Pulau Tidung merupakan salah satu tempat wisata favorit di kawasan Kepulauan Seribu. Menikmati sunset di atas Jembatan Cinta yang legendaris. Jembatan Cinta adalah jembatan yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Tidung Kecil.
Tidak perlu menjadi matahari yang selalu menunjukan keagungannya sepanjang hari. Cukup menjadi senja yang selalu di nantikan keindahannya. Karena pesona senja tidak pernah mengecewakan, dia adalah pemenang dari segala keangkuhan yang dikuasai matahari.
Aku gak tahu alasan kenapa Galih membawaku ke sini. Untuk satu bulan ke depan, aku memberinya waktu untuk membuka kembali pintu hatiku. Aku juga berusaha untuk membukanya sendiri, menerima kehadiran lelaki lain untuk mengisi ruang di hatiku menggantikan sosok yang sudah lama menjadi penguasanya.
Duduk santai di atas jembatan dengan kaki menjuntai. Galih duduk di sebelahku, mengabadikan setiap moment indah yang diciptakan semesta begitu indah dengan cameranya.
“Gal?” panggilku.
“Hmm,” Galih menjawab tanpa menoleh, dia memfokuskan pandangannya pada objek yang hendak dia potret.
Menghela napas berat, sejujurnya penjelasan Raka kemarin--ah, bukan. Tapi keinginan Raka untuk diberikan kesempatan terus mengudara dalam benak. Jika aku mau, aku mungkin sudah memberinya kesempatan. Well, itu yang aku dan hatiku mau. Tapi, aku tidak ingin egois. Keputusanku memberi Galih kesempatan harus ku pertanggungjawabkan.
“Bantu gue buat ngelepasin bayang-bayang Raka di hidup gue. Sumpah gue capek terus-menerus hidup dalam bayang-bayang orang yang gak pasti jadi milik gue.”
Galih menghentikan aktivitasnya, menurunkan cameranya dan membiarkan camera tersebut menggantung di lehernya. Lantas menatapku dengan tatapan bertanya. Lalu seulas senyum dia ukir untukku.
“Of course. Dari dulu keinginan gue emang kayak gitu, Rain. Cuma elo-nya yang sama sekali gak bisa melihat secara kasat mata kehadiran gue di samping lo.”
Aku tersenyum miris. Semua memang salahku yang terlalu dibutakan oleh cinta yang tidak diikuti dengan takdir.
“Lo ngomong gini bukan karena abis ketemu lagi sama Raka di acara reuni 'kan?” tebak Galih.
“Itu salah satunya. Lihat dia gandeng cewek lain, buat gue mikir. Ternyata gue gak punya arti apa-apa lagi di hidupnya. Tapi, kenapa perasaan gue ke dia sulit dihilangkan? Padahal dulu gue menolak perasaan cinta gue ke dia.”
Kadang cinta selucu itu. Yang dulu menolak malah jadi cinta. Begitu sulit untuk dilupakan.
Galih tertawa, seolah apa yang ku katakan tadi adalah sebuah lelucon yang harus ditertawakan. Aku mendengkus, tanganku tak tinggal diam. Mencubit lengannya cukup keras hingga dia mengaduh kesakitan dan menghentikan tawanya.
“Menanggalkan seseorang yang sudah lama bersemanyam di hati itu, gue yakin sulit. Cuma hidup lo gak stuck di situ-situ aja. Lo masih bisa hidup walaupun tanpa Raka di samping lo, 'kan?”
Aku mengangguk.
“Hidup gak pernah sepicik itu untuk memilih orang yang pantas bahagia. Dan takdir Tuhan pun demikian, orang yang menurut lo baik dan cocok buat lo kenyataannya belum pasti jadi jodoh lo.”
Kalimat Galih menjadi tamparan keras untukku. Aku menganggap Tuhan tidak adil, padahal aku sendiri bukan manusia sempurna yang pantas berbicara seperti itu.
“Gal?”
“Apa?” Galih langsung nyolot. Aku terkejut, sedetik kemudian dia malah tertawa renyah. “Lo mau tanya gue dapet ilmu bijak dari mana?”
