Bab 7 Ibu pikir aku cuma bisa bertahan hidup dari uang Galih?
"Huuh ... sombong sekali kau! Kau kira kau akan hidup tanpa uang Galih? Dari mana kau bisa mengisi perutmu kalau bukan dari hasil jerih payah anakku? Jangan sombong kamu!" Bentak Bu Farah.
Sedangkan mata Bu Farah mendelik-delik mengiringi gerak bibirnya yang dengan pongahnya berbicara.
"Bu, ibu pikir aku cuma akan bisa bertahan hidup dari uang Galih? Uang yang cuma ia kasih lima ratus ribu setiap bulan itu? Lima ratus ribu itu justru tidak lebih besar dari gaji seorang pembantu, Bu!" Ucapku tidak kalah sengitnya.
Bosan rasanya selama ini selalu mengalah, selalu menuruti kehendak mereka, tapi ujung-ujungnya tetap saja aku tidak dihargai.
Nampaklah rona masam wajah Bu Farah kian menjadi.
"Kau pikir standar hidupmu lebih baik dari pembantu? Haa?" Bentak Mertuaku.
"Ooowh, itu sudah jelas, Bu. Aku di sini adalah istri Mas Galih, bukan pembantu. Hanya saja aku yang terlalu bodoh selama ini kalian perlakukan layaknya pembantu." Balasku lagi.
Kulihat Bu Farah mengepalkan tangan menahan emosi. Peduli amat. Aku tidak takut sama sekali. Rasa takut dan rasa segan ku telah hilang akibat perbuatan mereka yang selalu menganggapku rendahan.
"Kau memang pantas untuk kami jadikan sebagai asisten di rumah ini!" Imbuhnya lagi.
"Jangan harap, Bu." Ucapku sembari masuk ke kamar dan mengunci pintu.
Segera ku cek handphone keluaran lama yang sudah menemaniku sejak masa sekolah SMA.
Clink...
Mataku melebar dengan bibir mengembangkan senyum ketika sebuah pesan notifikasi dari bank menyambut pandangan mataku.
Bersamaan dengan itu, sebuah pesan masuk dari Papa.
[Nak, silahkan cek rekeningmu, Papa sudah kirim sejumlah uang buat kebutuhanmu, jangan pernah minta uang sama Galih lagi. Apalagi sampai menggantungkan hidup sama mereka. Galih mau memberi uang hasil kerjanya sama mertuamu, biarkan saja. Tenangkan pikiranmu, jangan mau lagi di tindas orang, Nak!] Pesan dari papaku.
Ku perhatikan angka-angka yang tertera di notif bank.
Jumlahnya bahkan lebih banyak daripada keseluruhan gaji Mas Galih dalam sebulan.
Papa tetaplah Papa. Ternyata selama ini ia tidak benar-benar membenciku.
[Tenangkan dulu pikiranmu di sana, Nak! Jangan banyak pikiran. Tunjukkan pada mereka bahwa kamu bukanlah wanita lemah yang bebas mereka injak-injak dan tidak bisa bebas mereka tindas.]
Terimakasih Pa, supportnya. Aku tidak menyangka jika Papaku ternyata masih peduli.
***
"Bu, ada apa? Kok kelihatannya jutek sekali?" tanya Megan mendekati sang Ibu.
"Ibu sedang kesal sama Kiara. Dia sudah berani menentang sekarang!" tanggap Bu Farah dengan berkacak pinggang.
"Apa? Kiara berani menentang Ibu? Apa dia cukup berani untuk melakukan itu?" Megan mengernyitkan dahi.
"Iya, Megan. Tadinya ibu ingin memintanya memasak buat teman-teman ibu yang akan datang nanti. Semua bahan-bahan sudah ibu siapkan. Tinggal Kiara memasaknya saja. Tapi ternyata Kiara menolak, Megan. Alasannya sedang capek," Bu Farah mulai bercerita.
"Ohoo, berani sekali dia. Tidak nyadar apa tuh orang. Hidup numpang, berlagak pula. Luar biasa sekali. Dia bilang capek, capek ngapain? Cuma mengurus rumah saja sudah mengaku capek. Ini tidak bisa dibiarkan, Bu!" Geram Megan.
"Kamu benar, Kiara memang tidak bisa dibiarkan. Sebaiknya apa yang harus kita lakukan?" Bu Farah setuju dengan cara berpikir Megan.
