Home / Urban / Luka Seorang Istri / Surgamu Ada di Sana Bukan?

Share

Surgamu Ada di Sana Bukan?

Author: ERIA YURIKA
last update Last Updated: 2021-10-13 21:20:29

“Aku mau tidurkan Dion, biar aku yang cuci piring! Kamu jangan cari perkara pakai cuci segala, aku sudah capek Mas, jangan bikin aku jadi bahan gosip orang sekampung! Terima kasih sudah membantu tapi lain kali enggak usah,” katanya seraya berjalan meninggalkanku sendiri di dapur. Sungguh bagaimana bisa dia bicara seperti itu padaku, kenapa menghadapi wanita serumit ini, aku hanya berniat membantunya dan dia malah takut jadi bahan gosip sekampung, apa maksudnya. Sudahlah toh tidak tiap hari. Aku putuskan untuk mengerjakan semuanya, mencuci piring bukan perkerjaan yang sulit juga.

“Kamu kenapa cuci piring sih, Lang? Istrimu itu ke mana, apa saja yang dia lakukan dari tadi, sampai piring bekas makannya dicucikan kamu?”

“Ya sudah sih Bu, enggak tiap hari ini. Dion juga tadi rewel, kasihan Dilra belum makan juga dari tadi.”

“Itu nasi di piring bekas siapa?”

“Tadinya mau di makan tapi malah tumpah soalnya Dion enggak bisa diam.” Aku terpaksa berbohong.

“Ibu enggak pernah loh suruh almarhum Bapa kamu cuci piring kami, haram hukumnya laki-laki pegang kerjaan rumah.”

“Bu, sudah toh Dilra juga istriku, kan aku yang cuci bukan Ibu, jangan memperbesar masalah, kasihan Dilra.”

“Kamu dinasihati susah, nanti kebiasaan.”

“Enggak bakal, nah Ibu sudah salat belum?”

“Hmm ibu ....”

“Belum salat ‘kan?”

“Mending salat dulu, sini mangkok bekas kolaknya biar sekalian Galang cuci.” Ibu terlihat malu. Pasti dia belum salat lagi. Terkadang aku bingung, bagaimana menyuruh keluargaku untuk ibadah. Ibuku sudah tak lagi muda tapi seolah dia akan hidup selamanya. Tidak pernah ingat akhirat juga enggan di ingatkan. Aku berpikir setelah kematian Bapak, ibu lantas berpikir untuk lebih mendekatkan diri pada Sang Maha Kuasa, nyatanya dia malah semakin jauh.

~

Selesai sudah semuanya. Kali ini aku berniat langsung ke kamar, tapi sepertinya Ibu juga dari kamarku kulihat dia menuruni tangga. Wajahnya tampak masam. Sedang dari atas tampak Dilra masih berdiri di ambang pintu kamar kami. Begitu aku mendekat bukannya menyambut, wajahnya malah di tekuk lagi, lantas dia masuk ke dalam tak mau menunggu untuk masuk beriringan.

“Dil, tadi ibu ke sini?” tanyaku.

“Sudah kubilang jangan di cuci!”

“Memangnya Ibu bilang apa?” Dilra tak mau menjawab, tapi sudah kutebak pasti Ibu menegurnya karena hal ini, sungguh rasanya kepalaku ingin pecah.

“Mau kamu apa?”

“Enggak usah repot-repot, berhenti bikin hidupku tambah susah, bisa ‘kan?”

“Mana bisa begitu, kamu kan istriku. Dion juga anakku, kamu repot, ya aku bantu.”

“Dibilang enggak usah ya enggak usah, apa susahnya sih?”

“Sebenarnya mau kamu apa Mas, serba salah kalau begini!”

“Mau tidur capek!” Astaghfirrullah, sabar Galang. Kenapa kamu berubah Dil, sekarang dia malah tidur memunggungiku. Kalau sudah begini bisa kupastikan sampai sahur menjelang tak akan ada percakapan di antara kami. Andai Dion tak ada. Entah apa jadinya kamar ini. Tak ayalnya macam area pemakaman, sepi dan sunyi. Sudah lama sekali kami tak terlibat dalam obrolan santai, nada bicara Dilra yang makin hari makin acuh, membuat enggan untuk mengajaknya bicara. Jam masih menunjukkan pukul 18.50, aku bersiap untuk pergi teraweh. Entah dengan Ibu dan Mia mereka malah memilih mampir ke tetangga sebelah katanya ada  arisan.

