Sepanjang makan, Mas Agam tidak bicara apa-apa lagi. Syukurlah, punya rasa malu juga ternyata. Aku tidak ikut makan, hanya menyuapi Danis saja.“Bu, akhir bulan ini, jadi ke Bali kan?” Tanya Dinta. Aku tersenyum dan mengangguk. Mas Agam mengernyit.“Kamu mau ke Bali, mau ngapain, Dek?” Ini orang, kasih pertanyaan kok ya yang bodoh sekali.“Mau cari dukun santet, Mas.” Jawabku asal. Pertanyaan yang tidak bermutu, ya dijawabnya harus dengan jawaban yang konyol juga. Mas Agam langsung diam tak bertanya lagi. Takut aku nyantet dia kali.“Kakak pengin piknik ke Bali Ya?” Dinta diam tak menjawab pertanyaan ayahnya.“Bareng sama Aira sekalian ya?” Aku melotot. Kemudian membanting sendok. Muka Mas Agam menciut. Seharusnya, sebuah kemarahan dan pertengkaran suami istri jangan dilakukan di
Pagi hari, aku menjalani aktivitas seperti biasa. Ada yang berbeda dari Mas Agam. Setelah bangun tidur, ia membersihkan seluruh rumah serta halaman. Aku abai saja. Kebaikan yang ia lakukan sekarang, tidak sebanding dengan penderitaan yang ia torehkan padaku.Untuk masak sehari-hari, bila tidak ada jadwal Mbak Wati bersih-bersih di rumah, maka kulakukan sendiri. Sarapan pagi berupa nasi, urab, gorengan dan sambal telah tersedia di meja makan. Begitupun dengan dengan teh manis. Anak-anak yang sedang menonton televisi segera kupanggil untuk mandi. Selesai mandi, kudandani mereka berdua yang hendak pergi ke sekolah. Begitulah kebiasaan kami. Sarapan dilakukan bila kami semua sudah mandi dan berdandan rapi.Selama ayah mereka di rumah, Dinta dan Danis sama sekali tidak tertarik untuk ngobrol. Mas Agam masuk dari pintu samping yang terletak di ruang dapur. Ia sepertinya sudah mencuci tangan, dan langsung bergabung bersama kami.
Hatiku sudah lelah dengan keadaan rumah tangga kami. Hari ini, aku sengaja tidak berangkat sekolah. Rencananya, akan menemui salah satu teman yang bekerja di Pengadilan Agama. Kepadanya, diriku akan meminta saran, langkah apa yang harus kuambil bila ingin mengajukan gugatan cerai terhadapnya. Mengingat, suamiku bukanlah warga biasa. Biarlah, aku yang membiayai semua proses perceraian kami, daripada hubungan ini semakin tidak jelas.Saat ini, aku masih di rumah Ibu. Merekap keperluan belanja produk kecantikan untuk seminggu ke depan. Produk kecantikan yang kujual, laris manis di pasaran, sehingga, aku harus rajin-rajin mengecek stok persediaan, agar pelangganku tidak sampai kekurangan barang. Di zaman yang serba canggih seperti sekarang ini, semuanya jadi lebih mudah. Untuk urusan belanja, aku tinggal transfer sejumlah barang yang akan kubeli, dan menunggu hingga pesananku datang.Setelah semuanya beres, aku pulang ke rumah,
Ditatap tajam oleh wanita terhormat, versi suamiku, aku balik melotot sambil berkacak pinggang.“Apa? Hah? Tidak terima?” Tantangku yang kini sudah berpindah posisi menghadap mereka berdua. Pengunjung warung makan, sontak melihat ke arah kami semua. Beberapa yang datang dengan teman atau pasangan, terdengar berbisik-bisik.“Dasar wanita tidak berpendidikan. Bar bar sekali sikap kamu.” Umpatnya sambil mengambil tissue untuk mengelap wajah pria selingkuhannya yang sudah basah kuyup. Mas Agam terlihat enggan dibersihkan olehnya. Ia segera menepis tangan wanita itu.Aku tertawa terbahak-bahak. Sejenak menoleh pada yang punya warung. Entahlah, orang itu yang punya atau pelayan.“Maaf, Ibu. Saya membuat kacau sejenak. Mohon ijin. Bila nantinya Ibu merasa dirugikan, bisa minta ganti rugi pada saya.” Ucapku sopan, pad