Megan terlihat berpikir. Rupanya ia sedang mencari cara untuk memberi pelajaran pada Kiara.
"Kita harus melaporkan Kiara sama Galih! Biar Galih tahu bagaimana kelakuan istrinya." Ujar Megan.
"Ya, dengan begitu ibu berharap Galih akan bersedia menyingkirkan Kiara dari rumah ini. Toh nantinya aku bisa mencarikan Galih istri yang lebih baik," tutur Bu Farah dengan nada kebencian.
Bab 8 Berikan Uang Itu Sama Ibumu! Aku Tidak Membutuhkannya! "Dek, hari ini Mas Gajian. Ini jatah buat Adek," Mas Galih menyodorkan lima lembar uang berwarna merah ke hadapanku. Fyuuuuh... Aku menghela nafas. "Mas, kasih ajah sama Ibu," ujarku. "Apa? Kamu nggak mau terima?" Mas Galih menyipitkan mata. "Bukan tidak mau menerima, tapi memang seperti kata Ibu, Ibu yang lebih berhak menyimpan dan mengolah uangmu. Ya sudah. Serahkan saja sama ibu semuanya, Mas. Tanggung juga ngasih ibu sembilan juta lima ratus ribu. Genapin ajah jadi sepuluh juta. Pas kan gajimu segitu." Jawabku santai. "Dek, kenapa bicara begitu? Apa Adek tidak suka apabila gajiku dipegang sama ibu? Dek, mohon mengerti, Mas menyerahkan sebagian besar gajiku untuk ibu, itu karena beliau yang bisa mengatur dan mengh
Bab 9 Istrimu Hanyalah Beban Bagimu, Galih! "Galih, istrimu itu sudah keterlaluan. Dia sungguh-sungguh telah menjadi pembangkang sekarang," ujar Bu Farah dengan muka bersungut kesal. "Maksudnya bagaimana ya Bu?" Galih bertanya. "Maksud ibu, istrimu sudah berani melawan ibu dengan ucapan yang kasar. Menolak permintaan ibu, padahal kau tahu ibu cuma meminta tolong padanya untuk memasak. Lihat di dapur, bahan-bahan makanan yang sudah ibu beli masih berada utuh di dalam kulkas tanpa tersentuh olehnya," ucap Bu Farah berapi-api. Fyuuh... Galih menghirup udara perlahan. Hatinya semakin bimbang dengan ucapan sang ibu. "Apa benar Kiara bersikap sebegitu buruknya sama ibu?" tandas Galih. "Kamu masih tidak percaya juga? Alangkah b*dohnya kamu! Ramuan apa yang telah Kiara sodo
Bab 10 Dia Wanita Yang Akan Menggantikan Posisimu Aku baru saja selesai mandi ketika kudengar suara deru mobil masuk ke halaman. Tapi itu bukan deru mobil mertua ataupun mobil Mas Galih. Soalnya aku kenal betul suara mobil mereka. Kusibak tirai jendela, melihat siapa yang datang. Oh ternyata Bu Farah dan seorang wanita cantik dan menawan. Siapa dia? Ah peduli amat kucoba untuk masa bodoh. Benar saja, sebentar kemudian, suara high heel mereka beradu dengan lantai marmer menimbulkan bunyi khas yang kian mendekat memasuki rumah. "Kiara, tolong buatkan minuman. Ini ibu ada tamu istimewa!" Terdengar suara Bu Farah memberikan perintah seperti biasanya. "Kiara, tolong cepat ya, tidak pakai lama. Ibu tak suka perempuan yang suka bersikap lambat. Jangan lupa juga hidangkan makanan diatas m
Bab 11 Aku Tidak Mau Lagi Ditindas! "Kalau Ibu merasa Celine tidak pantas mengerjakan pekerjaan dapur termasuk dalam menghidangkan makanan, berarti ibu yang harus melayaninya, bukan aku," imbuhku cepat. Berusaha aku melapangkan dada dengan kenyataan yang dibuat oleh Bu Farah. Nyata-nyata beliaulah yang memperkeruh rumah tangga kami. Mengotori rumah tangga anaknya sendiri dengan menghadirkan orang ketiga. Dengan kekuatan hati yang telah ku bangun, aku siap dengan kenyataan. Baiklah, Bu Farah. Ternyata memang ini yang kau inginkan. "Bu, silakan ibu ingin menjodohkan Mas Galih sama Celine. Aku tidak masalah. Tapi satu yang juga harus ibu tahu, aku bukan pembantu dan tidak mau diperlakukan seperti pembantu. Oleh karena itu Ibu jangan pernah memerintahku sesuka hati seperti selama ini," tandaku tegas dan lugas. &nbs
