Alya menyeka wajahnya yang basah karena kopi, ibu mertuanya memang sudah sangat keterlaluan. Sementara, Gibran yang sebagai suaminya hanya diam, suami macam apa. Melihat istrinya diperlukan buruk hanya menonton.
"Kamu mau bunuh anak saya, iya." Ratna menjambak rambut panjang Alya.
"Ma, sudah mungkin Alya .... "
"Diam kamu, istri seperti dia tidak perlu kamu bela. Sudah mandul, tidak tahu diri, seharusnya kamu berterima kasih karena Gibran masih mempertahankan kamu. Coba kalau Gibran menceraikanmu, siapa yang mau sama wanita mandul sepertimu!" bentak Ratna, lalu melepas jambakannya dengan kasar.
"Sekarang kamu selesaikan masakanmu, kami sudah lapar," titah Ratna.
"Suruh saja menantu kesayangannya, Mama untuk masak, aku bukan pembantu." Alya melenggang pergi meninggalkan ruang makan. Hatinya terlanjur sakit mendengar ucapan demi ucapan pedas ibu mertuanya itu.
"Alya, berani kamu ... Alya mau kemana kamu, Alya!" teriak Ratna, tetapi Alya sama sekali tidak meresponnya, ia berlari masuk ke dalam kamar.
Melihat Alya pergi, Gibran beranjak menyusul sang istri, entah kenapa ia ikut merasa sakit saat ibunya menghina istrinya itu. Setibanya di kamar, terlihat Alya telah selesai mandi. Gibran berjalan menghampiri istrinya yang tengah mengeringkan rambut dengan handuk.
"Alya, aku .... "
"Kenapa? Mau nyalahin aku juga. Memang benar tadi aku yang buat kopi, Safira yang meminta dan dia nggak bilang kopi itu untuk kamu, makanya aku kasih bubuk cabai, untuk menghukum mulutnya." Alya memotong ucapan Gibran.
Gibran menghela napas. "Maaf, tapi tolong jangan berbuat seperti itu lagi. Karena apa yang kamu lakukan, pasti ujung-ujungnya kamu yang tersakiti. Kamu tahu kan sifat mama seperti apa. Aku tidak ingin .... "
"Jelas tersakiti, karena punya suami nggak bisa bela istrinya sendiri," ujar Alya. Sontak wajah Gibran memerah mendengar hal itu.
"Lebih baik hidup menjanda, dari pada bersuami, tapi seperti tidak punya suami." Alya beranjak dari hadapan suaminya. Namun dengan kasar Gibran memegang lengan istrinya.
"Alya, jaga ucapan kamu. Apa kamu .... "
"Jangan kasar jadi suami, dulu kamu tidak seperti ini, Mas. Dulu kamu orangnya penyayang dan penyabar, tapi sekarang ... terlebih setelah menikah lagi, kamu berubah." Alya melepaskan lengannya yang Gibran pegang. Setelah itu ia beranjak masuk ke dalam kamar mandi.
Gibran mengusap wajahnya dengan kasar, ia tidak pernah berpikir jika rumah tangganya akan seperti ini. Gibran sangat mencintai Alya, tapi entah kenapa ia merasa jika istrinya itu berubah, atau dirinya yang berubah. Selang lima menit, Alya keluar dari kamar mandi, ia bergegas bersiap-siap untuk pergi ke dokter kandungan.
"Kamu rapi begini mau kemana?" tanya Gibran.
"Ada janji sama temen," jawab Alya.
"Janji apa," sahut Gibran, ia merasa penasaran dengan apa yang akan istrinya itu lakukan.
"Urusan wanita, Mas urus saja istri mudamu itu." Alya beranjak keluar dan meninggalkan suaminya yang masih berdiri mematung.
Setibanya di bawah, terlihat ibu mertua serta madunya itu tengah duduk santai di sofa. Melihat Alya turun dengan pakaian rapi, bergegas Ratna dan Safira bangkit, keduanya berjalan menghasilkan Alya.
