Menipu hati itu sulit, ujungnya sakit. Rasanya semakin pelik, tidak ada hikmah yang bisa dipetik dari ingkarnya sebuah janji manis.
Rapuh sudah pasti. Ghina bilang aku bodoh karena mengharapkan hal yang mustahil. Kembali bersama Raka, memang hanya sebatas khayalan. Tapi aku butuh penjelasannya. Penjelasan kenapa dia memilih Dinda daripada aku, sementara dia dengan entengnya mengucapkan kata sayang padaku di hari resepsi pernikahannya.
Bulshit!
Kenyataannya, Raka yang aku kenal baik dulu jauh berbanding terbalik dengan Raka yang duduk di sebelahku sekarang. Bukan hanya fisiknya yang berubah, hatinya juga demikian. Buktinya, begitu cepat dia mendapatkan pengganti Dinda yaitu Diandra. Bukan aku. Lagi-lagi aku hanya sebatas orang asing yang tidak akan pernah dia pedulikan lagi.
“Jadi, kenapa?” pancingku. Aku siap mendengar semua penjelasan apapun dari mulutnya. Meski sakit, setidaknya rasa penasaranku terobati.
“Aku menikahi Dinda karena janji, Rain. Waktu itu Ayahnya Dinda sakit dan memintaku menikahi Dinda kalau misalnya dia meninggal,” papar Raka. Dia bercerita tanpa sekalipun menoleh ke arahku, matanya fokus memandang lurus jalan raya di depannya.
Aku masih berdiam diri. Rasanya untuk membuka mulut saja begitu sulit.
“Semalaman aku berpikir, Rain. Konsentrasiku buyar, aku bingung. Sulit untuk memilih antara menikahi Dinda atau datang menemui kamu untuk menawarkan sebuah ikatan. Tapi jujur, Rain. Saat itu aku tidak bisa membayangkan bagaimana terlukanya kamu jika nanti aku memilih menikahi Dinda.”
Kalimat macam apa itu! Mataku langsung memanas mengenang baik kata-katanya dulu. Iya, dulu dia pernah bilang kalau misalnya Tuhan menghendaki, orang pertama yang akan dia temui itu aku.
“Kenapa harus kamu orangnya?” lirihku ingin menangis.
“Papanya Dinda itu teman Almarhum Papaku.” Raka menghembuskan napasnya berat. “Aku pikir Papanya Dinda akan baik-baik saja. Ternyata beberapa hari setelah dia mengutarakan keinginannya padaku, dia meninggal. Dan aku tidak punya pilihan lain, Rain.”
“Ka...”
“Dua bulan, aku bisa menahan hasratku sebagai seorang laki-laki normal, karena aku pingin melakukan hubungan suami istri atas dasar cinta. Tapi, imanku ternyata tidak cukup kuat,” suara Raka tercekat.
Aku diam, menatapnya nanar. “Tidak ada yang salah karena menyentuh istrimu sendiri, Ka.”
Rasanya aku bak seorang motivator, padahal hatiku remuk. Pandai sekali actingmu, Raina!
“Namanya Ishika Adinda Bagaskara..”
Aku menoleh terkejut. “Nama siapa?”
Raka menegakkan tubuhnya, bersandar pada kursi kemudi. Lantas menoleh padaku. “Sisi,” katanya.
“Sisi? Dia siapa?”
“Anak Dinda yang aku pikir awalnya adalah anakku, Ternyata itu anak Dinda dengan selingkuhannya.” Raka mencengkeram stir mobil dengan kuat sampai buku-buku jarinya memutih.
“Kenapa bisa Dinda selingkuh? Dan dari mana kamu yakin kalau Sisi itu bukan anak kamu?” tanyaku penasaran.
“Aku lihat sendiri dia lagi naik ranjang dengan seorang laki-laki di kamar kita. Aku kalut, hampir membunuh laki-laki itu kalau saja Dinda tidak mengancam bunuh diri.”
Aku bisa merasakan kekalutan Raka saat ini. “Kita ribut berhari-hari. Sampai akhirnya dia minta cerai dan bilang kalau Sisi itu bukan anakku tapi anak lelaki itu. Setelah kita cerai, Dinda membawa Sisi pergi.”
“Bersama laki-laki itu?” tebakku.
