"Kamu belum punya pengalaman kerja?" Vano membolak-balikkan berkas lamaran milik Mita. Tatapannya fokus dan meneliti.
"Belum pak." Mita menjawab pelan, dia meremas jemari dipangkuannya, gugup.
"Nggak pernah ikut organisasi juga?" Tatapan tajam itu kini beralih kearah Mita. Gadis mata sipit itu semakin gugup. Dia merapalkan mantra-mantra agar tidak gugup. Maka Mita pun mulai menghela nafas. Dia bertekat untuk lolos interview. Jangan gagal hanya karena gugup.
"Saya nggak ikut organisasi, pak. Tapi saya pernah memenangkan olimpiade."
"Hem, oke bagus." Pak Vano mengangguk-anggukkan kepalanya. Mita bersungguh bahwa CEO muda itu sangat tampan. Dia bisa merasakan aura artis-artis tenar yang tampan dipuja-puja oleh banyak wanita. Sepertinya Pak Vano punya penggemar banyak dan sekarang Mita menjadi salah satu penggemarnya.
Huaa!! Bu, Mita ketemu anak konglomerat!
"Saya belum tau kenapa Billy merekomendasikan kamu." Pak Vano mulai menutup berkas milik Mita. Kini ia mengintimidasi gadis muda di depannya. "Tapi apapun itu pasti ada kelebihannya," gumamnya lagi.
Dia pun menegakkan duduknya. Semakin mengintimidasi lawan bicaranya. "Saya sebenarnya lebih membutuhkan asisten yang cekatan alih-alih pinter akademik, kamu bisa cekatan?" Tanyanya menohok.
Mita langsung kicep dibuatnya. Bukan akibat perkataan Pak Vano namun tatapan yang seolah ingin membuat sang lawan kalah.
Tetapi karena memang dasarnya Mita bukan tipe wanita yang cepat kalah begitu saja. Gadis itu membalas tatapan tanpa gentar dengan mata sipitnya.
"Saya akan menjamin bisa cekatan Pak. Apa yang dibutuhkan Pak Vano akan saya kerjakan dengan cepat, saya bisa cekatan," ucap Mita bersungguh-sungguh.
Mata segarisnya sangat bertekat kuat, menggambarkan semangat membara. Jarang sekali Vano bertemu gadis muda seperti Mita. Sepertinya sahabatnya Billy kali ini mampu mendapatkan tipe asisten yang benar dibutuhkannya.
"Bagus, dan karena kamu bersemangat, saya akan mulai tes?"
Tes?
Mita seketika gentar. Dia nggak menyangka akan tes. Mana belum mempersiapkan diri untuk tes. Lagipula tes nya kayak apa. Susah atau mudah. Dengan perasaan khawatir, gadis itu mengikuti langkah kaki Vano di depannya.
Pak Vano menyuruh untuk mengikuti. Laki-laki itu dengan santai melangkah. Sesekali bersiul dan memasukkan satu tangannya ke dalam saku.
Terlihat sekali bahwa dia sangat menikmati kekhawatiran Mita. Padahal gadis itu bahkan gemetar takut sendiri apabila nggak lolos tes.
Ternyata oh ternyata dibalik senyum dan wajah menawannya, Pak Vano tetap saja mengerikan sebagai bos.
"Coba Mit, buatin saya segelas kopi."
Hah? Apa tadi?
"Kopi, pak?" tanya Mita cengo. Jelas saja, karena sebelumnya Vano bilang akan mengetes, tapi mengapa suruh membuatkan kopi.
"Iya, kamu nggak bisa buat kopi?" Pak Vano bertanya tanpa rasa bersalah. Raut wajahnya menyebalkan, otoriter.
"Iya, bisa pak." Mita mencicit. Dia segera beralih ke pantri.
Dapur minimalis dengan perlengkapan lengkap itu nyatanya masih asing bagi Mita. Dia nggak tau tempat penyimpanan kopi dan bahan lainnya. Akhirnya dengan memberanikan diri Mita berbalik untuk menanyakan perihal yang dia butuhkan.
"Pak, kopinya ada dimana?"
"Di lemari." Vano menjawab tanpa menoleh kearah Mita. Dia sibuk dengan ponselnya.
"Lemari yang mana, pak?"
"Itu kan ada lemari, cari aja sendiri."
Kok nyolot, batin Mita bergejolak. Jelas saja lemarinya ada banyak ya Mita bertanya. Dan tempat ini pun masih asing baginya.
Oh, no!
Gambaran punya bos ramah, bekerja dengan suasana menyenangkan dan mendapat gaji besar, lenyap sudah di pikiran Mita. Gadis mata sipit itu mulai menduga kalau sikap Vano sangat menyebalkan, otoriter dan menjengkelkan.
Kalau begitu, jelas saja gajinya besar. Ternyata eh ternyata beban kerjanya akan berlipat ganda.
"Katanya bisa cekatan, bikin segelas kopi aja lama." Suara Vano mencibir nyinyir. "Ini tes mudah, masih belum ada apa-apanya."
