Setelah menolak permintaan Bang Teguh untuk membeli tanah seharga 2 Milyar itu, ibu mertua mulai menatapku dengan sorot mata penuh kebencian seperti yang selama ini diberikannya pada Nita. Tidak cukup sampai di situ, intonasi bicara ibu mertua berubah drastis, penuh cibiran dan ketidaksukaan.
Aku yang merasakan dengan jelas perubahan itu hanya bisa berpura-pura acuh. Karena, aku yakin benar jika semua yang dilakukan ibu mertua, hanya untuk menekanku, agar segera menyetujui keinginan putranya, membeli tanah dengan harga yang fantastis lalu mengganti namanya atas nama Bang Teguh. Sudah sinting hidup ini! Entah kenapa dulu, kuterima lamaran pria ini.
“Gin!” Seruan dari suara Bang Teguh memanggil namaku.
Hampir saja, aku duduk bengong di meja makan. Makanan yang sudah kuambil hanya tercampur aduk di piring. Tidak sesuap pun masuk ke dalam tenggorokan, apalagi jatuh ke lambung yang sudah daritadi meronta minta bagian.
“Enggak usah dipanggil, Guh! Istrimu sudah dewasa. Kalau nggak mau makan ya sudah! Dia duitnya banyak, kali saja mau makan yang enak-enak sendirian,” cibir ibu mertua lengkap dengan sudut bibirnya yang naik sebelah.
“Kamu kenapa lagi, sih?” Bang Teguh menegurku lagi. Suaranya terdengar keras, meski sebenarnya dia berusaha menahan.
“Kamu enggak suka menu masakan ibu?” Bang Teguh melirik piringku yang kacau. Nasi dan lauk yang tercampur aduk itu membuang jauh-jauh selera makan siapapun.
Aku hanya tersenyum, lalu menatap balas ibu mertua yang masih menunggui responku. “Masakan ibu ya, Bang?”
“Iya ... ibu yang masak, kan?” Bang Teguh ikut-ikutan melirik ibu mertua.
Wajah garang yang sedari tadi ditunjukkan wanita itu mendadak suram. Sedangkan Nita, yang jelas-jelas selalu menjadi budak di rumah ini, meneguk paksa sesuap nasi yang baru masuk ke tenggorokan.
“Sejak kapan ibu rajin masak, Bang? Setahuku, cuma Nita yang masakannya enak begini,” sindirku lagi. Meski tanpa mencicipinya sekalipun, bisa kutebak jika menu-menu lezat yang terhampar di meja adalah hasil keringat Nita dari pagi hingga sore. Lalu, kenapa dengan teganya, ibu mertua mengaku-ngaku jika ini adalah usahanya?
Nita semakin sayu saja, tubuhnya terlihat bergetar berkat ucapanku. Padahal, respon seperti itulah yang kuharapkan dari ibu mertua.
“Masakan ibu memang enak kok, Gin. Kamu setiap hari makannya dimasakin ibu kok ngomongnya gitu? Kamu nyakitin perasaann ibu. Itu artinya, kamu nyakitin perasaanku juga!” serang Bang Teguh.
“Loh, Bang!”
“Memang begini kelakuan istrimu, Guh! Ibu minta dibayarin COD lima puluh ribu aja, dia nolak, Guh! Istrimu sudah semakin sombong semenjak bisnisnya tambah maju. Sebentar lagi, kita bisa diinjak-injak olehnya!” cela ibu mertua lagi yang sukses membuat hatiku memanas.
“Gina?!”
Aku mencebik saat Bang Teguh menoleh ke arahku setelah mendengar segala tuduhan tidak berdasar itu. “Lima puluh ribu, Bang?”
“Hanya lima puluh ribu kamu keberatan, Gin?”
“Bang ... terserah saja, ya? Aku sudah selesai makan,” sahutku tanpa berusaha memperpanjang perdebatan di meja.
Entah kapan rumah ini bisa tenang, jika sikap dari ibu mertua dan Bang Teguh selalu sama. Menyalah-nyalahkan mantun atau istrinya dan dengan teganya memfitnah demi menguntungkan diri sendiri.
“Bu ... aku ingin keluar dari rumah ini!” ucapku sebelum pergi dari meja.
Sontak saja, Bang Teguh ikut tersentak kaget. Ditahannya lenganku yang mengepal keras berkat emosi yang tanpa henti menyalak. Bagiku, ini sudah keterlaluan dan aku tidak lagi bisa tahan.
