Share

10 - Pertemuan yang Sempurna

SUAMI WARISAN

10 – Pertemuan yang Sempurna

Senja kala turun perlahan, untaian kidung dari kicauan burung-burung yang terbang rendah dari satu pohon ke pohon lain membelai sukma.

Mata Rengganis memandang berkeliling. Secara teknis, ini pertama kalinya ia melangkahkan kaki di rumah ini, tapi sebenarnya dia sudah pernah ke sini.

Dua kali malah.

Tapi setiap kali suasananya terasa berbeda; yang pertama terasa mencekam, yang kedua terasa membingungkan dan yang sekarang, dia berharap semuanya berjalan lancar kali ini.

Rengganis mengalihkan pandang dari suasana di luar teras saat langkah-langkah kaki terdengar mendekat. Punggungnya menegang, ditariknya tulang belakangnya hingga berdiri tegak.

Rengganis bersiap-siap akan kedatangan orang itu.

“Nyai.”

Panggilan itu terdengar akrab di telinganya. Ini hari ketiga pengulangan waktu tanggal 5. Sekali lagi lelaki ini membawanya memutar waktu, ia akan memiting lehernya, menggunakan kuda-kuda Pencak Silat yang pernah ia pelajari dulu sewaktu SMP.

Masa bodoh dengan tubuh kekar lelaki itu. Dia juga punya lemak yang tak kalah banyaknya. Dia punya kekuatan yang akan muncul kalau dia ingin mengeluarkannya. Selama ini Rengganis hanya terlalu malas untuk membuang energi.

“Wilujeng Sumping, Nyai…”

Lagi-lagi sapaan itu.

Rengganis memutar tubuhnya dan berhadapan dengan lelaki yang – untuk kesekian kalinya – ia lupakan namanya.

“Aku tau kamu. Aku masih ingat wajahmu. Tapi sekali lagi kamu membuatku lupa siapa namamu.” ujar Rengganis, dia bergumam pelan, “sialan…”

Lelaki tampan nan mempesona itu tersenyum. Dia berjalan mendekat, terlihat luwes, seolah ia meluncur bukannya berjalan. Tubuhnya yang kekar tidak membuatnya kaku, sebaliknya keanggunan dan wibawa terpancar jelas dari setiap langkahnya.

Lelaki ini punya aura magis yang tak terbantahkan.

Rengganis tercengang.

“Maafkan saya, tapi saya ingin—”

“Pertemuan yang sempurna.” Rengganis meneruskan kalimatnya.

Lelaki itu senyum, matanya berkilat, dia menjawab pendek, “Ya.”

“Apa ini sudah cukup sempurna untukmu?” tanya Rengganis.

Mata lelaki itu bergerak perlahan, mengamati Rengganis sejenak kemudian senja sebagai latar belakang suasana, gemericik suara air dan kicauan burung yang pulang ke kandang.

“Hm, hampir sempurna…” bisiknya. Suaranya sedikit mengambang dengan sorot mata yang penuh nostalgia.

Rengganis mendengus, dia sedang tidak ingin suasana yang mellow. “Oke, jangan diulangi lagi harinya …. aku capek.”

“Baik, Nyai.”

“Kalau begitu, jelaskan.”

“Mulai dari mana?”

“Dari awal.”

“Yang mana? Awal kehidupan?”

Rengganis memutar matanya, “Awal kenapa kamu bisa jadi bagian dari warisan Tante Nirmala. Siapa kamu sebenarnya. Apa yang terjadi. Apa maksudnya ini? Mengapa ini terjadi padaku?!”

Tadinya Rengganis tidak ingin menumpahkan semuanya sekaligus, tapi rasanya dia bisa meledak kalau terus-terusan diputar-putar waktunya hanya karena lelaki perfeksionis yang ingin ‘pertemuan yang sempurna’.

“Satu-satu, Nyai. Saya bingung harus menjawab yang mana dulu.”

“Mana aja, yang penting langsung dijawab! Jangan kaya kemarin, eh …. tadi! Eh …. Ya Tuhan, aku udah enggak ngerti lagi sama konsep waktu!” Rengganis menghentakkan kakinya di lantai teras.

“Sabar, Nyai. Jangan marah-marah, nanti yang lainnya terganggu.” Lelaki itu mengerling ke balik punggungnya, terlihat waspada. Seakan pertemuan mereka ini rahasia.

“Yang lainnya siapa?” tanya Rengganis heran, dia tidak melihat ada seorang pun selain mereka di sini. Matanya ikut melirik pada pintu yang terbuka di belakang si lelaki perfeksionis tukang putar waktu itu.

Lelaki itu kembali menoleh pada Rengganis, raut mukanya terlihat seperti permukaan danau yang tenang, “Baiklah, saya akan memperkenalkan diri dahulu …. Saya Narendra dari Pajajaran.” Telapak tangannya menempel di dadanya saat ia mengucapkan namanya dengan takzim.

Rengganis tau kalau dia sudah berkali-kali mendengar nama ini. Sudah pula menjalani peristiwa perkenalan ini. Tapi setiap kali dia mendengar nama itu, hatinya berdesir tidak karuan.

Dia seperti ABG yang sedang kasmaran.

“Dan sekali lagi saya ingatkan, rumah ini diwariskan beserta isi di dalamnya, termasuk saya.” tambah Narendra dari Pajajaran.

Alis Rengganis berkedut. Sejak kapan manusia diwariskan?

“Nyai Rengganis…”

Saat namanya disebut dengan lembut oleh Narendra, Rengganis hampir saja semaput. Kakinya serasa tak menjejak tanah. Sial, lelaki ini memancarkan feromon yang cukup kuat hingga ia mabuk kepayang.

“Kita sudah suami-istri, tidak usah malu-malu. Saya sudah menunggu kedatanganmu.”

“U-untuk apa?” suara Rengganis tercekat di tenggorokannya.

“Untuk ini ….” Narendra mendekat dan mengulurkan tangannya. Ujung jarinya mengangkat dagu Rengganis hingga perempuan itu mendongak ke arahnya.

Narendra tersenyum, memandang mata Rengganis, memerangkapnya dalam pesona sorot matanya yang tajam sebelum ia menutup jarak di antara mereka.

Bibirnya mengecup, mata Rengganis perlahan menutup. Sebelah lengan Narendra menarik pinggangnya, saat lelaki itu memperdalam ciumannya, Rengganis serasa terbang ke awan.

*

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
ini ngasih makannya pake nafsu..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status