Bapak datang dari arah pintu. Keluarga mertua seketika berdiri bersalaman dengan beliau. Bapak menyalami dengan tanpa sikap ramah seperti sebelum terjadi masalah ini. Kuambil kursi plastik untuk duduk, karena sofa di ruang tamu tidak cukup.“Pak Rahman apa kabar? Lama tidak berjumpa. Tidak pernah main-main ke rumah kami, kenapa pak?” Bapak mertua bertanya dengan ramahnya.“Alhamdulillah, baik. Iya tadinya minggu-minggu besok saya akan ke sana. Ingin menengok Agam, barangkali sakit apa gitu, sekian lama tidak berjumpa di rumah ini.” Bapakku menjawab sambil menatap tajam Mas Agam.“Ah tidak sakit apa-apa, Pak. Hanya saja, Aira lagi manja banget sama Agam, jadi susah ditinggal…” Ibu mertua menyahut sambil tertawa kecil. Dikiranya lucu, tapi Bapakku sama sekali tidak tertarik untuk menertawakan. Beliau malah melirik sinis pada Aira yang bergelayut manja pada pangkuan suami mbak Eka. D
“Silahkan! Mau bicara apa, Agam? Mau ikut menyalahkan Nia juga?”“Itu Pak… Saya minta maaf karena sudah buat Nia sakit hati dan kecewa. Juga anak-anak. Maaf saya sudah meninggalkan mereka.” Mas Agam berhentidan menghela nafas. Mbak Eka terlihat tidak suka dengan penuturan adik kandungnya.“Terus, apa lagi? Ada lagi kesalahan yang ingin kamu akui?” Bapak bertanya, tanpa mau menatap Mas agam.“Saya sudah menelantarkan Nia dengan tidak memberinya nafkah secara layak. Saya juga sudah menjelek-jelekkan Nia di hadapan teman-teman. Saya tidak pernah mengajak Nia untuk bersenang-senang. Saya janji akan memperbaiki semuanya.” Diam kembali. Pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu seperti sedang mengatur kata-kata.
“Silahkan! Mau bicara apa, Agam? Mau ikut menyalahkan Nia juga?”“Itu Pak… Saya minta maaf karena sudah buat Nia sakit hati dan kecewa. Juga anak-anak. Maaf saya sudah meninggalkan mereka.” Mas Agam berhentidan menghela nafas. Mbak Eka terlihat tidak suka dengan penuturan adik kandungnya.“Terus, apa lagi? Ada lagi kesalahan yang ingin kamu akui?” Bapak bertanya, tanpa mau menatap Mas agam.“Saya sudah menelantarkan Nia dengan tidak memberinya nafkah secara layak. Saya juga sudah menjelek-jelekkan Nia di hadapan teman-teman. Saya tidak pernah mengajak Nia untuk bersenang-senang. Saya janji akan memperbaiki semuanya.” Diam kembali. Pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu seperti sedang mengatur kata-kata.