“Kita pindah ke kontrakan saja, Bang! Kamu juga, Gin ... pindah saja ke rumah kontrakan sama Willy!” hasutku pada kedua pasangan suami istri yang tetap diam menyimak.
“Kamu apa-apaan ini, Gin?! Kenapa malah ngehasut Nita!” Segera ibu mertua protes dengan ucapanku.
“Maaf saja, Bu ... kurasa sudah cukup Nita menjadi budak tak berarti di rumah ini. Sudah waktunya dia bebas dan menjalani kehidupannya dengan layak. Kamu juga Willy, jangan mau dibodoh-bodohin ibu terus. Istrimu jadi budak di sini kamu tidak tahu!”
“Gin ... kamu keterlaluan, Gina! Kamu asal-asalan nuduh ibu. Abang tidak akan keluar dari rumah ini dan meninggalkan ibu sendirian.”
Hah ... hatiku mencelos lagi. Inilah penyebabnya kenapa kami belum bisa tinggal di rumah sendiri. Bang Teguh akan selalu berada di sisi ibunya dan menganaktirikan perasaan istrinya.
Terpaksa, aku tersenyum walau terasa getir. Sudah dua tahun lamanya, hidup dengan perasaan yang selalu disembelih ibu mertua, dan kini ikut dicincang oleh Bang Teguh— suamiku sendiri.
Merasa tidak tahan, dengan lantang aku berucap pada mereka yang ada di sana, “Kalau begitu, aku saja yang keluar dari rumah ini!”
Setelahnya, aku segera menghembus napas dengan keras agar aroma menusuk dari minyak angin yang dipakai ibu mertua tidak lagi merasuk ke hidung. Lalu, dengan langkah yang sengaja kusentak, aku segera beranjak menuju kamar, tidak perduli dengan panggilan beruntun dari Bang Teguh ataupun Nita.
Pintu almari yang belum lama ini berganti itu, kubuka dengan keras hingga bunyi berderak terdengar. Baju-baju yang terlipat rapi di dalamnya, segera kutarik keluar dari sana. Lalu, menyusunnya asal di dalam satu koper besar.
Belum selesai mengisi koper, Bang Teguh datang dari ruang makan dengan wajah yang pucat. Dia menunjuk koper dan diriku. Bola matanya membulat, mungkin kaget atau mungkin saja marah, aku tidak perduli. Sakit hatiku saja, dia acuh.
“Kamu mau kemana, Gin? Ibu pingsan, Gin!” serunya. Lalu, sayup-sayu kudengar Nita yang menangis dan Bang Willy yang panik.
“Kemarikan kunci mobilmu, Gin! Abang mau bawa ibu ke rumah sakit. Apa mobil juga enggak mau kamu pinjamkan lagi?” sindir Bang Teguh.
Tangannya terulur, menunggu dengan kesal agar benda mungil berujung lancip itu segera kuberikan. Walau belum memastikan apa yang sedang menimpa ibu mertua saat ini kenyataan atau kebohongan, kuberikan kunci mobil itu pada Bang Teguh, lalu dia segera berlari keluar.
Batinku terasa nyeri begitu Bang Teguh menghilang, di saat aku mencoba untuk pergi dan memperjuangkan perasaanku, Bang Teguh seakan tidak perduli. Di pikirannya, hanya ada ibu dan ibu. Entah dimana posisiku sampai dia dengan mudahnya mempercayaii setiap tuduhan tanpa bukti dari ibu mertua.
Saat kudengar deru dari mesin mobil, kuusap wajah yang menghangat marah, kemudian bangkit dari tepian ranjang. Memastikan apa yang sebenarnya terjadi di luar sana adalah sebuah keharusan untuk saat ini. Ibu mertua, mungkin saja sedang berpura-pura.
—Bersambung ...