"Mau kemana, rumah masih berantakan seperti ini mau pergi. Dasar menantu tidak tahu diri," ujar Ratna.
"Kan ada menantu kesayangan, Mama. Suruh aja dia yang beresin rumah, lagi pula dia kan numpang," sahut Alya. Hal itu membuat Ratna dan Safira merasa geram.
Plak, satu tamparan mendarat di pipi Alya. "Berani melawan kamu! Safira tidak pantas melakukan pekerjaan rumah seperti ini. Yang lebih pantas itu kamu."
"Terima kasih, Ma. Atas tamparannya." Alya berlalu dari hadapan ibu mertua serta madunya. Safira merasa kesal dengan sikap Alya yang selalu melawan.
***
Hanya butuh lima puluh menit, kini Alya sudah tiba di rumah sakit. Cukup lama Alya menunggu, sekitar tiga puluh menit, dokter baru selesai memeriksa kandungan Alya.
"Kandungannya sehat, jangan terlalu banyak pikiran ya, Bu. Karena bisa mengganggu kesehatan, Ibu serta janin yang ada di kandungan," jelas Dokter Lusi.
"Gimana nggak banyak pikiran, kalau tinggal bareng mertua seperti itu," batin Alya.
"Baik, Dok. Terima kasih," ucap Alya.
"Ini resep obat dan vitaminnya, jangan lupa diminum ya." Dokter Lusi menyerahkan secarik kertas yang berisi resep.
"Terima kasih, Dok. Kalau begitu saya permisi dulu." Alya menerima kertas tersebut dan beranjak keluar dari ruangan itu.
Setelah menebus obat, Alya memilih berkunjung ke rumah orang tuanya. Rasanya malas jika pulang, yang ia lihat hanya orang-orang yang tak memiliki akhlak. Alya melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Satu jam kemudian, Alya tiba di rumah orang tuanya. Rumah dengan tiga lantai, dengan cat berwarna putih. Bukan mewah dan megah saja, bahkan sudah seperti istana. Setelah memarkirkan mobilnya, Alya beranjak keluar. Para bodyguard yang berjaga menunduk hormat menyambut kedatangan putri majikannya.
Setibanya di dalam, rumah nampak sepi, hanya ada para maid yang tengah bekerja. Melihat putri majikannya datang, seorang maid berjalan menghampiri.
"Mama sama papa mana, kok sepi?" tanya Alya.
"Nyonya besar dan tuan besar sedang pergi, Non," jawabnya dengan sopan dan hormat.
"Padahal aku kangen sama mereka, tapi kedatanganku tidak diwaktu yang tepat," batin Alya.
"Ya sudah, tolong nanti bilang sama mereka, kalau aku ke sini ya. Sekarang aku langsung mau pulang," ujar Alya.
"Baik, Non," sahutnya. Setelah itu Alya beranjak keluar dari rumah kedua orang tuanya.
Alya melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, terpaksa ia memilih untuk pulang, ingin bertemu Linda dan Nita, tapi mereka saat ini tengah sibuk. Alya harus menyiapkan mental, karena setibanya di rumah, pasti madu dan ibu mertuanya tidak akan tinggal diam.
Setibanya di rumah, Alya bergegas memarkirkan mobilnya, sebelum keluar, ia menghembuskan napasnya. Alya keluar dari mobil, saat hendak masuk ke dalam rumah, ia melihat tukang es cendol. Entah kenapa ia seperti ngiler, mungkin bawaan bayi. Alya pun beranjak menghampiri tukang es cendol tersebut.
"Es cendolnya satu gelas ya, Bang," ucap Alya.
"Baik, Neng," jawab tukang cendol itu. Dengan segera es cendol pesanan Alya dibuat.
Samar-samar Alya mendengar suara ibu mertuanya, dan benar saja. Ibu mertuanya dan para ibu-ibu tengah bergosip. Dan yang menjadi topik gosip mereka adalah dirinya, Alya mengelus dada melihat kelakuan ibu mertuanya itu. Benar-benar pedas lidah ibu mertuanya itu.