“Sepertinya begitu,” jawab Raka acuh tak acuh.
“Emm,” Aku menggigit bibir bawahku, kalau tidak salah dia tadi bilang nama anaknya––ralat, nama anak Dinda itu Ishika Adinda Bagaskara. Kenapa dia mencantumkan namaku?
“Kenapa namanya Ishika?”
“Namanya unik dan bagus, biar kembar juga sama kamu.”
Aku melongo.
“Ck, makasih lho. Baru kali ini kamu memuji namaku. Setelah satu dekade lebih kita kenal, ya walau cuma tiga tahun sih kita benar-benar kenal,” kekehku. Tidak ada salahnya bukan untuk melepaskan semua kecanggungan.
“Kupikir aku harus mengoreksi perkataanku beberapa saat yang lalu, sifat kamu nggak pernah berubah.” Raka mencibir.
“Bukan power ranger yang bisa secepat kilat berubah,” tukasku. “Hatiku misalnya,” imbuhku pelan.
Aku diam, Raka juga demikian. Lalu deheman kecil terdengar darinya. “Sebenarnya biar aku ingat terus sama nama panjang kamu, soalnya nama kamu susah diingat.”
Well, Raka memang semenyebalkan itu.
“Bilang aja karena emang kamu nggak bisa melupakanku,” cicitku membuang wajah.
“Memang.”
Stok oksigen di dalam mobil ini kurasa berkurang dengan pesat hingga membuatku kesulitan untuk bernapas, Hayati bengek, Pak pilot! Sial! Berniat menyerang malah dia memukulku telak.
Untuk selanjutnya hanya suara bising kendaraan yang terdengar. Kembali larut dalam angan masing-masing.
Dulu, waktu awal-awal mengenalnya. Sikapnya persis seperti saat ini. Tidak banyak bicara dan terkesan datar. Namun seiring berjalannya waktu Raka mulai menikmati hidupnya, lebih santai. Mungkin terkontaminasi olehku yang ceriwis dan nempel terus dengannya. Kini, sikap Raka balik ke semula. Dan pertanyaannya, bisakah aku mengubahnya lagi di saat situasi yang tidak lagi sama? Oke, lupakan saja harapan itu dalam waktu dekat.
“Kamu udah punya pasangan?” tanya dia, tatapannya menghujam bola mataku.
Aku mengangkat bahu.
“Galih?”
Dahiku berkerut, dari mana dia tahu?
“Pas reuni kamu sama dia terus, kalian pacaran?”
Sial! Rupanya Raka memperhatikanku.
“Aku nggak cinta sama dia, aku juga gak mau nyakitin dia. Nikah tanpa cinta itu tingkat bahagianya rendah.”
“Berarti kalau nikahnya sama aku, tingkat bahagianya tinggi dong ya?”
Alisku bertaut memperhatikannya, sebelum terkekeh diiringi degub jantung yang menggila. “Makin tua semakin menjadi ya, sejak kapan omongan kamu jadi receh, Ka?”
“Bagian mana yang kamu anggap bercanda?”
“Ha?” Aku melongo dengan tubuh yang sudah menegang. Mengerjap beberapa kali sebelum memalingkan wajah ke samping untuk menghindari tatapannya. Berdeham pelan sebelum menjawab, “Kamu pikir aku masih cinta sama kamu setelah apa yang kamu lakukan. Luka yang kamu buat itu dalam, Ka.” Itu hanya sebuah alibi.
“Maaf. Maaf, Rain.”
“Maaf saja tidak cukup untuk menebus hidupku yang sudah hancur. My hearts breaking and I don't know what to do. I am so desperate.”
Lalu kembali hening. Ck, ternyata menghilangkan suasana canggung itu tidak semudah menjentikan jemari. Kubiarkan kesunyian malam menjadi pemenangnya.
Aku terkesiap saat jemari Raka menyentuh punggung tanganku. Mereguk air liurku susah payah, tubuhku bereaksi saat untuk pertama kalinya kulit kami kembali bersentuhan. Aku memandang jemari Raka sejenak sebelum mengangkat kepala untuk melihat wajahnya. Wajah Raka masih setenang tadi, tapi aku menangkap sorot kepedihan dari bola matanya. “Maafkan aku, Rain.”
“Buat apa?”
