Mita memandang rumah mewah minimalis di depannya. Dia telah mengendarai motor scoopy fi sporty nya menuju alamat yang tertera dari pesan Billy.
Sekali lagi gadis sipit itu menatap keadaan rumah juga sekeliling komplek yang tampak sepi. Dia mengecek nomor rumah yang tertera di pagar dan mencocokkannya dengan pesan teks di ponselnya.
Benar, sesuai alamat yang dikirimkan Billy. Namun entah mengapa gadis itu berdegup kencang.
Dia pun menuruni motor scoopy fi sporty nya. Dengan masih menggunakan helm minions, gadis bermata sipit itu berjalan untuk menekan bel di pagar ujung gerbang.
Cukup menekannya sekali saja, Mita menunggu dengan cemas. Sesungguhnya dia sangat gugup, apalagi ini adalah interview kerja pertamanya. Langsung ke CEO pula.
Dan by the way, tadi malam Mita sempat searching tentang perusahaan tempat kerja Billy dan calon bosnya itu. Perusahaan tersebut berjalan di bidang industri minuman dan makanan kemasan dengan merk dagang yang sudah terkenal.
Mita sempat speechless membacanya. Bagaimana bisa dia akan bertemu CEO nya langsung, mana di rumah pribadinya.
Jadilah dia gugup setengah mati, apalagi saat gerbang yang tiba-tiba terbuka menampilkan wanita paruh baya yang tersenyum padanya.
"Maaf, Mbak Mita ya?"
Gadis mata sipit itu langsung mengangguk membenarkan. Dia menampilkan senyum ramahnya. "Saya Mita, Bu."
"Iya, mari masuk Mbak, Tuan Vano sudah menunggu."
Mita meringis. Sudah menunggu? Apa dia terlambat banyak? Tapi ketika melihat arloji di pergelangan tangan kirinya, ternyata masih sisa sepuluh menit sebelum waktu yang ditetapkan. Dia lega, artinya dia nggak terlambat.
"Em ... Bu?" Mita memanggil dengan sungkan. Wanita paruh baya itu kemudian berbalik kembali menatap gadis manis itu. "Saya pakai motor, motor saya bisa masuk?"
"Bisa Mbak, masuk aja sini." Wanita itu menyilahkan, kemudian bergegas mendorong gerbang agar lebih lebar.
Dengan cepat, Mita kembali menaiki motor scoopy fi sporty nya dan masuk ke halaman rumah yang sangat asri.
Terdapat banyak tanaman terawat, lagi-lagi Mita terpesona ketika dipersilahkan masuk ke rumah. Dia tertipu, dari depan rumah ini tampak minimalis dan mewah namun ketika masuk ke dalam ternyata luas dan semakin mewah.
Mata sipit Mita nggak berhenti menatap kagum pada interior maupun furniture di ruang tamu. Segala perabotan yang ada pasti mahal, pikir Mita.
Jelas saja, ini adalah rumah CEO perusahaan besar yang income nya ratusan juta. Atau malah bisa dibilang rumah seperti ini tergolong masih sederhana.
Mita pernah melihat keadaan rumah artis ternama dan beberapa pengusaha sukses yang dia tonton di youtube, jauh lebih besar dan mewah. Pasti Pak Vano tergolong pengusaha sukses yang sederhana.
Setelah menunggu dan sempat menyesap jus jeruk yang disuguhkan wanita paruh baya tadi. Dia juga sudah puas mengagumi setiap sudut ruangan.
Tiba-tiba seorang laki-laki muda menghampiri Mita. Dia berpakaian santai namun sopan. Kaos berkerah dengan celana bahan panjang. Rambutnya disisir rapih, tidak sampai mengkilap seperti Billy, namun sudah tampak rapih. Tubuhnya tegap dengan postur tubuh tinggi sedikit berisi sesuai tingginya.
Laki-laki itu semakin dekat menghampiri Mita. Seakan lepas dari keterpesonaannya, gadis mata sipit itu langsung berdiri, sedikit membungkukkan tubuhnya.
Apakah benar laki-laki itu yang namanya Pak Vano?
Tapi masa iya?
Padahal di bayangan Mita, Pak Vano itu pria dewasa yang sudah berkeluarga dan memiliki anak. Tetapi laki-laki itu? Muda dan tampan, kira-kira usianya mungkin nggak jauh dari Billy, atau malah sama.
"Kamu Mita?" Suara bass yang maskulin terdengar di pendengaran Mita. Gadis itu mengerjap sekali sebelum mengangguk.
"Iya benar, saya Mita, Pak."
Laki-laki tampan itu tersenyum formal kemudian mengulurkan lengan kanannya kehadapan Mita. "Saya Vano."
What the hell.