Kalau dari tadi dikasih tau letak kopi dan gulanya juga pasti udah kelar bikin kopinya. Ingin rasanya Mita menjawab seperti itu. Namun dia tahan.
Masih hari pertama, sabar ... sabar ... demi dapat kerja dan gaji.
Tetapi pernyataan Mita sebelumnya yang menjadi salah satu penggemar Vano, dia akan tarik kembali. Gadis itu akan lebih profesional bekerja alih-alih terpesona dengan ketampanan Vano. Sebab dibalik kesempurnaan Vano ada sikap menyebalkan dan itu akan menjadi imbas Mita setiap kali bekerja.
Haduh, kenapa juga tes nya malah membuat segelas kopi.
Peraturan kerja tambahan : 1. Datang ke rumah setiap hari senin sampai jum'at tepat pukul 6.00 WIB. 2. Menyiapkan keperluan dan kebutuhan Bos. 3. Tidak ada bantahan perihal pekerjaan. 4. Tidak ada kata terlambat. 5. Jika diperlukan, ikut dalam perjalanan bisnis baik ke luar kota maupun luar negeri. 6. Bersikap profesional. 7. Asisten bisa mendapatkan bonus jika ada pekerjaan tambahan di luar kerja. Catatan : Hal apa saja yang dibutuhkan Bos, bisa dipertanyakan dengan Bik Muti dan Billy. Lebih bagus untuk inisiatif sendiri. 》》》 Mita mendengus setelah membaca kembali peraturan yang di tulis tangan oleh Pak Vano siang tadi. Inisiatif sendiri? Gila aja, nanti kalau ada yang salah dinyinyirin lagi. Pak Vano itu sepertinya tipikal bos yang ribet, suka menindas anak buahnya. Tapi ya bagaimana, masih untung Mita dapat diterima dengan lapang dada. Bahkan ketika kopi buatannya kepah
Keesokan hari, pagi menjelang. Masih petang sebab baru pukul lima dini hari. Jika biasanya Mita bangun pukul enam, kali ini dia terpaksa mengatur alarm nya untuk berbunyi jam lima dini hari. Lalu bersiap-siap mau berangkat bekerja. Demi apa, nggak ada pekerja kantoran yang berangkat pagi-pagi buta seperti dirinya. Jam setengah enam, ketika matahari belum nampak, yang biasanya warga Jakarta umumnya sedang bergumul dengan selimutnya, tetapi Mita sudah mengendarai motor scoopy fi sporty miliknya menuju rumah bos. Jika bukan karna gajinya yang besar. Gadis mata sipit itu nggak akan menerima tawaran kerja, apalagi bosnya itu CEO muda, tuan muda kaya seperti Vano. Bukannya apa-apa, Mita sudah bertekat untuk bekerja secara profesional. Tetapi Vano ada saja permintaannya. Tadi malam, Vano menghubungi jika dia harus datang sewaktu subuh, kemudian menghubungi lagi jam lima harus berangkat dari rumah dan terakhir menghubungi terserah mau berangkat jam berapa yan
Dalam hidup Mita, nilai akademik dan peringkat teratas adalah hal yang terpenting. Dia belum pernah berpengalaman dekat dengan pria. Bahkan bisa dibilang anti dengan hubungan percintaan. Karena baginya dulu, cinta atau pacaran sungguhlah mengganggu. Dia nggak ingin merusak nilainya hanya karena sibuk memikirkan pria. Tetapi ketika umur menginjak lebih dewasa, terlebih ketika lulus kuliah. Batinnya mulai menjerit ketika teman-temannya pamer pacar maupun gebetan atau seenggaknya cerita-cerita tentang pria yang disukai, cerita tentang tipe pria hingga keuwuan mendapatkan perhatian pasangan. Lalu apa, Mita nggak pernah ada pengalaman suka dengan pria lebih dari kagum. Kekagumannya hanya sebatas, wah dia tampan, wah dia keren. Dia pun nggak pernah ada pengalaman memperhatikan setiap inci tubuh seorang pria. Hansel dan Bapak nggak termasuk, karena Mita juga nggak pernah memperhatikan sampai terkagum-kagum melihat otot-otot yang menonjol. Tetapi sekarang, ke
"MITA!" Suara menggelegar yang berasal dari dalam kamar mandi mengagetkan seseorang yang sedang berjongkok menyender di tembok sembari memainkan ponsel. Bahkan sangking terkagetnya ponselnya langsung terjatuh di atas karpet. Reaksi lainnya, dia langsung berdiri setelah mengambil ponsel android butut merk samsung versi lama, seirama dengan Vano yang muncul dari balik pintu kamar yang tadinya tertutup. Raut wajahnya kesal memandang gadis muda dengan mata sipitnya itu. Salah apa lagi Mita coba. "Ada apa pak?" tanyanya dengan raut yang bingung. "Kamu pikir saya mau menghadiri pemakaman, sampai kamu pilih semua pakaian kerja warna hitam?" Vano sangat sinis membuat gadis muda itu menggaruk belakang kepalanya yang nggak gatal. Jadi karena masalah baju? Beruntung tadi Mita nggak sampai jantungan. "Emm ... saya kira Pak Vano sukanya warna hitam." "Sotoy!" Setelah itu pintu dihadapan Mita tertutup dengan keras. Lagi-lagi me
