Share

Bab 4: Drama di Meja

Setelah menolak permintaan Bang Teguh untuk membeli tanah seharga 2 Milyar itu, ibu mertua mulai menatapku dengan sorot mata penuh kebencian seperti yang selama ini diberikannya pada Nita. Tidak cukup sampai di situ, intonasi bicara ibu mertua berubah drastis, penuh cibiran dan ketidaksukaan.

Aku yang merasakan dengan jelas perubahan itu hanya bisa berpura-pura acuh. Karena, aku yakin benar jika semua yang dilakukan ibu mertua, hanya untuk menekanku, agar segera menyetujui keinginan putranya, membeli tanah dengan harga yang fantastis lalu mengganti namanya atas nama Bang Teguh. Sudah sinting hidup ini! Entah kenapa dulu, kuterima lamaran pria ini.

“Gin!” Seruan dari suara Bang Teguh memanggil namaku.

Hampir saja, aku duduk bengong di meja makan. Makanan yang sudah kuambil hanya tercampur aduk di piring. Tidak sesuap pun masuk ke dalam tenggorokan, apalagi jatuh ke lambung yang sudah daritadi meronta minta bagian.

“Enggak usah dipanggil, Guh! Istrimu sudah dewasa. Kalau nggak mau makan ya sudah! Dia duitnya banyak, kali saja mau makan yang enak-enak sendirian,” cibir ibu mertua lengkap dengan sudut bibirnya yang naik sebelah.

“Kamu kenapa lagi, sih?” Bang Teguh menegurku lagi. Suaranya terdengar keras, meski sebenarnya dia berusaha menahan.

“Kamu enggak suka menu masakan ibu?” Bang Teguh melirik piringku yang kacau. Nasi dan lauk yang tercampur aduk itu membuang jauh-jauh selera makan siapapun.

Aku hanya tersenyum, lalu menatap balas ibu mertua yang masih menunggui responku. “Masakan ibu ya, Bang?”

“Iya ... ibu yang masak, kan?” Bang Teguh ikut-ikutan melirik ibu mertua.

Wajah garang yang sedari tadi ditunjukkan wanita itu mendadak suram. Sedangkan Nita, yang jelas-jelas selalu menjadi budak di rumah ini, meneguk paksa sesuap nasi yang baru masuk ke tenggorokan.

“Sejak kapan ibu rajin masak, Bang? Setahuku, cuma Nita yang masakannya enak begini,” sindirku lagi. Meski tanpa mencicipinya sekalipun, bisa kutebak jika menu-menu lezat yang terhampar di meja adalah hasil keringat Nita dari pagi hingga sore. Lalu, kenapa dengan teganya, ibu mertua mengaku-ngaku jika ini adalah usahanya?

Nita semakin sayu saja, tubuhnya terlihat bergetar berkat ucapanku. Padahal, respon seperti itulah yang kuharapkan dari ibu mertua.

“Masakan ibu memang enak kok, Gin. Kamu setiap hari makannya dimasakin ibu kok ngomongnya gitu? Kamu nyakitin perasaann ibu. Itu artinya, kamu nyakitin perasaanku juga!” serang Bang Teguh.

“Loh, Bang!”

“Memang begini kelakuan istrimu, Guh! Ibu minta dibayarin COD lima puluh ribu aja, dia nolak, Guh! Istrimu sudah semakin sombong semenjak bisnisnya tambah maju. Sebentar lagi, kita bisa diinjak-injak olehnya!” cela ibu mertua lagi yang sukses membuat hatiku memanas.

“Gina?!”

Aku mencebik saat Bang Teguh menoleh ke arahku setelah mendengar segala tuduhan tidak berdasar itu. “Lima puluh ribu, Bang?”

“Hanya lima puluh ribu kamu keberatan, Gin?”

“Bang ... terserah saja, ya? Aku sudah selesai makan,” sahutku tanpa berusaha memperpanjang perdebatan di meja.

Entah kapan rumah ini bisa tenang, jika sikap dari ibu mertua dan Bang Teguh selalu sama. Menyalah-nyalahkan mantun atau istrinya dan dengan teganya memfitnah demi menguntungkan diri sendiri.

