Pagi ini, setelah memeriksa gudang dan pesanan pembeli, aku menyegerakan diri melangkah menuju rumah sakit tempat dimana mertuaku dirawat. Menggunakan jasa ojek online, aku menumpang hingga tiba di gedung bertingkat megah yang dipilih ibu mertua sebagai tempatnya berobat.
Sejenak, aku menghela napas kala melihat bagaimana bagusya bangunan ini. Rumah Sakit Budiantara namanya. Salah satu perusahaan jasa yang menawarkan fasilitas mewah dan berkelas, tentunya dengan harga yang tidak ramah di kantong.
Aku bergegas menuju ruang tempat di mana ibu mertua dirawat, tentunya sesudah membelikannya sekeranjang besar buah-buahan bagus dan segar dari toko buah yang berjalan beberapa meter dari rumah sakit. Aku tidak mau dianggap menantu celit dan kikir, hanya karena menghadiahinya buah-buahan dalam jumlah terbatas. Lagipula, Bang Teguh juga yang akan menikmatinya nanti.
Baru langkah pertama memasuki lantai dasar, aroma menusuk dari alkohol dan obat-obatan menyeruak di rongga hidung. Termasuk juga, pemandangan yang mampu membuat bulu kuduk meremang, saat melihat sosok terbaring kaku di ruang IGD yang berdinding kaca bening.
Aku melewati ruangan dengan dengan langkah terburu-buru. Kemudian, mendekati meja resepsionis. Salah satu dari dua suster yang sedang bertugas menatapku sejenak, lalu bertanya dengan sopan, “Mau jenguk siapa, Mbak?”
“Mertua saya, Sus. Semalam masuk ke sini.”
“Namanya siapa, Mbak? Biar saya carikan.”
“Erna, namanya Bu Erna. Datang bersama putranya,” jelasku yakin seyakin-yakinnya.
Bang Teguh sudah memberiku alamat rumah sakit ini, maka sangat tidak mungkin ibu mertua dirawat di rumah sakit yang lain. Mendengarku menyebut nama ibu mertua, suster berwajah bulat itu segera mengecek daftar pasien rawat inap dari komputernya, lalu sejurus kemudian menemuiku dengan informasi yang kubutuhkan. “VIP lima lantai dua, Mbak.”
Darahku sedikit berdesir saat mendengar ruangan yang disebut suster. Ah, baiklah apa urusannya denganku ibu mertua dirawat di ruangan seperti apa. Lagipula, kedua putranya yang akan menanggung semua biaya perawatan.
“Makasih ya, Sus!” pamitku terakhir kali, lalu beranjak segera menuju lift yang untungnya masih terbuka.
Tidak perlu waktu lama, aku berhasil menemukan ruang VIP lima di lantai kedua seperti yang disebutkan suster di lantar dasar tadi. Aku mengintip sedetik dari jendela kaca yang terhalang gorden, berharap jika ruangan yang terdengar riuh dari luar bukanlah ruang ibu mertua.
Bagaimana mungkin gelak tawa yang menggelegar dan mengusik ketenangan itu berasal dari ibu mertua yang sedang sakit? Aku berulangkali mengucap istigfar, berharap jika pikiran buruk yang menguasaiku saat ini hanyalah tiupan serta hasutan dari setan belaka.
Aku menekan knop pintu, lalu mendorongnya pelan agar tidak menimbulkan suara. Sedikit melongok ke dalam, seketika bola mata ini terasa hampir melompat dari sarang. Ibu mertua duduk santai sambil bersandar di dashboard mobil, di tangannya dia menggenggam garpu yang ditusukkan potongan buah pir, dan di pangkuannya terdapat sepiring penuh buah-buahan yang sudah dipotong dan dikupas.
Ibu mertua tertawa menggelegar, saat teman-temannya yang berkunjung berbicara kepadanya, menggosipkan tentang bagaimana mewahnya rumah sakit yang saat ini dikunjungi, serta tentang buah mahal yang sedang dinikmati. Turun ke bawah, di lantai yang dingin karena sofa satu-satunya yang diberikan rumah sakit sudah penuh diisi oleh dua wanita bertumbuh bulat seperti ibu mertua, ada Nita yang duduk bak pekerja rumah tangga. Gadis itu dengan sabar menguliti apel dan pir yang sepertinya buah tangan dari dua wanita tersebut.