Follow I*: @bemine_3897
Pagi ini, setelah memeriksa gudang dan pesanan pembeli, aku menyegerakan diri melangkah menuju rumah sakit tempat dimana mertuaku dirawat. Menggunakan jasa ojek online, aku menumpang hingga tiba di gedung bertingkat megah yang dipilih ibu mertua sebagai tempatnya berobat.Sejenak, aku menghela napas kala melihat bagaimana bagusya bangunan ini. Rumah Sakit Budiantara namanya. Salah satu perusahaan jasa yang menawarkan fasilitas mewah dan berkelas, tentunya dengan harga yang tidak ramah di kantong.Aku bergegas menuju ruang tempat di mana ibu mertua dirawat, tentunya sesudah membelikannya sekeranjang besar buah-buahan bagus dan segar dari toko buah yang berjalan beberapa meter dari rumah sakit. Aku tidak mau dianggap menantu celit dan kikir, hanya karena menghadiahinya buah-buahan dalam jumlah terbatas. Lagipula, Bang Teguh juga yang akan menikmatinya nanti.Baru langkah pertama memasuki lantai dasar, aroma menusuk dari alkohol dan obat-obatan menyeruak di rongga
Aku segera kembali ke rumah Bang Teguh dengan menyewa ojek yang mangkal di dekat rumah sakit meski kusadari beberapa kali ponsel berdering nyaring, mendendangkan panggilan dari suamiku sendiri. Mungkin, pria itu tidak menyangka jika aku benar-benar akan menentang dirinya dan memilih pulang dibandingkan menemui ibu mertua yang sibuk berpura-pura sakit.Begitu tiba di depan pagar, ojek yang telah menempuh jarak cukup jauh untukku itu meminta tebusan mencapai lima puluh ribu. Aku sedikit mengernyit awalnya, lalu mengeluarkan uang seratus ribu yang berjubel di dalam dompet dan memberikannya padanya.Terlihat dia yang mulai merogoh kantong jaket serta sakut celana. “Enggak ada kembaliannya, Mbak. Uang pas aja. Si Mbak pelanggan pertama,” pintanya santun.Aku mengulas senyum, kembalian sebesar itu memang tidak lagi terasa banyak sejak Rabbi memberi harta yang berlimpah. “Buat Bapak aja kembaliannya. Semoga bermanfaat.” Lantas, aku segera mendor
“Susah ya, ngomong sama menantu kayak kamu. Belagu!” Ibu mertua mencebik dengan keras, kemudian dia berusaha bangkit dari kursi yang didudukinya saat datang tadi.Melihatnya bergerak, aku masih diam membisu. Kenyataan pahit yang ditorehkannya selama ini membuatku enggan membantu.“Gin! Kamu diam aja di situ?” seru Bang Teguh tidak terima.“Istrimu tidak tahu diri, Guh! Sudah untung kamu mau nikah sama dia, kalau enggak jadi perawan tua sekalian!” Lagi ... ibu mertua mengumpatiku.“Sudah, Bu ... jangan marah-marah lagi, biar Teguh yang ngajarin Gina nanti. Sekarang, Ibu fokus istirahat dulu, ya?” pinta Bang Teguh tanpa beranjak dari posisinya saat ini.Aku menyunggingkan senyum, ucapan serta perbuatannya sama sekali tidak sinkron. Perkataan pria itu seolah-olah telah menempatkan ibu mertua di atas tahta, namun nyatanya memapahnya ke kamar saja tidak pernah dia dilakukan.“Nita!” Ibu
“Abang mau cerai?” tantangku sekali lagi.Kutahan sekuat hati selaksa air mata yang mulai membentuk di pelupuk. Tidak boleh sekalipun beningnya jatuh untuk Bang Teguh dan ibu mertua yang dengan mudahnya menoreh luka di batinku.“Eh .. siapa yang mau cerai, Gin!”“Itu, ibu ngomongnya gitu!” sambutku seraya mendelikkan mata dengan sengaja ke arah ibu mertua.“Bu ... Ibu ngomong apa, sih? Siapa yang mau bercerai?” Bang Teguh ikut melirik ibu mertua.Aku tersenyum tipis agar tidak terlalu kentara, kemudian memicingkan mata demi melihat sepuasnya perubahan raut wajah dari ibu mertua yang ditentang oleh putra kesayangannya. Inilah Bang Teguh yang sesungguhnya, demi menghindar dari perceraian yang memberinya kerugian, dia lebih memilih menbantah ibu mertua dibandingkan sebelumnya.“Abang pakai mobilnya, ya? Panas banget Gin.” Bang Teguh kembali mengemis. Aku muntab, lantas