“Sikap pengecutku,” ujarnya sendu. “Aku memilih bungkam dengan tidak memberi penjelasan kenapa aku sampai nikah sama Dinda padahal kamu terus bertanya waktu itu.”
Aku menarik tanganku yang berada dalam kungkungan jemarinya. “Harusnya kamu bilang dari awal, Ka. Mungkin rasa sakitku tidak akan sedalam ini.”
Menghapus air mata sialan yang meluncur tanpa sadar. Menekan rasa sakit yang mengalir lewat pembuluh darah dan terpenjara dalam nadi. Oke, mungkin itu berlebihan.
“Kehilangan kamu, membuatku menggurui Tuhan dan mencaci takdirnya. Aku pikir Tuhan tidak adil padaku. Untuk apa kita dipertemukan kalau akhirnya harus sama-sama merasakan patah hati. Ternyata luka hati yang kamu beri itu luar biasa berefek untuk hidupku.”
“Demi Tuhan, Rain. Sampai detik ini cuma kamu wanita yang mengisi hatiku. Aku gak tahu kenapa sulit sekali melupakan kamu,” cicit Raka.
Aku tertawa miris, lalu menghembuskan napas. “Sudahlah, kita jalani hidup kita masing-masing. Aku sedang berusaha membuka hatiku untuk Galih, sementara kamu ada Diandra yang sepertinya mengharapkan cinta kamu.”
Iya, ada Galih yang menunggu hatiku. Sebulan ini aku harus konsisten dengan ucapanku yakni memberi kesempatan Galih untuk membuka pintu hatiku yang terkunci oleh Raka.
“Ternyata yang jahat itu bukan Rangga, tapi Raka,” pungkasku. “Kayanya aku nebeng sampai sini aja, toh banyak taksi yang lewat.”
“Aku antar sampai rumah, Rain.”
“Gak usah, ngerepotin.” Aku berusaha menolak. Tapi dia keukeuh mau mengantarku dengan alasan si kembar yang tertidur pulas. Walhasil, aku pasrah dan membiarkan dia mengantarku pulang ke rumah Kak Arsen.
Aku baru tahu bahwa Raka baru tiga bulan pindah ke Jakarta lagi. Awalnya dia menetap di Bandung, setelah bercerai dengan Dinda, dia memboyong Tante Marina kembali ke Jakarta.
©©©
Bercengkerama dengan hati, meminta kesanggupan untuk melewati hari ini. Perasaanku tidak seperti wanita yang akan melepas masa lajang pada umumnya. Aku di sini. Duduk di depan cermin besar dengan balutan kebaya putih yang sederhana, namun tampak elegan.Aku di sini, masih menanti kedatangan orang tuaku untuk mengantarkan dan melepaskan tanggungjawab mereka kepada laki-laki yang akan menjadi suamiku.Aku di sini, masih berharap Ayah bisa mencabut keputusannya dan sudi untuk menjadi wali nikahku. Meski aku tahu, rasanya sulit untuk meluluhkan hati Ayah.Tidak apa-apa. Mungkin memang harus seperti ini semua berjalan.
Raka bukan tidak berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan maaf--minimal mendapatkan restu dari orang tua Raina. Ia berjuang tanpa di ketahui Raina. Selama masa pemulihan cidera tulang punggungnya yang hampir dipatahkan oleh Arsen, ia beberapa kali mencoba menemui Reza baik di kantor atau pun di rumah pria tua itu. Lebih banyak di rumah, karena Reza tidak setiap hari pergi ke kantor, perusahaan dan kinerja para karyawannya sudah beralih ke tangan Arsen. Ia hanya sesekali mengontrol ke kantor.Perjuangannya selalu berujung dengan penolakan. Seberapa keras pun usaha Raka agar Reza mau mendengarkan penjelasannya, tapi tidak pernah berhasil. Raka tidak ingin berhenti sampai di situ, perjuangannya untuk memiliki Raina bukan hanya karena tuntutan tanggung jawab, namun karena rasa cintanya yang tidak pernah pudar.