“Jadi, enak dong, Bu ... punya mantu tajir. Uh, rumah sakit aja dibayarin semahal ini. Pasti dia sayang banget sama Bu Erna.” Salah satu wanita yang kukenal sebagai Bu Husna berbicara lagi, tentunya tanpa berhenti menggigit dan mengunyah buah yang dihidangkan Nita.
“Iya, dong ... Bu. Itu, Bu ... Teguh mau beli tanah, buat kebun. Harganya dua em ...,” obral ibu mertua lagi dengan bangganya. “Nanti, tanahnya mau dikasih ke saya, Bu. Enakkan Bu, punya mantu tajir. Hehehe ....”
“Wah, dua em, Bu? Itu duit semua?”
Ibu mertua mengangguk bangga. “Iya, Teguh itu duitnya banyak. Istrinya kaya raya, pinter kan anak saya nyari bini? Kalau yang modelan begini sih ....” Kali ini, ibu mertua melirik Nita yang duduk diam di bawah.
Tanpa melakukan apapun, tetap saja Nita kena sembur dan hina.
“Ya, bilang ke Willy, Bu ... cari lagi yang baru, harus yang kayak Gina. Kan lumayan banget Bu. Apalagi, si Willy mukanya ganteng, banyak yang demen.” Bu Inah menyambar tepat setelah ibu mertua selesai.
Ketiganya kembali menertawai Nita, sesekali membandingkannya denganku atau dengan mantu-mantu mereka yang bekerja di kantor. Tidak jarang, kudengar ibu mertua mengiyakan saran-saran dari temannya untuk meminta Bang Willy menikah lagi.
“Kalau enggak, Teguh juga bisa tuh nikah lagi, hehe ....” Bu Husna terkikik. Sepiring pir dan apel yang dipotong Nita ludes olehnya. Aku masih belum beranjak sama sekali dan balik pintu, ada banyak hal yang bisa kudengar, meski sebagiannya memilukan.
“Loh, kan memang sudah dua, Bu ....” Bu Inah menjawab.
“Hush! Jangan keras-keras, nanti ada yang laporan,” ingat ibu mertua.
Aku yang mendengar dengan jelas hal itu merasa bagaikan disengat. Apa maksud ibu mertua dan kedua temannya? Bang Teguh menikah lagi?
“Loh, kapan Bu Husna?”
“Ah, si Ibu. Itu, Bu ... yang di ....”
Aku tidak sempat mendengar Bu Husna hingga selesai, karena Bang Teguh lebih dulu datang dan menarik gagang pintu hingga berdentum. “Kapan kamu sampai, Gin?” tanyanya dengan wajah yang memucat. Sepertinya, Bang Teguh berusaha menyembunyikan sesuatu.
“Abang nikah lagi?” Aku segera menginterogasi.
“Kamu ngawur. Nikah lagi? Satu saja sudah bikin pusing,” elaknya. “Sudah, cepat masuk! Kamu telat jenguk ibu. Harusnya datang agak pagi, biar bisa bantu-bantu ibu bersih-bersih.”
“Bang, jawab dulu! Aku masih ngomong.”
“Gina ... kamu denger apa sih dari ibu-ibu tukang gosip itu?” Bang Teguh menegurku dengan keras. Terlihat, beberapa suster dan kerabat dari pasien melirik ke arah kami yang berdebat di ambang pintu.
“Aku denger sendiri kalau kata Bu Husna kamu nikah lagi, dan ibu mertua sendiri yang ....”
“Itu cuma halunya kamu aja, Gin! Ini semua biar kamu nggak perlu beliin aku tanah dua em itu, kan? Kamu segininya, ya Gin! Aku suamimu, kepala rumah tangga. Kok tega ya kamu ngefitnah aku sampai begini!” Bang Teguh menunjuk dirinya dengan sorot matanya yang bergetar.