"Mita," suara pelan seorang laki-laki menyusup di gendang telinga orang yang dipanggil. Mita mendongak, jelas sekali matanya mengantuk. Di depannya seorang pria berambut klimis tersenyum menatapnya. Billy, pacar Bianca temannya. Segera Mita membalas senyum manis itu. "Ada apa kak?" tanyanya. Dia melirik sekilas ke meja kerja Vano yang berjarak nggak jauh dari meja kerjanya. Mita dan Vano berada di ruangan yang sama, hanya saja terdapat sekat kecil agar Vano nggak begitu melihat apa yang sedang di lakukan Mita. Seperti beberapa menit yang lalu sebelum Billy menghampirinya. Gadis mata sipit itu dengan mati-matian menahan rasa kantuk yang mendera. Bagaimana enggak, Vano dengan khidmat bekerja tanpa bisa diganggu gugat. Jadilah Mita berdiam diri di mejanya, bahkan dia nggak berani menimbulkan suara yang mana bisa saja membuat Bosnya mengamuk. Tapi untungnya Vano nggak melihat Mita yang menelungkupkan kepalanya di atas meja tadi. "Mau bikin kopi nggak?" Bi
Dulu Mita memang selalu mengesampingkan pengalaman dan lebih mengejar nilai akademik. Sehingga dia nggak pernah menikmati setiap momen waktu datang ke tempat yang baru. Tetapi sekarang nggak akan lagi. Gadis bermata sipit itu menatap takjub pada sekelilingnya yang terdapat alat-alat berat dengan fungsi yang berbeda-beda. Mesin-mesin itu beroprasi dengan otomatis dibantu beberapa orang yang mengaturnya. Dan setiap kali rombongan Mita berjalan melewati, para pekerja akan menoleh dan menunduk sesaat. Disaat-saat seperti itulah Mita berasa menjadi seorang yang penting. Oh ya, kembali lagi mengenai keadaan pabrik. Mita bersungguh, kali pertama masuk kedalam pabrik PT Miyora sangatlah mengesankan. Dia pertama kali bisa melihat mesin-mesin yang menampung produk-produk menuju mesin lainnya. Suara dengung dari beberapa mesin pun terdengar nyaring. Bahkan para pekerja sangat steril memakai perlengkapan seperti masker, sarung tangan hingga penutup kepala. Lagipula siapa
Lima belas menit telah berlalu, menandakan bahwa Mita sudah menahan lapar bermenit-menit lamanya sepulang dari pabrik. Gadis bermata sipit itu menatap kearah bosnya yang tengah fokus bekerja. Apa Pak Vano nggak istirahat ya? Tapi kan Mita ingin istirahat. Dia telah menyia-nyiakan waktu untuk menahan lapar. Lagian kenapa bosnya nggak peka juga sih. Sedetik kemudian Mita merutuki dirinya sendiri. Bos model Vano mana bisa peka, haduh. Maka dari itu dengan keberanian yang dipaksakan, Mita menghampiri meja Vano. Namun terlebih dahulu dia merapihkan rok span dan kemeja polosnya. "Pak Vano," panggil Mita pelan. "Hem." Hem lagi. "Apa Bapak mau dipesankan makanan?" Tanya gadis bermata sipit itu harap-harap cemas. Siapa tau dia akan disembur karena telah mengganggu fokus bosnya. Namun sorot mata tajam milik Vano menghujam saat laki-laki itu mendongak menatap Mita di depannya. Kan, kan, kayaknya salah lagi nih.
Mita melangkah gontai memasuki ruang tamu rumahnya. Hari sudah gelap, dia baru sampai di rumah pas dengan adzan magrib. Dirinya lelah betul, padahal masih hari pertama kerja. Bagaimana setahun kemudian? Entah bakal jadi apa gadis bermata sipit itu. Berangkat subuh-subuh, pulang magrib, ibarat apa coba, sudah kayak lagu Armada pergi pagi pulang pagi saja. Dia menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Memijit pelipis yang menjadi pusing akibat seharian bersama bos gila bernama Vano. "Baru pulang, Mbak?" tanya Bapak ketika akan melewati anak sulungnya. Ia sudah berpenampilan rapih akan ke masjid. Bersarung kotak-kotak, baju kokoh putih dan tak lupa peci hitam di kepala Bapak. Mita mendongakkan kepalanya. Jelas sekali raut lelah yang dia tampilkan. "Iya, pak," jawabnya pelan. "Langsung mandi Mbak, biar lebih segar." Setelah itu Bapak keluar dari pintu utama ruang tamu. Terdengar kehebohan Hansel di dalam. Seharian nggak bertemu ad