“Anak kurang ajar! Gak bisa jaga diri! Gak bisa jaga kehormatan! Di mana harga diri kamu, Raina? Di mana otak kamu?!”
“Kamu melempar kotoran ke muka Bunda, Raina. Kamu bikin malu keluarga. Bunda malu punya anak seperti kamu!!!”
Aku lebih baik dicaci maki jutaan orang di luar sana daripada harus mendapatkan caci maki dari Bunda. Sungguh, untaian kalimat bernada emosi itu terus terngiang dalam ingatan dan menohok hatiku semakin dalam.
Keluargaku satu dari sekian banyak keluarga yang mengedepankan nilai-nilai positif dalam kehidupan. Sikap tegas Ayah dan segala peraturannya menuntut anak-anaknya hidup tanpa didasari dengan kebohongan. Bagi Ayah, kebohongan itu akan menciptakan sesuatu hal yang negatif.
Ayah pernah murka, saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku terjaga dari tidurku saat mendengar teriakan demi teriakan Ayah yang menggema di lantai bawah. Rasa penasaran membuatku beranja
Tidak ada yang berubah. Semuanya tetap semu. Aku seolah dipaksa hidup dalam bayang-bayang kesalahan. Aku tertawa, aku tersenyum, tapi jauh di lubuk hati, perasaan bersalah itu masih bersarang. Bahkan setiap malam tidurku tidak pernah nyenyak.Pintu maaf dari kedua orang tuaku masih belum terbuka. Bahkan mungkin mereka enggan untuk membukanya. Salah satu orang yang selalu meyakinkanku untuk selalu berpikir positif adalah Tante Marina.Tante Marina dan Raka sempat menemui kedua orang tuaku, namun sepertinya kekecewaan mereka padaku berimbas pada hubungan keduanya dengan Tante Marina. Penyambutan tamu yang jauh dari kata hangat, bahkan saat Tante Marina atau pun Raka minta maaf untuk kesekian kalinya ditanggapi dengan acuh tak acuh oleh Ayah, sementara hati Bunda sudah cukup mencair karena pada akhirnya meladeni percakapan.“Kenapa Raka gak suka bubur, Tan?”Rasa bosanku yang sering kali muncul, hari ini terobati dengan Tante Marina yang mengajak
Setiap masalah akan selalu ada jalan keluarnya, sekecil apapun itu. Aku tetap meyakinkan hati, jika skenario yang Tuhan kasih untukku ini, adalah yang terbaik. Dan masalah ini akan segera menemui titik akhir yang menjadi tempat penyelesaiannya.Kedatangan Dinda menjadi satu pelajaran tersendiri untukku. Sejujurnya, aku sempat berpikir negatif. Berpikir jika Dinda datang kembali ke hidup Raka untuk meminta rujuk. Ternyata semua jauh melenceng dari ekspektasiku.Lalu satu fakta yang mencengangkan terungkap hari ini, tentang siapa ayah Sisi sebenarnya. Raka melamun, tatapannya seakan menerawang jauh ke masa lalu, dahinya sesekali berkerut.Sejak kepergian Dinda tadi, tangisan Sisi baru mereda beberapa menit yang lalu. Mungkin karena merasa capek atau haus. Kini dia duduk di sebelahku dan napasnya tersenggal-senggal.“Si, Tante punya video Upin-Ipin, nih. Sisi tahu Upin-Ipin?” Aku bingung harus bersikap bagaimana sekarang. Tapi yang pasti naluriku
Raka bukan tidak berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan maaf--minimal mendapatkan restu dari orang tua Raina. Ia berjuang tanpa di ketahui Raina. Selama masa pemulihan cidera tulang punggungnya yang hampir dipatahkan oleh Arsen, ia beberapa kali mencoba menemui Reza baik di kantor atau pun di rumah pria tua itu. Lebih banyak di rumah, karena Reza tidak setiap hari pergi ke kantor, perusahaan dan kinerja para karyawannya sudah beralih ke tangan Arsen. Ia hanya sesekali mengontrol ke kantor.Perjuangannya selalu berujung dengan penolakan. Seberapa keras pun usaha Raka agar Reza mau mendengarkan penjelasannya, tapi tidak pernah berhasil. Raka tidak ingin berhenti sampai di situ, perjuangannya untuk memiliki Raina bukan hanya karena tuntutan tanggung jawab, namun karena rasa cintanya yang tidak pernah pudar.
Bercengkerama dengan hati, meminta kesanggupan untuk melewati hari ini. Perasaanku tidak seperti wanita yang akan melepas masa lajang pada umumnya. Aku di sini. Duduk di depan cermin besar dengan balutan kebaya putih yang sederhana, namun tampak elegan.Aku di sini, masih menanti kedatangan orang tuaku untuk mengantarkan dan melepaskan tanggungjawab mereka kepada laki-laki yang akan menjadi suamiku.Aku di sini, masih berharap Ayah bisa mencabut keputusannya dan sudi untuk menjadi wali nikahku. Meski aku tahu, rasanya sulit untuk meluluhkan hati Ayah.Tidak apa-apa. Mungkin memang harus seperti ini semua berjalan.