Semakin aku bersikeras, maka semakin keras pulalah balasan jawaban dari Bang Teguh. Pria itu tidak mau mengakui tuduhan yang kudengar langsung dari tiga wanita di dalam.
“Sudah, aku mau ketemu ibu. Kamu masuk atau nunggu di sini, terserah saja, Gin!” Bang Teguh mendorong kembali pintu yang baru saja ditutupnya. Pria itu mengabaikanku yang masih berusaha memahami kejadian membingungkan saat ini.
“Mbak ... masuk, yuk?” Nita datang mendekat, seraya memanggilku dengan suaranya yang pelan dan lemah. Kulihat, gadis itu menyimpan iba di pelupuk matanya, mungkin sadar jika aku mendengar semua gosip miring yang dilakukan ibu mertua.
“Tidak, Nit ... bawa masuk ini. Aku harus pergi sebentar. Ada sesuatu yang belum selesai,” ujarku pada Nita.
Kuserahkan sekeranjang buah nan mahal itu agar bisa memuaskan rasa haus ibu mertua, lalu bergegas pergi dari sana dengan hati yang membara. Ada banyak hal yang kini harus kusibak sendiri. Perjuanganku di rumah ini tidak hanya tentang Nita, keserakahan ibu mertua dan Bang Teguh, tetapi juga kabar angin soal pengkhianatannya terhadapku.
Ting ... ting ... ting ....Suara adukan teh menjadi nada pengiring di antara aku dan ibu. Wanita yang berusaha menguatkan dirinya usai diterpa kenyataan itu terus memaksa untuk membuatkan minum.Deru napasnya terdengar lebih jelas dari pada biasanya sejak tadi. Aku sadar, umur ibu dan bapak kian bertambah setiap harinya. Resah yang dirasakan tidak lagi soal ikan yang terlalu mahal atau uang yang tak pernah cukup hingga hari esok, melainkan tentang anak-anaknya, terutama aku yang belum lama ini bercerai.“Ya-yakin mau jadi istrinya?” Ibu terbata-bata saat menanyaiku. Kalimat yang mungkin ingin ditanyainya sejak pertama kali melihat Mas Zildi.Wanita itu memutuskan untuk diam sesaat. Cangkir-cangkir di depannya dibiarkan kosong, padahal Mas Zildi sudah duduk di ruang tamu selama beberapa waktu.“Bu ... kemarin, Ibu keberatan karena Gagah tidak punya pekerjaan yan
Aku memastikan sekali lagi pintu rumah sudah terkunci rapat sebelum meninggalkan hunian. Sesuai dengan janji semalam, aku akan mengantar Adinda menuju kampung halamannya meski hati kecil ini dongkol luar biasa.Setelah subuh tadi, salah satu admin mengantarkan mobil Jazz merahku yang manis. Sebab, beberapa jam usai kami berangkat kemarin, Range Roverku dijemput oleh salah satu pekerja di bengkel Mas Zildi untuk dipoles kembali. Walau nantinya akan utuh seperti semula, nyatanya tetap tidak terasa sempurna.Terkadang, aku ingin meluapkan hal ini pada Adinda, yang sedang duduk diam di teras rumah seperti orang kehilangan jiwanya. Tetapi sekali lagi kutegaskan di dalam hati, jika Adinda juga korban dari kekejaman Bang Teguh dan ibunya. Dia tidak bersalah, hanya dipaksa keadaan untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan bayinya.“Berangkat sekarang, Din?” tawarku sebab Adinda masih diam di kursi. Dia memandang ke
Aku berseru, kemudian berjalan secepat mungkin menuju Adinda. Wanita yang masih menyusui bayinya itu terlihat tidak mengerti dengan teguranku barusan. Dia sibuk meninabobokan si kecil, sesekali menggodanya dengan botol susu meski sudah mendengar teriakanku sekalipun.Di depan netra ini, Adinda menyajikan pemandangan yang membuat jakun pria manapun akan bergetar. Adinda menyusui bayinya, membiarkan bagian dari tubuhnya yang berharga itu terlihat di depan siapapun. Tidak ada sehelai kain pun yang digunakannya untuk menutupi, setidaknya menghalangi, mengingat ada Mas Zildi di sini.Lekas aku berdiri di depan Adinda, menghindarkan Mas Zildi dari pemandangan yang mampu menodai matanya itu. Berulang kali aku menegur Adinda, geram sekaligus kesal. Bagaimana bisa dia bersikap begitu sembrono di depan seorang pria walau sedang dalam keadaan sulit sekalipun?“Mau pamer kamu, Din? Hah?” sergah Anha tanpa mau menanti.Dia menyerang
Proses pemeriksaan berjalan dengan lancar, meski awalnya perilakuku yang terkesan kasar karena merusak pintu rumah Bang Teguh sempat disinggung oleh pihak kepolisian. Tidak hanya mengenai adegan pengrusakan pintu itu, namun semua detail yang kutahu dan Adinda ingat, kami jabarkan tanpa cela. Semuanya harus berakhir di sini, tidak boleh lagi ada korban berikutnya yang muncul akibat dendam yang bersarang di hati Bang Teguh.Setelah berjam-jam berlalu, kami keluar dari kantor kepolisian dengan perasaan lega. Tugasku hanyalah menyerahkan rekaman CCTV dan bukti mobil yang tergores ke pihak kepolisian. Begitu juga dengan Adinda, semua kesaksiannya akan memperkuat hukuman untuk Bang Teguh nantinya ... semoga.Pamit dari kantor kepolisian, aku membawa Adinda dan bayinya pulang dengan menumpang mobil Mas Zildi. Wajah Adinda kusam dan lelah, sedang bayinya sesekali merengek tak nyaman dalam tidur.Mas Zildi memberi kami tumpangan hingga berhenti di sebua
“Adinda!” Bang Teguh menjeritkan nama wanita yang telah memberinya bayi mungil itu.Kami yang sedari tadi menjadi saksi lekas menolehkan wajah. Berharap di dalam hati jika Adinda tidak akan lagi bisa digoyahkan oleh pria yang telah menghancurkan hidupnya, juga berdo’a agar Adinda tidak lagi dibohongi oleh Bang Teguh.Aku menanti harap-harap cemas, wanita yang terlihat begitu bimbang didekat istri Pak RW itu. Dia memeluk bayi mungilnya yang terus merengek lapar. Bahkan bibir bayi itu mengering, tubuhnya pun pucat dan kecil. Aku yakin benar, si mungil yang dilahirkan Adinda tidak mendapatkan gizi yang cukup. Parahnya lagi, saat Adinda melepas dekapan bayinya, kutemukan sesuatu yang mencengangkan. “Adinda!” seruku sebelum dia kembali tergugah dengan suaminya yang sedang menanti akhir kisah.Mas Zildi serta dua wanita dewasa lainnya pun menoleh. Mereka mengikuti arah gerakku yang mencoba membuka selimut lusuh bayi mala
Adinda, ibu mertua dan Bang Teguh, mereka ada di dalam sana. Aku buru-buru mendekat, mengintip dari jarak yang begitu tipis agar bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan hingga menimbulkan bunyi yang begitu keras. Sesuatu terlihat melayang, piring keramik menyentuh dinding dan terbelah.“Abang?” Adinda kutemukan merintih di lantai.Dia bersimpuh di depan Bang Teguh dan ibu mertua. Bayi kecilnya ternyata dipeluk oleh wanita paruh baya gembrot yang sibuk tersenyum sinis pada Adinda.“Kamu itu bodoh, ya? Aku sudah bilang kan, setiap hari kamu harus kerja di sana. Hancurkan semua barang-barangnya Gina biar dia bangkrut!” balas ibu mertua yang ternyata disetujui Bang Teguh.“Bu ... kemarikan bayiku. Dia lapar, Bu ... hari ini belum nyusu sama sekali,” rintih Adinda dengan tangan terulur.“Enak saja, kamu itu enggak kerja hari ini. Artinya kamu itu lebih mendukung Gina d