“Cuma sebentar Lang," kata Ibu, saat kuajak dia tarawih, malah menolaknya dengan alasan lain. Mengocok arisannya memang sebentar tapi bergosipnya yang lama. Dilra sudah pasti tak tarawih karena harus menjaga Dion.

“Dil makan dulu, enggak bagus loh menunda makan.” Kuputuskan kembali ke kamar, tiba-tiba saja teringat Dilra yang belum makan dengan benar.

“Iya.”

“Mas tinggal sendiri enggak apa-apa?”

“Enggak apa-apa.”

“Bener ya nanti makan?”

“Iya,” sahutnya acuh seperti biasa. Tampaknya Dilra mulai tak suka, salah lagi, niat hati ingin berbaikan dengannya tapi tak ada satu pun yang benar di matanya.

~

Setelah tarawih seharusnya Dilra masih di rumah, kususul ke kamar sayang hanya ada Dion yang terbaring di kasur sendirian. Ke mana dia? Kususuri setiap ruang pun. Tidak kutemukan di mana pun. Sampai akhirnya kulihat balkon rumah kami masih gelap, mungkin Dilra lupa menyalakan. Begitu mendekat ke skalar lampu, tampak bayangan hitam di ujung tembok, seperti orang yang tengah mengintip. Aku mendekat dengan mengendap-endap, dari aroma tubuhnya saja aku sudah hafal, bisa kupastikan itu Dilra. Sedang apa dia di sana, apakah mengintip rumah sebelah? Pakai acara mematikan lampu segala. Sebentar, kenapa dia terisak, drama apa lagi kali ini?

Pandanganku tertuju ke arah di mana Dilra mengintip rumah Bu Farah rupanya tetangga sebelah. Di sana sedang ada arisan. Ada Ibu dan Mia, di sana sangat ramai. Sesekali tawa nyaring mereka sampai terdengar ke atas sini, tapi kenapa dengan Dilra yang justru terisak. Apa lagi Ibu, bisa kudengar tawanya paling keras di antara yang lain. Sementara itu, Dilra justru makin terisak. Tak tahan melihatnya, kutekan skalar lampu hingga membuat keadaan menjadi terang benderang. Dilra lantas mengerjap, lalu dengan cepat menyembunyikan diri di balik dinding.

“Kamu sedang apa di situ, Dil?” tanyaku, dengan cepat Dilra  mengusap wajahnya dengan kasar.

“Enggak apa-apa,” jawabnya yang masih terlihat gelagapan, mungkin tak menyangka kalau aku berada di sini.

“Kamu ingin ikut gabung?” Dilra malah diam dan menunduk.

“Mas kan lagi ngomong kenapa malah menunduk, kalau mau ikut, ya ikut saja.” Dari sini aku tahu, sisi lain dari istriku. Saat sendiri dia terlihat begitu rapuh, tapi saat kudekati dia bagai bunga mawar yang berduri. Nyatanya tak ada yang berubah darinya, hatinya tetap lembut, yang berbeda hanya dia yang terlalu membentengi diri dariku.

“Kamu mau ikut? Bilang saja, enggak apa-apa kok.” Aku berusaha mengalah kali ini, bukankah hampir semua perempuan memang suka kelembutan, kuraih lengannya perlahan, berharap itu mampu membuatnya mau berbaikan denganku.

“Mau bayar pakai apa? Daun?” ketusnya. Astaghfirrullah. Dilra malah menepis lenganku, lalu setelahnya pergi begitu saja. Bisakah dia sopan sedikit. Aku mengejarnya, ada apa dengannya kenapa jadi begitu kasar dan temperamental.

“Kenapa sih kalian ribut lagi?” tiba-tiba Ibu sudah ada di bawah. Melihatku mengejar Dilra. Dia malah berteriak dari bawah. Aku tak peduli. Dilra sudah lebih dulu masuk kamar, rupanya dia menungguku. Terbukti saat masuk kamar dia sudah berdiri bersandar ke dinding tepat di samping pintu, sedang pandangannya lurus ke depan menatap bayi Dion yang terlelap di ranjang kami.