"Alya itu istri pemal*s, mandul, nggak tahu diri, tidak punya sopan santun. Pokoknya Alya itu menantu nggak bener, sukanya ngabisin uang Gibran," ungkap Ratna. Seketika para ibu-ibu itu percaya.
"Istri seperti itu mending diceraikan saja, buat apa punya istri seperti itu," sahut ibu berambut sebahu.
"Iya, mending ceraikan saja, wanita di dunia ini bukan hanya dia," timpal ibu berambut keriting.
"Iya, aku juga sudah nyuruh Gibran untuk menceraikannya, tapi katanya kasihan," sahut Ratna.
Alya mengelus dada, bukan hanya di rumah, tetapi di luar juga sama. Ibu mertuanya memang tukang gosip, setelah pesanan jadi, Alya segera membayar dan beranjak masuk ke dalam rumah. Setibanya di rumah, Alya beranjak menuju dapur untuk mengambil gelas.
"Alya, di mana kamu!" teriak Ratna, sontak Alya tersedak mendengar teriakan ibu mertuanya.
"Kebetulan kamu di sini, buatkan saya jus buah naga. Saya haus, sekalian buat Safira," titah Ratna, seraya meletakkan satu buah naga berukuran sedang.
Alya menghembuskan napasnya, ia tersenyum, kali ini Alya akan memberi pelajaran untuk ibu mertua serta madunya. Dengan cepat Alya membuat jus buah naga seperti yang mertuanya perintah. Setelah selesai, tak lupa ia menaruh gilingan cabai.
"Rasain, mumpung mas Gibran nggak ada di rumah," ujar Alya seraya menuangkan jus tersebut ke dalam gelas.
Setelah selesai, Alya membawa dua gelas jus melon itu ke ruang tengah. Ia tersenyum, seraya membayangkan bagaimana reaksi ibu mertua serta Safira saat meminum jus tersebut. Bukan rasa seger melainkan rasa pedas yang mungkin levelnya tak terhingga.
"Ini jusnya." Alya meletakkan jus tersebut di atas meja. Tanpa mengucapkan terima kasih, Ratna dan Safira segera meminumnya.
Byur, seketika mereka menyemburkan jus yang baru saja masuk ke dalam mulut. Bahkan detik itu juga Ratna dan Safira berlari mengambil air putih lalu menegaknya. Alya tersenyum melihat ibu mertua serta madunya kepedesan, wajahnya seketika memerah.
"Alya! Kamu kasih apa di jus ini!" teriak Ratna penuh dengan amarah.
"Aku kasih gilingan cabai. Soalnya, Mama kalau ngomong suka nyakitin hati orang lain, jadi aku ....
"Alya." Suara bariton dari ruang tengah membuat Alya menoleh ke arah sumber suara tersebut. Begitu juga dengan Ratna dan Safira.
________Itu baru namanya minum jus cabai, enak nggak????? Memang harus dikasih pelajaran Alya. Wah jangan-jangan itu suara Gibran, tapi kok tiba-tiba Gibran ada di rumah.Safira tersenyum saat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Ratna. Sementara Alya masih diam, ia berusaha untuk bersikap tenang. Gibran berjalan menghampiri mereka Alya dengan tatapan mata yang tajam."Jadi ini yang kamu lakukan di belakang aku iya?" tanya Gibran penuh dengan penekanan.Alya terdiam sejenak. "Memangnya kenapa? Mereka pantas mendapatkan ini. Aku bukan wanita lemah yang seenaknya diinjak-injak begitu saja."Plak, satu tamparan mendarat di pipi mulus Alya. "Sekarang kamu berubah, di mana Alya yang dulu."Alya mengusap pipinya yang terasa panas. "Aku berubah juga gara-gara kamu, dan sepertinya bukan aku saja yang berubah, tapi kamu juga. Setelah kamu menikahi sahabat tidak tahu diri itu, kamu berubah."Gibran kembali mengangkat tangannya kembali, dan hendak menampar pipi Alya kembali. Namun niatnya terhenti saat melihat sorot mata istrinya yang terlihat