Bab 12 Menikah Lagi, Tak Perlu Izin Istri! "Galih, ibu ingin bicara sama kamu!" Bu parah mendekati Galih. "Kiara, bisa kamu menyingkir dulu aku ingin bicara empat mata sama Galih!" Bu Farah memberi isyarat tangan kepada Kiara yang tengah duduk di sebelah galih untuk segera pergi. "Kalau kalian yang ingin bicara, berarti kalian yang harus menyingkir, bukan aku." Jawab Kiara ketus. "Kiara...?" Galih mengernyitkan dahi dengan keketusan sikap Kiara. "Kenapa Mas? Ada yang salah?" timpalku. "Coba kalau bicara itu baik-baik, apalagi sama ibu," "Iya aku tahu, tapi ibumu dulu yang bicara tak sopan apa salahnya aku membalas." Ucapku seraya menyeruput teh panas. "Sudahlah tidak usah pedulikan dia, Galih. Dia memang pembangkang. sekarang, ayo ikuti ibu. Ada hal penting yang in
Bab 13 Lihatlah, betapa borosnya Istrimu!" "Iya Bu. Perkataan ibu memang tidak ada salahnya. Tapi aku masih punya nurani. Rasanya tidak pantas aku menikahi wanita lain di tengah kehamilan istri sahku." Jawab Galih lagi. Megan dan ibunya semakin kesal saja dengan jawaban Galih yang masih saja berusaha untuk menyinggung masalah nurani. "Kau selalu saja bicara soal nurani, coba kau pikir, apakah istrimu punya nurani? Tidak, Nak. Ibu rasa istrimu itu adalah wanita yang tidak punya sopan santun. Lihatlah tingkahnya! Sekarang dia malah ingin bertingkah bak seorang bos di rumah ini. Wanita seperti seperti itu yang ingin kau ukur dengan nurani? Sangat tidak pantas," ucap Bu Farah mulai geram. "Ucapan ibu benar, Galih. Jujur ya, aku saja muak mendengarmu bicara mengait-ngaitkan Kiara dengan hati nuranimu. Kiara itu wanita yang tidak memikirkan masa depan. Buat apa kamu te
Bab 14 Uang Adikmu, Mana Cukup Buat Shopping! "Mbak, dugaan kalian salah!' sambar Galih cepat. "Tidak usah banyak pembelaan, Galih. Mengapa kau sekarang amat bod*h. Di bod*hin sama Kiara, ya?" Serobot Megan dengan congkaknya. "B*doh sekali kau Galih, seenaknya saja diperalat sama istri. Sampai rela kalau uangmu dihabiskan Kiara buat berfoya-foya bershoping ria," cibir Kiara berniat untuk mempengaruhi Galih. "Hei, Mbak Megan! Siapa juga yang membodohi adikmu ini? Mbak menuduhku? Hati-hati bicara, Mbak! Aku tidak pernah berbelanja seperti ini menggunakan uang adikmu! Huuuh... uang adikmu yang hanya lima ratus ribu mana cukup untuk membeli barang-barang seperti ini," Kiara balas mencibir. "Hey, darimana kau bisa nerbelanja sebanyak itu jika tidak da
Bab 15 Rencana Mertua dan Ipar busuk "Dek, maafkan Ibu dan Mbak Megan ya," Mas Galih menghampiriku yang sedang menata baju-baju dan sebuah tas bermerk yang baru saja kubeli. "Lain kali Mas mohon sama kamu, jangan lagi bicara sembarangan di depan mereka. Kamu tahu sendiri kan bagaimana sifat keduanya? Mereka sangat tidak mau diganggu. Apalagi caramu tadi sangat menguji kesabaran mereka," Mas Galih menasehatiku. Fyuuuuh... Aku menghela nafas. "Mas, aku tidak mungkin berkata kasar pada mereka jika mereka tidak memulai," jawabku. Aku tidak peduli jika Mas Galih tak suka dengan ucapanku. "Dek, Mas mohon. Maklumi saja ibu dan Mbak Megan. Sifat mereka memang begitu. Lihat selama ini, jikalau kamu tidak meladeni, rumah ini terasa damai tanpa perselisihan kalian. Mengalah tidak ada salahnya, Dek," ucap Mas Gali