“Mas pikir enak, minta segala sesuatu ke Ibu. Barangnya enggak dapat, yang ada malah dihina,” lirihnya dengan penuh penekanan.

“Jaga bicaramu Dil, kamu boleh enggak menghormati Mas, tapi enggak buat ibu.”

“Terserah Mas mau percaya atau enggak, itu sama sekali bukan urusanku!”

“Dilra, jadi kamu di belakang menjelekkan Ibu?” Tiba-tiba ibu sudah ada di belakangku. Aku lupa belum sempat menutup pintu jadi ibu leluasa masuk ke kamar kami. Salahnya malah menangis, lalu berlari turun ke bawah.

“Tunggu Bu, bukan maksud Dilra begitu!” Aku sedikit mengeraskan suara, karena Ibu makin menjauh. Di tengah kebingungan ini, kulirik istriku dia terlihat santai, justru setelahnya Dilra malah tersenyum, pandangannya lurus menatap ke punggung Ibu yang makin menjauh.

“Kejar Mas, surgamu ada di sana bukan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Masih gak sadar itu manusia
goodnovel comment avatar
Ignatius Siagian
suami anak mami...
goodnovel comment avatar
Desy Lukman
suaminya t*l*l, masa gak paham.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Luka Seorang Istri   Ending

    Saat merasakan tubuhnya mulai bergetar Dilra segera menepi. Untunglah Ilham sigap mengambilkan air untuknya. “Maaf bikin kalian repot.” “Sudah tugas kami menjaga Ibu,” kata mereka kompak. Adam baru saja menyusul ke sini, karena penasaran melihat Ilham berlarian di tengah kebun. Dilra menatap hamparan kebun nanas miliknya dengan mata nanar. “Panggil Bi Nunik ke sini ya. Aku kayaknya enggak kuat jalan sendiri,” ucapnya lemah. “Bi Nunik lagi nyusul ke sini Bu, tadi ikut panik juga lihat Ilham lari.” “Ayo, Bu. Saya bantu jalan sampai rumah.” “Makasih, Bi.” “Di rumah sudah saya siapkan makanan, Bu. Kesukaan Ibu semua, coba dimakan sedikit-sedikit. Biar ada tenaga.” “Nanti saya makan, kalau perut saya enakkan. ‘Kan sayang makanan enak yang Bibi masak, malah dimuntahkan lagi.” Dilra masih saja mencoba tersenyum pada Bi Nunik, meski saat itu dadanya semakin sesak. Sampai-sampai mereka terpaksa menghentikan jalannya.

  • Luka Seorang Istri   Tunggu Aku

    “Ibu, mau ke mana?”“Nyusul Pak Adam.”“Enggak usah, tunggu di mobil saja. Paling lagi diberi penyuluhan sama satpam, sebentar lagi pasti balik.”Dilra tak mampu menutupi kekhawatirannya. Bukan hanya pada Adam juga pada nasibnya dan anak-anak. Pikirannya carut marut, menerka-nerka, siapa kemungkinan yang ingin mencelakakannya.Sebelum pergi ke luar kota dia sempatkan untuk kembali ke rumah lamanya. Melepas rindu juga untuk beberapa barang yang akan dia butuhkan. Langkahnya pelan memandangi setiap sudut rumah beserta isinya, sementara anak-anak berlarian ke ruang bermain. Mengumpulkan barang mereka, sebanyak mungkin. Tiba di depan pintu kamarnya langkahnya terhenti saat mendapati seseorang baru saja masuk tanpa mengetuk. Rupanya Mbak Rina, dia menghampiri majikannya, saling memeluk melepas rindu setelah sekian lama tak berjumpa.Wanita itu mulai mengajak tuannya beristirahat di dalam kamar. Namun, sebelum pergi, d