Bagaimana rasanya merindukan seseorang yang tidak merindukan kita?Rasanya seperti memeluk pohon kaktus. Semakin erat kamu memeluk, maka akan semakin sakit.Aku melintas pada satu masa. Di mana kebahagiaanku menyertakan dirimu. Bila saja dulu aku peka terhadap perasaanmu, mungkin aku tak akan menderita seperti ini saat kehilanganmu. Meratapi semua waktu yang terlewatkan begitu saja, tak pernah sedikit pun aku bayangkan jika kehilanganmu jauh lebih menyeramkan dibanding berhadapan dengan dosen pembimbing skripsi. Jauh lebih sulit daripada mencari jarum ditumpukan jerami dan jauh lebih menyiksa daripada sakitnya datang bulan.Aku mencintaimu, tapi aku sadar cintaku ini terlambat sebab kamu memilih bersanding dengan wanita lain. Sedangkan aku hanya seonggok raga yang tak punya arti lagi di hidupmu. Meronta pada Tuhan pun tidak akan pernah mengembalikan apa yang sudah menjadi masa lalu.Akan tetapi, mengenang masa lalu kurasa lebih menyenangkan daripada mendi
Wanita di usia dua puluh enam tahun dan belum nikah? Maka pertanyaan yang sering mampir ke telinga adalah.... Kapan nikah? Telingaku sudah tidak asing dengan pertanyaan itu, lebih tepatnya pertanyaan yang sering aku abaikan. Tidak peduli jika pertanyaan itu datangnya dari orang tua ataupun keluargaku yang lain. Yang jelas, dan entah kenapa aku masih betah hidup menyendiri seperti ini. Aku sarjana Ilmu Administrasi, tapi enggan bekerja di perusahaan yang membutuhkan jasaku. Aku tidak nyaman dengan pekerjaan yang mengharuskanku memakai pakaian formal tiap harinya. Bahkan tawaran Ayah untuk bekerja di perusahaannya pun kutolak. Dan lebih memilih membuka usaha sendiri. Setahun yang lalu, aku dan sahabatku––Ghina, merintis restoran atau lebih cocok disebut kafe tempat orang-orang bersantai, yang sampai sekarang cukup banyak peminatnya. Laba yang didapat tiap bulan juga terus bertambah. “Mbak, ada Mas Galih nyariin Mbak,” kata salah
Kesulitanku sejak ditinggal Raka adalah melepaskan diri dari bayangan semu keindahan yang ingin aku ciptakan bersamanya. Jujur, aku tidak pernah memiliki keinginan untuk membangun masa depan dengannya. Tapi itu dulu. Nyatanya waktu menyadarkan aku, bahwa ada Raka yang selama ini aku abaikan. Nahasnya, saat perasaanku mulai berkembang menjadi rasa cinta. Raka dengan seenaknya pergi dengan alasan mengejar cita-citanya sebagai pilot. See, dia berhasil mematahkan hatiku. Dia memilih untuk tidak menjadikanku kekasihnya pada waktu itu. Komunikasi kami masih sering dalam tahun-tahun pertama. Kupikir Raka tidak akan menjadikanku kekasihnya, namun setelah beberapa tahun kami LDR, dia datang dan menyatakan keinginannya untuk menjalin hubungan. Akhirnya, kami sepakat untuk menjalin hubungan. Beberapa bulan setelahnya, Raka tiba-tiba menghilang. Dia hanya sekali dua kali mengunjungiku, sebelum memutuskanku hanya dengan tiga baris kata via SMS. Entah kenapa, Raka
Sunyinya malam ini seakan menjadi saksi bahwa rinduku tak menemukan tempat singgahnya lagi. Sebenarnya malas untuk ikut reuni, tapi Ghina menyeretku tanpa memedulikan ocehanku yang hampir berbusa. Dia enak, punya gandengan halal. Lalu apa kabar denganku? Bisa-bisa aku jadi cemoohan mereka yang hadir. Aku yakin pertanyaan mereka tidak akan jauh dari kata nikah. Kapan nikah? Buruan nikah, nanti stok cowok keburu habis. Dipikir cowok itu barang langka yang harus dilestarikan. "Senyum kali, Rain. Kali aja lo di sana ketemu jodoh." Ghina menoleh ke belakang dan tersenyum usil. "Nanti gue kenalin sama teman yang masih bujangan, Rain. Dia udah mapan bebet, bibit, bobotnya. Tinggal lo tunggangin." Erfan yang mengemudi masih sempet-sempetnya mengedipkan mata jahil padaku dari kaca depan mobil. "Kampret, Erfan! Paling si Galih kan yang masih bujangan? Ck, bujangan lapuk." "Nah itu tahu, sama Wisnu satu lagi." Erfan lantas tertawa