seperti menahan rasa sakit. Gibran sadar, jika keputusannya unt
Dengan cepat Alya mengambil amplop tersebut, ia tidak ingin Gibran tahu jika dirinya tengah hamil. Sementara itu, Gibran menatap istrinya dengan penuh selidik, ada rasa curiga jika sang istri menyembunyikan sesuatu darinya."Amplop apa itu?" tanya Gibran."Ini bukan punyaku, tapi punya Linda. Kemarin dia nitip," jawab Alya. Ia sengaja berbohong agar Gibran tidak mencurigainya.Gibran hanya mengangguk, setelah itu ia beranjak meninggalkan kamar istrinya. Sementara itu, Alya bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini Alya akan pergi ke rumah orang tuanya untuk mengurus masalah yang kini menimpanya.Dua puluh menit kemudian, Alya sudah siap untuk pergi. Wanita berambut panjang itu beranjak keluar dari kamar, ia melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Setibanya di bawah terlihat Ratna dan Safira tengah ribut di dapur, sementara Gibran sudah berangkat ke kantor."Heh mau kemana kamu?" tanya Rat
Penyesalan memang selalu datang terlambat, karena jika diawal itu namanya pendaftaran. Kini Gibran hanya bisa meratapi nasibnya, istri pergi, saham yang sudah kurang lebih satu tahun ia kelola kini diambil kembali. Rasanya Gibran ingin menangis, mungkin jika hanya saham yang diambil, ia masih bisa terima. Namun, Alya juga ikut pergi, terlebih sang istri dalam keadaan hamil.Selama setahun menantikan buah hati, setelah terwujud, justru Gibran tidak bisa memilikinya, karena sang istri memilih untuk pergi. Andai ia tidak menuruti keinginan ibunya, mungkin kejadiannya tidak akan seperti sekarang ini. Mungkin saat ini Gibran tengah berbahagia karena kehamilan Alya."Gibran, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanya Ratna.Gibran menggelengkan kepalanya. "Nggak tahu, Ma. Alya sudah pergi ninggalin aku."Ratna menghembuskan napasnya. "Untuk apa kamu memikirkan dia, biarkan saja dia pergi. Yang perlu kamu pikirkan adalah, bagaimana caranya kit
Kini Gibran sudah ada di kantor, ia pun langsung mengecek ke gudang. Seketika tubuhnya luruh ke lantai, semua barang-barang habis dilalap oleh dijago merah. Tidak ada yang tersisa sedikitpun, entah berapa kerugian yang harus Gibran tangung."Bisa-bisa perusahaan ini bangkrut," ucap salah satu pegawainya."Iya, entah berapa kerugian yang harus, pak Gibran tanggung," sahut yang lain."Iya, malah bisa-bisa kita nggak gajian, untuk menutupi ini semua," timpal yang lain lagi."Hus, jangan keras-keras. Kalau, pak Gibran denger bagaimana, dia kan lagi berduka," sergah yang lain. Sontak mereka diam.Setelah itu Gibran bangkit, ia menatap semua pegawainya yang masih berkumpul di depan gudang. Setelah itu Gibran menyuruh mereka untuk kembali bekerja, meski terlihat jika mereka tidak memiliki semangat untuk kerja."Anton, kapan kejadiannya?" tanya Gibran."Satu jam sebelum para karyawan datang, Pak," jaw