Setiap masalah akan selalu ada jalan keluarnya, sekecil apapun itu. Aku tetap meyakinkan hati, jika skenario yang Tuhan kasih untukku ini, adalah yang terbaik. Dan masalah ini akan segera menemui titik akhir yang menjadi tempat penyelesaiannya.Kedatangan Dinda menjadi satu pelajaran tersendiri untukku. Sejujurnya, aku sempat berpikir negatif. Berpikir jika Dinda datang kembali ke hidup Raka untuk meminta rujuk. Ternyata semua jauh melenceng dari ekspektasiku.Lalu satu fakta yang mencengangkan terungkap hari ini, tentang siapa ayah Sisi sebenarnya. Raka melamun, tatapannya seakan menerawang jauh ke masa lalu, dahinya sesekali berkerut.Sejak kepergian Dinda tadi, tangisan Sisi baru mereda beberapa menit yang lalu. Mungkin karena merasa capek atau haus. Kini dia duduk di sebelahku dan napasnya tersenggal-senggal.“Si, Tante punya video Upin-Ipin, nih. Sisi tahu Upin-Ipin?” Aku bingung harus bersikap bagaimana sekarang. Tapi yang pasti naluriku
Tidak ada yang berubah. Semuanya tetap semu. Aku seolah dipaksa hidup dalam bayang-bayang kesalahan. Aku tertawa, aku tersenyum, tapi jauh di lubuk hati, perasaan bersalah itu masih bersarang. Bahkan setiap malam tidurku tidak pernah nyenyak.Pintu maaf dari kedua orang tuaku masih belum terbuka. Bahkan mungkin mereka enggan untuk membukanya. Salah satu orang yang selalu meyakinkanku untuk selalu berpikir positif adalah Tante Marina.Tante Marina dan Raka sempat menemui kedua orang tuaku, namun sepertinya kekecewaan mereka padaku berimbas pada hubungan keduanya dengan Tante Marina. Penyambutan tamu yang jauh dari kata hangat, bahkan saat Tante Marina atau pun Raka minta maaf untuk kesekian kalinya ditanggapi dengan acuh tak acuh oleh Ayah, sementara hati Bunda sudah cukup mencair karena pada akhirnya meladeni percakapan.“Kenapa Raka gak suka bubur, Tan?”Rasa bosanku yang sering kali muncul, hari ini terobati dengan Tante Marina yang mengajak
“Anak kurang ajar! Gak bisa jaga diri! Gak bisa jaga kehormatan! Di mana harga diri kamu, Raina? Di mana otak kamu?!” “Kamu melempar kotoran ke muka Bunda, Raina. Kamu bikin malu keluarga. Bunda malu punya anak seperti kamu!!!”Aku lebih baik dicaci maki jutaan orang di luar sana daripada harus mendapatkan caci maki dari Bunda. Sungguh, untaian kalimat bernada emosi itu terus terngiang dalam ingatan dan menohok hatiku semakin dalam.Keluargaku satu dari sekian banyak keluarga yang mengedepankan nilai-nilai positif dalam kehidupan. Sikap tegas Ayah dan segala peraturannya menuntut anak-anaknya hidup tanpa didasari dengan kebohongan. Bagi Ayah, kebohongan itu akan menciptakan sesuatu hal yang negatif.Ayah pernah murka, saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku terjaga dari tidurku saat mendengar teriakan demi teriakan Ayah yang menggema di lantai bawah. Rasa penasaran membuatku beranja
Malam ini langit diterangi cahaya bulan, kerlip bintang seakan tidak mau kalah eksistensi dari sang rembulan. Aku termenung di antara pembatas apartemen. Menikmati setiap desau angin yang berhembus mesra. Mencoba menenangkan hati yang sejak pagi digelayuti kerisauan.Memejamkan mata tak mampu. Meski lelah, mataku tetap terjaga sampai jam sebelas malam. Setiap keping kejadian hari ini sergumul dalam benak, seolah berlomba-lomba menempati kursi utama hingga akhirnya selalu kuingat.Yang terbaru adalah ingatan tentang Diandra. Wanita yang kuyakini menyukai Raka itu tiga jam yang lalu mendatangi apartemenku. Katanya, ia mendapatkan alamat apartemenku dari Ghina karena sebelumnya dia datang ke Kafe.Diandra bercerita banyak, termasuk soal hubungan dan perasaannya untuk Raka.Kecanggungan sangat kental terasa, saat aku menyuguhkan segelas teh hangat pada Diandra yang sudah duduk di sofa. Aku mencoba berpikiran positif, tanpa mau menebak-nebak tujuan dia men