Share

Empat

Tugasku di hari minggu, mengantar Zio dan Ara bermain di Mal. Mau nolak, kasihan sama Kak Kinan yang sedang hamil tua. Masa dia dengan perut buncitnya lari-larian di Mal untuk mengejar dua Kurcaci Kembarnya? Bisa melahirkan di tengah jalan mungkin.

Sementara Kak Arsen sebagai Ayah, sangat tidak berperi-keayahan. Masa hari minggu, malah ke luar kota. Bilangnya ada kerjaan. Awas saja kalau ketahuan main serong, kurajam dia. Eh, maksudnya minta Kak Kinan buat merajam asetnya.

Sumpah, kaki pegal seharian keliling Mal. Bermain di timezone pula. Ara dan Zio memang menyusahkan. Setelah mereka mengantuk, baru lah mereka mengajak pulang. Aku bagaikan Nanny yang tidak dibayar majikannya.

Sepertinya ada yang salah dengan mobilku. Aku keluar untuk mengecek. Sial! Ban mobil depanku kempes. Segera mengambil ponsel, aku mendial nomor Galih.

"Gal, jemput gue dong! Ini ban mobil gue bocor kayaknya," ujarku tanpa basa-basi.

"Posisi lo di mana?"

"Mal yang dekat rumahnya Kak Arsen."

"Tunggu sejam lagi ya?"

Aku melotot. "Apa? Lo gila ya?"

"Gue lagi ada pasien. Bentar lagi ya, Sayang?"

"Kalau sayang ke sini jemput!" sungutku kesal.

"Lagi nyari nafkah dulu, Sayang. Buat masa depan kita." Nada suara Galih terkesan santai.

"Halah! Udah gue naik taksi online aja, pusing gue sama si Kurcaci Kembar yang udah ngerengek ngajak pulang."

"Ya udah, take care, Honey. Kalau udah nyampe jangan lupa kabari calon imammu ini ya." Galih tertawa pelan. Harusnya aku ada di depannya, terus menyumpal mulutnya dengan batu krikil.

"Calon Imam ndasmu, Gal," dengkusku.

"Iya, iya. Raina Ishika Ryder mana pernah sih move on."

"Sialan! Okay, bye Biji Selasih." Aku mematikan sambungan secara sepihak.

Aku melongokkan kepala ke dalam mobil. Ara dan Zio tampak asik memainkan mainan yang baru mereka beli. "Bang Zio, Kak Ara, ayo keluar! Mobilnya bocor, kita naik taksi aja."

"Yah, Tein!" Keduanya kompak mengeluh. Ekspresi cemberut mereka tunjukan sambil keluar dari dalam mobil. Sekadar informasi, mereka memanggilku Tein alias Tante Rain.

"Makanya Tein, beli mobil tuh yang kayak Papi." Zio berbicara sinis.

"Besar, udah gitu bagus," sambung Ara.

Aku berdecak, "Iya, nanti Tein minta dibelikan mobil sama Papi kalian."

"Jangan dong!" seru Zio.

"Kok, jangan?"

"Tein kan udah besar masa masih minta uang?"

Skak mat! Kenapa mulut Zio menduplikat mulut Kak Arsen?

"Heh, kecil-kecil mulutnya udah dicabein. Emang dasar keturunan tukang nyinyir!"

"Nyinyir itu apa, Tein?" Ara memandangku dengan ekspresi polos.

"Nyinyir mobil," cetusku membuat plesetan. Harusnya yang benar itu nyetir mobil. Lumayan, membuat keponakan kembarku berpikir keras.

"Nyinyir mobil itu apa, Tein?" lagi-lagi Ara bertanya. Dia kalau belum puas, akan terus bertanya seperti itu.

"Bisa diem gak, sih? Tein pusing nih kalau kalian ngomong terus."

Muka Ara berubah suram. Dia memeluk boneka barbienya sambil memanyunkan bibir. "Tein jahat. Nanti kita bilangin Papi, ya Bang?"

"Iya, Ra."

"Ara mau pulang, Tein!" rengeknya mengguncang lenganku.

"Iya, sabar. Ini Tein mau pesan taksi online."

"Taksi online itu apa, Tein?"

"Diem!!!" teriakku.

"Hiks, Tein galak! Ara bilangin Papi biar dijewer nanti kayak Bang Zio."

Aku mengacak-ngacak rambut, frustasi. Bisa tua sebelum waktunya kalau aku mengasuh mereka setiap hari. Please, jangan sampai! Aku ini belum nikah.

Kuputuskan untuk tidak memesan taksi online dan memilih menaiki taksi biasa saja.

"Ya udah, ayo ke depan. Kita tunggu Taksi biasa aja," putusku, sudah terlajur jengkel sama kelakuan Ara dan Zio. Menggandeng lengan Zio dan Ara untuk keluar dari basement. Biarlah soal mobil, nanti minta diderek saja.

Menunggu taksi di trotoar jalan, Zio dan Ara sudah mencak-mencak sambil merengek minta pulang. Begini susahnya mengurus dua anak sekaligus.

Honda HR-V hitam berhenti tepat di sampingku, dahiku berkerut sambil menebak-nebak siapa gerangan orang yang parkir mobil sembarangan.

"Lagi ngapain?"

Demi apa?

Raka?

Jantungku langsung berdegub lebih kencang dari biasanya. Rasa hangat menjalar tiba-tiba. Aku menggigit bibir bawah, kosa kata dalam kepalaku mendadak hilang. Apalagi dia sekarang mengenakan seragam pilot. Gagah. Harus aku akui itu.

"Rain?"