Keesokan harinya, Gibran datang ke rumah orang tua Alya, berharap istrinya itu mau mencabut gugatannya itu. Setibanya di sana, Gibran memarkirkan mobilnya, setelah itu ia pun turun. Pria dengan balutan kemeja berwarna merah maroon mengedarkan pandangannya.Rumah nampak sepi, bahkan jika dilihat rumah sudah lama tak berpenghuni. Halaman kotor, banyak tumbuh rumput liar. Kondisi rumah juga tak terawat, semenjak menikah dengan Alya, ia memang jarang ke mertuanya itu. Mungkinkah jika mereka pindah."Kenapa rumahnya sepi, apa mereka pindah. Tapi rumah ini sepertinya sudah lama tidak berpenghuni, lalu Alya kemana," gumam Gibran. Ia mendesah kecewa, sudah jauh-jauh datang, tapi hasilnya nihil."Huft, nomor Alya nggak aktif lagi," gumamnya, seraya menelpon nomor istrinya.Hampir satu jam Gibran menunggu, tapi hasilnya nihil. Lelah menunggu, akhirnya Gibran memutuskan untuk pulang, ia tidak tahu harus mencari kemana istrinya itu. Namun, tib
Seminggu telah berlalu, sejak pertemuannya dengan Alya di resto waktu itu. Kini Gibran mulai berpikir jika anak yang Alya kandung bukanlah anaknya. Rasanya sulit untuk menerima kenyataan itu, dan mungkin Gibran juga sudah termakan oleh perkataan Safira.Kini Gibran tidak peduli lagi dengan perceraian itu, bahkan dirinya tidak akan mempersulit jalannya sidang nanti. Saat ini Gibran memilih fokus pada perusahaannya yang terancam bangkrut. Gibran sudah berusaha untuk mencari bantuan, tapi hasilnya tetap sama.Sudah lebih dari dua puluh perusahaan, yang ia ajak untuk kerja sama, agar bisa menyelamatkan perusahaan miliknya. Namun hanya penolakan yang Gibran terima, rasanya ia seperti kehilangan harga diri. Hendak meminjam uang ke bank, tapi hasilnya juga sama, tidak ada bank yang mau meminjamkan uang.Gibran tidak tahu harus berbuat apa lagi, otaknya berasa ingin pecah. Terlebih saat melihat kelakuan Safira dan ibunya, yang seperti tidak memiliki pe
Kini Alya sudah ada di rumah sakit, Yulia terus mondar-mandir di depan ruangan di mana putrinya berada. Khawatir, panik, dan takut menjadi satu, Yulia hanya bisa berdo'a agar Alya baik-baik saja. Selang beberapa menit, Gunawan datang, pria berkemeja putih itu melangkah tergesa-gesa menghampiri sang istri."Bagaimana keadaan Alya, Ma?" tanya Gunawan. Raut wajahnya terlihat begitu khawatir."Mama nggak tahu, Pa. Dokter belum keluar," jawab Yulia dengan air mata yang terus menetes."Kita berdo'a saja, semoga putri kita baik-baik saja." Gunawan merengkuh tubuh istrinya agar merasa lebih tenang.Selang sepuluh menit, pintu ruangan terbuka, seorang dokter keluar, melihat itu Gunawan dan Yulia bergegas bangkit dan berjalan menghampiri dokter tersebut. Mereka berharap semoga keadaan Alya baik-baik saja."Bagaimana keadaan putri kami, Dok?" tanya Gunawan."Untuk saat ini kondisinya belum stabil, dan luka yang dider
Hari demi hari telah berganti, bahkan bulan pun demikian. Proses perceraian antara Alya dan Gibran berjalan dengan lancar, Gibran sama sekali tidak mempersulit jalannya sidang. Dan sekarang mereka hanya tinggal menunggu sidang terakhir, di mana mereka akan benar-benar resmi bercerai.Sementara itu, Safira masih mendekam dipenjara, Gibran dan Ratna datang menjenguknya setiap tiga hari dalam seminggu. Gibran sempat kecewa karena Safira sudah mengaku jika dirinya yang telah menabrak Alya dengan sengaja.Namun semuanya sudah terjadi, Gibran berharap setelah keluar dari penjara Safira dapat berubah. Lalu, untuk Alya, sampai detik ini ia ingin sekali menemui Safira, tetapi kedua orang tuanya melarang. Alya boleh menemui Safira, setelah resmi bercerai dengan Gibran. Yulia dan Gunawan khawatir, kalau mereka akan memanfaatkan keadaan.Saat ini Alya tengah duduk santai di taman samping rumah. Tanaman bunga yang beraneka warna dan jenis, menambah in