“Maksudnya apa, Bu?” Aku menatap ibu mertua dengan sorot mata bingung.Wanita paruh baya itu menyunggingkan bibirnya, mungkin merasa malas saat mendengar suaraku.“Apa ini, Nit? Kwitansi apa ini?” tanyaku pada Nita seraya berharap wanita itu akan memberiku penjelasan. Meski demikian, Nita menggeleng, lantas menundukkan wajah. “Nita nggak tahu, Mbak.”“Ini, semuanya hutang-hutang Teguh, Mbak! Saya mau dibayar sekarang karena jatuh temponya udah terlalu lama. Gimana ini, saya juga butuh uang, masa sudah berbulan-bulan enggak balik uang saya?” jelas pria berkulit legam.Aku yang baru saja mendapatk an jawaban atas alasan dari kehadirannya lantas membelalakkan mata kembali. Kemudian, memandangi satu per satu lembar kehijauan yang dibubuhi tanda tangan milik Bang Teguh. Jumlah yang tertulis di atasnya tidak main-main, dan jika ditotal maka mencapai tiga puluh juta rupiah.“Saya berani pinjamin
Aku menunggu sejenak di depan rumah asing yang didatangi Bang Teguh, memperhatikan dari dalam mobil dengan jarak aman demi mengetahui pemilik dari hunian mencurigakan itu. Jika memang itu rumah Adinda bersama suamiku, lantas kenapa halamannya tidak terurus? Bahkan lebih cocok disebut berantakan bak diterjang badai sungguhan. Selang beberapa lama, motor lainnya datang. Dua pengendara yang berboncengan di atasnya ikut masuk ke rumah itu. Pintunya tertutup rapat, namun saat ada yang mengetuk, maka segera terbuka seolah-olah ada sistem otomatis yang mampu mendeteksi kehadiran seseorang. Aku menanti lagi dengan sabar, hingga siang berganti jadi sore tanpa memindahkan pandanganku meski hanya sedetik ke pintu rumah itu. Apa yang dua orang tadi dan Bang Teguh lakukan di sana? Kenapa hawanya jadi semakin mencurigakan? Di tengah kekalutan itu, satu motor lain menyusul. Sama seperti Bang Teguh dan dua orang setelahnya, pengendaranya segera masuk dengan langkah penuh per
Bang Teguh yang baru saja pulang menatapku kaget. Tatapannya matanya yang semula tersenyum jadi bulat besar. Kebingungan seakan menyelimuti pria itu, hingga tidak mampu beranjak dari ambang pintu.“Masuk, Bang ... pintunya ditutup, dong!” paparku lagi dengan senyum yang menyiratkan banyak makna.Aku sudah tidak mau lagi bertahan dengan pria ini dan keluarganya. Segala dusta yang telah mereka berikan, sudah cukup sebagai alasan untukku segera angkat kaki dari sini, melepaskan diri dari belenggu yang terus menjerat tanpa akhir.“Ka-kamu kenapa, sih? Makin hari makin aneh?” balas Bang Teguh seraya mendekatiku.Pria itu mengulurkan tangannya, hendak membelai wajahku. Tetapi aku, lebih dulu bergeser dan menjauh. Kutatap dia dengan pandangan tak suka, memberinya kejelasan jika aku tidak sudi disentuh olehnya, apalagi dengan tangan yang baru saja mencetak banyak noda dan dosa di rumah misterius tadi.“Gin!” Bang Teguh t
“Mbak, tinggal di sini, Nita mohon ....” Rintihan Nita semakin keras di sore yang menggelap ini.Rupanya, matahari sudah tenggelam, dan bulan mulai mengintip malu-malu.“Mbak, Mbak tega ninggalin Nita?” Isak tangis Nita kian mengeras meski malam mulai datang. Aku khawatir jika apa yang dilakukan oleh Nita akan membuat tetangga bertanya-tanya, kapan rumah ini bisa tenang dan bebas dari masalah.“Mbak harus pergi, Nit. Sudah tidak ada alasan lagi untuk tetap di sini,” jelasku pada Nita. Sama seperti sebelumnya, Nita keberatan, pelukannya menjadi semakin erat.Aku membuka pelan dekapan wanita itu, lantas menundukkan sedikit wajah demi menatap parasnya yang telah basah. Ada sekelebat rasa syukur yang melintas saat sadar jika di bawah atap yang dihuni oleh orang-orang berhati jahat ini, masih ada satu hati suci nan putih yang kian bersemi. Seandainya saja, wanita ini bisa kubawa pergi dari sini ....“Mbak, nanti