Yaa Tuhan, dia memanggil namaku.

"Lagi nunggu taksi, Om. Om siapa?" tanya Zio tanpa rasa malu.

"Panggil Om Raka aja," jawabnya. "Mau pulang?" tanya dia lagi.

Aku mengangguk kecil.

"Ayo, aku antar!" ajaknya.

Menggeleng kecil. Tidak! Untuk apa, Rain? Taksi banyak. Jangan mau!

Tapi hatiku menginginkannya.

"Tein, ayo!!!"

Sial! Zio dan Ara malah memaksaku. Mereka kompak mengguncang-guncang lenganku dengan tidak sabaran.

Aku memejamkan mata, lantas melirik Raka sebentar lalu mengangguk.

"Bang Zio duduk di depan ya?" pintaku. Berharap Zio mau.

"Gak mau, mau di belakang sama Ara."

Kupasrah deh. Membuka pintu belakang untuk membantu Zio dan Ara naik serta menyimpan barang belanjaan. Meski ragu, aku tetap naik dan duduk di sebelah Raka.

Berusaha keras mengontrol keinginan untuk tidak menoleh ke arah Raka. Selama beberapa menit berlalu dengan keheningan yang mencekam.

"Apa kabar, Rain?"

Aku tertawa miris sambil menoleh, "setelah sekian lama, kamu tanya kabarku, Ka?"

"Memangnya salah?"

"Aku baik," jawabku ketus.

"Oh," cicitnya. "By the way, kalung itu masih kamu pakai? Aku pikir kamu sudah membuangnya."

"Apa?" dahiku berkerut. Lalu menyentuh kalung berwarna silver yang menjadi kado ulang tahunku yang ke-17 darinya. "Ini?"

Anggukan dari Raka membenarkan tebakanku. Aku tertawa geli sekaligus miris. "Ngapain dibuang? Sayang, kan? Lagian belinya pakai uang."

"Siapa tahu kamu kecewa sama aku dan nggak mau pake kalung itu lagi."

Aku kembali tertawa sinis, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjatuhkan air mata. "Iya, aku emang kecewa. Perempuan mana yang nggak sakit bila dicampakan gitu aja setelah sekian lama menunggu. Kamu pikir itu sebentar, Ka?"

Raka mematung.

Aku melirik dua keponakanku di belakang, mereka sudah terlelap. Entah kenapa emosiku langsung tersulut, mungkin kecewaku sudah mencapai batas maksimal.

"Tapi aku nggak sepicik itu. Kalung ini adalah kenangan berwujud yang kamu kasih buatku. Sekaligus pertanda kalau kita pernah bersama dalam satu waktu."

Raka bungkam. Rahangnya mengetat dan jemarinya mencengkram setir cukup kuat. Mencoba tidak peduli, aku memilih mengganti obrolan. "Oh iya, Diandra itu siapanya kamu?"

"Teman kerja," dia menjawab datar. "Dia pramugari di maskapaiku," imbuhnya.

"Yakin cuma teman? Bukan calon istri?"

"Bukan," lagi dia menjawab cepat dan singkat.

Aku mengukir senyum palsu, bagaimana bisa aku tersenyum dengan ketulusan jika di situasi saat ini hatiku sedang bergejolak. "Kalau bukan calon istri ngapain dibawa reuni? Itu tuh mengisyaratkan banget kalau kamu sama dia punya hubungan spesial."

"Lho, emang ada yang salah kalau aku ajak dia? Itu hak aku dong," selorohnya yang membuat hati berdenyut nyeri.

Aku diam sejenak, mengumpulkan segenap kekuatanku untuk melawan argumennya. "Iya sih terserah kamu. Dijadikan calon istri juga gak papa, Ka. Kamu sendiri, dia juga sendiri. Jadi kenapa tidak mencoba?"

"Kalau kamu?" Dia membungkamku dengan cepat. "Kamu, single?"

Aku memilih tidak menggubrisnya. Kembali menjadikan Diandra sebagai subjek obrolan kurasa lebih baik. Ah, bukan obrolan, lebih tepatnya sesi wawancara.

Oke, aku menyerah untuk membahas Diandra lagi. By the way, aku masih penasaran tentang Dinda. Ingin bertanya tapi gengsiku mengalahkan keinginanku. Seandainya tidak bertanya darimana aku akan mendapatkan jawaban. Ragu-ragu aku meliriknya, mata Raka memandang lurus jalanan di depan.

"Soal, Dinda?" aku mencicit gugup.

"Kenapa Dinda?" Raka malah bertanya balik lengkap dengan nada datarnya.

"Yang Fahmi bilang tentang rumah tangga kamu... Apa itu benar?"

Dia menoleh sekilas dengan tatap mata yang tak bisa aku artikan. "Ya," jawabnya singkat.

"Kenapa?"

"Gak cocok," jawabnya singkat. "Dinda selingkuh," imbuhnya, yang sukses membuatku terperangah.

"Alasan kenapa kamu menikahi Dinda itu kenapa?"

Maafkan mulutku yang tidak bisa dikontrol ini.

Tidak ada tanggapan dari Raka. Bahkan dengan gerakan kepala pun tidak.

"Tell me something, Ka." Ada lirih dalam nada suaraku. "Aku butuh penjelasan sekalipun itu terlambat."

Menepikan mobil ke sisi jalan, Raka menjambak erat rambutnya sebelum menatapku dalam. Ada kepedihan dari sorot matanya. Dia menutup matanya seraya menarik napasnya perlahan sebelum menyandarkan punggungnya.

"Waktu itu...,"

©©©

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status