aku mencoba berfikir sepositif mungkin. Aku tidak mau terjadi kesalahpahaman seperti halnya hari kemarin.Aku percaya Mas Bagas tidak akan pernah membohongiku. Karena yang aku tau pria itu sangat mencintaiku.Segara kulanjutkan kembali aktifitasku menc
Part sebelumnya.Stttt,Pak Aris meletakan jari telunjuknya ke dekat bibirnya. Kemudian mendekatkan wajahnya sedikit ke arah lku yang duduk di sampingnya."Bu Reza, tapi jangan marah ya. Tadi aku melihat suami ibu masuk ke hotel bersama seorang wanita," bisik pria itu sesaat membuat pandanganku terasa kabur dengan jantung berdebar.Next part 5Deg!Benar, jantungku rasanya sedang berhenti mengalirkan darah keseluruh tubuhku. Pria itu menatapku dengan serius, sepertinya Pak Aris benar-benar dengan ucapannya. Segera kunormalkan pikiranku yang hampir limbung oleh cerita yang Pak Aris sampaikan. Namun tubuhku masih saja terasa bergetar."Apa Pak Aris yakin kalau itu adalah Mas Bagas?" tanyaku memastikan apa yang Pa
Part Sebelumnya"Mbak, mbak! Dih malah melamun," panggil mamang ojol membutku tergeragap."Eh iya Pak maaf! bapak tunggu di sini sebentar ya pak, saya mau ngecek ke hotel sebentar," ucapku dengan suara bergetar dengan tubuh yang terasa menggigil menahan rasa sakit yang meremas hati.Next PART 6Aku berjalan memasuki halaman hotel yang dipenuhi tanaman hijau. Sepanjang jalan setapak berjajar lampu hias dengan bola lampu yang besar berbentuk bulat. Tubuhku semakin bergetar saat aku semakin mendekat ke lobby Hotel. Jantungku seolah berpacu lebih cepat, berkali-kali aku menyeka keringat yang membasahi keningku dengan satu tanganku.'Yah, benar itu motor Mas Bagas.' Kulihat motor itu berada di parkiran hotel.Kini aku sudah memasuki loby hotel. Disambut oleh seorang resepsionis cantik yang tersenyum ramah kepadaku.
Pagi masih begitu berkabut, dingin pun masih terus menghujam hingga meremukkan tulang-tulangku. Netraku harus kubuka paksa ketika tidak aku dapati Mas Bagas tidur di sampingku. Barang kali dia masih marah dengan ucapanku semalam.Aku menuruni ranjang dan bergegas mencari keberadaan Mas Bagas. Baru kali ini sepanjang kami bersama, laki-laki itu merajuk. Mungkin karena ia harus diliburkan beberapa hari dari pekerjaannya karena ulahku di hotel atau karena ia gagal naik pangkat gara-gara kejadian itu. Entahlah aku tidak perduli. Toh, tanpa dia naik pangkat gajiku pun sudah cukup untuk membiayai kehidupan kami."Mas! Mas Bagas!" panggilku menelusuri seluruh ruangan di rumahku. Namun, tidak aku temukan keberadaan pria itu.Kulihat waktu pada jam yang mengantung pada dinding ruang tamu telah menunjukan pukul lima pagi. Apa mungkin Mas Bagas pergi bekerja? Bukankah dia sedang diliburkan.&nbs