Beneran Pak Vano? CEO, kaya, muda, tampan. Oh my god, Mita ingin sekali berteriak rasanya.
"Kamu belum punya pengalaman kerja?" Vano membolak-balikkan berkas lamaran milik Mita. Tatapannya fokus dan meneliti."Belum pak." Mita menjawab pelan, dia meremas jemari dipangkuannya, gugup."Nggak pernah ikut organisasi juga?" Tatapan tajam itu kini beralih kearah Mita. Gadis mata sipit itu semakin gugup. Dia merapalkan mantra-mantra agar tidak gugup. Maka Mita pun mulai menghela nafas. Dia bertekat untuk lolos interview. Jangan gagal hanya karena gugup."Saya nggak ikut organisasi, pak. Tapi saya pernah memenangkan olimpiade.""Hem, oke bagus." Pak Vano mengangguk-anggukkan kepalanya. Mita bersungguh bahwa CEO muda itu sangat tampan. Dia bisa merasakan aura artis-artis tenar yang tampan dipuja-puja oleh banyak wanita. Sepertinya Pak Vano punya penggemar banyak dan sekarang Mita menjadi salah satu penggemarnya.Huaa!! Bu, Mita ketemu anak konglomerat!"Saya belum tau kenapa Billy merekomendasikan kamu." Pak Vano mulai menutup berkas milik
Peraturan kerja tambahan : 1. Datang ke rumah setiap hari senin sampai jum'at tepat pukul 6.00 WIB. 2. Menyiapkan keperluan dan kebutuhan Bos. 3. Tidak ada bantahan perihal pekerjaan. 4. Tidak ada kata terlambat. 5. Jika diperlukan, ikut dalam perjalanan bisnis baik ke luar kota maupun luar negeri. 6. Bersikap profesional. 7. Asisten bisa mendapatkan bonus jika ada pekerjaan tambahan di luar kerja. Catatan : Hal apa saja yang dibutuhkan Bos, bisa dipertanyakan dengan Bik Muti dan Billy. Lebih bagus untuk inisiatif sendiri. 》》》 Mita mendengus setelah membaca kembali peraturan yang di tulis tangan oleh Pak Vano siang tadi. Inisiatif sendiri? Gila aja, nanti kalau ada yang salah dinyinyirin lagi. Pak Vano itu sepertinya tipikal bos yang ribet, suka menindas anak buahnya. Tapi ya bagaimana, masih untung Mita dapat diterima dengan lapang dada. Bahkan ketika kopi buatannya kepah
Keesokan hari, pagi menjelang. Masih petang sebab baru pukul lima dini hari. Jika biasanya Mita bangun pukul enam, kali ini dia terpaksa mengatur alarm nya untuk berbunyi jam lima dini hari. Lalu bersiap-siap mau berangkat bekerja. Demi apa, nggak ada pekerja kantoran yang berangkat pagi-pagi buta seperti dirinya. Jam setengah enam, ketika matahari belum nampak, yang biasanya warga Jakarta umumnya sedang bergumul dengan selimutnya, tetapi Mita sudah mengendarai motor scoopy fi sporty miliknya menuju rumah bos. Jika bukan karna gajinya yang besar. Gadis mata sipit itu nggak akan menerima tawaran kerja, apalagi bosnya itu CEO muda, tuan muda kaya seperti Vano. Bukannya apa-apa, Mita sudah bertekat untuk bekerja secara profesional. Tetapi Vano ada saja permintaannya. Tadi malam, Vano menghubungi jika dia harus datang sewaktu subuh, kemudian menghubungi lagi jam lima harus berangkat dari rumah dan terakhir menghubungi terserah mau berangkat jam berapa yan
Dalam hidup Mita, nilai akademik dan peringkat teratas adalah hal yang terpenting. Dia belum pernah berpengalaman dekat dengan pria. Bahkan bisa dibilang anti dengan hubungan percintaan. Karena baginya dulu, cinta atau pacaran sungguhlah mengganggu. Dia nggak ingin merusak nilainya hanya karena sibuk memikirkan pria. Tetapi ketika umur menginjak lebih dewasa, terlebih ketika lulus kuliah. Batinnya mulai menjerit ketika teman-temannya pamer pacar maupun gebetan atau seenggaknya cerita-cerita tentang pria yang disukai, cerita tentang tipe pria hingga keuwuan mendapatkan perhatian pasangan. Lalu apa, Mita nggak pernah ada pengalaman suka dengan pria lebih dari kagum. Kekagumannya hanya sebatas, wah dia tampan, wah dia keren. Dia pun nggak pernah ada pengalaman memperhatikan setiap inci tubuh seorang pria. Hansel dan Bapak nggak termasuk, karena Mita juga nggak pernah memperhatikan sampai terkagum-kagum melihat otot-otot yang menonjol. Tetapi sekarang, ke