Berita memalukan yang barusan aku dengar, menjadi alasan kuat untukku mengajukan gugatan cerai. Bukti kuat pengajuan gugatan cerai sudah jelas nyata. Salah satu poin PNS bisa mengajukan gugatan cerai salah satunya adalah terbukti berselingkuh. Lagipula, yang PNS Mas Agam, bukan aku. Jadi, tidak perlu membuat ijin dari atasan. Itulah mengapa, Bapaknya Mas Agam waktu itu menyarankan agar dari pihakku yang mengajukan gugatan. Karena, prosesnya lebih mudah.Setelah mengakhiri percakapan di telepon dengan Pak Irsya, aku ijin pulang lebih dulu. Danis, ah kasihannya anak itu. Harus banyak kehilangan waktu bersamaku. Meski berada pada satu sekolah, tapi karena terkadang ada acara mendadak, dia harus diantar jemput Mbahnya. Begitupun Dinta, setiap hari setelah pulang sekolah, seringnya pulang ke rumah Ibu. Aku janji, setelah masalah dengan ayah mereka selesai, akan kuluangkan waktu lebih banyak untuk mereka berdua. Pabrik keripik, biarlah Bapa
“Bagaimana, Nia? Ibu harap, kamu bisa melewati ujian ini dengan baik ya? Semoga setelah ini, kamu, Agam serta anak-anak, akan hidup bahagia.” Kepalaku sudah berdenyut tidak karuan.“Kenapa tidak minta sama selingkuhannya saja, Bu? Kenapa harus aku?” Protesku lirih. Mereka saling berpandangan.“Kalau ngomong yang bener dong, Nia! Kamu kan yang istrinya? Anti kan Cuma selingan Agam saja, ya kamu-lah yang ikut memikirkan semua masalah yang menimpa adikku. Sebagai istri, seharusnya kamu sudah siap mendampingi suami apapun kondisinya.”“Mbak Eka!” Bentakku mulai hilang kendali. Bicara dengan mereka, percuma pakai kata-kata yang sopan. Tetap saja kan, aku yang salah. “Dalam hal ini, aku yang paling tersakiti. Harusnya, kalian tidak pernah datang untuk meminta bantuanku, apalagi uang dalam jumlah banyak. Asal kalian tahu saja ya, aku
“ Ya kalau begitu, mobilnya dijual bisa kan Pak? ” Pertanyaan yang lebih mirip permintaan dari Bapak Mas Agam membuat aku dan Bapak saling berpandangan.Bapak menghela napas panjang. Aku kasihan padanya, harus terlibat dengan urusanku yang rumit. Namun, mau bagaimana lagi? Pada siapa aku akan bersandar, bila tidak pada dirinya?“ Mobil siapa yang Bapak maksud? “ Tanya Bapak memastikan dirinya tidak salah dengar dengan permintaan konyol dari sang besan.“ Mobil Nia lah Pak Rahman. “ Pak Hanif menjawab tegas.“ Itu mobil Nia, saya belikan untuk dia mengantar barang, bila mobilnya dijual, Nia mau pergi pakai apa? ““ Pak Rahman, tidak punya uang tiga puluh juta? “ Dengan terus terang tanp
Siang ini, Bapak pergi ke rumah Mas Agam. Aku menanti dengan penuh harap dan cemas. Sepanjang Bapak pergi, hati sungguh tidak tenang. Kerjaku hanya mondar mandir tidak karuan.Semoga keberangkatan Bapak ke sana tidak sia-sia, ya Allah. Sungguh, diri ini sudah begitu lelah. Lelah dengan pertanyaan tetangga dan kerabat, lelah jika harus bertengkar dengan keluarga Mas Agam, dan lelah bila harus lagi-lagi tahu, pria yang masih suamiku berhubungan dengan perempuan lain.Hari sudah beranjak sore tapi, Bapak belum juga pulang. Aku semakin cemas. Jangan-jangan, di rumah itu terjadi debat kusir seperti kemarin. Setelah ini, aku tidak ingin lagi berhubungan dengan mereka.Rasulallah SAW bersabda, “ Saya menjanjikan rumah di pinggiran surga bagi orang-orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar “.