Share

Obat Apa

“Mau kutemani?” tanyanya.

“Enggak usah, kalau kamu enggak ikhlas.”

“Ikhlas itu soal hati, tahu apa Mas soal itu, ayo pergi minta maaf.”

“Kamu bilang, Ibu menghinamu lalu sekarang mau minta maaf, apa namanya kalau bukan munafik Dil?” Dilra malah tertawa, dia terus tertawa sampai aku yang melihatnya merasa ketakutan sendiri. Dan kau tahu apa yang selanjutnya terjadi, dia terus tertawa hingga tanpa sadar air mata telah mengalir membasahi pipinya.

“Dil, kamu baik-baik saja kan?”

“Ya,” tawanya langsung berhenti, begitu saja, sontak membuat jantungku seperti berhenti berdetak. 

“Ayo minta maaf,” ajaknya lagi, kali ini Dilra mengusap pelan jejak basah bekas linangan air matanya, tangannya langsung melingkar di lenganku, menariku keluar kamar, hingga mendekat ke arah tangga, kami berhenti, itu pun karena aku menahannya.

“Dil gak usah, cukup! Biar Mas aja yang minta maaf.” Perlahan Dilra melepas lingkaran tangannya.

Matanya kembali berembun, kau tahu apa yang paling membuatku takut saat matanya mulai mendung. Dia akan menatap sembarang ke arah benda yang berada di depan. Selama beberapa detik dia akan diam, lalu setelahnya baru berbicara dengan pandangan kosong, juga dengan suara lirih yang hampir tak terdengar.

“Kamu tahu Mas, sejak menikah denganmu, aku sudah kehilangan harga diri.”

“Sayang, enggak boleh ngomong begitu.” Ini sudah mulai tak beres, Dilra mulai lagi, sejujurnya inilah momentum paling menakutkan bagiku. Lebih menakutkan dari pada bertemu makhluk halus saat sedang sendirian. Ketakutan luar biasa saat merasa orang tersayang akan pergi jauh. Tidak peduli raga atau jiwanya, bagiku jika keduanya tak saling menyatu percuma saja jika terus ada di sisi, karena kenyataannya separuh dalam dirinya telah hilang, pergi dan jelas itu akan susah dikembalikan seperti semula. Seperti kali ini tatapannya itu, seperti kehilangan gairah hidup.

“Salah atau benar enggak berarti apa pun buatku, yang berhak menentukan semuanya, hanya dia. Sedangkan aku bagai manusia yang dipasangkan sebuah alat. Dipaksa mengangguk meski aku ingin menolak. Bahkan seringnya dipaksa menolak saat aku benar-benar menginginkannya,” Dilra berbicara lagi, kali ini lebih pelan, hampir mirip seperti berbisik.

“Sudah sayang, kita gak usah minta maaf balik ke kamar aja ya.” Sesak kian membelenggu, entah siapa yang benar dan salah, satu yang pasti, dia sedang tak baik-baik saja.

“Kita harus minta maaf, Mas,” katanya lagi. Kali ini dengan ekspresi yang sama wajah datar juga tatapan kosongnya yang memilukan.

“Enggak Sayang, enggak usah biar Mas yang bicara sama Ibu sendiri. Kamu ke kamar saja ya, tuh Dion menangis.” Tangis Dion semakin keras saja. Bayi itu tampaknya kesal karena tak langsung diangkat. Ada yang aneh, tapi ini nyata terjadi, setiap kali Dilra sedang terpuruk, tangis Dion selalu saja jadi penawarnya, dia selalu berhasil membawa Dilraku kembali. Kali ini istriku menurut, kakinya hendak melangkah kembali kamar tapi sekali lagi harus terhenti begitu mendengar teriakan Mia dari lantai dasar.

“Ibu mau ke mana, Ini sudah malam”

“Ibu mau pulang Mia, sebaiknya kamu juga pulang aja,” jawab Ibu. Dia masih menangis, tetapi malah mau pergi. Tuhan beginikah hidup dengan tiga wanita dalam satu rumah, kepalaku hanya satu, tapi semuanya selalu minta didahulukan.

“Nanti aku susul, cepat turun ke bawah, cegah Ibu.” Kali ini nada bicara Dilra sudah kembali normal, tak lagi memilukan.

“Gak usah Dil, temani Dion aja. Ada yang mau aku bicarakan juga sama Ibu. “ Dilra sepertinya mengerti, dia pergi setelah memastikan aku turun dan mendekati Ibu.

“Bu, Galang yakin, Dilra enggak ada maksud berbuat seperti itu.”

“Ibu pergi aja Lang, ibu mending tinggal di kampung, enggak apa-apa Ibu buka warung saja, dari pada Ibu di sini selalu di salahkan.”

“Jangan begitu Bu, tinggal di sini aja sama Galang.”

“Jangan pergi Bu, Dilra minta maaf udah bikin ibu tersinggung," ucap Dilra dari arah belakang.

