Share

Bab 5

"Oh, jadi kamu salah orang? Bagaimana bisa Gilang memberikan informasi yang salah pada Papa!" keluhnya. 

"Pah, kenapa tidak katakan saja padaku, maksud Papa berikan bunga mawar itu pada Lita?" cecarku. Aku jadi penasaran terus dibuatnya.

"Ana, Papa ingin kamu lihat dengan mata kepala sendiri. Papa juga ingin kamu tahu kebenarannya langsung tepat di matamu, tidak dari mulut Papa." Rupanya ada sesuatu hal yang sedang papa sembunyikan. Apakah Lita itu sebenarnya orang kaya raya? Sama halnya sepertiku yang pernah menyamar sebagai anak jalanan? Kalau iya, kami berdua sama-sama penipu.

"Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu." Telepon pun terputus, aku pamit untuk pulang. Setelah ini mengurus gugatan cerai ke pengadilan.

Di parkiran mobil, kulihat ada sebuah mobil yang tak asing. Kuperhatikan dengan seksama, kuamati dengan teliti, sepertinya ini mobil Mas Zaki. Kenapa ia berada di rumah sakit? Apa Mas Zaki tengah sakit?

Tiba-tiba di pikiranku ada keinginan untuk menghubunginya. Namun, keinginan itu aku pendam saat melihat seseorang yang datang menghampiri mobil tersebut. Ternyata bukan mobil Mas Zaki, tapi aku yakin sekali, plat nomor kendaraan sangat aku hapal.

Kemudian, untuk memastikan bahwa pemilik mobil tersebut adalah Mas Zaki atau bukan. Aku menghampiri laki-laki tersebut.

"Mas, maaf. Ini mobil Mas Zaki atau bukan ya?" tanyaku sesaat laki-laki itu hendak membuka pintu.

"Betul, Mbak. Saya pinjam mobilnya untuk menjenguk teman," sahutnya sembari menundukkan wajahnya.

"Oh gitu, terima kasih informasinya, Mas." Kemudian aku kembali ke mobilku. Ia pun menyetir mobil Mas Zaki yang telah dipinjamnya.

Aku segera kembali pulang, tapi papa menghubungiku lagi. Ada apa lagi ini? Apa masih persoalan bunga mawar?

"Nak, sebaiknya setelah dari rumah sakit, kamu pergi ke restoran yang berada di jalan kelinci," suruhnya. Papa memerintahkanku untuk pergi ke sana ke sini tapi tak kunjung ada hasilnya. Lama-lama aku pun jenuh dengan ini semua.

"Pah, aku mau pulang, capek!" ketusku.

"Ya sudah, terserah kamu saja," pungkasnya.

"Pah, memang ada apa sih sebenarnya?" tanyaku penasaran. Aku lelah dengan teka-teki ini, tapi tak dapat dipungkiri, hati ini pun berkeinginan mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Apa yang sedang papa ingin tunjukkan padaku?

"Kalau kamu ingin pulang, terserah kamu, Papa tutup teleponnya, ya!" timpalnya. Kemudian telepon terputus.

Aku menghela napas sembari memarkirkan mobil ini. Kemudian, melaju untuk pulang. Namun, di perjalanan, pikiranku terus menuju ke restoran jalan kelinci. Rasa penasaranku kian memacu. Akhirnya kuputar setir dan menuju jalan kelinci. 

Aku ikuti arah g****e maps, yang sudah terlihat dekat dan tidak jauh dari rumah sakit. Hanya saja beda arah dengan rumah papa.

Rumah makan yang papa sebutkan sudah tepat di titiknya. Ternyata rumah makan yang dulu sering aku kunjungi bersama Lita saat ia mentraktirku. Apa mungkin Lita sedang berada di sini dengan suaminya yang tadi di rumah sakit? Lalu untuk apa papa menyuruhku mengikutinya?

Setelah memarkirkan mobil, aku coba hubungi papa kembali. Namun, belum sempat menghubungi papa, aku bertemu dengan Pak Gilang di parkiran. Laki-laki yang sebenarnya hanya beda lima tahun dariku, tapi aku lebih nyaman memanggilnya dengan sebutan Pak. Itu dikarenakan ia adalah kaki tangan papa yang setia.

"Pak Gilang ada di sini?" tanyaku heran.