Aku menggeleng.
“Bantu gue!” balasku skeptis.
“Iya, Raina. Gue bantu lo.”
Galih mengecek ponselnya sejenak. Sepertinya dia mendapat pesan penting dari seseorang yang membuatnya mengerutkan dahi ketika membalasnya.
“Okay,” serunya sambil menyimpan ponsel di saku bagian dalam jaketnya. “Di awali dari panggilan lo-gue yang harus dihilangkan. Berubah jadi aku-kamu.”
Aku tercengang dengan mulut terbuka. Apa katanya? Aku-kamu, please... Itu akan terasa sangat canggung.
“Kenapa harus gitu?” tanyaku nyolot.
“Namanya juga orang pacaran, jadi wajar dong panggilannya aku-kamu? Atau lo mau panggil gue Mas, dan panggil nama lo sendiri ketika berinteraksi sama gue kayak Kakak lo sama istrinya?”
“Gal, please... Kita bukan anak kecil yang baru kenal cinta.”
“Gue pikir status bagi cewek itu penting. Karena yang gue telaah, cewek itu pengin diakui sebagai orang yang berharga di mata cowoknya,” katanya dengan percaya diri.
Aku melongo. Mengerutkan dahi sambil menatap Galih yang justru menampilkan raut wajah geli. “Tapi, kita udah sama-sama dewasa. Dua puluh enam tahun, masa harus pacar-pacaran?”
“Why? Ada yang salah dengan itu?”
“Otak lo yang salah!” sungutku sebal.
Galih tertawa sejenak, sebelum merubah ekspresinya menjadi serius. Galih memegang kedua bahuku. Sinar matanya menyorot bola mataku dalam. “Okay, terserah lo. Asalkan lo dengerin gue baik-baik. Gue emang kampret, sekampret-kampretnya orang kampret. Tapi satu yang gue percaya, dalam mencintai itu gak boleh main-main kalau gak mau karma mampir di hidup kita. Dan perasaan gue sama lo, mulanya emang hanya sekedar ketertarikan. Gue bangga ngelihat lo begitu tegar melihat orang yang lo sayangi menikah dengan wanita lain. Lo bahkan ngucapin doa yang terbaik buat pernikahan Raka yang seharusnya gak pantas Raka terima.”
Rasa nyeri kembali hadir setiap kali mengingat kenangan menyedihkan dulu. “Hari itu menjadi titik rapuh bagi gue. Gue sok jagoan dengan menyembunyikan rasa sakit yang gue terima. Apalagi gue gak tahu alasan dia menikahi Dinda, itu yang sulit gue terima.”
Aku menghembuskan napas lelah sebelum kembali bercerita, “Kemarin sebenarnya gue ketemu Raka. Pas gue mau balik dari Mall dan mobil gue kempes itu ada mobil Raka lewat. Dia baru balik kerja mungkin, terus dia nawarin buat nganter gue sama ponakan gue pulang. Ya udah, gue ikut.”
“Terus?” tanya Galih penasaran.
“Canggung,” jawabku singkat.
“Gak ada obrolan sama sekali?”
“Gue minta penjelasan, dan yeah dia jelasin alasan pernikahannya dengan Dinda.”
Cengkeraman di bahuku mengendur, bahkan Galih menurunkan kedua tangannya dari bahuku. Memalingkan wajah, menatap jauh ke ufuk barat. “Peluang buat lo sebenarnya masih ada, Rain.”
“Kayak yang gue bilang di awal, Gal. Gue udah gak punya arti apa-apa lagi di hidupnya. Ada Diandra, entah kenapa gue yakin Raka punya hubungan spesial dengan wanita yang dia ajak ke reuni itu.”
“Ya udah, lo mau move on 'kan?” Galih menoleh ke arahku.
Aku mengangguk, meski setengah hatiku menolaknya.
“Gue akan berusaha buat lo cinta sama gue asalkan lo tetap di samping gue. Jangan noleh ke belakang lagi, kita tatap arah yang ada di depan kita bersama-sama. Lo mau?” Galih menggapai jemariku, menggenggamnya. Seolah genggaman itu menyiratkan keyakinan.