Entah sejak kapan dia berada di situ. Ibu tak menjawab malah makin terisak. Dilra tak menyerah dia lantas mendekap Ibu, diusapnya punggung ibuku pelan. Aku tak menyangka dia akan begitu.

“Dilra minta maaf ya, biar aku bawa masuk tasnya. Ibu istirahat di dalam. Kalau pun ada yang harus pergi, bukan Ibu orangnya. Ini rumah Mas Galang, rumah buat Ibu.” Sekali lagi Ibu tak menjawab, hanya menunduk saja. Begitu pun dengan Mia yang malah bingung menatap adegan mertua dan menantu. Sama denganku ekspresi Mia tampak heran dan tak percaya, lebih tepatnya takjub.

Dilra meraih tas jinjing yang Ibu bawa, mendudukkan Ibuku di sofa setelahnya dia pamit untuk menyimpan tas ke kamar ibu.

Entah kenapa setelah Dilra pergi Ibu langsung mereda. Isaknya tak lagi sama, malah terkesan di buat-buat agar tampak memilukan. Aku tahu Ibu, jelas karena bersamanya aku tumbuh besar. Tangisan seperti ini sama ketika Ibu ditagih hutang oleh Bank keliling saat kami masih susah dulu, dan yang terjadi setelahnya tangisan Ibu berubah. Itu alasan kenapa aku tak suka Dilra meminjam uang. Aku pernah pengalaman buruk dengannya. Aku berpikir ibu baik-baik saja, jadi kuputuskan menyusul Dilra ke kamar Ibu. Namun, dia tak ada di sana, begitu keluar lagi rupanya Dilra malah terlihat berjalan dari arah dapur dengan secangkir teh panas di tangannya. Dia lewat begitu saja di depanku, seolah aku ini tak terlihat.

“Di minum dulu Bu, aku permisi ambil Dion dulu, kasihan menangis dari tadi.” Tentu saja ibu sungkan, dia tak lantas meminum teh itu. Watak ibu keras, tak mau mengalah, meski sekarang dia merasa menang pun egonya masih terlalu tinggi untuk saling memaafkan.

“Diminum Bu tehnya,” tawarku lagi, maksudku hanya ingin membuatnya tenang, tapi lagi-lagi di tolak.

“Ibu mau ke kamar.” Dilra berada tak jauh dari kami. Dia baru saja bersiap menaiki tangga. Aku tahu, dia pasti mendengar Ibu yang menolak untuk minum. Mataku tentu saja refleks melihat ke arah sana, Dilra tampak menghentikan langkahnya sebentar, tangannya mencengkeram pegangan tangan dengan kuat. Aku tahu dia mati-matian menahan emosi kali ini, tapi tak lama wanita itu kembali meneruskan langkah.

“Bang, kenapa sih?” tanya Mia yang masih bingung dengan apa yang terjadi, setahuku dia baru datang tepat saat Ibu merajuk ingin pulang kampung.

“Abang mau masuk, Mi.” Malas sekali menjelaskannya, pikiranku semakin kalut saja.

Kuputuskan untuk menyusul ke kamar, Dilra sepertinya tengah bersiap menelan sebuah tablet.

“Minum apa Dil, Kamu sakit?” Aku segera mendekat, Dilra yang hendak memasukkan pil ke mulut jadi terhenti. Dia sempat melirik sekilas tapi setelah itu meneruskan menelan pil dan minum banyak air hingga tak tersisa setetes pun. Tak ada jawaban dari Dilra, kembali menulikan diri seperti biasanya.

“Kamu sakit?” Aku yang tak sabar, sedikit mengguncang pundaknya, tapi perempuan itu malah senang sekali mempermainkan emosi, dia tetap membisu.

“Cuma obat warung, pusing kepalaku.”

“Benar obat warung, coba Mas lihat?”

“Lihat apa, bungkusnya juga sudah di buang ke tong sampah.”

“Kamu pusing kenapa, mau periksa?”

“Enggak usah.” Begitulah dia, selalu susah di ajak bicara, dia akan menjawab saat bertanya tapi setelahnya pembicaraan kami terhenti, Dilra tak lantas bertanya lagi padaku. Meski aku terus memancingnya lagi dan lagi agar kami bisa terlibat dalam obrolan yang panjang. Dilra seakan kehilangan gairah. Sikapnya acuh hanya menjawab sekadarnya. Baru lima menit Dilra sudah mengantuk parah, matanya merah juga terlihat sayu.

“Aku mau tidur? Sudah ngobrolnya?” tanyanya.

Kalau sudah begini aku pun tak tega untuk membuatnya terus terjaga. Kini Dilra terlelap di sampingku, dengan raut wajah yang tak ikhlas. Seperti orang menahan kesal saja. Apa pil yang dia minum barusan mengandung obat tidur? Padahal setahuku, saat di luar tak tampak dia mengantuk sama sekali, badannya masih segar.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yanti Isma
jadi laki bego gak peka uang dikasih sma ibu nya mending mertua nya waras lah mertua nya gak waras istri yg menderita
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Coba lha tinggal di rmh ndak usah ke bengkel liat sifat asli ibu km ndiri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status