Mencoba mendorong tubuh kekar yang kini memelukku dengan erat bukanlah sebuah hal mudah. Meski saat adu kekuatan dengan gundiknya, aku menang telak, namun Mas Agam seorang lelaki yang memiliki tenaga jauh lebih kuat dariku. Dalam kepasrahan tanpa bisa melawan, muncul sebuah ide gila. Wajahku kini berada di dadanya, kugunakan gigi runcingku untuk menggigit.Dia mengaduh kesakitan, dan saat bersamaan, terlepas tangannya dari tubuh ini.“Nia, kamu gila ya? Kenapa menggigitku?” Tanyanya dengan muka masih meringis menahan sakit.“Sakit Mas? Bentar lagi sembuh kok. Beda dengan luka yang kau ukir dalam hati ini. Tak sesederhana itu hanya dengan kata maaf. Kamu fikir aku apa hah? Hatiku ini batu? Setelah apa yang kamu lakukan terhadapku, setelah segala keburukan kau torehkan dalam kehidupan rumah tangga kita, semudah itukah mengharap maaaf dariku? Jangan mimpi!&
Semalaman aku berfikir keras tentang keputusanku. Mempertimbangkan dampak baik buruknya terutama bagi anak-anak. Bila aku bercerai, ototmatis, Dinta dan danis menjadi anak yang hidup tanpa ayah. Akan tetapi, bila terus bersama Mas Agam, tidak bisa dipungkiri hatiku menolak. Lagipula bukankah selama ini, anak-anakku memang sudah hidup seperti tidak punya sosok ayah? Kupandangi wajah polos mereka berdua saat tengah terlelap. Ada rasa sakit yang menusuk dalam relung hati ini. Mengingat betapa nasib mereka berdua tidak seberuntung teman-temannya yang memiliki keluarga dan orangtua yang harmonis.Di sepertiga malam, kugelar sajadah. Memohon petunjuk yang terbaik yang harus kulakukan. Karena keputusan kita bisa saja salah, bila tanpa meminta diberi jalan oleh Yang Maha Kuasa***Pagi hari, aku kembali ke rumah. sembari mengecek, apakah Mas Ag
Rupanya, keberadaan Mas Agam di sini bukan sebuah niat tulus ingin menjalin kembali biduk rumah tangga kami yang hampir hancur, tapi karena, lagi-lagi demi keluarga tercinta. Baiklah kalau begitu. Kamu jual, aku beli, Mas.Setelah sekedar menemani anak-anak makan siang dan bermain, aku kembali ke rumah.Hari ini, kebetulan ada janji dengan reseller yang bernaung pada memberku untuk mengadakan kopi darat di sebuah rumah makan. Mereka berjumlah tiga puluh orang, sekaligus acara tasyakuran bagi pribadiku karena diberikan kemudahan dalam menjalankan bisnis ini. Dan keberhasilanku tentunya tak lepas dari peran mereka, para reseller yang dengan semangat memasarkan produk. Acara akan dimulai jam dua siang. Salah satu dari mereka yang secara hubungan pertemanan paling dekat denganku, sudah kuminta untuk memesan menu ikan bakar terlebih dahulu.Masuk ke dalam rumah, kulihat Mas Agam sedang tidur di
Di tempat pertemuan dengan para reseller, sudah pasti kami berfoto-foto bersama. Hal itu menjadikanku ingin mengunggah ke story whatsapp. Kutulis caption, ‘Kalian luar biasa. Tanpa kalian aku bukan siapa-siapa… emot love.Sebuah notifikasi masuk membalas story yang kupajang. Dari Mas Agam.[Dek, kamu dimana?][Mas susul, ya? Pakai motor kamu.]Hanya kubaca tanpa kubalas. Lanjut acara sharing dengan para reseller. Seperti menemukan dunia baru saat berjumpa muka dengan mereka. Benar kata pepatah, kita harus sakit dulu agak merasakan nikmatnya sembuh. Dalam hati bertekad, aku harus lepas dari Agam dan keluarganya. Namun, akan kugunakan cara cantik untuk membalas sakit hatiku.Sebuah notifikasi kembali berbunyi. Kali ini dari Pak Irsya.
Sepanjang makan, Mas Agam tidak bicara apa-apa lagi. Syukurlah, punya rasa malu juga ternyata. Aku tidak ikut makan, hanya menyuapi Danis saja.“Bu, akhir bulan ini, jadi ke Bali kan?” Tanya Dinta. Aku tersenyum dan mengangguk. Mas Agam mengernyit.“Kamu mau ke Bali, mau ngapain, Dek?” Ini orang, kasih pertanyaan kok ya yang bodoh sekali.“Mau cari dukun santet, Mas.” Jawabku asal. Pertanyaan yang tidak bermutu, ya dijawabnya harus dengan jawaban yang konyol juga. Mas Agam langsung diam tak bertanya lagi. Takut aku nyantet dia kali.“Kakak pengin piknik ke Bali Ya?” Dinta diam tak menjawab pertanyaan ayahnya.“Bareng sama Aira sekalian ya?” Aku melotot. Kemudian membanting sendok. Muka Mas Agam menciut. Seharusnya, sebuah kemarahan dan pertengkaran suami istri jangan dilakukan di