"MITA!" Suara menggelegar yang berasal dari dalam kamar mandi mengagetkan seseorang yang sedang berjongkok menyender di tembok sembari memainkan ponsel. Bahkan sangking terkagetnya ponselnya langsung terjatuh di atas karpet. Reaksi lainnya, dia langsung berdiri setelah mengambil ponsel android butut merk samsung versi lama, seirama dengan Vano yang muncul dari balik pintu kamar yang tadinya tertutup. Raut wajahnya kesal memandang gadis muda dengan mata sipitnya itu. Salah apa lagi Mita coba. "Ada apa pak?" tanyanya dengan raut yang bingung. "Kamu pikir saya mau menghadiri pemakaman, sampai kamu pilih semua pakaian kerja warna hitam?" Vano sangat sinis membuat gadis muda itu menggaruk belakang kepalanya yang nggak gatal. Jadi karena masalah baju? Beruntung tadi Mita nggak sampai jantungan. "Emm ... saya kira Pak Vano sukanya warna hitam." "Sotoy!" Setelah itu pintu dihadapan Mita tertutup dengan keras. Lagi-lagi me
"Mita," suara pelan seorang laki-laki menyusup di gendang telinga orang yang dipanggil. Mita mendongak, jelas sekali matanya mengantuk. Di depannya seorang pria berambut klimis tersenyum menatapnya. Billy, pacar Bianca temannya. Segera Mita membalas senyum manis itu. "Ada apa kak?" tanyanya. Dia melirik sekilas ke meja kerja Vano yang berjarak nggak jauh dari meja kerjanya. Mita dan Vano berada di ruangan yang sama, hanya saja terdapat sekat kecil agar Vano nggak begitu melihat apa yang sedang di lakukan Mita. Seperti beberapa menit yang lalu sebelum Billy menghampirinya. Gadis mata sipit itu dengan mati-matian menahan rasa kantuk yang mendera. Bagaimana enggak, Vano dengan khidmat bekerja tanpa bisa diganggu gugat. Jadilah Mita berdiam diri di mejanya, bahkan dia nggak berani menimbulkan suara yang mana bisa saja membuat Bosnya mengamuk. Tapi untungnya Vano nggak melihat Mita yang menelungkupkan kepalanya di atas meja tadi. "Mau bikin kopi nggak?" Bi
Dulu Mita memang selalu mengesampingkan pengalaman dan lebih mengejar nilai akademik. Sehingga dia nggak pernah menikmati setiap momen waktu datang ke tempat yang baru. Tetapi sekarang nggak akan lagi. Gadis bermata sipit itu menatap takjub pada sekelilingnya yang terdapat alat-alat berat dengan fungsi yang berbeda-beda. Mesin-mesin itu beroprasi dengan otomatis dibantu beberapa orang yang mengaturnya. Dan setiap kali rombongan Mita berjalan melewati, para pekerja akan menoleh dan menunduk sesaat. Disaat-saat seperti itulah Mita berasa menjadi seorang yang penting. Oh ya, kembali lagi mengenai keadaan pabrik. Mita bersungguh, kali pertama masuk kedalam pabrik PT Miyora sangatlah mengesankan. Dia pertama kali bisa melihat mesin-mesin yang menampung produk-produk menuju mesin lainnya. Suara dengung dari beberapa mesin pun terdengar nyaring. Bahkan para pekerja sangat steril memakai perlengkapan seperti masker, sarung tangan hingga penutup kepala. Lagipula siapa
Lima belas menit telah berlalu, menandakan bahwa Mita sudah menahan lapar bermenit-menit lamanya sepulang dari pabrik. Gadis bermata sipit itu menatap kearah bosnya yang tengah fokus bekerja. Apa Pak Vano nggak istirahat ya? Tapi kan Mita ingin istirahat. Dia telah menyia-nyiakan waktu untuk menahan lapar. Lagian kenapa bosnya nggak peka juga sih. Sedetik kemudian Mita merutuki dirinya sendiri. Bos model Vano mana bisa peka, haduh. Maka dari itu dengan keberanian yang dipaksakan, Mita menghampiri meja Vano. Namun terlebih dahulu dia merapihkan rok span dan kemeja polosnya. "Pak Vano," panggil Mita pelan. "Hem." Hem lagi. "Apa Bapak mau dipesankan makanan?" Tanya gadis bermata sipit itu harap-harap cemas. Siapa tau dia akan disembur karena telah mengganggu fokus bosnya. Namun sorot mata tajam milik Vano menghujam saat laki-laki itu mendongak menatap Mita di depannya. Kan, kan, kayaknya salah lagi nih.