“Bu ... aku ingin keluar dari rumah ini!” ucapku sebelum pergi dari meja.

Sontak saja, Bang Teguh ikut tersentak kaget. Ditahannya lenganku yang mengepal keras berkat emosi yang tanpa henti menyalak. Bagiku, ini sudah keterlaluan dan aku tidak lagi bisa tahan.

“Kita pindah ke kontrakan saja, Bang! Kamu juga, Gin ... pindah saja ke rumah kontrakan sama Willy!” hasutku pada kedua pasangan suami istri yang tetap diam menyimak.

“Kamu apa-apaan ini, Gin?! Kenapa malah ngehasut Nita!” Segera ibu mertua protes dengan ucapanku.

“Maaf saja, Bu ... kurasa sudah cukup Nita menjadi budak tak berarti di rumah ini. Sudah waktunya dia bebas dan menjalani kehidupannya dengan layak. Kamu juga Willy, jangan mau dibodoh-bodohin ibu terus. Istrimu jadi budak di sini kamu tidak tahu!”

“Gin ... kamu keterlaluan, Gina! Kamu asal-asalan nuduh ibu. Abang tidak akan keluar dari rumah ini dan meninggalkan ibu sendirian.”

Hah ... hatiku mencelos lagi. Inilah penyebabnya kenapa kami belum bisa tinggal di rumah sendiri. Bang Teguh akan selalu berada di sisi ibunya dan menganaktirikan perasaan istrinya.

Terpaksa, aku tersenyum walau terasa getir. Sudah dua tahun lamanya, hidup dengan perasaan yang selalu disembelih ibu mertua, dan kini ikut dicincang oleh Bang Teguh— suamiku sendiri.

Merasa tidak tahan, dengan lantang aku berucap pada mereka yang ada di sana, “Kalau begitu, aku saja yang keluar dari rumah ini!”

Setelahnya, aku segera menghembus napas dengan keras agar aroma menusuk dari minyak angin yang dipakai ibu mertua tidak lagi merasuk ke hidung. Lalu, dengan langkah yang sengaja kusentak, aku segera beranjak menuju kamar, tidak perduli dengan panggilan beruntun dari Bang Teguh ataupun Nita.

Pintu almari yang belum lama ini berganti itu, kubuka dengan keras hingga bunyi berderak terdengar. Baju-baju yang terlipat rapi di dalamnya, segera kutarik keluar dari sana. Lalu, menyusunnya asal di dalam satu koper besar.

Belum selesai mengisi koper, Bang Teguh datang dari ruang makan dengan wajah yang pucat. Dia menunjuk koper dan diriku. Bola matanya membulat, mungkin kaget atau mungkin saja marah, aku tidak perduli. Sakit hatiku saja, dia acuh.

“Kamu mau kemana, Gin? Ibu pingsan, Gin!” serunya. Lalu, sayup-sayu kudengar Nita yang menangis dan Bang Willy yang panik.

“Kemarikan kunci mobilmu, Gin! Abang mau bawa ibu ke rumah sakit. Apa mobil juga enggak mau kamu pinjamkan lagi?” sindir Bang Teguh.

Tangannya terulur, menunggu dengan kesal agar benda mungil berujung lancip itu segera kuberikan. Walau belum memastikan apa yang sedang menimpa ibu mertua saat ini kenyataan atau kebohongan, kuberikan kunci mobil itu pada Bang Teguh, lalu dia segera berlari keluar.

Batinku terasa nyeri begitu Bang Teguh menghilang, di saat aku mencoba untuk pergi dan memperjuangkan perasaanku, Bang Teguh seakan tidak perduli. Di pikirannya, hanya ada ibu dan ibu. Entah dimana posisiku sampai dia dengan mudahnya mempercayaii setiap tuduhan tanpa bukti dari ibu mertua.

Saat kudengar deru dari mesin mobil, kuusap wajah yang menghangat marah, kemudian bangkit dari tepian ranjang. Memastikan apa yang sebenarnya terjadi di luar sana adalah sebuah keharusan untuk saat ini. Ibu mertua, mungkin saja sedang berpura-pura.

—Bersambung ...

Follow I*: @bemine_3897

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Biarkan gin jgn mau kl suruh bayar rumah sakit
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status