“Ajari gue, Gal.”
“Siap.”
Erfan benar, Galih dapat menempatkan kapan dia harus bercanda dan kapan dia serius.
“Gal?”
“Hmm.”
“Gue gak pernah jadiin lo pelampiasan atau apapun itu,” cicitku lemah.
“Tapi kok gue ngerasanya begitu ya?” Galih berkata begitu membuatku merasa bersalah. Secara tidak langsung aku memang menjadikannya pelampiasan atas rasa cinta yang tidak mungkin aku miliki lagi bersama Raka. Tapi Galih menawarkanku kepastian untuk masa depan, lantas bisakah aku menerimanya?
“Gue lagi berusaha, Gal. Makanya bantu gue supaya benar-benar lepas dari Raka.”
“Apa yang bikin sulit buat ngelepasin dia?”
Aku menggeleng. “Gue sendiri gak tahu kenapa sulit move on gini. Padahal gue cepet kok move on dari mantan-mantan gue pas SMA.”
“Raka yang paling lama tinggal di hati lo, bahkan lo sampai menutup mata untuk menerima kehadiran laki-laki lain yang menawarkan masa depan buat lo. Ada gue, Rain. Gue bahkan rela lo jadiin pelampisan gini. Tapi satu yang gue yakini, sejauh ini hasil yang gue dapat gak pernah mengkhianati usaha.” Senyuman yang Galih lontarkan sangat tulus.
“Thanks for everything, Gal. Sedikitnya lo udah bikin hidup gue berwarna lagi.”
“Dan gue akan terus melukiskan jutaan warna di hidup lo. Itu juga kalau lo mau, Rain.”
“Iya, gue mau.”
Belajar mengikhlaskan, Raina.
Galih merengkuhku dalam dekapannya. Entah, sampai detik ini belum ada perasaan spesial setiap kali berdekatan dengannya.
©©©
Bercengkerama dengan hati, meminta kesanggupan untuk melewati hari ini. Perasaanku tidak seperti wanita yang akan melepas masa lajang pada umumnya. Aku di sini. Duduk di depan cermin besar dengan balutan kebaya putih yang sederhana, namun tampak elegan.Aku di sini, masih menanti kedatangan orang tuaku untuk mengantarkan dan melepaskan tanggungjawab mereka kepada laki-laki yang akan menjadi suamiku.Aku di sini, masih berharap Ayah bisa mencabut keputusannya dan sudi untuk menjadi wali nikahku. Meski aku tahu, rasanya sulit untuk meluluhkan hati Ayah.Tidak apa-apa. Mungkin memang harus seperti ini semua berjalan.
Raka bukan tidak berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan maaf--minimal mendapatkan restu dari orang tua Raina. Ia berjuang tanpa di ketahui Raina. Selama masa pemulihan cidera tulang punggungnya yang hampir dipatahkan oleh Arsen, ia beberapa kali mencoba menemui Reza baik di kantor atau pun di rumah pria tua itu. Lebih banyak di rumah, karena Reza tidak setiap hari pergi ke kantor, perusahaan dan kinerja para karyawannya sudah beralih ke tangan Arsen. Ia hanya sesekali mengontrol ke kantor.Perjuangannya selalu berujung dengan penolakan. Seberapa keras pun usaha Raka agar Reza mau mendengarkan penjelasannya, tapi tidak pernah berhasil. Raka tidak ingin berhenti sampai di situ, perjuangannya untuk memiliki Raina bukan hanya karena tuntutan tanggung jawab, namun karena rasa cintanya yang tidak pernah pudar.