  • Luka Seorang Istri   Waspada

    Ruangan pengap dan lembap berukuran 3x3 dengan dinding yang sebagian berlumut, juga langit-langit yang berlubang menandakan rumah ini memang sudah lama tak terjamah. Pencahayaan yang hanya mengandalkan dari senter, membuatnya semakin suram. Hari ini bahkan harus menjadi saksi biksu, pertumpahan darah yang tak bisa dielakkan lagi. Sorot mata membunuh itu masih menatap tajam pada perempuan yang meringkuk seraya memegangi perutnya. Pakainya telah berubah warna menjadi merah darah. Sayup-sayup terdengar kata tolong keluar dari bibirnya yang memucat.“Sudah kukatakan jangan mengusikku, apalagi dia!” Suara bariton kini mendominasi ruangan. Lengan yang berlumur darah itu mencengkeram dagu, wanita lemah di depannya, memaksa agar dia melihat bagaimana perbuatannya membuat wanita yang berada dalam pangkuannya tergeletak tak berdaya.“Aku enggak akan segan, bahkan untuk menghabisimu.” Wanita itu ingin bicara, tetapi rasa sakit di bagian perut membuatnya te

  • Luka Seorang Istri   Nekat

    “Loh, Mas mau ke mana?”“Makasih buat infonya, tolong kabari saya kalau Dilra hubungi kamu.”Tanpa persiapan apa pun Galang pergi ke kota Bandung. Untunglah di perjalanan dia sempat tertidur sebentar, setidaknya tenaganya sedikit memulih.“Pak kalau mau tidur enggak apa-apa. Nanti saya bangunkan kalau sudah sampai Bandung," kata Demian, salah satu staff di kantornya.“Enggak perlu, barangkali saya lihat anak istri saya di jalanan.”“Tapi mata Bapak kelihatan capek.”“Enggak apa, saya baik-baik saja.”Galang tetap membuka matanya lebar-lebar. Menengok ke kiri dan kanan dengan gelisah. Sayangnya yang di cari tak ada di sini. Dia benar-benar hanya membuang waktu.Minggu berlalu Galang masih berada di kota kembang. Seperti orang gila dia terus mencari keberadaan anak dan istrinya. Selama di sana dia menetap di rumah Ibu Rima. Malam hari dia baru pulang untuk tidur, l

  • Luka Seorang Istri   Tetaplah Seperti Ini

    Esok hari Galang terbangun, namun tak mendapati Dilra di sampingnya. Dia turun untuk mencari, rupanya Dilra tengah di dapur.“Sayang, masih terlalu pagi kok udah masak aja.”“Lagi kepengen aja, aku buat rendang.”“Tahu aja makanan kesukaan, Mas.”“Makanya itu karena masaknya makan waktu, jadi aku mulainya lebih awal.”Galang meletakkan wajahnya di bahu Dilra yang terbuka, wanita itu memakai daster yang mengekspose kedua bahunya yang putih mulus tanpa celah. Tak cukup sampai situ, Galang melingkarkan perutnya di perut Dilra.“Jangan begini.”“Habisnya kamu bikin Mas pengen nempel terus.”Dilra hanya tersenyum, lekas dia berbalik, sebelum pria itu membuatnya harus kembali mandi.“Mas, belum subuh ‘kan?”

  • Luka Seorang Istri   Ada Apa denganmu?

    Aku hanya diam menikmati suasana kota di sore hari. Sampai kami tiba di lampu merah, untungnya jalanan belum terlalu padat, ini masih pukul 4 sore setengah jam lagi mungkin akan berbeda.Motor menepi di dekat alun-alun, di sini cukup ramai.“Enggak apa-apa ‘kan duduk di sana sebentar ya.” Aku menunjuk pada bangku di taman.“Memangnya kenapa, di mana pun jadi, Mas. Ayo,” ajaknya. Aku masih menggenggam lengan Dilra. Kami duduk menikmati pemandangan anak-anak remaja yang tengah bermain skate board.“Tinggal dulu ya, Mas mau beli minum buat kamu.” Di sana Dilra lebih banyak diam, hanya bicara tiap kali aku menanyakan sesuatu. Aku masih belum menyerah, mencoba mengalihkan perhatiannya pada beberapa remaja yang berpakaian ala korea. Mereka sepertinya sedang shooting video. Orang-orang ramai berkeremun di dekat anak-anak itu. Aku bisa melihat Dilra pun sesekali terkekeh melihat aksi para penari yang begitu en

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status