"Iya, Mbak. Saya sudah pesankan kursi untuk Mbak. Mari masuk!" Aku keheranan mendengarnya. Hingga kedua alisku menyatu karena bingung dengan ulah papa.

Aku pun mengangguk, dan mengikuti arah Pak Gilang jalan. Ia menunjukkan kursi dan mempersilahkanku duduk.

Makanan yang ia pesan pun sudah banyak, sepertinya akan makan siang dengan temannya juga.

"Pak Gilang ada janji dengan orang lain juga?" tanyaku heran.

"Iya, Mbak. Sebentar lagi mereka juga datang." Aku mengangguk sambil tersenyum tipis.

Tak lama kemudian, Pak Gilang berdiri, aku pun ikut berdiri, entahlah siapa yang akan ia sambut kedatangannya. Aku lihat di hadapanku tidak ada siapa-siapa. Kebetulan, aku dan Pak Gilang duduk berhadapan.

"Selamat siang, Pak Gilang!" sapa dua orang dari arah belakangku. Kedengaran telingaku, satu suara wanita, satu lagi suara laki-laki.

POV Zaki

Sejak pertama kali mendengar dari Arman, temanku yang mengurus bengkel, bahwa ia melihat Ana bersama dengan laki-laki lain. Saat itulah kepercayaanku mulai hilang kepadanya. Istri pertama yang amat kucintai ternyata telah berpaling dariku hanya karena ingin mendapatkan mobil dan fasilitas mewah lainnya.

Aku memang tidak memberikan apapun pada Ana saat bersamaku. Itu dikarenakan mama tak mengizinkan. Alih-alih karena Ana belum memberikan keturunan. 

"Woy, mending elu pulang ke rumah. Tunggu Ana pulang, barusan gue liat dia di cafe dengan laki-laki. Sayangnya gue nggak bisa motoin tadi, ribet bawa bocah," tutur Arman saat memberikan informasi ini. 

"Yang bener lu? Ana selingkuh? Apa jangan-jangan gara-gara minta beliin baju kemarin ya?" 

"Mungkin, makanya elu jadi laki yang adil, masa Ana nggak pernah elu manjain," sahutnya. Kemudian tanpa basa-basi, aku bergegas ke parkiran bengkel. Lalu pulang, menunggu kedatangan Ana.

Benar saja apa yang Arman informasikan. Ana pulang membawa mobil Honda jazz, dan perhiasan beserta tas mewah. Alangkah terkejutnya aku melihat kejadian ini. Emosi campur penasaran menggebu di hati. Namun, sayangnya Ana Melissa tak dapat membuktikan bahwa ia tidak selingkuh. Malahan ia berontak dan berusaha pergi dari rumah, hingga membuatku sontak kesal lalu menalaknya.

Harta memang membuatnya buta, ia rela menjual dirinya untuk sebuah mobil dan perhiasan. Hingga mengorbankan pernikahan kami. Itu artinya, memang tidak perlu mempertahankan wanita seperti itu.

Saat itu, Lita istri keduaku menghubungi. Aku terkejut mendengar penuturannya di telepon.

"Mas, barusan Ana ke sini. Aneh sekali, ia memberikanku bunga mawar berduri," imbuhnya dalam sambungan telepon.

"Masa? Tahu dari mana Ana rumahmu? Bukankah ia tahunya kamu itu anak jalanan?" tanyaku heran.

Setahu aku, Ana Melissa, anak jalanan dan yang ia tahu tentang Lita, ia adalah anak jalanan juga. Padahal, Lita adalah wanita yang ternyata dijodohkan denganku, yang akhirnya aku nikahi secara siri setelah 5 bulan aku menikahi Ana secara sah. Tidak ada pernikahan paksaan antara aku dan Ana. Begitu pula dengan pernikahan siri antara aku dan Lita. Semuanya atas kemauan aku, itu karena aku ingin sekali memiliki anak, tapi Ana tak kunjung hamil.

"Mas, aku juga tidak tahu Ana mengetahui ini dari mana! Aku khawatir Ana menyakitiku dan calon anak kita!" tambah Lita. Aku yakin Lita ketakutan karena tahu bahwa Ana Melissa adalah wanita yang tidak lemah. 