Setiap masalah akan selalu ada jalan keluarnya, sekecil apapun itu. Aku tetap meyakinkan hati, jika skenario yang Tuhan kasih untukku ini, adalah yang terbaik. Dan masalah ini akan segera menemui titik akhir yang menjadi tempat penyelesaiannya.Kedatangan Dinda menjadi satu pelajaran tersendiri untukku. Sejujurnya, aku sempat berpikir negatif. Berpikir jika Dinda datang kembali ke hidup Raka untuk meminta rujuk. Ternyata semua jauh melenceng dari ekspektasiku.Lalu satu fakta yang mencengangkan terungkap hari ini, tentang siapa ayah Sisi sebenarnya. Raka melamun, tatapannya seakan menerawang jauh ke masa lalu, dahinya sesekali berkerut.Sejak kepergian Dinda tadi, tangisan Sisi baru mereda beberapa menit yang lalu. Mungkin karena merasa capek atau haus. Kini dia duduk di sebelahku dan napasnya tersenggal-senggal.“Si, Tante punya video Upin-Ipin, nih. Sisi tahu Upin-Ipin?” Aku bingung harus bersikap bagaimana sekarang. Tapi yang pasti naluriku
Tidak ada yang berubah. Semuanya tetap semu. Aku seolah dipaksa hidup dalam bayang-bayang kesalahan. Aku tertawa, aku tersenyum, tapi jauh di lubuk hati, perasaan bersalah itu masih bersarang. Bahkan setiap malam tidurku tidak pernah nyenyak.Pintu maaf dari kedua orang tuaku masih belum terbuka. Bahkan mungkin mereka enggan untuk membukanya. Salah satu orang yang selalu meyakinkanku untuk selalu berpikir positif adalah Tante Marina.Tante Marina dan Raka sempat menemui kedua orang tuaku, namun sepertinya kekecewaan mereka padaku berimbas pada hubungan keduanya dengan Tante Marina. Penyambutan tamu yang jauh dari kata hangat, bahkan saat Tante Marina atau pun Raka minta maaf untuk kesekian kalinya ditanggapi dengan acuh tak acuh oleh Ayah, sementara hati Bunda sudah cukup mencair karena pada akhirnya meladeni percakapan.“Kenapa Raka gak suka bubur, Tan?”Rasa bosanku yang sering kali muncul, hari ini terobati dengan Tante Marina yang mengajak
“Anak kurang ajar! Gak bisa jaga diri! Gak bisa jaga kehormatan! Di mana harga diri kamu, Raina? Di mana otak kamu?!” “Kamu melempar kotoran ke muka Bunda, Raina. Kamu bikin malu keluarga. Bunda malu punya anak seperti kamu!!!”Aku lebih baik dicaci maki jutaan orang di luar sana daripada harus mendapatkan caci maki dari Bunda. Sungguh, untaian kalimat bernada emosi itu terus terngiang dalam ingatan dan menohok hatiku semakin dalam.Keluargaku satu dari sekian banyak keluarga yang mengedepankan nilai-nilai positif dalam kehidupan. Sikap tegas Ayah dan segala peraturannya menuntut anak-anaknya hidup tanpa didasari dengan kebohongan. Bagi Ayah, kebohongan itu akan menciptakan sesuatu hal yang negatif.Ayah pernah murka, saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku terjaga dari tidurku saat mendengar teriakan demi teriakan Ayah yang menggema di lantai bawah. Rasa penasaran membuatku beranja
Malam ini langit diterangi cahaya bulan, kerlip bintang seakan tidak mau kalah eksistensi dari sang rembulan. Aku termenung di antara pembatas apartemen. Menikmati setiap desau angin yang berhembus mesra. Mencoba menenangkan hati yang sejak pagi digelayuti kerisauan.Memejamkan mata tak mampu. Meski lelah, mataku tetap terjaga sampai jam sebelas malam. Setiap keping kejadian hari ini sergumul dalam benak, seolah berlomba-lomba menempati kursi utama hingga akhirnya selalu kuingat.Yang terbaru adalah ingatan tentang Diandra. Wanita yang kuyakini menyukai Raka itu tiga jam yang lalu mendatangi apartemenku. Katanya, ia mendapatkan alamat apartemenku dari Ghina karena sebelumnya dia datang ke Kafe.Diandra bercerita banyak, termasuk soal hubungan dan perasaannya untuk Raka.Kecanggungan sangat kental terasa, saat aku menyuguhkan segelas teh hangat pada Diandra yang sudah duduk di sofa. Aku mencoba berpikiran positif, tanpa mau menebak-nebak tujuan dia men