"Sudahlah, dia sudah pergi, kan? Tak mungkin dia tahu tentang pernikahan kita. Semua sudah bersedia tutup mulut tentang rahasia ini," ucapku menenangkan.

"Ya sudah, besok antar aku ke Dokter kandungan," ajaknya.

"Pastinya, sampai bertemu besok, ya!" Kemudian telepon pun terputus.

Keesokan harinya, pagi-pagi kami ke rumah sakit. Kami memeriksa kandungan Lita, setelah itu saat hendak antri obat, aku melihat Ana masuk ke ruangan dokter kandungan, tidak kusangka di sana ternyata ada Ana juga. 

"Mas, itu Ana."

"Iya, dia pasti ingin cari tahu siapa suamimu, Lita. Sebentar, aku minta tolong orang dulu."

Aku sembunyikan Lita dari keramaian, agar tak terlihat dari Ana. Lalu aku bayar orang untuk mengantri obat dan memakai jas yang tengah aku gunakan.

Kemudian, setelah itu, aku hubungi teman untuk mengambil mobil yang terparkir di rumah sakit, khawatir Ana curiga jika melihat mobilku terparkir di sini.

"Ayo kita pulang!" ajakku pada Lita.

"Ayo, Mas." Setelah itu, ponsel Lita berdering.

"Telepon tuh," ucapku. Sementara Lita mengangkat telepon, aku menunggu temanku untuk mengembalikan mobil itu kembali. Kami janjian tepat di belakang rumah sakit, agar Ana tidak melihat keberadaan kami berdua.

Lita pun selesai menerima telepon, ia mengajakku untuk ke sebuah restoran.

"Mas, kita diundang makan siang oleh Pak Gilang." Siapa dia? Ada apa ngundang kami berdua?

"Siapa Pak Gilang? Sudah tua kamu panggil dengan sebutan Pak?" tanyaku.

"Usianya baru 26 kayaknya, hanya saja jabatannya di sebuah perusahaan membuatku harus memanggil dengan sebutan Pak."

"Kamu kenal dari mana?" tanyaku menyelidik.

"Dia itu teman Papaku, Mas. Baru kenal beberapa bulan yang lalu juga. Saat kita menikah, ia datang loh!" jelasnya.

Berati aman, ia kenal dengan Lita beserta keluarganya. Tidak ada sangkut pautnya dengan Ana. Aku juga bingung sebenarnya dengan orang yang mengirimkan bunga mawar merah ke rumah Lita. Namun, jika aku bicarakan ini pada Lita, yang ada ia malah cemas dengan keselamatannya. 

"Ya sudah, tunggu mobil datang dulu." 

Kami menunggu mobil datang, sekitar lima belas menitan kami menunggu. Akhirnya ia sampai juga.

"Makasih ya," ucapku pada Arman.

"Sama-sama, jangan kelamaan bohongin anak orang. Ngomong-ngomong cakep sekarang Ana. Punya mobil juga lagi," pungkasnya membuatku bergemuruh.

"Sudahlah, aku mau pergi dulu!" Aku dan Lita pun bergegas ke sebuah restoran di jalan kelinci. 

"Mas, restoran itu kan sering aku kunjungi bersama Ana. Aku sering traktir dia di sana, tanpa ia tahu kondisi keuanganku. Ia pikir, aku punya uang dari hasil ngamen saja. Ana tidak tahu bahwa Papaku pemilik PT. Keramik Jaya." 

Aku bergeming, jangankan Ana. Aku pun yang baru menikahinya beberapa bulan lalu baru tahu setelah mama bicarakan ini padaku. Kalau tahu yang dijodohkan dulu adalah Lita, anak pemilik PT. Keramik Jaya. Pastinya takkan aku paksakan Ana menikah denganku.

Setibanya di restoran, aku dan Lita bergegas masuk. Aku menyapa dua orang yang tengah duduk. Satu wanita membelakangi kami, dan satu pria berhadapan dengan kami.

"Selamat siang, Pak Gilang!" Kami memberikan salam saat baru saja datang.

"Siang, Lita, Zaki. Perkenalkan ini Ana Melissa." Kami serentak tercengang, termasuk Ana yang sepertinya tidak mengetahui juga akan pertemuan ini.

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mulyanto
ok juga, harapan tinggal harapan
goodnovel comment avatar
Sherly Ademarlini
puyeng... ,, wkwkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status